“Gak Usah Sekolah di Sini!” Bullying Akibatkan Trauma Anak dan Luka Seluruh Keluarga

Bullying atau perundungan tak hanya berdampak pada anak yang mengalami. Namun juga pada orang tua dan anggota keluarga dari korban. Mengenali sejak dini indikasi perundungan yang dialami anak jadi penting karena anak tak selalu menceritakan pada orang tuanya.

Peringatan pemicu: isi dari artikel ini mengandung kekerasan verbal dan dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas bullying atau perundungan.

Anak perempuan itu menangis sambil menutup wajah dengan kerudung pink-nya, tidak berani menatap saya. Ia hanya duduk menunduk mendekap kakinya. Tersedu.

“Bu, manusia kayak aku gak pantes hidup di dunia ini ya? Temen-temenku bilang ke aku, ‘Kamu mati aja sana! Ga usah sekolah di sini!’ Terus aku didorong sama mereka.”

Tuturnya dengan suara gemetar. Bocah kelas 6 SD itu terisak mengungkapkan isi hatinya. Hari itu, tiba-tiba pikirannya kembali terseret pada peristiwa yang menyakitkan, perlakuan bullying yang menimpanya di sekolah.

Sebut saja Ara (nama samaran). Ia tinggal dalam keluarga dengan gaya parenting yang cenderung memiliki basis disiplin lebih ketat dibanding anak-anak pada umumnya saat ini. Berdasarkan cerita ibunya, cara didik yang mereka terapkan ini dilatarbelakangi oleh dirinya sendiri yang sebelumnya mendapat pola asuh yang sangat keras dari orang tuanya. Hal ini kemudian berdampak pada praktik disiplin di dalam lingkaran keluarganya.

Ara tidak diberi handphone secara cuma-cuma oleh orang tuanya seperti teman-temannya dan sangat dibatasi serta diawasi. Karena itu Ara tidak bisa join grup WhatsApp kelasnya. Ia lebih sering bermain dengan mainan yang ia miliki di rumahnya. Akibat dari pembatasan tersebut, Ara tidak memahami hal-hal yang sedang tren di circle pertemanan kelasnya.

Baca juga: Webtoon ‘The Real Lesson’ dan Bagaimana Mengatasi Bullying di Sekolah

Selain itu, yang membuat Ara makin dikucilkan oleh teman-temannya adalah terkadang ia kesulitan menyusun kata-kata untuk menyampaikan pikiran atau perasaannya saat berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Semua ini pada akhirnya menjadi senjata bagi lingkungan sekitarnya untuk mencaci maki, mengejek, mengasingkan, bahkan melakukan kekerasan fisik seperti mendorong. Ara mengalami bullying atau perundungan karena dianggap berbeda.

Tragisnya, Ara sudah mengalami bullying sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD. Namun orang tuanya baru mulai menyadari masalah ini saat Ara sudah berada di kelas 6 SD. Sebelumnya, orang tuanya mengira bahwa perubahan sikap anaknya murni kesalahan dari anaknya sendiri, bukan karena dampak dari perilaku orang lain.

“Saya pikir emang anaknya aja yang nakal mbak, saya juga tidak mau suuzan menyalahkan anak orang lain, takutnya kalau-kalau dia yang mempengaruhi teman-temannya, atau bisa aja dianya yang salah pergaulan,” kata sang ibu.

“Makanya, saya malah lebih sering marah ke dia kalau dia berantem marah-marah (ke) adiknya. Jadi memang anaknya sejak kejadian itu, marah-marah atau emosinya tambah lebih parah saat pulang dari sekolah. Dia mulai berani berkata kotor ke bapaknya, mukul adiknya, bentak-bentak saya,” tambahnya.

Hal ini membuat orang tua Ara merasa bersalah karena kesibukan pekerjaan menjadikan mereka kurang memperhatikan sang anak. Ditambah sikap percaya begitu saja bahwa sekolah tempat yang aman.

“Kami sebagai orang tua merasa gagal mbak. Bukan karena tidak sayang dan cinta anak, tetapi karena terlalu percaya bahwa sekolah itu aman. Kami terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan kurang memperhatikan kegiatan dan perkembangan harian anak-anak saya.”

Tak Hanya Anak yang Alami Trauma

Sejak Ara berubah, rumah mereka tidak lagi sama. Ara dan adiknya menjadi anak yang “people pleaser”, selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain. Ara melakukan hal ini kepada orang-orang di sekitarnya semata-mata supaya ia bisa diterima oleh mereka sehingga tidak lagi ditindas. Sedangkan adiknya, ia menjadi people pleaser bukan kepada dunia luar, tetapi kepada kakaknya, Ara. Ia berusaha menuruti semua keinginan kakaknya, karena jika tidak dituruti, ia takut “dijahati” oleh kakaknya.

Orang tua mereka juga perlahan berubah. Ibu mereka menjadi lebih mudah marah, mudah lelah. Ia menanggung emosi yang terus meledak di dalam rumah, hingga tubuhnya pun ikut bicara. Mulai dari sesak napas, asam lambung naik, hingga tekanan darah sering melonjak drastis.

Sampai akhirnya, ia sendiri butuh pertolongan. Bukan hanya sebagai ibu, tetapi sebagai manusia yang juga hancur. Lalu ayahnya? Ia berusaha keras untuk bertahan tetap tenang, meski dalam hati dipenuhi amarah, tetapi terkadang amarah itu pecah juga.

