Belakangan ini, media sosial khususnya TikTok dibanjiri konten dengan narasi “uang sekian ribu di tangan istri yang tepat”. Dari sepuluh ribu, lima ribu, bahkan ada yang seribu rupiah sehari, perempuan-perempuan ini menunjukkan bagaimana dengan kecerdikan dan keterampilan mengatur, uang tersebut bisa disulap menjadi hidangan untuk sekeluarga, bahkan dengan klaim masih bisa menabung.
Konten semacam ini mudah dibuat, diduplikasi, dan terbukti menjadi magnet view yang luar biasa. Memang, tidak salah jika seseorang ingin berbagi tips hemat atau menu ekonomis. Namun di balik kesederhanaan konten ini, tersimpan masalah-masalah tersembunyi yang jauh lebih dalam dan mengkhawatirkan. Apa saja?
Salah satu konten di TikTok yang menarik banyak perhatian adalah konten seorang perempuan muda yang sedang hamil. Ia mendapat uang belanja sepuluh ribu rupiah sehari dari suaminya, dan dengan bangga menunjukkan bahwa dirinya masih bisa menabung dari uang tersebut.
@v0xgenz Beberapa waktu lalu viral sebuah video istri hamil yang hanya diberi uang belanja harian Rp 10.000, namun mampu memasak dan bahkan menabung Rp 7.000 dari jumlah itu. Konten tersebut memicu respons dari netizen, ada yang memuji keterampilan sang istri dalam mengelola keuangan, dan ada pula yang prihatin dengan kondisi ekonomi serta kebiasaan sang suami. Dalam perspektif Islam, memberi nafkah kepada istri merupakan kewajiban suami yang mencakup biaya untuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jumlah nafkah tidak harus baku tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami, selama kebutuhan pokok istri dan anak tetap terpenuhi. #Viral #10ribuditanganistriyangtepat #Keluarga #fyp #nafkah
♬ suara asli – VoxGenz – VoxGenz
Di dalam video, ia bertanya: “Apakah saya sudah termasuk istri yang tepat?” Pertanyaan ini seperti meminta validasi dari penonton media sosial.
Baca Juga: Laki-laki Gen Z, Beneran ‘Woke’ atau Hanya Pura-Pura? ‘Kenalan’ dengan Performative Male
Kontan saja, kolom komentarnya diserbu berbagai kritik dari berbagai arah. Ada yang menyalahkan suaminya karena memberikan uang sangat sedikit untuk istri yang sedang mengandung, sementara suaminya sendiri masih mampu membeli rokok. Ada yang mengkhawatirkan asupan gizi ibu hamil yang jelas tidak akan mencukupi dengan anggaran sepuluh ribu rupiah sehari.
Dan tidak sedikit pula yang merasa tersinggung dengan frasa “istri yang tepat” seolah-olah ada standar baku yang harus dipenuhi perempuan untuk dianggap layak menjadi istri, dan standar itu adalah kemampuan bertahan hidup dengan uang seirit-iritnya.
Fenomena suami memberi uang belanja sangat sedikit tapi masih bisa membeli rokok sebenarnya bukan cerita baru. Nafkah rumah tangga ditekan seminimal mungkin, sementara pengeluaran untuk konsumsi pribadi suami tidak dikurangi. Ini adalah cerminan dari sistem patriarki yang memungkinkan laki-laki memprioritaskan keinginan pribadi mereka di atas kebutuhan dasar keluarga, khususnya istri dan anak.
Rokok, yang notabene adalah barang konsumsi tidak esensial dan bahkan berbahaya bagi kesehatan, diposisikan lebih penting daripada nutrisi yang dibutuhkan oleh ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Bayangkan seorang laki-laki bisa dengan tenang pergi bekerja, merokok sebungkus seharga 25-30 ribu per hari, tapi hanya memberi 10 ribu untuk istrinya yang sedang mengandung. Sementara istrinya sibuk membandingkan harga tahu atau tempe, para suami bisa santai menikmati hak istimewanya.
Baca Juga: Medsos Salahkan Ibu Bahkan Usai Meninggal, Gagal Paham Rumitnya Filisida dan Bunuh Diri
Kebutuhan laki-laki dianggap prioritas, sementara kebutuhan perempuan apalagi saat hamil dipandang bisa dinegosiasikan, dikompromikan, bahkan dikorbankan. Laki-laki seperti ini diuntungkan dua kali. Pertama, ia tidak perlu repot mengatur keuangan rumah tangga. Kedua, ia tetap bisa menikmati kebebasan konsumsi pribadinya. Sementara sang istri, di sisi lain, dipuji sebagai “istri yang hebat” justru karena mampu bertahan dalam kondisi yang seharusnya tidak perlu ia alami. Pujian itu justru menjadi jerat, semakin ia dianggap “hebat”, semakin ia merasa wajib terus bertahan dalam ketidakadilan itu.
