Peringatan pemicu: artikel ini membahas tentang perundungan (bullying) dan dugaan bunuh diri yang dapat memicu ketidaknyamanan dan trauma pembaca.
Pada sebuah siang, timeline Instagram saya dikejutkan dengan berita kematian seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali, berinisial TAS. Ia adalah mahasiswa Semester 7 jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud. TAS ditemukan meninggal dunia pada Rabu, 15 Oktober 2025 setelah terjatuh—diperkirakan melompat dan bunuh diri—dari gedung kampus FISIP Unud. Dia diduga mengalami perundungan yang membuatnya mengakhiri hidupnya.
Setelah santer kabar penemuan jasad TAS, beredar pula tangkapan layar berisi ejekan nirempati dari enam mahasiswa Unud dalam sebuah grup obrolan WhatsApp. Hal itu menambah kekalutan saya, mungkin juga para netizen yang membacanya. Lalu kita berujar lirih: betapa nirempati para pem-bully yang notabene berasal dari lintas fakultas dan memiliki jabatan dalam organisasi kemahasiswaan di kampus tersebut! Celakanya, semua ini terjadi di lingkungan kampus, yang idealnya menjadi ruang bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan. Hal ini merupakan komitmen yang telah tertuang dalam Permendikbud Ristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT).
Menurut definisi sosiologi, bullying atau perundungan adalah tindakan agresif yang dilakukan berulangkali oleh individu atau kelompok terhadap individu yang lebih lemah. Baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Berbagai tindakan yang diniatkan menyakiti dan menakut-nakuti termasuk dalam perundungan. Bentuk-bentuknya meliputi bullying fisik (pukulan, dorongan), verbal (ejekan, penghinaan), sosial (pengucilan, penyebaran gosip), dan cyberbullying (penyebaran konten negatif melalui media digital).
Jadi, jika ketika membaca tulisan ini terasa amarah saya, perlu saya sampaikan: betul, saya muak dengan bullying yang lagi-lagi memakan korban.
Baca juga: Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah
Kita bisa melihat perundungan yang TAS alami menggunakan teori konflik. Dari perspektif itu, kejadian tersebut tampak sebagai buncahan relasi kuasa. Ini terjadi antara mahasiswa yang mengklaim diri ‘sempurna’ dan merasa berkuasa, terhadap orang lain yang dianggap memiliki kekurangan dan diposisikan lemah. Terlebih jika situasinya TAS merupakan junior si perundung. Tentu teori konflik tersebut dapat dilihat sebagai ketimpangan kuasa antara senior dan junior. Senior memanfaatkan posisi sosialnya untuk mendominasi dan mempertahankan hierarki yang menguntungkan mereka. Kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjadi alat reproduksi kekuasaan agar struktur sosial yang timpang tetap bertahan.
Usai geger wafatnya TAS, beredar pula berbagai pernyataan yang menjadi kesaksian bahwa ia dikenal sebagai sosok yang baik dan rendah hati. Oleh karena itu, ucapan-ucapan nirempati—yang menurut pihak kampus terjadi setelah TAS meninggal dunia—layak kita renungkan. Bisakah kita bayangkan bagaimana perjuangan TAS saat ia masih hidup, begitu pula korban perundungan lainnya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya, berada dalam kerentanan?
Saya memaknai perundungan sebagai kesunyian bagi korban. Ia adalah beban mental dan situasi psikologis yang sulit diartikulasikan. Korban perundungan kerap kali mengusahakan diri untuk tetap terlihat baik-baik saja, juga berusaha keras untuk bisa ‘sama’ seperti yang lain. Ia berupaya melawan keramaian pikirannya sendiri yang mengatakan, “Kamu berbeda dengan yang lain. Kamu lemah dan tidak berharga.” Ketika ia tidak mampu kembali menapak kaki di lantai serta menghela napas untuk berpisah dengan keramaian pikiran tersebut, muncul perasaan berbeda dan terkucilkan. Itulah yang kadang membuat korban perundungan memilih akhir hidup sebagai hal yang lebih ramah dibandingkan hidup yang tidak lagi ramah bagi mereka.
Baca juga: Sekolah Rakyat Dimulai, Ada Siswa yang Alami Perundungan
Lantas, bagaimana seharusnya peristiwa semacam itu jangan sampai terulang lagi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu bicara tentang kenyataan pahit lainnya. Para pelaku perundungan dalam kasus ini adalah juga mahasiswa yang mempelajari isu sosial, interaksi, dan setidaknya belajar tentang kemanusiaan. Dalam ilmu ini, kita seharusnya belajar tentang harkat, peran, dan tanggung jawab manusia. Serta bertujuan untuk mempromosikan kebebasan, etika, dan penghargaan terhadap individu. Namun pada kenyataannya, semua itu kontradiktif dengan tangkapan layar yang menampilkan kalimat-kalimat perundungan yang mereka lontarkan bahkan setelah TAS meninggal.
