Dipanggil ‘Nyonya Anton’: Mengganti Nama Belakang Perempuan dengan Nama Suami Bukan Bentuk Romantisme

Mengganti nama belakang kita dengan nama suami, sering dipandang sebagai bentuk cinta, padahal ini adalah simbol penaklukan.

Mary Shelley, adalah seorang penulis novel Frankenstein, sebuah novel fiksi ilmiah pertama di dunia yang dirilis 1 Januari 1818.

Setelah menikah, Mary lebih dikenal dengan nama Mary Shelley karena ia merupakan istri dari Percy Bysshe Shelley. Padahal, nama aslinya adalah Mary Wollstonecraft Godwin. 

Nama Shelley adalah nama tambahan dari suami setelah ia menikah.

Mary sebenarnya adalah anak dari Mary Wollstonecraft, salah satu pemikir feminis gelombang pertama yang sangat terkenal dengan karyanya A Vindication of the Rights of Woman

Meskipun lahir dari ibu yang mewarisi tradisi intelektual feminis, identitas Mary sendiri kemudian terserap oleh nama suaminya. 

Kejadian seperti ini tak hanya terjadi di belahan bumi utara. Di belahan bumi selatan seperti di Indonesia, setelah menikah, banyak perempuan yang akan dipanggil dengan nama suami. Seolah nama kita tidak dihargai sebagai identitas yang cukup penting.

Coba saja lihat pelajaran tentang pohon keluarga. Kita mengenal nama ayah, kakek, hingga buyut dari garis laki-laki dalam pohon keluarga ini. Tapi bagaimana dengan nenek, nenek buyut, atau leluhur perempuan kita? Kita diminta membuat diagram dengan kotak-kotak nama keluarga. Nama yang tertulis adalah saudara, kakek sampai buyut dari pihak ayah, dengan nama istri sebagai pendamping di sebelah. Pohon itu tumbuh mengikuti garis keturunan laki-laki. Sistem ini telah mengajarkan kita sejak kecil bahwa garis keturunan yang penting adalah dari ayah. Padahal, DNA kita 50% dari ibu.

Baca Juga: Affan Kurniawan Dibunuh Polisi, Ingatlah Namanya Sebagai Pejuang

Norma patrilineal untuk menamai anak dengan nama keluarga ayah memang mendominasi hampir di seluruh dunia. Kita mewarisi nama keluarga ayah berdasarkan budaya dan sistem yang menegaskan bahwa garis keturunan laki-laki adalah tempat nama keluarga dan harta benda bertahan. Ada yang berargumen bahwa nama keluarga ayah akan memperkuat institusi keluarga atau memberikan anak-anak keamanan finansial yang lebih baik di kemudian hari. Ada juga yang bilang ini cara termudah untuk memastikan warisan nama keluarga tetap berlanjut. 

Para ibu yang seringkali menjadi pengasuh utama, yang mengandung, melahirkan, menyusui, begadang saat anak sakit, mengajarkan kata pertama, justru direndahkan dan didehumanisasi oleh sistem ini. Kontribusi ibu dianggap wajar dan kodrati sehingga tidak layak diabadikan dalam nama. Seperti yang diungkapkan Nivedita Menon di buku Seeing Like a Feminist, dalam keluarga patriarkal virilokal, setelah seorang perempuan meninggalkan rumah orang tuanya, ia mengganti namanya, dan anak-anaknya membawa nama suaminya; dengan begitu, namanya sendiri dilenyapkan dari silsilah. Ia menjadi “istri dari…” dan “ibu dari…”, tetapi tidak pernah diingat sebagai dirinya sendiri. Dalam sistem ini, bukan hanya nama yang hilang, tapi juga hak atas sejarah, atas tanah, atas identitas.

Baca Juga: 5 Perempuan Yang Jarang Disebut Namanya di Hari Pendidikan Nasional

Beberapa artis atau influencer perempuan memilih mengganti nama belakang mereka dengan nama suami di akun media sosial setelah menikah. Coba cek Instagram atau media sosial kamu. Berapa banyak perempuan yang mengganti nama belakangnya dengan nama suami setelah menikah? Atau yang namanya berubah jadi “Mamanya A” setelah punya anak? Nama asli mereka menghilang.