Untuk memahami akar dari dinamika ini, kita dapat merujuk pada pemikiran feminis marxist, Silvia Federici. Dalam bukunya Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation, Federici mengembangkan teori tentang kerja reproduktif. Kerja reproduktif adalah semua kerja yang dilakukan untuk mereproduksi tenaga kerja. Mulai dari melahirkan, membesarkan anak, memasak, membersihkan, merawat, hingga mengelola emosi keluarga. Kerja ini, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan, adalah fondasi tak terlihat yang menopang seluruh sistem ekonomi kapitalis.
Federici berargumen bahwa kerja reproduktif ini sengaja tidak dianggap sebagai kerja yang bernilai ekonomi. Tujuannya agar kapitalis bisa mendapatkan tenaga kerja (buruh laki-laki) yang segar dan siap pakai setiap hari, tanpa harus membayar penuh untuk biaya reproduksinya. Dalam konteks tren konten “istri yang tepat”, kita melihat bagaimana logika ini diperkuat.
Bagi keluarga berpenghasilan rendah, pekerja (suami) seringkali juga tereksploitasi di tempat kerjanya. Namun, ketimbang bersolidaritas melawan sistem yang mengeksploitasi mereka berdua, beban tersebut malah dialihkan ke istri. Sang istri, mengambil alih beban itu dengan cara memeras otak mengelola uang yang sedikit.
Baca Juga: Sydney Sweeney dalam Iklan American Eagle: Kontroversi Dan Ilusi Kebebasan Tubuh Perempuan
Dengan demikian, suami meski dirinya sendiri mungkin juga korban sistem, menjadi pihak yang diuntungkan secara relatif dalam hubungan ini. Ia memiliki seorang “pelayan” pribadi yang bekerja 24 jam tanpa upah, yang tugasnya memastikan kelangsungan hidupnya dan keluarganya dengan sumber daya yang minimal. Konten-konten ini, tanpa disadari, merayakan eksploitasi ini.
Setiap jam yang istri habiskan memutar otak untuk mengolah bahan murah menjadi makanan layak adalah bentuk kerja tidak dibayar yang menguntungkan dua pihak sekaligus yaitu: laki-laki dalam rumah tangga, dan sistem ekonomi negara. Laki-laki tidak perlu pusing, negara juga tidak perlu menanggung beban kesejahteraan warganya.
Inilah kenapa tren “uang sekian ribu di tangan istri yang tepat” berbahaya. Ia seperti menciptakan perlombaan baru di media sosial. Siapa yang paling bisa mengatur uang minim, masakannya enak, dan variatif, supaya suami tetap lahap makan. Yang lebih mengkhawatirkan, perempuan sendiri yang melanggengkan standar ini.
Ketika seorang istri bangga bisa bertahan dengan uang minim, dia sebenarnya sedang menutup mata terhadap fakta bahwa suaminya tidak memberikan nafkah yang layak. Lebih parah lagi, kebanggaan ini ditampilkan di media sosial, ditonton jutaan orang, dan menciptakan standar baru yang berbahaya. Istri yang baik adalah istri yang tidak mengeluh meskipun diberi nafkah tidak memadai.
Baca Juga: Pasanganmu Tipe Avoidant atau Anxious? ‘Kebebasan’ yang Membuang Emosi Juga Konsekuensi Norma Gender
Ini membuat laki-laki lain merasa dibenarkan untuk melakukan hal yang sama ke istrinya. “Lihat tuh, istri orang lain bisa kok belanja dengan sepuluh ribu sehari, kenapa kamu minta lebih?” Begitulah kemudian sesat pikir yang akan muncul.
Pertanyaannya, mengapa perempuan begitu terobsesi dengan label ini? Jawabannya sederhana: karena dalam tatanan patriarki, nilai perempuan sering kali diukur dari kepatuhannya sebagai istri—seberapa hemat, seberapa patuh, seberapa bisa membuat suami nyaman.
Adrienne Rich dalam Of Woman Born menyebut sebagai “institusi motherhood” bukan sekadar menjadi ibu, tapi menjadi institusi yang memaksa perempuan untuk menginternalisasi standar yang mustahil.
Kata “tepat” mengimplikasikan bahwa ada standar baku tentang bagaimana seorang istri seharusnya bersikap sabar, hemat, tidak protes, mampu mengatur uang sedikit, dan tetap ceria seperti terlihat di konten.
Memangnya ada perlombaan menjadi “istri yang tepat”? Tampaknya iya. Obsesi perempuan untuk menjadi “istri yang tepat” ini adalah buah dari sosialisasi patriarki yang sudah mendarah daging.
