F adalah seorang siswi kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Ketika usia F baru menginjak 14 tahun, orangtuanya mendapati bahwa dirinya sudah memiliki pacar. Kekhawatiran akan risiko kehamilan yang tidak diinginkan akibat hubungan dengan pacarnya membuat orang tua F memutuskan bahwa sang anak harus segera dinikahkan. Padahal, sebenarnya F masih ingin melanjutkan sekolah dan belum mau menikah.
Pendamping dari organisasi perempuan di Makassar sudah berupaya memberikan penjelasan kepada orang tua dan keluarga F. Mereka berusaha menyampaikan bahwa sebagai anak, F masih sangat muda dan ingin sekolah serta belum siap untuk menikah. Tetapi seluruh keluarga F tetap menentang. Mereka khawatir jika F tidak dinikahkan, hubungan F dan kekasihnya akan mendatangkan siri (rasa malu yang mencoreng harga diri dan kehormatan) bagi keluarga. Sehingga keluarga tetap memutuskan F harus dinikahkan, tanpa mempertimbangkan kondisi mental dan kesiapan sang anak.
Satu tahun kemudian, F hamil dan dia tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya. Anak perempuan tersebut baru diketahui hamil anak kembar, ketika usia kandungannya telah berusia sekitar tujuh bulan. Baru setelah itu, dia rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter. Namun, saat waktu melahirkan tiba, kedua anaknya terpaksa dilahirkan secara prematur karena dokter mengatakan organ reproduksi F memang belum kuat untuk persalinan.
Baca Juga: Dear Anak Muda, Gak Usah FOMO dengan Pernikahan Anak ala Tiktoker Gus Zizan
F mengalami banyak tekanan karena mentalnya belum siap menjadi seorang ibu dan istri. Sering bertengkar membuat F memutuskan untuk bercerai dan berpisah dengan suaminya.
Kisah F hanya satu dari sekian banyak kasus perkawinan anak di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Termasuk Makassar sebagai ibukota provinsi tersebut. Budaya perkawinan anak banyak dipengaruhi norma agama, norma sosial, serta adat masyarakat. Selain karena faktor ekonomi, juga untuk menjaga martabat dan kehormatan keluarga.
Kasus yang dialami F juga adalah cerminan dari lemahnya perlindungan anak perempuan dari situasi pernikahan anak di Sulawesi Selatan. Banyak remaja perempuan seperti F tidak mengetahui bahwa mereka berhak untuk menolak untuk dikawinkan ketika belum siap. Kerentanan anak, terutama anak perempuan, dalam praktik perkawinan anak ini seharusnya menjadi alarm urgensi perlindungan bagi mereka. Untuk itu, butuh kerja sama antara pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Tingginya Angka Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Selatan masih menghadapi persoalan maraknya perkawinan anak. Data menunjukkan pada tahun 2020, angka perkawinan anak di Sulawesi Selatan mencapai 11,25 persen. Ini lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata nasional sebesar 10,35 persen. Kabupaten dengan angka tertinggi perkawinan anak di antaranya Kabupaten Wajo 24,04 persen, Kabupaten Pangkep 26,80 persen, Kabupaten Barru 21,11 persen, Tana Toraja 19,49 persen, Kabupaten Soppeng 17,38 persen, dan Selayar 14, 47 persen.
Sementara pada tahun 2021, tercatat ada 3.713 kasus pernikahan anak di Sulawesi Selatan. 3.183 di antaranya dialami perempuan dan 530 laki-laki. Kabupaten Wajo mencatat jumlah tertinggi dengan 707 kasus.
Pengurus Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulawesi Selatan, Ita Karen, menjelaskan beberapa faktor penyebabnya. Salah satunya, kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan anak perempuan mereka masih sangat kuat. Orang tua sering merasa resah ketika melihat anak perempuannya pulang larut malam. Apa lagi jika mereka melihat anaknya dibonceng lelaki yang berbeda-beda ke rumah. Hal ini dinilai bisa menimbulkan aib atau kehamilan yang tidak diinginkan.
Beberapa orang tua pun memilih untuk menikahkan anak perempuan mereka, yang masih tergolong usia anak. Sayangnya, keputusan ini sering diambil tanpa mempertimbangkan kesiapan mental, emosional, dan finansial sang anak.
Baca Juga: Mengapa Perkawinan Anak Terus Terjadi dan Bagaimana Mewujudkan Masyarakat Inklusif?