Padahal, mengganti nama belakang dengan nama suami bahkan hanya di media sosial atau sebagai sapaan sehari-hari bisa menghasilkan masalah, bukan sekadar soal identitas, tapi juga hukum. Seperti yang dialami oleh artis Indonesia, Julia Perez (Jupe). Setelah bercerai dari suaminya, Damien Perez, ia tetap dikenal publik dengan nama “Jupe” atau “Julia Perez”, nama yang ia pakai sejak menikah. Namun, mantan suaminya menuntutnya secara hukum karena dianggap masih menggunakan nama keluarga Perez untuk kepentingan komersial, seperti dalam branding dan pekerjaan sebagai artis. Pengadilan Prancis memanggilnya dan menuntut royalti senilai 1 miliar rupiah jika ia menolak melepas nama tersebut.

Baca Juga: Religious Trauma dan Sulitnya Melawan Pola Pikir Patriarkis Atas Nama Norma dan Agama

Mengganti nama belakang dengan nama suami, sering dipandang sebagai bentuk cinta atau simbol bahwa “saya kini milik suami”. 

Banyak perempuan melakukannya bukan hanya karena tradisi, tapi sebagai ungkapan kesetiaan, pengabdian, atau bahkan romantisme seolah-olah menyatakan bahwa hidup mereka telah bersatu. Sedangkan suami tidak pusing soal ganti mengganti nama ini. Jarang atau bahkan tidak ada suami yang mengganti nama belakang dengan nama istri setelah menikah, bahkan jika melakukannya bisa dianggap konyol.

Dalam organisasi Dharma Wanita, praktik penggunaan nama suami di belakang nama istri dilembagakan secara resmi. Seorang perempuan yang menikah tidak hanya disebut dengan nama aslinya, melainkan identitasnya dilekatkan pada suaminya. Misalnya, jika nama seorang perempuan adalah Dewi dan ia menikah dengan Anton Wijaya, maka dalam berbagai surat resmi instansi namanya akan berubah menjadi Ny. Dewi Anton Wijaya. Identitas seorang istri diposisikan sebagai perpanjangan dari identitas suami, sementara namanya sendiri perlahan menghilang dalam dokumen formal. Praktik ini mulai dilembagakan sejak masa Orde Baru.

Baca Juga: Namaku Sam, Keluarga Sulit Menerimaku karena Aku Queer

Meski pahit, kenyataannya adalah belum tentu pernikahan bisa abadi, menggunakan nama suami saja dengan menggantungkan identitas kita dengan individu suami. Bagaimana kalau suami ternyata adalah orang yang bermasalah? Koruptor, pelaku kekerasan, atau terlibat skandal? Nama kita otomatis ikut tercoreng. Citra yang sudah dibangun bertahun-tahun ikut hancur karena kesalahan orang lain.

Begitu juga dengan mengganti nama jadi nama anak. Ini juga pilihan, dan bisa jadi lambang cinta kepada anak. Bangga jadi ibu. Wajar. Banyak perempuan, terutama setelah melahirkan, secara sukarela mengganti panggilan atau identitasnya menjadi “Mamanya A”, “Bunda B”. Bisa dianggap sebagai bentuk deklarasi “Anak saya adalah bagian terpenting dari hidup saya”. Atau menjadi bentuk kasih sayang, simbol bahwa ia telah menemukan makna baru, dan ingin dunia tahu bahwa ia bangga menjadi ibu. Tapi yang perlu dipikirkan adalah apakah identitasnya sebagai individu, sebagai seniman, profesional, pemikir harus dilenyapkan demi menjadi milik anaknya? Apa jadinya jika anak pergi, menolak hubungan, atau meninggal? Maka, perempuan yang telah lama mengidentifikasi dirinya hanya sebagai “ibu dari A” bisa mengalami kehancuran identitas yang mendalam karena ia tidak lagi tahu siapa dirinya tanpa anak.

