Perempuan LGBT

Polemik LGBT, Menuntut Negara Beri Rekognisi dan Pemenuhan HAM

Penolakan dan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia terjadi secara sistemik dan struktural. Menyalahi prinsio-prinsip HAM.

Sebagai negara yang menyebut diri menjunjung konstitusi dan hak asasi manusia (HAM), Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar untuk mengakui dan melindungi semua masyarakatnya. Termasuk masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). 

Polemik LGBT dan isu keragaman gender dan seksualitas masih pelik. Penolakan atas keberagaman itu pun sarat dengan kekerasan. Ini menimbulkan perasaan takut dan tidak aman, seperti yang terjadi terhadap teman saya. Dia mengalami diskriminasi karena memiliki ekspresi gender feminin yang dianggap berbeda dengan jenis kelaminnya sebagai seorang laki-laki. Kejadian seperti ini membuat dia merasa takut dan khawatir akan tindakan-tindakan yang bisa orang-orang lakukan terhadapnya.

Tentu, teman saya bukan satu-satunya. Stigma dan diskriminasi terhadap LGBT bukan hanya terjadi di antara sesama rakyat. Melalui berbagai kebijakan publik dan pernyataan para pejabat, kekerasan terus terjadi dan diterapkan secara sistemik dan struktural. Ketika negara seharusnya melindungi dan memberikan keamanan bagi rakyat, kita masih berkutat dengan diskriminasi terhadap kelompok rentan. Sekadar pengakuan atas keragaman identitas gender dan seksual pun amat sulit rasanya diraih.

Mengenal LGBT, Keragaman Identitas Gender dan Seksualitas

Istilah LGBT digunakan untuk merujuk kepada sekelompok individu yang memiliki orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda dengan heteroseksual. Sistem bread-gender yang diciptakan oleh Sam Killermann menunjukkan bahwa identitas seksual, ketertarikan seksual, ekspresi seksual, dan jenis kelamin seseorang adalah dimensi yang terpisah sebagai bagian dari individu (Lewis-lles, 2023).

Sementara itu, identitas gender adalah cara orang untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan dari mereka dalam batasan gender tertentu. Kebanyakan orang mengidentifikasikan gender mereka berdasarkan jenis kelamin yang ditetapkan sejak lahir. Namun, ada juga yang mengubah jenis kelamin mereka dan mengidentifikasi identitas gender berdasarkan perubahan tersebut. Kita mengenalnya sebagai transgender. Identitas gender juga bisa berada di luar definisi biner laki-laki dan perempuan.

Ada pula ekspresi gender; suatu pengekspresian diri sesuai dengan identitas dirinya. Kita dapat mengekspresikan identitas gender melalui karakter fisik, seperti pakaian, gaya rambut, dan gaya bicara. Siapa pun bisa dapat memiliki karakteristik atau ekspresi feminin maupun maskulin, terlepas dari jenis kelaminnya sejak lahir.

Baca Juga: Shelter Berbasis Komunitas bagi Transpuan: Bekerja Tanpa Imbalan, Bahu-Membahu untuk Keberlanjutan

Bicara soal jenis kelamin, secara harfiah, ia berkaitan dengan organ biologis dan seksual sejak lahir. Jenis kelamin ini biasanya bersifat biner, perbedaan antara biologis laki-laki dan perempuan. Namun, cukup banyak individu yang lahir dengan jenis kelamin campuran, individu ini dikenal sebagai interseks. Selain itu, individu bisa mengubah jenis kelaminnya, misalnya mengubah penis yang dimiliki menjadi vagina. Proses ini kerap dilakukan individu yang menginginkan bukan hanya transisi gender, tetapi juga seksual.

Pembahasan mengenai LGBT serta keragaman identitas gender dan seksualitas juga mencakup aspek ketertarikan seksual. Pemaknaan ketertarikan seksual adalah rasa tertarik terhadap orang lain secara seksual, di samping ketertarikan romantis. Seseorang bisa merupakan heteroseksual (tertarik terhadap lawan jenis), homoseksual (tertarik sesama jenis), biseksual (tertarik kepada dua atau lebih jenis kelamin), aseksual (tidak memiliki ketertarikan seksual kepada siapa pun), dan sebagainya.

