Kuliah Sambil Kerja, Uang Menipis, Gen Z Tak Bisa Liburan Dan Pulang Kampung

Kuliah sambil kerja, dilakukan sejumlah mahasiswi di Yogyakarta. Rata-rata jika akhir tahun seperti ini, mereka tak bisa pulang kampung, karena harus tetap nabung dan irit.

Vinola, 22 tahun masih gamang, antara mau merayakan Natal 2024 di Yogyakarta atau pulang ke Surabaya untuk merayakan Natal bersama keluarga. Namun uang di dalam dompetnya menipis.

“Masih berharap pulang, tapi finansial belum memungkinkan PP (pergi pulang). Jadi masih bikin perencanaan,” aku Vinola. 

Padahal ia berharap bisa menengok eyangnya di sana. Uang saku dari orang tuanya terlalu mepet untuk memenuhi kebutuhan pulang kampung. Sejak pertengahan 2024, mahasiswi Fakultas Seni Pertunjukan ISI ini sempat kerja paruh waktu sebagai barista di sebuah coffee shop. Ia mendapat upah Rp50 ribu dalam delapan jam per hari. Penghasilan tambahan itu digunakan untuk membayar kos Rp300 ribu per bulan, iuran wifi dan listrik.

Usai kontrak habis, Vinola mendaftar dalam event pameran seni seperti saat ini di Galeri RJ Katamsi. Ia mendapat honor Rp75 ribu per hari. Pemasukan itu digunakan untuk pembiayaan rutin bulanan yang mesti dikeluarkan.

Foto: Pito Agustin Rudiana

Pada 2023, ia sempat merayakan Natal di Yogyakarta. Hanya saja, orang tuanya datang untuk Natalan bersama sembari liburan. Sementara jika ia tak pulang tahun ini, tak menutup kemungkinan tahun ini Natal pertamanya tanpa keluarga.

Namun Vinola sudah ancang-ancang untuk mengajak teman. Kebetulan ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kristen di kampusnya. Biasanya ada agenda Natalan bareng. Apabila terpaksa, ia beribadah sendiri di gereja yang sesuai dengan denominasinya.

“Situasional juga. Tapi tetap nggak pengen sendiri. Kalau sendirian, ngerasa kayak nggak Natalan,” kata Vinola.

Sementara merayakan libur tahun baru di Yogyakarta pertama kali dirasakan Vinola pada pergantian tahun 2023 ke 2024. Keluarganya sudah pulang selepas Natalan bersama. Kemacetan arus lalu lintas langsung di depan mata saat beranjak pulang dari sebuah acara di kawasan Gejayan. Tak ada pilihan lain, mau tak mau ia mesti mengikuti arus kemacetan itu.

“Ah, sekalian pengen tahu wisatawan tahun baru kayak apa. Itu baru pertama banget ngerasain. Oh, tahun baruan di tengah Kota Jogja gini, seramai ini. Lihat ramai-ramai kembang api. Ya udah, terus pulang,” tutur Vinola.

Baca Juga: Malam Minggunya Para Buruh, Minum Kopi Starling dan Duduk di Alun-alun

Saat itu, ia naik motor beriringan bersama temannya perantauan dari luar Jawa. Ingin mengulang kembali?

“Nggak deh, kayaknya cuma gitu aja. Ya berkesan kalau sama keluarga,” aku Vinola yang biasa menghabiskan waktu malam tahun baru di rumah saat di Surabaya.

Kebetulan, ia pun tak suka berlama-lama larut dalam keramaian. Ia lebih suka menyendiri. Apabila ada teman mengajak untuk jalan bareng, ia akan menyambut.

“Tapi nggak berlama-lama. Pilih istirahat di kos,” imbuh mahasiswi yang pendiam ini.

