Refleksi Feminisme dan Perlawanan Yang Manis Dalam Drakor When Life Gives You Tangerines

Drama Korea terbaru Netflix, When Life Gives You Tangerines, bukan sekadar drama romantis berlatar Jeju tahun 1950-an saja. Lebih dari itu, ia adalah perayaan keberanian perempuan untuk menulis sejarahnya sendiri, di tengah kekangan norma patriarkal, di balik sunyi laut, dan melalui bait-bait puisi yang tak sempat diterbitkan.

Dalam narasi yang tenang tapi menggugah, drama ini menyisipkan berbagai aspek feminisme yang relevan tak hanya bagi konteks Korea, tetapi juga untuk para perempuan di mana pun yang sedang berjuang mendapatkan ruang hidup yang utuh.

Ae-sun: Puisi sebagai Perlawanan

Karakter utama, Ae-sun, yang diperankan oleh artis Korea, IU, adalah seorang gadis muda yang berani bermimpi menjadi penyair di tengah masyarakat yang tak mengizinkan perempuan berpikir, apalagi menulis. 

Dalam tradisi patriarkal Jeju era 1950-an, impian Ae-sun dianggap hanya angan-angan kosong belaka. Namun melalui keberaniannya mengekspresikan pikiran, marah, rindu, dan luka lewat puisi, Ae-sun menjelma menjadi simbol feminis yang menolak dikungkung. Ia seakan meneruskan semangat tokoh fiksi feminis dari Virginia Woolf, Clarissa Dalloway—perempuan yang menemukan kebebasannya dalam bahasa.

Satjipto Rahardjo dalam teori hukum progresif-nya pernah menyatakan bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari “ketegangan antara harapan dan kenyataan.” Dalam konteks ini, Ae-sun hadir sebagai tegangan itu sendiri, yaitu antara idealisme pribadi dan realitas sosial yang menindas. Ia tidak tunduk, tidak menyerah. Ia tetap menulis.

Haenyeo: Manifestasi Tubuh Perempuan, Laut, dan Ekonomi

Tak hanya Ae-sun, drama When Life Gives You Tangerines juga menyoroti ibu dan komunitas haenyeo, yang artinya adalah penyelam perempuan tradisional Jeju. Profesi tersebut sejatinya menantang struktur gender secara langsung. Tanpa bantuan laki-laki, mereka menyelam hingga dasar laut untuk mencari nafkah. Dalam tiap nafas yang mereka tahan di bawah laut, tersimpan semangat kemandirian dan solidaritas. Haenyeo menjadi metafora kuat tentang bagaimana tubuh perempuan sendiri bisa menjadi alat resistensi terhadap struktur sosial yang tak adil.

Baca Juga: Antara Body Dysphoria dan Vaginoplasty, Pengetahuan Tubuh Perempuan Juga Penting untuk Transpuan

Haenyeo telah menjadi bagian dari budaya Jeju sejak ratusan tahun lalu, dengan catatan tertua berasal dari abad ke-17. Berbeda dari pekerjaan perempuan pada masa itu yang terbatas di ruang domestik, para haenyeo justru menguasai ruang publik, laut, yang keras dan berbahaya. Mereka bekerja tanpa alat bantu menyelam modern, dan menghadapi kondisi alam ekstrem demi menopang ekonomi keluarga. Tradisi ini bahkan membentuk sistem matrilineal tersendiri di Jeju, di mana perempuan menjadi tulang punggung keluarga dan komunitas. Haenyeo bukan sekadar pekerja, tetapi juga pewaris budaya, penentu arah ekonomi, dan penjaga warisan ekologis.

Lebih dari sekadar keunikan budaya, haenyeo dalam drama ini memperlihatkan bagaimana perempuan telah menjadi subjek aktif ekonomi lokal, jauh sebelum wacana kesetaraan gender masuk ke ruang-ruang akademik atau negara. Mereka adalah feminist in action.

Transisi Generasi: Dari Terbatas ke Terbuka

Yang juga menarik adalah bagaimana When Life Gives You Tangerines menyajikan lintas generasi yang progresif. Ae-sun yang terbatas pada impian tak tercapai menjadi batu pijakan bagi putrinya, Geum-myeong, untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Nasional Seoul. Perjalanan ini menjadi representasi nyata dari gagasan emancipatory intergenerational continuity, yaitu dimana perjuangan perempuan masa lalu menjadi modal bagi kemajuan perempuan masa kini.

Baca Juga: Antara Kartini, Snouck Hurgronje, dan Etika Kebangsaan yang Bebas dari Patriarki

Geum-myeong tidak lagi harus bernegosiasi dengan izin ayah atau restu masyarakat untuk belajar. Namun, drama ini juga tak luput menunjukkan bahwa kebebasan generasi baru tetap memerlukan jejak-jejak perjuangan yang sudah lebih dulu dilalui. Salah satu adegan menyentuh dalam serial ini menyoroti bagaimana anak sulung perempuan seperti Geum-myeong sering kali tidak dianggap sebagai “berkat” yang lengkap dalam keluarga, sampai sang ibu memiliki anak laki-laki. 

Narasi ini merefleksikan nilai-nilai patriarkal yang juga masih hidup dalam budaya Asia, termasuk di Indonesia, di mana kelahiran anak laki-laki kerap dianggap sebagai simbol keberhasilan seorang ibu. Namun dalam drama ini, pandangan itu dipatahkan secara halus, Geum-myeong justru menjadi simbol harapan, pendidikan, dan masa depan yang lebih cerah.

