Konsep 'cool mom'

‘Cool Mom’ dan Standar ‘Ibu Ideal’, Ini Keren atau Bias Kelas?

Saat menggulir layar media sosial, postingan ibu selebriti yang liburan bersama anak dengan pakaian stylish tentu terlihat sempurna. Tapi tidak semua ibu bisa seperti itu. Ada yang bahkan lupa menyisir rambut saking lelahnya, dan itu tidak apa-apa ya, ibu. Apakah gambaran “cool mom” ini harus jadi cita-cita baru, atau justru membuat banyak ibu merasa tertinggal?

Saat remaja, pernahkah kamu melihat ibu temanmu dan berpikir, “Wah, ibunya keren banget”? Mungkin sang ibu stylish, seru diajak ngobrol, tidak melarang anaknya menginap di rumah teman, atau punya pekerjaan yang kelihatan “wah”. Kita mungkin merasa, jadi anak ibu seperti itu pasti menyenangkan. Gambaran ‘cool mom’ atau ‘ibu keren’ pun muncul di benak kita.

Konsep ‘cool mom’ memang terlihat seru. Ibu yang santai, tidak cerewet, modis, dan sepertinya selalu hadir untuk anak-anaknya. Tidak ada yang salah dengan itu, kok. Banyak ibu merasa menjadi ‘cool mom’ adalah bagian dari identitas mereka, bahkan membawa kebahagiaan tersendiri. Tapi, apakah semua ibu harus jadi seperti itu?

Kalau kamu pernah menonton film ‘Mean Girls’ (2004), ingat Mrs. George yang diperankan Amy Poehler? Dia memerankan sosok ibu yang ‘keren’, selalu berusaha terlihat muda, bahkan ikut-ikutan gaya remaja. Tapi di sisi lain, karakter itu juga jadi bahan olok-olok karena ‘terlalu ingin keren’. Dia berkata, “I’m not like a regular mom. I’m a cool mom (Aku bukan ibu biasa, aku ibu keren).” Sejak itu istilah cool mom pun populer. Dari kalimatnya kita bisa melihat pesan tersirat: kalau kamu bukan ‘ibu keren’, kamu adalah ibu yang membosankan, tidak menarik, atau kurang dapat membaur dengan orang muda.

Baca Juga: Surga (Tak Cuma) di Bawah Telapak Kaki Ibu, Narasi ‘Ibu Sempurna’ Abaikan Rumitnya Kehidupan Perempuan

Fenomena ‘cool mom’ kini tak hanya hidup dalam imajinasi film remaja. Tapi juga di dunia nyata, didorong oleh budaya media sosial. Di TikTok atau Instagram, kita sering melihat ibu-ibu yang terlibat dalam konten anak-anak mereka yang remaja atau sudah dewasa. Atau, ibu selebritas dan influencer yang membuat konten tentang ‘keibuan’nya. Seperti menyiapkan bekal estetik, outfit buat jemput anak, gaya hidup yang sehat, atau menunjukkan rutinitasnya yang tampak menyenangkan seperti belanja atau nongkrong dengan teman-teman di kafe. Mereka tampak punya kebebasan dan bisa menikmati hidup. Seakan menunjukkan kalau punya anak bukan halangan untuk tetap punya kehidupan sendiri.

Warganet biasanya menghujani mereka dengan pujian seperti, “Tubuhnya nggak keliatan seperti yang sudah pernah melahirkan.” Atau, “Hebat ya, anaknya lagi tantrum tapi mamanya tetap soft spoken.” Para ibu selebriti dan influencer ini menunjukkan usahanya yang keras berolahraga dan foto makanan sehatnya. Sementara ia beraktivitas, anaknya sedang bersama pengasuh. Ada banyak dukungan dan sumber daya bagi para ibu keren ini untuk tetap memiliki waktu yang menyenangkan bagi dirinya sendiri.

Standar Baru Keibuan di Era Digital

Namun, di balik tren ‘cool mom’, bukan tidak mungkin ada ibu dan anak yang resah dan ciut.