Memahami cakupan topik LGBT sangat penting untuk membangun kesadaran tentang keberagaman gender dan seksualitas. Kita hidup dalam sistem yang cenderung biner, terutama menyangkut dua hal tersebut, dan konstruksi biner itulah yang perlu dibongkar. Dengan demikian, kita dapat lebih memahami urgensi jaminan HAM bagi seluruh warga negara Indonesia, terutama kelompok rentan seperti LGBT.

Diskriminasi Struktural

Sayangnya, diskriminasi terhadap LGBT masih berlangsung. Selain pengalaman teman saya sendiri, diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT terjadi dalam bentuk lainnya dan dilanggengkan justru oleh pemerintah. Alhasil, mendambakan keamanan bagi kelompok rentan makin menjadi sesuatu yang riskan.

Secara struktural, pelanggaran terhadap LGBT marak terjadi di Indonesia. Seperti di Cawang, Jakarta. Pemprov DKI Jakarta pernah membubarkan kegiatan kelompok LGBT di Hutan Kota Cawang. Peristiwa ini membuat negara melakukan pembatasan kebebasan berekspresi LGBT.

Penolakan festival LGBT internasional yang sempat akan diadakan di Jakarta juga pernah terjadi. Agenda tersebut berkaitan dengan pertemuan aktivis LGBT se-ASEAN yang rencananya dilaksanakan pada Juli 2023 di Jakarta. Rupanya kegiatan tersebut mendapat penolakan dari anggota DPRD DKI Jakarta. Taufik Zoelkifli, anggota Fraksi PKS meminta kepada Pemprov DKI Jakarta untuk melarang kegiatan tersebut. Ia mengatakan bahwa LGBT, “Bukan bagian dari budaya Indonesia,” dan, “Tidak sesuai dengan Pancasila dan agama.”

Sayangnya, diskriminasi juga terjadi di ruang-ruang pendidikan. Seperti yang dilakukan dosen Unhas terhadap mahasiswa yang mengidentifikasi dirinya sebagai non-biner pada Agustus 2022. Dalam cuplikan video yang sempat viral kala itu, terlihat dosen itu mendesak mahasiswa agar memilih salah satu gender antara perempuan dan laki-laki.

Baca Juga: Stigma LGBT ‘Tidak Normal’ dan ‘Menyimpang’: Ini Narasi Dominan Heteronormatif, Tolak!

Kondisinya tidak lebih baik kini. Pada Kamis, 14 November 2024, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI, Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Laksdya TNI Hutabarat menyatakan bahwa isu LGBT merupakan ancaman negara dan menjadi prioritas isu nasional tahun 2025 di bidang sosial budaya. Kontan pernyataan tersebut akan semakin melanggengkan tindakan diskriminasi, persekusi, dan kekerasan terhadap kelompok individu LGBT.

Rekognisi Terhadap LGBT

Secara normatif, banyak aturan secara internasional dan nasional merekognisi isu LGBT. Misalnya, secara internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan merdeka, serta mempunyai martabat dan hak yang sama tanpa membedakan status dia sebagai seorang manusia. Selain itu, setiap individu dikaruniai akal dan hati nurani; hendaknya dia mempunyai kebebasan bergaul dengan satu sama lain dalam lingkungan persaudaraan.

Dalam pasal 3 DUHAM pun disebutkan, setiap orang berhak atas kehidupannya dalam bermasyarakat, mempunyai kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Dan pasal 5 DUHAM mengatakan tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam. Pun diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Atas dasar itu segala bentuk tindakan yang amoral dan nir-kemanusiaan harus dihilangkan.

Di Indonesia, HAM juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 28A sampai 28I. Hak asasi manusia dalam peraturan itu melingkupi hak untuk hidup, hak kemerdekaan, dan hak untuk tidak didiskriminasi. Pasal 28I pun mengatur hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 

Baca Juga: KBGO Terhadap LGBTQ+ di 2024: Mencari Ruang Digital Aman Bebas Diskriminasi

Adapun larangan secara tegas perihal diskriminasi tercantum pada pasal 28I, ayat 2. “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Sementara dalam pasal 71 UU No. 39 / 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan setiap individu masyarakat. Jangan dikurangi atau dirampas oleh siapa pun dan kapan pun.