Baca Juga: Nama Saya Nurul, Penggunaan Nama The Nuruls pada Semua Nurul Itu Misoginis

Di beberapa budaya, masalahnya bahkan lebih kompleks. Ambil contoh budaya Batak. Ada tabu menggunakan nama sendiri setelah menikah. Memanggil seseorang dengan namanya dianggap tidak sopan. Perempuan akan dipanggil dengan marganya atau borunya yang didapat dari marga ayah. Setelah punya anak, dia dipanggil dengan nama anak. Punya cucu? Namanya berganti lagi jadi nama cucu. Dalam praktik ini, identitas pribadinya secara perlahan dihilangkan dari panggilan sehari-hari, digantikan oleh relasi yang terus berganti dari ayah, ke suami, ke anak, ke cucu.

Tradisi ini tidak bisa ditolak. Menolak berarti melawan adat.

Bayangkan kalau ayahnya adalah orang yang menelantarkan keluarga. Atau pelaku kekerasan seksual terhadap anaknya sendiri. Si anak perempuan tetap tidak bisa menolak menggunakan marga ayahnya. Dia terpaksa membawa nama orang yang melukai hidupnya selamanya. Sementara si ayah? Dia tetap bangga dengan marganya, tidak peduli sudah merusak hidup berapa orang. Nama yang seharusnya jadi identitas malah jadi beban. Pengingat trauma yang tidak bisa dilepas.

Dalam buku Men Explain Things to Me, Rebecca Solnit menulis bab Nenek Laba-Laba dengan sebuah renungan tentang seni, sejarah, dan kekuasaan perempuan yang tersembunyi di balik jaring. Ia menggambarkan sebuah lukisan karya Ana Teresa Fernandez yang menampilkan seorang perempuan sedang menjemur seprai, bukan sekadar adegan rumah tangga, tapi metafora tentang kehidupan perempuan. Lukisan itu, meski tak berjudul, termasuk dalam seri Telaraña Spiderweb atau jaring laba-laba. Perempuan yang tampaknya sedang melakukan pekerjaan domestik yang biasa, sebenarnya sedang membentuk jaring kehidupan. 

Jaring itu adalah jaring gender, jaring sejarah, jaring budaya tempat perempuan sering kali terperangkap. Tapi di saat yang sama, ia juga pembuat jaring itu sendiri. Dalam mitos banyak bangsa asli Amerika seperti Hopi, Navajo, dan Cherokee, Spider Grandmother adalah pencipta alam semesta, sosok perempuan tua yang menenun dunia dari benang-benang kosmik.

Baca Juga: Ribuan Nama Rakyat Palestina Korban Genosida Tertulis dalam Poster Aktivis

Solnit melanjutkan refleksinya dengan mengungkap betapa sistematisnya sejarah telah menghapus keberadaan perempuan dari narasi garis keturunan dan pengaruh. Ia mengajak kita membayangkan: hapuskan ibumu, lalu kedua nenekmu, lalu empat nenek buyutmu. Teruskan ke belakang, dan ratusan, bahkan ribuan perempuan akan lenyap dari silsilah. Ibu menghilang, begitu juga ayah dan ibu dari para ibu itu. Semakin jauh kita melangkah, semakin banyak kehidupan yang lenyap seolah-olah tak pernah ada, hingga jaring yang harusnya bercabang hanya menjadi satu garis lurus. Inilah yang menyebabkan narasi selalu dimulai dari laki-laki.

Solnit menjelaskan Dalam beberapa budaya, perempuan tetap mempertahankan nama mereka, tapi dalam kebanyakan, anak-anak membawa nama ayah, dan perempuan yang menikah disebut bukan dengan nama sendiri, melainkan dengan nama suami. Nama-nama ini menghapus genealogi perempuan, bahkan eksistensinya sendiri. Seperti hukum Inggris yang dikemukakan Blackstone pada 1765: “Dengan pernikahan, suami dan istri adalah satu orang dalam hukum yaitu, keberadaan atau eksistensi hukum perempuan ditangguhkan selama pernikahan, perempuan dilindungi dan di bawah payung suami.” 

Perempuan menjadi femme-covert yaitu perempuan yang tertutupi. Suaminya menutupinya seperti seprai. Ia tidak punya eksistensi yang terpisah. Seperti jaring laba-laba, kita bisa belajar dari Spider Grandmother untuk menenun kembali jaring itu, bukan sebagai jerat, tapi sebagai jaringan kehidupan yang rumit, tidak lurus, dan penuh warna di mana nama-nama perempuan akhirnya bisa terlihat lagi.