Dalam beberapa program advokasinya terkait pencegahan perkawinan anak di Makassar dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Ita sering menyampaikan kepada orang tua anak, bahwa kondisinya saat ini sudah jauh berbeda dengan 20 tahun lalu. Bukan hal yang tabu apabila seorang anak perempuan pulang malam dan dibonceng oleh laki laki yang merupakan teman sekolah atau teman belajarnya. Namun jika dia sampaikan itu, orang tua dan keluarga menjawab hal tersebut merupakan urusan keluarga dan mereka mengikuti norma agama yang mereka anut.
“Banyak orang tua yang masih memegang prinsip dan norma agama. Bahwa anak perempuan tidak boleh pulang malam atau tidak bisa menjaga diri ketika menjalin hubungan dengan laki laki. Sehingga budaya perkawinan anak masih kuat dipraktekkan di Sulawesi Selatan,” kata Ita Karen kepada Konde.co, Sabtu (19/4/2025). “Itu bisa diibaratkan seperti tembok yang masih sangat sulit dirobohkan. Butuh proses yang cukup panjang untuk melakukan advokasi.” Kondisi tersebut berkontribusi pada masih tingginya angka perkawinan anak di Sulawesi Selatan.
Angka perkawinan anak di Sulawesi Selatan menunjukkan tren menurun pada tiga tahun terakhir. Meski begitu, prakteknya tetap banyak di daerah. Tercatat ada sebanyak 556 kasus perkawinan anak hingga Juli 2024 di Sulawesi Selatan.
Maraknya perkawinan anak didorong oleh faktor tekanan ekonomi dan sosial. Selain itu, pemahaman yang masih rendah akan risiko perkawinan anak, serta kekhawatiran orang tua menjadi faktor lainnya. Padahal, menikahkan anak tanpa persiapan yang matang justru membuka risiko baru. Seperti putus sekolah, kemiskinan struktural, risiko kesehatan bagi anak perempuan, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Baca Juga: Anak Saya Dipaksa Menikah Tanpa Seizin Saya, Apakah Pernikahannya Bisa Dibatalkan?
Kekhawatiran tersebut, kata Ita, perlu disikapi dengan pendekatan yang sehat, khususnya antara orang tua dan anak perempuan. Salah satunya, dengan memantau perkembangan anak. Serta mendidik anak tentang batasan dalam pergaulan, membangun rasa percaya, dan memberikan ruang bagi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
“Kita sudah harus setara dan tidak ada lagi kondisi bahwa orang tua yang menentukan segalanya. Orang tua sudah harus menjadikan anak perempuan sebagai teman, sehingga dia menjadi nyaman untuk berkomunikasi, dan tidak mencari pelarian diluar. Jadi anak menganggap bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk melakukan apapun,” katanya.
Dampak Negatif Perkawinan Anak
Perkawinan anak masih menyisakan beberapa tantangan di Sulawesi Selatan. Di satu sisi, terjadi penurunan angka perkawinan anak dari 9,25 persen pada 2021 menjadi 7,48 persen pada 2023. Namun, angka ini masih berada di atas rata-rata nasional. Praktek ini membawa berbagai dampak negatif bagi anak yang mengalami pernikahan dini. Antara lain memengaruhi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak, serta berdampak pada perceraian.
Anak perempuan yang menikah di usia muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kesehatan. Pasalnya, kesehatan reproduksi mereka belum matang. Ini meningkatkan risiko kanker rahim dan kelahiran anak dengan stunting. Selain itu, bayi yang lahir dari ibu muda cenderung memiliki berat badan rendah dan risiko kematian lebih tinggi.
“Kasus yang terakhir kami dampingi, pada saat anak perempuan usia 15 tahun itu melahirkan. Tulang panggulnya masih kecil. Menurut dokter, pada saat dia hamil 8 bulan, kandungannya belum cukup kuat menahan bayi di dalam rahimnya. Sehingga anak ini tidak bisa melahirkan secara normal dan akhirnya harus operasi. Itu karena organ reproduksinya belum sempurna,” kata Ita Karen.
Baca Juga: Rasminah Pahlawan Perempuan Isu Kawin Anak Tutup Usia, Gigih Perjuangkan UU Perkawinan
Beberapa kasus anak perempuan yang melahirkan di Puskesmas, tambah Ita, menimbulkan banyak persoalan terkait kesehatan reproduksi anak. Sebab daya tahan tubuhnya belum kuat untuk dibuahi sel telurnya. Apa lagi jika angka kelahiran antara anak pertama, kedua, dan ketiga berjarak sangat dekat. Risiko kesehatannya bisa dirasakan hingga 10-15 tahun kemudian.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan usia anak berisiko mengalami stunting, kurang gizi, dan perkembangan yang terhambat. Selain itu, anak-anak yang menikah dini cenderung belum siap secara emosional, meningkatkan risiko konflik rumah tangga dan perceraian.