Kuliah sambil bekerja juga dilakoni Tari, 24 tahun. Perempuan asal Sumatra Utara ini baru setahunan di Yogyakarta untuk merampungkan kuliah Program Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Selama itu pula, ia mengisi waktu luang dengan bekerja paruh waktu sebagai penjaga gerai kerajinan manik-manik di sebuah mall di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Setidaknya bisa untuk menambah uang jajan, membeli skincare.

“Kalau uang saku dari mamak buat biaya kos, uang makan dan ongkos transport dua puluh ribu pergi pulang per hari,” imbuh dia yang sesekali melihat ke cermin untuk memantas make-up-nya. Ia bersiap meninggalkan mall karena jam kerjanya usai.

Baca Juga: Glass Ceiling Perempuan Pekerja: Distigma Tak Mampu Kerja, Dijerat Beban Ganda

Dengan upah kerja itu pula, bisa untuk tambahan biaya liburan tahun baru yang telah disiapkan bersama teman-temannya.

“Nanti mau ke pantai sama teman-teman perantauan. Ngumpul di kontrakan teman,” kata Tari yang sekaligus pertama kali merayakan Natal di perantauan.

Menjaga gerai perkakas rumah tangga di mall juga dilakukan Sofia, 21 tahun untuk mengisi waktu selepas mengikuti kuliah online lewat Universitas Terbuka. Ia bertugas pada pagi hingga sore hari. Kemudian dilanjutkan pemilik gerai hingga mall tutup pukul 22.00 WIB.

“Liburnya akhir pekan, cuma sehari. Sabtu atau Minggu, nanti ditentukan pemiliknya,” kata Sofia.

Foto: Pito Agustin Rudiana

Tak heran, akhir pekan menjadi waktu yang ditunggu. Biasanya ia gunakan untuk healing bersama teman-temannya ke kafe atau liburan ke tempat wisata yang dekat dengan alam.

Sementara saat malam tahun baru, ia bisa menghabiskan waktu ikut kemacetan di Titik Nol Malioboro apabila berminat.

“Kan sekalian pulang, sekalian lewat situ juga ya,” kata dia yang lebih suka me time.

Penjaga gerai aneka produk tas perempuan, Aya Latip, 22 tahun, sudah membuat rencana acara malam tahun baru. Ia dan anggota keluarga serta teman-temannya akan bebakaran aneka jajanan di halaman rumah. Ia menyisihkan upah kerja Rp45 ribu per hari untuk bebakaran sosis, jagung, cikuwa.

Foto: Pito Agustin Rudiana

Acara itu baru pertama nanti akan dilakukan selepas ayahnya meninggal beberapa hari lalu. Ia ingin menghibur ibunya agar tak larut dalam kesedihan.

“Biar ibu nggak kesepian. Dulu waktu ada bapak, nggak boleh (bebakaran malam tahun baru),” ungkap Aya.

“Tahun baruan pertama kali di sini, aku ngalamin culture shock,” seru Sefina Iswandana, 24 tahun saat ditemui Konde.co di Galeri RJ Katamsi di lingkungan Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jumat, 20 Desember 2024 jelang sore.

Sepasang matanya tampak berbinar saat mengingat pengalamannya tiga tahun lalu. Tepatnya 2021, ketika mula pertama kakinya menjejakkan kaki di Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Masa ketika pandemi Covid-19 mulai berangsur surut sehingga perkuliahan sudah bisa digelar secara hybrid.

Baca Juga: Overwork Sampai Union Busting Menimpa Septia, Sutradara Film Sampai Jurnalis CNN

Malam pergantian tahun dari 2021 ke 2022 membuat Sefina urung memejamkan mata. Kabar keriuhan di Malioboro tiap kali menjelang puncak tahun baru, menarik hatinya untuk ke sana.

Sementara teman-temannya malas berangkat dengan alasan ogah terjebak kemacetan. Bagaimana pun, kisah Yogyakarta yang macet di Malioboro maupun perempatan Tugu Yogyakarta saat malam tahun baru, bukanlah hal baru. Kisah-kisah yang bisa dikulik lewat media sosial atau pun disampaikan dari mulut ke mulut.