Terhapusnya Nama Ilmuwan Perempuan

Masalah hilangnya nama perempuan ini tidak hanya terjadi di kehidupan sehari-hari. Di dunia sains pun sama. Ada istilah “Matilda Effect” di mana kontribusi perempuan dalam penelitian ilmiah diabaikan, dilupakan, atau bahkan diklaim oleh laki-laki. Fenomena ini dinamai berdasarkan pejuang hak pilih perempuan, aktivis, dan sosiolog Amerika, Matilda Joslyn Gage. Banyak penemuan besar, terjadi melalui tangan perempuan, namun sejarah hanya mencatat nama laki-laki di balik keberhasilan tersebut.

Sebelumnya, ilmuwan perempuan kebanyakan hanya diberi posisi asisten atau bekerja sebagai sekretaris dan tidak diangkat menjadi ketua. Selain itu, mereka sering kali harus berperan sebagai ibu rumah tangga dan umumnya dianggap kurang serius dibandingkan rekan laki-laki mereka. Faktor lainnya, adalah banyak perempuan bekerja dengan suami mereka, yang juga merupakan ilmuwan, dan saat melakukannya, mereka sering melakukan pekerjaan penting, namun hasilnya tidak diakui.

Seperti Lise Meitner, fisikawan yang karyanya esensial untuk penemuan fisi nuklir, tidak mendapat Nobel Prize pada 1945. Yang dapat adalah Otto Hahn, kolega laki-lakinya. Padahal dari korespondensi mereka, terlihat bahwa Otto Hahn sebenarnya tidak begitu mengerti fisika. Tapi dia yang namanya tercatat dalam sejarah.

Baca Juga: Moetiah, Gerwani yang Dibunuh Atas Nama Politik Orde Baru

Jocelyn Bell Burnell menemukan pulsar pada 1967, tapi Nobel Prize 1974 diberikan kepada pembimbing doktoralnya, Antony Hewish. Esther Lederberg memimpin riset penting tentang rekombinasi genetik, tapi suaminya Joshua Lederberg yang dapat Nobel 1958.

Sampai sekarang, penelitian laki-laki masih lebih sering dikutip daripada perempuan. Di Jerman, tingkat kutipan untuk perempuan 40% lebih rendah. Kenapa? Karena kita masih membayangkan ilmuwan sebagai laki-laki kulit putih. Jadi karya perempuan dianggap kurang kredibel bahkan oleh perempuan sendiri. Untuk melawannya, penting untuk mengangkat kembali nama-nama perempuan yang terhapus dari sejarah sains, sekaligus mengubah cara kita mengutip, mengajar, dan memandang siapa yang layak dianggap sebagai penemu. Karena ilmu pengetahuan bukan milik segelintir laki-laki, melainkan hasil kerja kolektif di mana perempuan juga selalu ada, meski namanya tak pernah disebut.

Maka, jika nama perempuan yang sempat menjadi diskursus di X beberapa waktu lalu dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting daripada banyak hal lain yang mendesak, perlu kita renungkan kembali bahwa penghapusan nama bukanlah masalah kecil, melainkan akar dari ketidakadilan yang sistemik. 

Nama bukan sekadar rangkaian huruf, melainkan penanda eksistensi, sejarah, dan jejak sosial yang menentukan bagaimana seseorang diingat atau bahkan dihapus dari ingatan kolektif. Dengan menganggapnya sepele, kita melanggengkan struktur yang sama yang telah berabad-abad membuat perempuan hilang dari catatan keluarga, sejarah, hingga sains.

Dan meskipun Shakespeare pernah bertanya, “Apalah arti sebuah nama?” kita kini tahu bahwa pertanyaan itu sendiri lahir dari dunia yang hanya mengenal nama laki-laki sebagai nama yang abadi. Jika nama tidak penting, maka yang dimaksud sebenarnya adalah nama perempuan, sebab nama laki-laki tetap dijunjung, diwariskan, dan dijadikan garis keturunan. Maka jangan biarkan namamu dihapus. 

Karena di dunia yang terus melupakan perempuan, mempertahankan nama sendiri adalah tindakan paling dasar dari keberadaan.

(Editor: Luviana Ariyanti) 

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!