Awal tahun ini, kita menyaksikan Sukatani, grup punk wave asal Purbalingga, Jawa Tengah, dipaksa membuat video klarifikasi mereka berjudul ‘Bayar, Bayar, Bayar’. Lagu itu berisi kritik terhadap kepolisian yang, seringnya berlagak layaknya preman yang suka memalak rakyat.
Dalam video yang diunggah di akun Instagram @Sukatani.band itu, mereka pertama kalinya tampil tanpa topeng. Padahal, itu bisa mereka gunakan agar identitasnya mereka tetap anonim.
Apa yang menimpa Sukatani ini menunjukkan, bagaimana privasi dan kebebasan berekspresi bisa dilanggar karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan dominasi. Terlebih yang menyasar privasi perempuan dan kelompok rentan, vokalis Sukatani yang adalah guru perempuan dipecat sepihak dari sekolah tempatnya mengajar imbas pengungkapan identitas itu.
Ini jadi relevan ketika kita bicara soal isu privasi hari ini. Betapa, privasi tidak cukup dibaca sebatas data pribadi. Melainkan, privasi sebagai hal yang mesti dibaca dari kacamata feminis yang interseksional. Ia juga menyangkut tubuh, identitas, serta pengalaman dari ketertindasan serta kekerasan yang beragam dan saling bersilangan.
Baca Juga: Stop Merekam Tanpa Izin, Penghormatan Hak Privasi Itu Isu Feminis
Riset terbaru PurpleCode yang bertajuk ‘Privasi Feminis: Otonomi dan Agensi Lintas Dimensi’ ini berupaya menjabarkan bagaimana tubuh perempuan kerap menjadi objek kontrol norma sosial, dan bagaimana pengalaman mereka—yang sering kali terpinggirkan—dapat memberikan makna yang lebih dalam terhadap konsep privasi.
Penelitian ini melibatkan 13 rekan perempuan dengan latar identitas yang beragam. Temuan umumnya menunjukkan privasi tidak dapat dimaknai secara tunggal. Ia berkaitan erat dengan pengalaman hidup, struktur relasi kuasa, serta konteks sosial yang melingkupinya. Lebih jauh lagi, privasi bukan sekadar data digital yang dikumpulkan teknologi, melainkan menyangkut hal yang lebih luas: kebebasan, keamanan, dan martabat hidup manusia.
Tim Peneliti mengatakan, ada beragam pengalaman nyata yang ditemukan dalam penelitian ini. Salah satunya, bagaimana anggapan bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi perempuan dan minoritas gender sebagai sesuatu yang tabu, merupakan bentuk pelanggaran privasi yang menihilkan agensi mereka.
Sementara itu, pada komunitas masyarakat adat, muncul narasi tentang Privasi Kolektif—konsep yang lahir dari kearifan lokal dan adat istiadat yang dijaga bersama. Di sisi lain, transpuan menceritakan perjuangan mereka mempertahankan privasi sebagai tindakan politis untuk merebut ruang publik yang lebih inklusif. Sementara itu, diskriminasi terhadap perempuan penghayat kepercayaan menunjukkan bagaimana pelanggaran privasi berdampak langsung pada rasa aman komunitas mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: HRD Syaratkan Cek Sosmed Calon Karyawan? Hati-hati Diskriminasi dan Pelanggaran Privasi
PurpleCode meyakini “Privasi bukanlah sekadar soal menjaga rahasia atau hal yang bersifat individual. Melalui pengalaman ketertindasan perempuan dan kelompok rentan, privasi menjadi ruang perjuangan untuk kebebasan berekspresi—secara politik, sosial, maupun spiritual.”
Maka dari itu, privasi tak bisa hanya dimaknai dari sisi legal formal; sebab, pelanggaran privasi kerap kali bersumber dari struktur yang menindas, termasuk negara dan masyarakat luas yang turut melanggengkan ketimpangan. Karena itu, perjuangan atas privasi bukanlah upaya individu semata, melainkan usaha kolektif yang harus diperjuangkan bersama.
Ragam Privasi dan Pendekatan Feminis
Ada beberapa akademisi dan pakar berupaya mengklasifikasi ragam privasi. Anita L. Allen dalam publikasi berjudul “Unpopular Privacy: What Must We Hide?” (2011) membagi privasi dalam beberapa kategori.