Perempuan sebagai Subjek Utama, Bukan Pelengkap

Salah satu kekuatan feminis drama ini adalah keberaniannya untuk menempatkan perempuan sebagai subjek cerita, bukan pelengkap laki-laki. Ae-sun bukan tokoh yang didefinisikan oleh siapa yang mencintainya, tapi oleh apa yang ia perjuangkan. Bahkan hubungan cintanya dengan Gwan-Sik (Park Bo-gum) tidak pernah mendominasi narasinya, tetapi hadir sebagai bagian dari perjalanan personal yang lebih besar.

Pendekatan ini, menurut saya sebagai orang hukum, sejalan dengan pemikiran Eugen Ehrlich tentang living law, bahwa hukum (dan dalam konteks ini, narasi) harus berpijak pada kehidupan nyata, bukan sekadar norma legal atau budaya baku. 

Dalam drama ini, realitas emosi, keputusan, dan relasi perempuan menjadi pusat moralitas baru yang lebih hidup dan manusiawi. Yang juga patut dicatat dalam konteks feminisme adalah bagaimana drama ini mematahkan stereotip yang kerap membebani perempuan dalam institusi keluarga.

Baca Juga: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Dalam banyak masyarakat patriarkal, istri sering kali dijadikan pihak yang disalahkan atas konflik atau kegagalan rumah tangga, terlepas dari dinamika yang sebenarnya terjadi. Namun dalam salah satu adegan penting di drama ini, diperlihatkan bahwa justru sang istri yang berdiri tegak dan berkata untuk suaminya, yang menjadi sebuah simbol bahwa perempuan bisa menjadi pelindung dan penjaga martabat keluarga, asal cinta dan penghargaan dari suami hadir sepenuhnya. Adegan ini bukan hanya membalikkan narasi dominan tentang peran istri, tetapi juga menegaskan bahwa relasi kesalingan yang setara adalah fondasi sejati dari kehidupan rumah tangga.

Lebih jauh, drama ini juga memberikan penghormatan terhadap peran seorang ibu rumah tangga yang kerap diremehkan dalam masyarakat modern. 

Ae-sun menunjukkan bagaimana kasih seorang ibu tidak hanya dalam bentuk fisik. Tetapi juga dalam pengorbanan mimpi pribadi demi membukakan jalan bagi impian anak-anaknya. Ia rela menyimpan luka dan membungkam cita-citanya sendiri agar anak-anaknya mendapatkan masa depan yang lebih baik. 

Penggambaran ini penting untuk menegaskan bahwa ibu rumah tangga bukanlah peran pasif. Melainkan fondasi emosional, moral, dan bahkan politik dari unit keluarga. Drama ini menempatkan mereka sebagai tokoh utama yang dengan penuh kasih membentuk arah hidup generasi selanjutnya.

Refleksi pada Perlawanan Perempuan Indonesia terhadap Adat Patriarki

Kisah Ae-sun dalam drama When Life Gives You Tangerines seakan bersuara dalam satu nafas dengan perjuangan banyak perempuan Indonesia yang juga hidup dalam masyarakat patriarkal yang dilanggengkan oleh sistem adat. 

Di berbagai daerah di Indonesia, sistem adat masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Banyak yang tidak diberikan kebebasan memilih pasangan. Ada juga yang tidak diizinkan sekolah tinggi, atau dipaksa masuk ke dalam pernikahan dini atas nama tradisi.

Namun, sebagaimana Ae-sun menulis puisi dalam sunyi, perempuan Indonesia mulai menulis ulang narasi mereka sendiri. Melalui pendidikan, mereka meruntuhkan sekat-sekat domestik. Melalui wirausaha, mereka menjadi mandiri secara ekonomi. Selain itu, melalui media sosial dan organisasi masyarakat sipil, mereka menantang narasi lama yang membatasi suara dan tubuh mereka.

Baca Juga: Apa Itu Patriarki? Kamu Harus Pelajari Makna Sebenarnya 

Contoh nyata bisa dilihat dari perjuangan perempuan saat ini yang sudah menolak kawin paksa hingga tetap bersuara meskipun dibungkam dan dibatasi. Bahkan di tengah hiruk pikuk regulasi-regulasi baru yang justru semakin mempersempit ruang gerak perempuan untuk berekspresi. Seperti contoh dari mulai disahkannya UU TNI, banyak perempuan yang turun ke jalan untuk menyerukan penolakannya. Seruan tersebut salah satunya sebagai penolakan keras terhadap kembalinya Orba, yang mau tidak mau akan berdampak langsung bagi kebebasan perempuan Indonesia. 

Aksi tersebut merupakan manifestasi dari teori-teori feminisme yang hidup dalam praktik. Mereka adalah wajah dari feminisme poskolonial, yang menyadari bahwa perjuangan tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya dan lokalitas. Perempuan Indonesia tidak menuntut untuk menjadi seperti laki-laki, melainkan ingin dihargai dengan kodrat, sejarah, dan martabatnya sendiri.

Kesimpulan: Puisi Ae-sun, Perempuan Indonesia, dan Masa Depan

When Life Gives You Tangerines adalah drama yang membisikkan harapan dengan lembut, tapi dalam. 

Di balik visual yang puitis dan sinematografi yang indah, tersembunyi gagasan yang radikal: bahwa perempuan berhak menentukan hidupnya sendiri. Bahwa suara mereka tak boleh dibungkam oleh tradisi yang tak lagi relevan. Seperti Ae-sun yang mengubah luka menjadi puisi, perempuan Indonesia hari ini mengubah penindasan menjadi kekuatan. 

Dalam puisi, dalam hukum, dalam tubuh, dan dalam tindakan sehari-hari. Karena setiap tangerine yang diberikan kehidupan, sekalipun asam dan getir, bisa jadi awal dari sebuah kisah perlawanan yang manis.

(Editor: Luviana)

(Sumber Gambar: My Drama List)

Stella Hita Arawinda

Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!