“Tapi aku penasaran. Emang tahun baru di sini seramai apa sih, semacet apa,” kata Sefina yang akhirnya mengalami sendiri rasanya “terjebak kemacetan” itu.

Sekitar pukul 22.00 WIB, bersama pacar, mereka berboncengan menembus kepadatan Malioboro. Ribuan manusia tumplek blek di sana. Membuat bodi motor susah bergerak. Butuh waktu lumayan lama untuk keluar dari kemacetan. Setidaknya harus bersabar hingga jarum jam melenggang dari angka 12.

Foto: Pito Agustin Rudiana

Belum lagi bunyi terompet bising dan riuh. Menyatu dengan gelegar kembang api yang meletup-letup. Cahaya warna-warni pun berpendaran membelah langit malam.

Namun orang-orang senang menikmati malam pergantian tahun di Titik Nol Malioboro itu. Tak terkecuali Sefina.

“Seru ya. Kalau di tempatku nggak ada seperti itu. Wah kok ndeso banget ya, katrok,” seru dia, lalu tertawa kecil.

Jauh berbeda dengan suasana di Tulungagung, Jawa Timur, kota asal Sefina. Di sana, ia tinggal di desa. Pukul 9 malam, jalanan sudah sepi. Penduduk sudah memadamkan lampu rumahnya. Begitu pun saat malam tahun baru.

“Tidur aku. Karena jam 9 malam sudah mati lampu, dah nggak ada orang lewat, sunyi. Jadinya sampai sini kaget. Wow!” lagi-lagi kedua matanya membelalak. 

Baca Juga: Cerita 3 Ojol Perempuan: Ditolak Penumpang Laki-laki karena Bukan Muhrimnya Sampai Bias Algoritma

Dari Titik Nol, Sefina tak langsung pulang. Mereka berboncengan ke Pantai Parangtritis di selatan Kabupaten Bantul. Menikmati matahari terbit pertama usai ganti tahun.

Tahun kedua tinggal di Yogyakarta, aktivitas menjelang tahun baru tak berubah. Meskipun ia mengaku kapok dengan kemacetan di pusat kota, Malioboro.

“Bikin bete. Tapi kalau ada yang ngajak, ya ayo, gassss!” seru dia, lalu tertawa renyah.

Namun tahun ketiga, antusiasme akan keramaian Malioboro tak menggebu-gebu lagi. Mengingat ia tengah menyiapkan sebuah proyek yang akan digelar pertengahan Januari 2025 nanti.

“Kebetulan aku ditunjuk jadi head acaranya. Jadi ada yang harus dipikirkan buat proyek ke depan. Okelah, fight di sini,” aku Sefina.

Ya, sejak pertengahan 2024 lalu, Sefina tak hanya berkutat dengan aktivitas di bangku kuliah. Ia mulai menyibukkan diri untuk menjadi volunteer beragam acara seni di Yogyakarta. Gelaran seni tahunan, Artjog 2024 adalah event pertama yang dilakoninya sebagai volunteer. Waktunya pun lama, sedari 28 Juni hingga 1 September 2024.

“Sampai akhirnya keterusan. Kok enak ya, volunteer seru juga. Cukup seru untuk berjejaring,” ucap dia.

Baca Juga: “Kami Bekerja 20 Jam, Dicambuk dan Disetrum” Pengakuan Korban Kerja Paksa di Myanmar

Seperti saat ditemui sore lalu, Sefina juga menjadi salah satu volunteer Festival Seni Cetak Grafis bertajuk “Trilogia”. Ia dan teman-temannya tengah mempersiapkan acara penutupan festival yang telah digelar di Galeri RJ Katamsi sejak 7 Desember hingga 20 Desember 2024.

Honor sebagai volunteer dikumpulkan untuk ditabung. Uang tabungan itu pula yang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di perantauan. Termasuk uang jajan saat liburan.