Ini adalah bentuk internalized oppression (penindasan yang terinternalisasi). Alih-alih mempertanyakan mengapa suaminya hanya memberi Rp10.000, atau mengapa harga-harga semakin mahal sementara pendapatan tidak kunjung naik, energi dan kecerdasannya dialihkan untuk menciptakan konten yang merayakan penindasan itu.
Baca Juga: Polisi Jadi Kreator Konten: Perbaiki Kinerjamu, Kelompok Rentan Bukan Objekmu
Media sosial memperparah obsesi ini. Dengan sistem likes, komentar, dan stitch, perempuan mendapat validasi instan ketika menunjukkan kehebatan mereka berhemat. Komentar-komentar seperti “Masya Allah, istri solehah”, “Suamimu beruntung punya istri sepertimu”, atau “Ini baru istri idaman” memberikan kepuasan emosional yang membuat mereka terus memproduksi konten serupa.
Mereka tidak menyadari bahwa validasi ini sebenarnya adalah jebakan, validasi yang mereka dapat adalah validasi untuk tetap tertindas, untuk tetap puas dengan yang tidak seharusnya.
Obsesi ini tidak berlaku sama untuk suami atau ayah. Tidak ada konten viral tentang “ayah yang tepat adalah yang bisa menghidupi keluarga dengan layak”, atau “suami yang tepat adalah yang tidak merokok agar bisa memberikan nafkah lebih banyak”. Beban moral ini tidak berimbang. Hanya perempuan yang dituntut sempurna, sementara laki-laki diberi kelonggaran.
Memang, membuat konten adalah hak setiap orang. Media sosial telah menjadi penyelamat bagi banyak perempuan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari konten memasak, belanja, atau tips keuangan. Kita semua memahami bahwa tidak mudah membuat konten, butuh kejernihan video yang bagus, kemampuan editing yang lumayan, dan modal untuk membeli bahan masakan. Dalam keterbatasan, perempuan berkreasi dan mencari celah untuk tetap produktif.
Namun, yang menjadi soal krusial di sini adalah narasi yang dibawa dalam konten tersebut. Ketika narasi yang dibangun adalah “saya baik-baik saja bahkan bangga diberi nafkah minim oleh suami”, ini menciptakan ilusi berbahaya.
Baca Juga: Diet Sehat Itu Elit, Karena Makanan Bergizi Bagi Kelas Bawah Aksesnya Sulit
Narasi ini menyampaikan pesan implisit kepada berbagai pihak: kepada suami lain bahwa tidak apa-apa memberi nafkah sedikit asal punya istri yang pandai mengatur; kepada perempuan lain bahwa mereka harus bisa seperti ini kalau mau dianggap istri yang baik; dan yang paling berbahaya, kepada negara bahwa masyarakat yang kekurangan gizi ternyata baik-baik saja dan selalu menemukan solusi.
Ketika jutaan orang menonton konten perempuan yang bangga bisa bertahan dengan sepuluh ribu rupiah sehari, ada kesan bahwa kemiskinan bukanlah masalah serius. Ada kesan bahwa masyarakat miskin tidak perlu bantuan karena mereka pandai bertahan hidup.
Para petinggi dan pejabat negara seharusnya merasa malu melihat konten-konten semacam ini viral di media sosial. Ini adalah dokumentasi visual dari kemiskinan struktural yang terjadi di negara ini. Setiap video perempuan yang bangga belanja dengan lima ribu atau sepuluh ribu rupiah adalah sebenarnya adalah pengaduan tentang upah yang tidak layak, tentang harga bahan pokok yang tidak terbeli, tentang jaminan sosial yang tidak memadai.
Negara akan dengan mudah lepas tangan dari tanggung jawabnya menyediakan jaring pengaman sosial ketika melihat rakyatnya dengan bangga menunjukkan bahwa mereka bisa hidup dengan sangat sedikit. Ini membahayakan karena menggeser fokus dari masalah struktural seperti upah minimum yang tidak layak, inflasi bahan pokok, tidak adanya subsidi yang memadai, ke masalah individual: “Kalau kamu miskin, ya kamu harus lebih pandai mengatur uang.”
Baca Juga: Dear Guru dan Lingkunganku, Remaja Perempuan Dibelenggu Aturan Berpakaian, Tugas Kalian Memperbaiki
Fenomena ini terkait erat dengan apa yang dijelaskan oleh Nancy Fraser dalam Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis. Fraser menganalisis bagaimana neoliberalisme berhasil mengubah masalah-masalah struktural menjadi tanggung jawab individual.
Dalam sistem neoliberal, kemiskinan bukan lagi dilihat sebagai kegagalan negara dalam mendistribusikan kekayaan atau menciptakan lapangan kerja yang layak, melainkan sebagai kegagalan individu dalam mengelola diri sendiri dengan baik.