Sayangnya, tidak banyak yang bisa dikulik soal respons sekolah terhadap kasus yang melanda Ara. Entah karena memang abai, atau tidak ada sistem yang memadai dari pihak sekolah. Hingga pada akhirnya, setelah ada tindak lanjut dari orang tuanya, pihak sekolah mengizinkan Ara untuk didampingi psikolog. Ini dilakukan mengingat emosi Ara belum stabil akibat trauma atas  lukanya yang sewaktu-waktu bisa kambuh bahkan saat proses belajar mengajar.

Ara lebih sering menghabiskan waktu istirahatnya dengan membaca buku di perpustakaan. Meski ia terlihat dapat tertawa haha-hihi di sekolah, tetapi ia menangis saat sampai rumah. Ingatan suram itu mengendap dalam pikirannya, melukai jiwanya, dan menghancurkan kenangan indah di masa sekolah dasarnya. Tak sampai di situ, luka Ara bukan hanya miliknya seorang. Luka itu perlahan juga menyebar, menular ke seluruh anggota keluarganya.

Baca juga: Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah

Perlu kita sadari bahwa kasus seperti yang terjadi pada Ara bukan hanya sebuah cerita sedih seorang anak, tapi juga menjadi alarm keras bagi kita semua, terkhusus kepada para orang tua, bahwa bullying bukan hanya soal anak yang dibully. Ia menjalar, menjadi luka satu keluarga, bahkan bisa menjadi lingkaran kekerasan baru jika tidak segera diputus.

Maka, penting bagi setiap orang tua untuk hadir secara sadar dalam kehidupan anak-anak mereka. Bukan hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara emosional. Seperti mau mendengar, peka terhadap perubahan sekecil apapun, dan tidak menormalisasi amarah anak sebagai “fase yang wajar”.

Perlu diketahui bahwa, memang anak-anak tidak selalu bisa menjelaskan dengan bahasa yang dewasa, tetapi perilaku mereka adalah cermin dari pengalaman yang mereka alami. Jangan sampai anak kita menjadi pelaku bullying karena merasa superior, atau justru menjadi korban karena kita tidak terlalu peduli.

Pendidikan karakter tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi dimulai dari rumah. Dimulai dari cara kita memperlakukan anak-anak, mendidik mereka dengan cinta, dan mengajari mereka empati, bukan hanya prestasi.

Tips Buat Orang Tua

Bisa jadi anak-anak tidak memberi tahu orang tuanya atas perundungan yang mereka alami. Namun ada tanda-tanda pada diri anak yang dapat diperhatikan yang mungkin mengindikasikan terjadinya perundungan.

Pada dasarnya orang tualah yang paling mengenal anaknya sehingga Anda akan menyadari setiap perubahan pada perilaku mereka. Begitu juga ketika ada sesuatu yang tampak salah. Anti-Bullying Alliance, koalisi dari individu dan organisasi yang bekerja melawan perundungan berbasis di Inggris mengidentifikasi beberapa jenis perilaku yang mungkin merupakan indikasi perundungan, seperti:

  • Keengganan untuk pergi ke sekolah.
  • Sakit perut atau sakit kepala yang tidak dapat dijelaskan.
  • Menunjukkan tanda-tanda kesusahan pada Minggu malam atau di akhir liburan sekolah.
  • Menjadi lebih pendiam atau lebih menarik diri dari biasanya, atau “menunjukkan perilaku” dan lebih sering membuat masalah.
  • Pakaian robek atau barang-barang hilang.
  • Tampak kesal setelah menggunakan ponsel, tablet, komputer, dll.
  • Ingin berangkat sekolah lebih awal dari yang seharusnya atau pulang terlambat.
  • Anda mungkin juga mendapati bahwa tidur mereka terganggu, atau mereka menunjukkan tanda-tanda kesedihan atau kecemasan lainnya.

Orang tua perlu segera mencari bantuan kalau anak mengalami cedera serius atau berisiko mengalami cedera serius, baik fisik maupun mental. Karena ini berkaitan dengan masalah perlindungan. Anda bisa menghubungi hotline pengada layanan atau lembaga perlindungan anak yang terdekat dengan tempat tinggal. 

Baca juga: Kesehatan Mental: Bullying Bisa Sebabkan Depresi Fatal Pada Anak

Kalau anak Anda pernah menjadi korban perilaku berprasangka buruk berdasarkan suku/etnis atau keyakinan, disabilitas, gender, jenis kelamin, atau seksualitasnya, meski itu hanya kejadian sekali saja dan Anda tidak menganggapnya sebagai perundungan, penting untuk memberi tahu pihak sekolah.  Pasalnya hal itu mungkin mengarah pada masalah yang lebih luas di sekolah yang perlu ditangani.

Lembaga yang bisa dihubungi untuk melaporkan kasus perundungan terhadap anak. Di tingkat nasional:

  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kanal yang disediakan yaitu: WhatsApp: 081-1177-2273. Telepon: (021) 3190 1556. Email: pengaduan@kemdikbud.go.id
  • Layanan SAPA 129 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Nomor layanan yang disediakan adalah 08111-129-129. 
  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Layanan pengaduan melalui website: https://lapor.go.id.

Di tingkat daerah:

  • Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di daerah Anda.
  • Pihak sekolah jika perundungan terjadi di lingkungan sekolah. 

(Editor: Anita Dhewy)

Kuni ‘Izza Millati

Mahasiswa Sosiologi Agama yang menaruh minat dan perhatian terhadap dinamika keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!