Pertama, physical/spatial privacy yang merujuk kepada privasi di dalam dan sekitar rumah seseorang. Kedua, informational privacy adalah privasi yang menyangkut informasi, data, atau fakta tentang seseorang, serta komunikasi mereka. Ketiga, decisional privacy merupakan jaminan hak bagi individu untuk membuat pilihan intim tertentu mengenai kehidupan, termasuk memilih pernikahan sesama jenis atau euthanasia. Keempat, proprietary privacy merupakan jenis privasi yang berkaitan erat dengan reputasi seseorang.
Menurut Allen, privasi hak milik ini mirip dengan konsep “hak atas kehormatan seseorang” yang biasa ditemukan di sejumlah konstitusi.
Penelitian paling mutakhir terhadap penggolongan privasi disusun oleh Bert-Jaap Koops, dkk. (2017). Mereka menyimpulkan, saat ini privasi dapat digolongkan ke dalam sembilan jenis, di mana jenis kesembilan merupakan privasi informasi yang kedudukannya tumpang tindih dengan delapan jenis privasi lain.

Baca Juga: Privasi adalah Isu Feminis: Ramai-Ramai Blokir Kominfo
Riset Purplecode mengacu pada delapan prinsip feminis yang diajukan oleh Beckman (2014 dalam Westmarland & Bows, 2017), yang menjadi landasan penting untuk mengembangkan teori dan metodologi feminis.
Prinsip-prinsip ini memberikan arah yang jelas dalam penelitian terkait gender, kekerasan, dan pelecehan. Delapan prinsip tersebut meliputi: pertama, menyadari ketimpangan kuasa; kedua, memperluas pertanyaan penelitian; ketiga, mendengarkan suara dan pengalaman perempuan; keempat, mengintegrasikan pendekatan yang mengakui keragaman dan interseksionalitas.
Sementara, kelima, menggunakan metode penelitian multidisiplin; keenam, bersifat reflektif; ketujuh, membangun relasi sosial dalam proses penelitian; dan kedelapan, memanfaatkan hasil penelitian untuk kepentingan lebih luas.
Baca Juga: Perempuan Harus Berani Keluar Dari Belenggu: Ditertibkan Sampai Ranah Privasi
Penelitian ini juga mengimplementasikan pendekatan berbasis HAM guna memahami lebih lanjut bagaimana dampak hukum dan regulasi terhadap hak atas privasi dari perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia.
Penelitian ini juga menggunakan Prinsip Internet Feminis (2015) atas dasar pandangan bahwa perempuan dan kelompok queer harus dilibatkan dalam perkembangan teknologi dengan membawa identitas keragamannya. Prinsip Internet Feminis sendiri merupakan upaya pemberdayaan yang memungkinkan individu menikmati hak-haknya melalui teknologi, sekaligus menanggulangi praktik patriarki yang masih dominan dalam pengembangan teknologi.
Privasi Sebagai Agensi, Kebebasan, dan Batas Intervensi
Privasi dipahami sebagai ruang untuk menentukan apa yang boleh dibagikan kepada orang lain dan apa yang tetap menjadi milik pribadi. Ini adalah bentuk agensi, yakni kemampuan mengontrol kehidupan dan identitas diri.
Rekan penelitian transpuan mengatakan, “Ada hal-hal privasi yang memang untuk diri sendiri. Tapi ada juga privasi yang ku-sharing ke orang lain secara terbatas, tetapi aku tidak memberikan konsen kepada orang tersebut untuk menyebarkan itu.” Ujarnya.
Persetujuan (consent) menjadi elemen kunci privasi. Tanpa persetujuan, intervensi pihak lain terhadap tubuh, data, maupun keyakinan dianggap pelanggaran. Privasi juga memberi rasa aman untuk berekspresi. Bagi kelompok queer, penghormatan atas privasi berarti bisa tampil sesuai identitas gender tanpa rasa takut. Bagi penghayat, privasi berarti bebas menjalankan ritual ibadah tanpa intimidasi.
Dalam perspektif feminis, privasi adalah benteng perlawanan terhadap heteronormativitas dan maskulinitas hegemonik yang selama ini mengatur kehidupan perempuan dan minoritas. Ia juga menjadi alat negosiasi untuk menolak intervensi negara, keluarga, atau institusi yang merasa berhak menentukan pilihan hidup seseorang.