“Aku benar-benar struggle. Kuliah sendiri. Bener-bener nggak ada support dana dari orang tua,” aku Sefina.

Lantaran kondisi perekonomian orang tuanya pula, ia sempat menjeda waktu untuk tidak melanjutkan pendidikan (gab year) selepas SMA. Dua tahun, ia menjadi peniup terompet di sejumlah band untuk memasok tabungan yang akan jadi bekal merantau.

“Alhamdulillah, dapat beasiswa,” ucap dia.

Uang beasiswa digunakannya untuk living cost, seperti biaya kos dan makan sehari-hari. Sementara untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan, seperti nongkrong bareng teman-teman, berjejaring, juga untuk ongkos transportasinya, ia penuhi dari penghasilan tambahan sebagai volunteer

“Sebelumnya pakai uang tabungan dulu waktu kerja dua tahun setelah sekolah,” ungkap dia.

Baca Juga: ‘I Hate Monday’! Kamu Gak Sendirian Stres Menghadapi Hari Senin

Sementara beasiswa kuliah ini akan berakhir semester depan. Di sisi lain, jumlah mata kuliah yang belum diambil masih banyak dan beberapa harus diulang. Sefina mesti putar otak lebih keras. Ia sudah ancang-ancang untuk bekerja paruh waktu. Agar studi dan kerja bisa jalan beriringan, ia berencana untuk mengambil mata kuliah dengan Sistem Kredit Semester (SKS) secukupnya.

Strategi lain, ia pun mesti mengurangi pengeluaran untuk hal-hal tak perlu. Bahkan semakin bertambah tahun di perantauan, jumlah temannya pun tak sebanyak saat awal kuliah. Setidaknya ada dua sahabat yang masih setia bersama dalam satu geng. Bertiga adalah teman satu kelas dan satu angkatan.

Biasanya mereka ngumpul di angkringan atau warmindo dekat kampus. Dan acara ngumpul bareng pun mulai jarang usai Sefina disibukkan dengan kegiatan event yang bisa memakan waktu mingguan, bahkan bulanan itu. Sefina lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di kamar saat luang.

“Capek. Event-nya cukup menyita waktu,” kata dia.

Jadi, tidak ada aktivitas saat liburan tahun baru nanti?

Baca Juga: Stop Sebut Buruh Migran ‘Pahlawan Devisa’, Ini Konstruksi Patriarki di Era Surplus Pekerja

“Kayaknya tahun ini ke pantai saja. Aku suka ke Pantai. Biasanya sampai Subuh, kan sepi ya,” ucap dia.

Pantai yang akan jadi jujugannya adalah Pantai Pandansari di Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Pantai di selatan Yogyakarta itu sederetan dengan sejumlah pantai lain di Bantul, seperti Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, Pantai Kuwaru, dan Pantai Pandansimo. Salah satu yang menarik dari pantai itu adalah ada mercusuar yang menjulang sekitar 30 meter.

“Setengah dari tahun ini, aku banyak abisin untuk volunteering experience. Jadi butuh recharge. Jadi kayaknya sendirian (ke sana), pengen bener-bener berkontemplasi, me-recharge energiku, capek,” papar Sefina. Ia pun bergegas naik ke lantai tiga, karena waktu gilirannya untuk jaga pameran mulai tiba.

Ketidaktertarikan pada keramaian malam tahun baru juga dirasakan Erika, 21 tahun. Apalagi mahasiswi Fakultas Seni Rupa ISI ini bukanlah perantauan. Perayaan malam tahun baru menjadi hal biasa bagi warga Kabupaten Bantul ini.

“Kalau ke kota (Kota Yogya) malas, macet, capek duluan,” ucap dia.

Foto: Pito Agustin Rudiana

Ia lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-temannya di luar keriuhan. Biasanya di rumah teman yang berhalaman luas. Atau pergi ke pantai.