“Data di kota Makassar, dampak perkawinan usia anak banyak yang berpisah. Angka perceraian tinggi karena faktor mereka tidak tahan dengan tekanan dalam rumah tangga. Sebab mereka masih tergolong usia sangat muda ketika menikah dan belum siap secara fisik dan mental,” kata Ita Karen.
“Bagaimana mau tahan tekanan,” cetus Ita, “Kalau anak dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya?” Pasalnya, secara emosional pasangan dari perkawinan antar-anak masih sama-sama berusia anak-anak. Sehingga masih sangat labil dan tidak bisa menahan emosi.
Kemudian pada saat dinikahkan, kedua anak laki-laki maupun perempuan belum mempunyai tunjangan ekonomi yang mapan. Sebab, yang laki-laki pun belum bekerja. Sehingga tumpuan ekonomi nantinya hanya kepada orang tua.
Baca Juga: Riset: Dalam 12 Bulan 1 sampai 2 Anak Dinikahkan Setiap Hari di NTB
“Konflik akan semakin banyak, ketika suami-istri harus menumpang di rumah orang tua. Dengan kondisi tersebut, pada saat mereka tidak bisa beradaptasi, akan ada banyak hal kemudian yang akan terjadi. Sehingga ujung-ujungnya mereka memutuskan untuk berpisah. Namun ketika orang tua berpisah, anak mereka yang akan menjadi korban,” kata Ita.
Direktur eksekutif Institute of Community Justice (ICJ) Makassar, Warida Syafie juga menyampaikan hal yang sama. ICJ bersama beberapa lembaga tergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak (KSPA) di Sulawesi Selatan.
Saat bertemu masyarakat, Warida selalu menyampaikan bahwa perkawinan anak tidak akan memberikan dampak positif bagi anak perempuan. Justru itu akan membuat mereka putus sekolah dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan formal yang layak.
“Selain itu, beberapa data menyebutkan bahwa anak yang memasuki usia perkawinan, rentan mengalami masa reproduksi yang belum matang. Serta rentan mengalami pendarahan dan keguguran. Anak yang dilahirkan pada beberapa kasus juga mengalami kurang gizi, berdampak pada kematian anak dan ibunya,” kata Warida kepada Konde.co pada Kamis (24/4/2025).
Baca Juga: Cinta Jadi Alasan Terbanyak Perkawinan Anak
Dia pun mengakui bahwa ketika anak-anak dipaksa memasuki dunia perkawinan, mereka akan sangat rentan mengalami kekerasan rumah tangga. Karena anak itu masih ingin bermain dan bercengkrama dengan rekan rekannya.
Kekerasan yang terus berlanjut, kata Warida, rentan berujung perceraian. Kalau perceraian terjadi lagi, siklus kemiskinan dalam keluarga tidak akan terurai. “Sementara rencana awal orang tua menikahkan anak, supaya ekonomi keluarga meningkat,” kata Warida.
Menurutnya, ketika perceraian terjadi, pasangan muda tersebut biasanya sudah mempunyai satu atau dua orang anak. Maka kemungkinan ada tiga orang yang akan kembali ke orang tuanya. Itu berpotensi menciptakan kemiskinan baru.
Anak-anak yang dipaksa menikah, kata Warida, belum siap secara fisik maupun mental mengasuh anak anaknya.
“Sehingga terkadang kita mendengar istilah ‘anak melahirkan anak’. Seorang anak yang masih butuh nutrisi untuk tumbuh kembang pada usia 15-16 tahun, masih tetap harus melahirkan dan memberikan nutrisi juga kepada anaknya. Sehingga itu memungkinkan anaknya tidak tumbuh maksimal,” kata Warida.
Baca Juga: Menikah di Usia Anak? Emosi Tak Stabil dan Rahim Belum Siap Melahirkan
Dalam lima tahun terakhir ICJ bersama Koalisi Stop Perkawinan Anak melakukan melaksanakan program pencegahan perkawinan anak di kabupaten Bone dan Maros. Baru 3 tahun terakhir, kegiatan dilaksanakan di Makassar. Ketiga wilayah itu dipilih karena banyak temuan perkawinan anak yang dilakukan oleh orang tua, tokoh agama, dan tokoh masyarakat setempat.