Baca Juga: Distraksi dan Privasi: Youtube Dan Medsos Punya Potensi Buruk Dalam Pelajaran Sekolah
Bagi perempuan, privasi seringkali terkait dengan kontrol atas tubuh dan pilihan hidup. Apakah mau menikah, memiliki anak, atau bahkan cara berpakaian? Bagi transpuan, privasi adalah perlindungan terhadap identitas gender dan orientasi seksual yang kerap diserang masyarakat. Bagi penghayat kepercayaan, privasi berkaitan dengan forum internum (keyakinan batiniah) dan forum externum (ruang ibadah), yang keduanya sering diintervensi negara maupun mayoritas.
Sementara itu, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memaknai privasi secara kolektif, bukan individual. Bagi mereka, privasi melekat pada ritual, ruang sakral seperti Rumah Beras, hingga pengelolaan tanah. Privasi bukan soal kepemilikan individu, melainkan penghormatan atas ruang komunal dan keputusan kolektif.
Di era digital, privasi juga erat dengan data pribadi. Salah satu rekan penelitian, korban pinjaman online, menegaskan “Privasi adalah data pribadi, ya. Bukan cuma dokumen, tapi juga kehidupan.”
Kasus penyalahgunaan data pribadi membuktikan bahwa privasi digital memiliki dampak nyata dalam kehidupan luring, mulai dari intimidasi, pemerasan, hingga rasa tidak aman di ruang publik.
Kompleksitas Pelanggaran Privasi
Riset ini menunjukkan bahwa pelanggaran privasi lahir dari ketimpangan relasi kuasa. Orang tua, atasan, tenaga medis, hingga aparat negara kerap merasa berhak mengakses informasi pribadi orang lain. Misalnya, pekerja dengan HIV/AIDS (ODHIV) yang status kesehatannya disebarkan tanpa izin oleh tenaga medis. Atau kelompok queer yang mengalami penggerebekan sepihak dengan dalih moralitas.
Pelanggaran privasi tidak berdiri sendiri, melainkan saling terhubung. Misalnya, ketika negara membatasi pilihan pakaian perempuan (bodily privacy), dampaknya juga menjalar ke keputusan hidup (decisional privacy) dan hubungan sosial (associational privacy). Begitu pula penyebaran data pribadi yang berujung pada penguntitan daring, mempengaruhi privasi spasial (spatial privacy) karena korban merasa tidak aman bergerak di ruang publik.
Pelanggaran privasi di Indonesia terbukti bersifat struktural. Produk hukum seperti KUHP justru memperkuat stigma terhadap minoritas gender. Polisi pun masih sering melanggar privasi korban dengan pertanyaan tidak sensitif. Alih-alih melindungi, negara justru memberi legitimasi pada diskriminasi dan pelanggaran privasi melalui regulasi yang bias.
Membongkar Tabu Privasi
Riset PurpleCode juga menyoroti bagaimana privasi sering dianggap tabu, terutama terkait tubuh dan pengalaman perempuan maupun transpuan. Menstruasi, kehamilan, identitas gender, hingga ritual kepercayaan minoritas kerap dipandang tidak pantas dibicarakan. Anggapan ini memberi celah bagi masyarakat untuk mengintervensi dan mendefinisikan ulang tubuh serta identitas orang lain sesuai standar mayoritas.
Membongkar tabu privasi berarti menolak pandangan lama yang melihat privasi sebagai aib atau sekadar kepemilikan properti. Sebaliknya, privasi harus dipahami sebagai ruang hidup, identitas, budaya, hingga ekspresi yang harus dilindungi dan dihormati.
Riset PurpleCode Collective menegaskan bahwa privasi bukan hanya hak individu, melainkan bagian dari perjuangan kolektif melawan diskriminasi. Privasi adalah tentang tubuh, data, identitas, dan ruang berekspresi yang aman. Ia memberi agensi untuk menentukan pilihan hidup, membatasi intervensi, sekaligus menciptakan rasa aman dalam keberagaman.
Baca Juga: Privasi Adalah Ruang Otonom dan Intim: Menolak RUU Ketahanan Keluarga
Namun, kenyataannya, pelanggaran privasi masih sangat kompleks dan berakar dari relasi kuasa, produk hukum yang diskriminatif, hingga norma sosial yang menormalisasi intervensi.
Karena itu, perlindungan privasi harus dilihat sebagai isu hak asasi manusia yang mendesak, dan perjuangannya tidak bisa dibebankan pada individu saja. Ini adalah agenda kolektif yang menuntut perubahan struktural, budaya, dan politik agar privasi perempuan dan kelompok minoritas benar-benar dihormati.