Bagi anak-anak, mereka bisa merasa minder jika ibu mereka tidak semenarik atau seseru ‘ibu-ibu keren’ yang sering muncul di layar. Mereka mungkin akan mempertanyakan alasan ibunya jarang hadir bersama mereka atau tidak bisa ngobrol akrab. Di sisi lain, para ibu juga merasa tertekan saat tidak bisa memenuhi standar ‘ibu keren’ ini. Jika tidak bisa hadir di setiap momen anak, rasanya seperti gagal membuat anak bahagia. Atau, kalau penampilan saat jemput anak terlihat ‘biasa saja’, ada perasaan cemas atau khawatir akan dihakimi. Padahal, banyak dari konten ini dibuat untuk kebutuhan monetisasi, bukan mencerminkan realitas sehari-hari.

Molly Tate melakukan penelitian dampak perbandingan sosial melalui media sosial terhadap kesehatan mental ibu. Ia menemukan, seiring dengan perkembangan internet dan meningkatnya mobilitas sosial, media sosial menjadi sumber utama bagi para ibu untuk mendapatkan saran pengasuhan anak. Namun, paparan terhadap gambaran ‘ibu yang ideal’ di media sosial sering kali memicu tekanan psikologis. 

Baca Juga: Marriage is Scary: Respons Langgengnya ‘Ibuisme’ di Era Kini

Teori Perbandingan Sosial menjelaskan ibu modern yang terjebak dalam perbandingan ke atas dengan sosok ‘InstaMums’ yang tampak sempurna. Ini kerap meningkatkan kecemasan. Platform seperti Facebook juga menjadi sarana bagi para ibu untuk mencari validasi eksternal dan membandingkan diri dengan norma keibuan online yang hegemonik. Sayangnya, penelitian tentang dampak media sosial terhadap kesehatan mental ibu masih terbatas, meskipun relevansinya semakin mendesak di era digital ini.

Masalah-masalah ini tidaklah sepele, meskipun sering dianggap remeh. Ini mencerminkan tekanan besar yang dihadapi ibu modern: dari mencari sekolah ideal di tengah kurangnya fasilitas hingga memenuhi standar pengasuhan yang sempurna dengan mengikuti kelas bayi, membaca buku parenting, dan menjaga lingkungan steril untuk anak. 

Kritik Feminisme terhadap ‘Ibu Ideal’

Konsep keibuan ideal sebenarnya bukan hal baru. Judith Warner dalam bukunya Perfect Madness: Motherhood in the Age of Anxiety menjelaskan dalam kehidupan kelas menengah ke atas, keibuan kini menuntut keterlibatan penuh waktu. Ibu harus selalu hadir, mulai dari mengatur jadwal bayi hingga mendampingi kegiatan anak yang lebih besar. Mereka kebanyakan tidak mau mengikuti pola asuh lama—mungkin dari ibu atau neneknya, yang kaku atau disiplin. Tentu saja mereka memiliki akses terhadap pengetahuan, para ahli dan profesional dalam mengasuh anak.

Namun, cita-cita ini sulit dicapai, apa lagi tanpa dukungan kebijakan negara yang memadai untuk keluarga. Standar ini tidak hanya melelahkan para ibu, tapi juga berdampak pada anak-anak. Misalnya, mereka yang terlalu dimanjakan sering kesulitan beradaptasi di lingkungan sosial. Anak-anak yang lebih besar juga menghadapi stres dan kecemasan akibat ekspektasi yang berlebihan.

Jauh sebelum istilah ‘cool mom’, Betty Friedan telah membuat istilah ‘feminine mystique’. Media massa menjadi aktor utama dalam menyebarkan norma ini. Media sering menawarkan citra ibu ideal: selalu mengutamakan anak, sabar, penuh perhatian, dan tak pernah lelah. Citra yang sulit diwujudkan dan penuh tekanan. Sementara itu, ayah sering dipuji atas kontribusi kecil dalam pengasuhan, misalnya mengingat nama dokter anaknya. Namun ibu yang tidak melakukannya akan dianggap pendosa besar. Kemudian setelah itu ada istilah ‘new momism’ sebagai istilah misogini yang lahir tentang citra ideal ibu baru, untuk mengkritik ibu-ibu yang cerewet dan terlalu protektif.

Baca Juga: “Please Look After Mom”, Ternyata Kita Tidak Terlalu Dekat Dengan Ibu

Ibu rela mencurahkan waktu, perhatian, dan sumber daya mereka meskipun hal ini tidak selaras dengan keadaan ekonomi. Lebih jauh, norma pengasuhan ini berkembang sebagai adaptasi terhadap tekanan budaya yang terus berubah.