“Di kabupaten Bone dan Maros, perkawinan anak banyak dimotivasi karena kemauan orang tua menjodohkan anaknya. Untuk tujuan melanggengkan bisnis keluarga, selain ada juga karena kehamilan yang tidak diinginkan,” kata Warida.
Regulasi Usia Perkawinan Anak dan Dispensasi Nikah
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut telah menetapkan bahwa usia minimal perkawinan bagi laki laki dan perempuan adalah 19 tahun. Perubahan ini bertujuan untuk menyamakan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan, serta memberikan perlindungan terhadap anak dari risiko pernikahan dini.
Meskipun batas usia minimal ditetapkan pada 19 tahun, undang-undang ini memberikan ruang untuk dispensasi. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan usia, orang tua pihak laki-laki dan/atau perempuan dapat meminta dispensasi kepada pengadilan. Alasannya harus dengan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai sebelum memberikan dispensasi.
Penerapan aturan tersebut diharapkan dapat mengurangi angka perkawinan. Sejak berlakunya aturan itu, dispensasi nikah menjadi jalan legal satu-satunya bagi pernikahan anak. Namun, dalam praktiknya, permohonan dispensasi justru meningkat di beberapa pengadilan agama di Sulawesi Selatan. Data pengadilan agama di berbagai kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan, sepanjang 2024 sampai awal 2025, ratusan permohonan dispensasi dikabulkan. Sebagian besar melibatkan anak yang belum berusia 19 tahun.
Perkawinan anak, meskipun dapat sah secara hukum melalui dispensasi, tetap membawa dampak negatif jangka panjang bagi anak perempuan.
Baca Juga: Syekh Puji Kembali Nikahi Anak di Bawah Umur, Kejahatan Seksual Anak di Sekitar Kita
Ita Karen menjelaskan pada awal sosialisasi UU ini diberlakukan, banyak sekali pelanggaran yang meminta dispensasi nikah tanpa alasan yang jelas. Bahkan ada yang datang dengan alasan kehamilan dengan mencantumkan hasil USG orang lain.
Alhasil, unit pelaksana teknis daerah (UPTD) perlindungan (PPA) kota Makassar telah membuat MoU dengan pengadilan agama dan KUA. MoU itu mengatur lembaga tersebut agar tidak boleh menikahkan anak yang belum berusia 19 tahun. Kalau pun pada saat itu alasannya anak sedang dalam kondisi hamil, anak perempuan tersebut harus diperiksa di klinik milik UPTD PPA tersebut.
Kemudian diberlakukan juga MoU dengan KUA bahwa imam masjid atau tokoh agama yang menikahkan anak sebelum usia 19 tahun, bisa kena sanksi. Sanksi itu menggerakkan imam masjid agar tidak berani menikahkan anak usia dini.
Namun, ketika anak perempuan dalam kondisi hamil yang tidak diinginkan, banyak orang tua yang kemudian menikahkan anak secara siri. Atau pergi ke daerah lain untuk menggelar pernikahan.
“Mereka menganggap yang terpenting anak itu sudah disahkan secara agama. Maka praktik seperti ini yang kemudian membuat upaya pencegahan perkawinan anak sulit dilakukan,” kata Ita.
Baca Juga: Perkawinan Anak Meningkat Selama Pandemi, Butuh Kolaborasi dan Keseriusan Negara
Menurutnya, ketika mengadvokasi perlindungan dan hak-hak anak perempuan, dirinya seringkali harus berdebat kepada orang tua terkait dalil agama yang sudah dipegang teguh masyarakat.
Sementara itu, Warida Syafie menyebut, saat diberlakukan aturan dispensasi ini, berbagai alasan digunakan orang tua untuk mengajukan dispensasi nikah. Namun sudah ada peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2019, yang memperketat pengajuan dispensasi nikah. Sehingga kalau ingin mengajukan dispensasi, harus pergi dulu ke DP3A atau pemerintah kota untuk mendapatkan rekomendasi pengadilan. Permohonan harus disertai bukti bukti kuat, di antaranya pemeriksaan anak.
“Yang berhak memutuskan adalah pengadilan agama. Sekarang anak juga turut diperiksa di pengadilan. Jadi dalam aturan Mahkamah Agung tersebut, ada pengecualian darurat, misalnya anak hamil diluar nikah,” kata Warida.
Regulasi Daerah Mencegah Perkawinan Anak
Selama 5 tahun terakhir, Koalisi Stop Perkawinan Anak (KSPA) telah melakukan advokasi dan edukasi bersama tokoh agama dan masyarakat. Mereka berupaya meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terkait dampak negatif perkawinan anak.