Untuk memahami mengapa perempuan-perempuan ini bisa merasa bangga bahkan bahagia dengan kondisi yang objektif sangat merugikan mereka, kita perlu memahami konsep “adaptive preferences” atau preferensi adaptif yang dikembangkan oleh filsuf Martha Nussbaum.
Dalam bukunya Women and Human Development: The Capabilities Approach, Nussbaum menjelaskan fenomena psikologis di mana orang yang hidup dalam kondisi penindasan atau deprivasi dalam waktu lama akan menyesuaikan harapan dan keinginan mereka dengan kondisi tersebut.
Menurut Nussbaum, orang yang tidak pernah mengalami kehidupan yang lebih baik akan menyesuaikan preferensi dan harapan mereka dengan kondisi yang mereka kenal. Mereka akan menginternalisasi ketidakadilan yang mereka alami dan menganggapnya sebagai normal, bahkan baik.
Inilah yang disebut preferensi adaptif ketika korban penindasan tidak lagi menginginkan atau bahkan tidak bisa membayangkan kehidupan yang lebih baik. Karena mereka sudah terbiasa dan telah menyesuaikan diri dengan kondisi buruk mereka. ketika seseorang sudah begitu lama hidup dalam kekurangan sehingga tidak lagi tahu bahwa dia sebenarnya berhak mendapat lebih.
Baca Juga: Perayaan Lebaran Bisa Picu Body Dysmorphia: Hindari atau Tanggapi Komentar Negatif adalah Pilihan Perempuan
Karena mustahil untuk menuntut suami memberi lebih banyak, atau karena sistem ekonomi terasa terlalu besar untuk dilawan, mereka mengadaptasi diri dengan mensyukuri dan membanggakan kemampuan mereka bertahan dengan yang sedikit. Mereka menderita tapi tak sadar, atau lebih tepatnya, mereka sadar tetapi telah menemukan cara untuk merasa berdaya dalam ketidakberdayaan dengan cara membuat konten.
Nussbaum menekankan bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan apa yang orang inginkan atau pilih untuk menentukan apakah mereka hidup dengan baik, karena keinginan dan pilihan itu sendiri bisa terdistorsi oleh kondisi penindasan. Seorang perempuan yang mengatakan “Saya bahagia kok dengan uang sepuluh ribu sehari” tidak berarti bahwa sepuluh ribu itu memang cukup, atau bahwa dia tidak berhak mendapat lebih. Itu hanya berarti bahwa dia sudah menyesuaikan harapannya dengan realitas yang menindas, sebagai mekanisme bertahan hidup psikologis.
Oleh karena itu, Nussbaum mengusulkan pendekatan kapabilitas. Yaitu kita harus memastikan bahwa setiap orang memiliki kapabilitas dasar untuk hidup dengan bermartabat, terlepas dari apa yang mereka inginkan atau pilih dalam kondisi terbatas mereka.
Setiap orang berhak atas nutrisi yang cukup, kesehatan yang baik, lingkungan yang aman, dan kehidupan yang bebas dari eksploitasi ini adalah hak dasar manusia. Bukan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan menjadi semakin efisien dalam kemiskinan.
Baca Juga: Kemana Harus Mencari Makanan Tradisional Papua? Hutan Kami Dirusak, Perempuan Diserbu Makanan Dari Luar
Tapi yang paling penting untuk disadari, perempuan dalam konten itu bukan musuh. Ia adalah korban yang tidak sadar. Yang perlu dikritik bukan individunya, tapi sistem yang membuat ia berpikir bahwa survive dengan 10 ribu rupiah adalah pencapaian. Yang perlu diubah bukan cara ia mengatur uang, tapi struktur yang membuat 10 ribu rupiah dianggap cukup untuk hidup.
Kita perlu berhenti memuji perempuan karena bisa bertahan dengan sangat sedikit. Dan juga perlu mulai marah kepada sistem yang memaksa mereka hidup seperti itu. Kita perlu berhenti bertanya “Apakah saya istri yang tepat?” dan mulai bertanya “Apakah negara sudah memberikan jaminan sosial yang tepat? Apakah suami sudah memberikan nafkah yang layak? Apakah sistem ekonomi sudah adil?”
Konten “uang sekian ribu di tangan istri yang tepat” hanyalah potongan kecil dari cerita besar tentang bagaimana penderitaan perempuan dijadikan tontonan, dijadikan tren, bahkan dijadikan kebanggaan. Ia menghibur, iya. Ia menginspirasi, mungkin. Tetapi ia juga menutupi luka betapa perempuan terus menanggung beban, sementara laki-laki dan negara terus diuntungkan.