“Nggak punya rencana juga. Bisa dadakan. Paling wisata alam ya. Yang penting nggak ke mall,” ucap Erika.

Mall bagi dia adalah tempat hiburan yang memakan biaya. Meski sekadar kongkow di resto atau kafe di mall membutuhkan uang tak sedikit.

Baca Juga: ‘Saya Masih Ngajar, Padahal Mau Lahiran, Sekarang Malah di-PHK’ Cerita Pedih Guru Honorer

Apalagi Erika juga mahasiswi yang dilatih untuk membiayai hidup sendiri secara mandiri. Biaya kuliah dari beasiswa yang membebaskan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang keluar saban semester. Namun ia mesti mengeluarkan uang untuk biaya praktikum antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Juga kebutuhannya untuk jajan dan bensin motornya.

“Orang tua nggak nyuruh kuliah. Karena saya yang mutusin ikut kuliah, saya harus tanggung jawab. Jadi ikut volunteer pameran juga,” kata dia.

Semula, ia ikut ambil volunteer yang benar-benar tanpa honor. Yang penting bisa menambah pengalaman untuk portofolio dan teman. Usai cukup pengalaman, ia mulai selektif memilih aktivitas sebagai volunteer.

“Kalau sekarang lebih mencari yang ada duitnya. Kan butuh bensin,” imbuh dia.

Hujan deras baru saja reda ketika Nanda, 22 tahun, menjejakkan kaki di coffee shop di lantai atas mall. Kain jaket berbahan katun menutup rapat seragam kerjanya. Biar tak dianggap keluyuran, meskipun tengah makan atau minum saat jam istirahat atau selepas jam kerja.

Segelas kopi hitam diangsurkan pramusaji yang dikenalnya.

Ora (nggak) usah repot-repot lho,” ucap dia dengan logat Jawa kental. Pramusaji itu tertawa kecil.

Baca Juga: Stres dan Frustrasi di Dunia Kerja, Perempuan Bisa Keluar Kerja karena Kondisi Ini

Selain mahasiswi kuliahan, ada juga Nanda, buruh yang bekerja di gerai maainan anak. Nanda baru saja merampungkan pekerjaan hari itu di sebuah gerai mainan anak-anak pukul 17.00 WIB. Dan bersiap pulang ke rumah nun jauh di kawasan Kabupaten Sleman bagian utara. Ia butuh segelas kopi untuk menyegarkan mata selama perjalanan pulang.

“Hooh, ngopi. Ngantuk-e,” imbuh dia.

Sudah dua tahun lebih kerja di sana dengan status karyawan. Gaji yang didapat standar upah minimum regional (UMR), sekitar Rp2,5 juta dengan fasilitas BPJS. Mulai kerja sedari pukul 09.00 hingga 17.00 WIB. Catatannya, selama kerja tidak boleh duduk. Namun ia selalu bisa mencari kesempatan untuk bisa duduk.

“Kan nggak mungkin ya, nggak duduk sama sekali. Biasanya kalau nggak ada pengunjung atau bersihin mesin, kesempatan besar,” ucap gadis periang itu sambil tertawa kecil.

Dan sejak kerja pula, Nanda sudah tak lagi menikmati asyiknya liburan tahun baru bersama teman-temannya. 

“Sudah khatam. Dulu touring naik motor. Paling jauh ke Bandung. Biasanya ke Wonosobo,” tutur Nanda.

Baca Juga: Aku Gen Z, Influencer Itu Pekerjaan, Tapi Sering Disebut Pengangguran

Dan kini, libur Natal dan Tahun Baru dihabiskannya di tempat kerja. Lantaran pengunjung datang lebih banyak saat liburan itu. Nanda pun bersiap untuk lembur.

“Ya nggak ada liburan. Yang liburan ya customer, kami menjaga liburan mereka,” ucap dia. Libur satu hari yang disediakan tak mungkin cukup untuk touring.