Banyak ibu merasa kesulitan karena kekurangan waktu untuk menyelesaikan semua tuntutan yang ada. Mereka juga diharapkan selalu memahami dunia dari sudut pandang anak, menempatkan kebutuhan anak di atas segalanya. Seperti yang dialami teman saya, yang selalu merasa bersalah ketika terlambat menjemput anak dan melihat anaknya duduk menunggu sendirian. Namun akhirnya dia menerima keadaan dan memberi pengertian pada anaknya bahwa ia bisa terlambat karena masih rapat dan memberi saran agar anaknya mencari kegiatan sambil menunggu.

Para ibu tidak harus menanggung beban kesempurnaan. Ibu adalah individu yang pasti akan melakukan kesalahan, membutuhkan bantuan, dan tidak berkewajiban melakukan semuanya dengan mengorbankan kesehatan mental atau fisik. Persepsi umum kita tentang peran sebagai ibu sebagai tindakan yang sakral dan penuh pengorbanan membuat para ibu sulit untuk keluar dari perasaan yang sudah tertanam dalam diri mereka, bahwa mereka tidak boleh memikirkan hal lain selain anak setiap saat.

Ini Ketimpangan Kelas, Tak Semua Harus Jadi ‘Cool Mom

Konsep ‘cool mom’ sering dianggap ideal, tapi kita juga harus ingat bahwa keibuan hadir dalam berbagai bentuk. Tidak semua ibu punya kemewahan waktu atau sumber daya untuk terlihat “keren”. Ada ibu single parent yang bekerja keras demi anak-anaknya. Ada yang rela bekerja di luar negeri dan menahan rindu. Juga ada yang tinggal di lingkungan yang rawan atau sedang berjuang dalam konflik hak asuh. Mengidealkan “cool mom” berarti mengabaikan perjuangan ibu-ibu ini.

Misalnya, kasus viral di Medan tentang ibu yang marah kepada guru karena anaknya dihukum duduk di lantai akibat belum bayar SPP. Alih-alih fokus pada keberanian ibu membela hak anaknya, masyarakat malah mempermasalahkan penampilan yang terlihat seperti orang yang mampu membayar SPP. “Tidak bisa bayar SPP, tapi rambut di-smoothing, alisnya on point, dan hpnya bagus,” komentar warganet. Ini menunjukkan betapa masyarakat memiliki ekspektasi tertentu tentang penampilan seorang ibu yang “seharusnya”, terutama jika ia berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. 

Konsep “cool mom” sering diasosiasikan dengan ibu yang modern dan stylish. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat cepat mengkritik jika seorang ibu tampak terlalu “mengutamakan gaya” dibandingkan tanggung jawabnya. 

Baca Juga: Film ‘Mothers’ Instinct’ Peliknya Persahabatan Perempuan dan Kehidupan Ibu Rumah Tangga

Tidakkah ini justru memperlihatkan bias kelas kita? Mengapa jadi ibu dianggap harus ‘gaul’ untuk terlihat keren, tapi ibu dari kelas ekonomi bawah tidak boleh menjaga penampilan tanpa dihakimi?

Pengalaman menjadi seorang ibu berbeda-beda dan tidak selalu dianggap menyakitkan atau penuh rasa bersalah bagi semua orang. Namun fakta bahwa kita mengharapkan para ibu untuk menyesuaikan diri dengan konsep pengasuhan berdasarkan gender yang semakin tinggi standarnya, membuat hal itu menjadi beban bagi para ibu. Terutama ketika ibu sedang mencoba untuk membiasakan diri dengan rutinitas baru, perubahan fisik, fluktuasi hormon, dan beban emosional yang berlebihan.

Membagi beban pengasuhan dan tugas-tugas rumah tangga dengan pasangan atau orang lain membantu mengurangi kemungkinan jatuh ke dalam kerentanan rasa bersalah karena pekerjaan dibagi dan memberi ruang bagi ibu baik dengan anak maupun dengan dirinya sendiri.

Mungkin ini saatnya kita berhenti memaksakan standar yang tidak realistis dan mulai menerima bahwa keibuan itu beragam. Tidak semua ibu harus jadi “cool mom”. Jika ada perlombaan menjadi ibu terbaik, maka semuanya pasti kalah. 

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!