Pertemuan tersebut telah menghasilkan beberapa aturan tingkat desa di kabupaten Bone dan Maros untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
Kini, beberapa kampung mengeluarkan peraturan desa. Salah satu klausul dari peraturan desa tersebut, bagi warga yang akan menikahkan anaknya yang berusia di bawah 19 tahun, maka Imam desa dan berbagai perangkat desa yang biasanya ikut mendoakan dalam acara barasanji (pengajian) tidak akan hadir.
Sesuai peraturan desa tersebut, tokoh masyarakat yang selalu ditugaskan untuk menyembelih kambing dan sapi untuk acara nikahan, juga tidak akan datang.
Baca Juga: Kawin Usia Anak Itu Gak Oke, Hentikan Perkawinan Anak
“Dengan adanya sanksi sosial tersebut, warga desa semakin sadar, bahwa adar peraturan desa yang harus dipatuhi,” jelas Warida.
Kelompok pemerhati dan pencegahan perkawinan anak di tingkat desa juga dibentuk. Kelompok peduli masyarakat pun sudah dilatih untuk menangani kasus-kasus perkawinan anak.
Selain itu, pada tingkat kabupaten, juga sudah ada surat edaran bupati serta Perda pencegahan perkawinan anak di Bone. Ada juga forum komunikasi pencegahan perkawinan anak di tingkat kabupaten, sampai ke tingkat kecamatan dan desa yang harus dipatuhi masyarakat.
“Sekarang angka perkawinan anak pada dua kabupaten ini sudah turun. Kami berharap aturan ini terus bisa dijalankan,” kata Warida.
Dia berharap peraturan desa tersebut bisa direplikasi oleh pemerintah daerah di Sulawesi Selatan yang masih melanggengkan perkawinan anak.
Baca Juga: Sudahi Pro Kontra Perkawinan Anak Dan Menjadikan Mereka Korban
Warida menjelaskan ada lima upaya yang bisa diterapkan untuk mencegah perkawinan anak dan memperkuat perlindungan bagi anak perempuan.
Pertama, strategi penguatan kapasitas anak. Harapannya, anak yang akan dinikahkan itu juga punya resiliensi dan bisa menjadi agen perubahan. Misalnya jika orang tua ingin mengawinkan anaknya, maka anak perempuan bisa menjawab ‘tidak’ jika belum siap menikah.
Kedua, terciptanya lingkungan yang memperkuat kampanye dan mendukung pencegahan perkawinan anak. Ketiga, memperluas layanan kesehatan dan layanan reproduksi bagi anak perempuan. Selain itu juga menyediakan layanan pengaduan, bantuan hukum, dan layanan konseling bagi mereka.
Keempat, memperkuat lembaga dan aturan yang sudah ada untuk pencegahan perkawinan anak. Kemudian yang terakhir, memperkuat koordinasi antara pemerintah, organisasi perempuan, imam masjid, dan tokoh agama untuk mencegah praktik perkawinan anak di berbagai kampung.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pun telah melakukan beberapa upaya untuk mencegah praktik perkawinan anak. Pada Desember 2024 yang lalu, pemerintah provinsi bersama Polda Sulawesi Selatan, Kementerian Agama, dan Pengadilan Tinggi Makassar telah menandatangani MoU pencegahan perkawinan anak. Ini untuk memperkuat koordinasi serta pemanfaatan data dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Baca Juga: Hamil dan Tak Bisa Sekolah; Nasib Anak Perempuan Dalam Perkawinan Anak
Meisy Papayungan menjelaskan, butuh waktu panjang untuk mengubah suburnya budaya perkawinan anak di kampung kampung di Sulawesi Selatan. Kepala bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (PPPA) pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan ini mengatakan, budaya tersebut dilanggengkan karena kondisi sosial ekonomi dan pendidikan orang tua.
“Ini tetap kita intervensi melalui edukasi melalui beberapa lembaga. Kami bekerjasama dengan PKK, pemuka agama, dan organisasi yang dibentuk masyarakat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat,” kata Kabid PPA, Meisy kepada Konde.co pada Kamis (24/4/2025).
Pemerintah juga bekerjasama dengan pengadilan agama dan berbagai perangkat desa, serta bupati untuk membuat surat edaran kepada warga. Sanksi sosial juga sudah berjalan sehingga pejabat dan perangkat desa tidak akan menghadiri perkawinan anak yang belum berusia 19 tahun.
“Dengan berbagai strategi tersebut, angka perkawinan anak mulai menurun dan sudah lumayan bisa diatasi. Dispensasi yang diberikan sudah mulai berkurang,” katanya.