“Ya paling buat tidur,” ucap dia.

Tak heran, kelelahannya sehari-hari dalam bekerja membuatnya tak berminat untuk melanjutkan kuliah. Apalagi ia sudah mengenal punya penghasilan sendiri sejak duduk di bangku SMK. Sekolah sambil kerja.

“Lihat temen-temen kuliah sih, pengen. Tapi nggak mau,” sahut Nanda.

Tak Semua Gen Z Suka Jalan-Jalan

Generasi Zoomers atau Generasi Zenial alias Gen Z lahir saat zaman mudah memfasilitasinya dengan beragam hiburan. Tak heran, kesadaran mereka akan hiburan tinggi.

Mengutip dari data yang dipresentasikan Ahli Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (Puspar UGM), Prof. Yoyok Wahyu Subroto dalam semiloka kepariwisataan yang digelar di Sekolah Pascasarjana UGM pada 23 Juli 2024, jumlah gen Z merupakan penduduk paling banyak, yakni 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia.

“Hasil riset dari Alvara pada tahun 2020, 3 dari 10 orang Gen Z adalah wisatawan generasi baru (next generation traveler) yang melakukan liburan setiap tahun,” kata Yoyok.

Uniknya, tak semua gen Z punya antusiasme tinggi untuk liburan saat Nataru ini. Apalagi mereka yang kuliah, tetapi sambil bekerja. Atau pun benar-benar menghanyutkan diri dalam dunia bekerja.

“Tergantung tingkat ekonomi, wawasan dan pergaulan juga ya,” kata aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), Ernawati kepada Konde.co, Minggu, 22 Desember 2024.

Baca Juga: Problem Perempuan Pekerja Film: Over Work, Standar Kerja Jauh dari Impian 

Seperti Gen Z yang sudah bekerja, biasanya akan tahu, bahwa pekerjaan mereka selama ini menguras energi dan waktu. Namun upah yang diperoleh tak sebanding dengan pekerjaan yang telah dilakukan. Tak heran, menyisihkan uang untuk liburan momentum Nataru tak membuat semua Gen Z menggebu-gebu agar keinginannya terpenuhi.

“Yang (duitnya) cekak ya cukup main gadget, unggah di Tik Tok, nonton drakor. Meski nggak ada yang nge-like, tapi mereka happy,” kata Ernawati.

Di sisi lain, Malioboro yang menjadi jujugan utama puncak tahun baru berada di pusat Kota Yogyakarta. Sementara Kota Yogyakarta pun merupakan pusat perkotaan dan pusat destinasi wisata.

“Liburan tahun baru tentu macet. Mereka yang sudah terbiasa kerja di kota, ya saat liburan mending ke tempat lain atau tidur. Atau malah ditarget menarik tamu agar datang dan belanja ke tempat kerjanya,” papar Ernawati.

Baca Juga: ‘Ferienjob’ Kerja Berkedok Magang Mahasiswa, Bagaimana Aturan Ketenagakerjaan di Jerman?

Sebenarnya pun, tak hanya Titik Nol Malioboro yang ikonik untuk jadi jujugan puncak tahun baru. Yang murah meriah lain pun ada liburan ke Alun-alun Kidul, Bukit Bintang, atau Kaliurang. Tapi untuk ke sana pun butuh usaha keras dan kesabaran untuk menembus kemacetan. Lantaran tempat-tempat itu juga salah satu alternatif jujugan banyak orang.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, total potensi masyarakat yang akan berlibur ke Yogyakarta saat Nataru diprediksi sekitar 7,3 juta orang. Sementara Kementerian Pariwisata menyebut prediksi angka itu bisa mencapai 8 juta orang. Sedikit masyarakat yang bergerak ke luar Yogyakarta. Ya, mungkin karena untuk keluar pun terbentur macet. 

Editor: Luviana

Pito Agustin Rudiana

Jurnalis berdomisili di Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!