Perspektif Biner dan Negara yang Mengabaikan Konstitusi

Memang, jika dilihat dari kebijakan di atas, telah ada pengakuan secara hukum terhadap LGBT. Tetapi, mispersepsi masyarakat terhadap LGBT muncul ketika gender dianggap hitam putih, sehingga LGBT dicap menyalahi konsepsi gender. Persepsi ini kemudian menjadikan individu LGBT didiskriminasi. Masyarakat melihat LGBT bukan sebagai ekspresi seksual dan ketertarikan seksualnya, melainkan semata-mata tentang jenis kelamin yang melekat pada seseorang dari lahir. Sehingga pandangan masyarakat hanya berfokus pada konteks biner: “Kalau tidak laki-laki, ya, harus perempuan.” Bahkan mengabaikan fakta bahwa ada individu yang terlahir sebagai interseks.

Kembali lagi: negara tidak dapat menjamin perlindungan, sekali pun undang-undang yang telah disebutkan mencakup hak keberagaman dalam pasal-pasalnya. Alih-alih, negara justru semakin mengabaikan jaminan perlindungan dan bertindak kian represif terhadap kelompok LGBT. Negara juga membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada diskriminasi terhadap LGBT. Ini menciptakan kognitif kolektif dalam lingkungan masyarakat yang penuh dengan sikap diskriminatif, intoleran, dan membatasi kelompok serta individu LGBT.

Baca Juga: Ragam Gender Dihajar Perda Diskriminatif dan Jadi Sasaran Elite di Tengah Pusaran Politik

Fakta di atas, dengan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan pembatasan terhadap LGBT, jelas bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional.Hak asasi manusia mengakui hak-hak LGBT sebagai manusia yang memiliki martabat, dan semestinya dihormati negara. HAM memiliki prinsip, yaitu martabat manusia, kesetaraan, dan nondiskriminasi. Maka, negara harus memperhatikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang telah menjadi pondasi dari asas demokrasi yang dianut oleh Indonesia.

Oleh karena itu, setiap individu berhak diperlakukan sebagai manusia tanpa memandang latar belakang, termasuk identitas dan ekspresi gender dan seksualitasnya. Sama seperti individu lain, LGBT mempunyai hak dalam ketertarikan seksual dan dalam memilih ekspresi seksual.

Apa pun orientasi seksual atau identitas gender seseorang, setiap individu mempunyai hak untuk diperlakukan secara setara dan adil.

Segala bentuk diskriminasi, persekusi dan larangan terhadap LGBT harus dihilangkan. Sebab, LGBT punya hak yang inheren dalam diri mereka untuk bebas dari diskriminasi. Tolak represi dan kekerasan karena bertentangan dengan martabat manusia.

Perbedaan orientasi seksual atau identitas gender pun tidak menjadikan bahwa orang tidak mendapatkan jaminan haknya sebagai manusia. Sebagaimana kita tidak berhak memberlakukan pembedaan antara manusia, ras, kedudukan, kekayaan, pandangan dan kepercayaan, perbedaan kualitas moral, sehat atau sakit, lahir belum lahir, normal atau tidak normal. “Semua itu tidak dapat mendasari pembedaan dalam penghormatan hak-hak asasi dia sebagai manusia” (Suseno, 1987). Hak asasi manusia merupakan hak universal yang berlaku bagi setiap individu manusia.

Setiap orang berhak untuk hidup tanpa diskriminasi dan kekerasan. Memperjuangkan hak asasi manusia harus dilakukan agar semua orang bisa hidup dengan kebebasan berekspresi.

LGBT pun bukan pelaku kriminal yang harus ditakuti. Yang harus ditakuti adalah ketika manusia menjadi juru bicara Tuhan untuk menilai orang.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Fajrin Ramdhani Gobel

Mahasiswa Sosiologi Agama dan Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulut
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!