Ini menunjukkan bahwa jurusan dan gelar akademik se’mentereng’ apapun, jika tidak dibarengi kemampuan serta kemauan menginternalisasikannya dalam hidup sebagai sebuah nilai, hanya akan menjadi kesia-siaan. Sebab ilmu mestinya memberi pengetahuan tentang cara dunia dan adab memberi navigasi atas kesadaran diri. Lalu budi pekerti menerjemahkan keduanya menjadi tindakan nyata. Tanpa keduanya, gelar cemerlang seperti apapun tak akan memberi manfaat buat sesama dan semua makhluk di sekitar kita.
TAS tentu bukan satu-satunya yang menghadapi kondisi serupa di luar sana. Saya sendiri pernah mengalami perundungan di masa sekolah. Celakanya, hal ini kemudian tak pernah saya bagikan selama 30 tahun hingga menginjak usia dewasa. Di masa ini, barulah saya mengenal dan memberanikan diri untuk menemui psikolog demi berkonsultasi. Beruntung, akhirnya saya sempat menangani pengalaman atas bullying di masa lalu itu dengan serius dan sepenuh hati.
Singkat cerita, pada proses konsultasi tersebut, ada temuan jawaban mengenai perilaku dan sikap saya dewasa ini. Psikolog saya menyebut, cara pikir yang dominan, insecure, tapi reaktif, juga berdampak pada kesehatan dan relasi. “Jadi mari kita kerja sama untuk kembali merapikan cara berpikir yang penuh sedih dan bersumber dari pikiran dan rasa ketakutan ini,” ucap psikolog saya pada suatu sore. Maka hari ini, saya masih di sini dan menuliskan keresahan ini.
Baca juga: Artis Perempuan Terkena Cyberbullying: Mental Kena dan Hampir Bunuh Diri
Kita kembali pada kasus yang dialami TAS. Secara sosiologis, kasus perundungan mahasiswa Unud tersebut menandakan adanya krisis nilai dalam sistem pendidikan dan budaya organisasi mahasiswa. Di bagian ini, saya juga menyampaikan keprihatinan saya pada fenomena yang sudah terjadi itu.
Pada malam setelah kabar wafatnya TAS merebak, di tengah kekalutan dan kemarahan, rencana perkuliahan TAS muncul di timeline media sosial. Di sana tertulis keinginannya untuk mencari dan mendapatkan teman di kampus. Lebih lanjut, lewat sejumlah video yang tersebar, pemuda itu juga diketahui kerap mengikuti aksi massa dan pernah berorasi di sebuah unjuk rasa. TAS dikenal sering terlibat dalam diskusi mendalam tentang masyarakat dan isu-isu sosial.
Bagi korban perundungan, ruang dan sistem pendukung sungguh menjadi hal yang penting. Maka ke mana sistem pendukungnya—rekan-rekan diskusi dan kelompok—yang susah-payah ia himpun sampai di titik semester ke-7 tersebut? Adakah yang menemani dan menanyakan kabar dan perasaan TAS, khususnya pada hari itu?
Di sisi lain, masing-masing dari kita tentu berpacu dengan kepenatan hidup sendiri. Bukan hal yang sepenuhnya keliru; kehidupan memang memaksa kita untuk terus berjalan. Oleh karenanya, kita kerap menjadi acuh dan dituntut untuk individualis. Sosiolog Emile Durkheim pernah berkata, di sinilah kampus sebagai sistem seharusnya membangun solidaritas antar-civitas akademika. Kebersamaan, tolong-menolong, serta kepedulian mesti jadi bagian darinya. Perbedaan antar-individu harus dianggap sebagai kekuatan bersama, bukan dasar hierarki.
Baca juga: Kesehatan Mental: Bullying Bisa Sebabkan Depresi Fatal Pada Anak
Namun, kasus TAS tetap harus menjadi pengingat: jangan sampai ketidakramahan hidup yang dialaminya terjadi lagi. Kenyataannya, ia pernah hidup dan bercita-cita untuk mendapatkan teman. Lalu, usai ia tutup usia dengan tragis, seketika hadir malam renungan dan solidaritas baginya. Sontak semua mengakui TAS sebagai bagian dari mereka. Berbagai poster ucapan belasungkawa beredar dalam berbagai versi. Mulai dari kampus tempatnya menimba ilmu, komunitas, bahkan hingga kementerian dan instansi pemerintah.
Hal ini jangan sampai terulang. Komitmen tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi bukan hanya hiasan dinding di ruang-ruang kelas, ruang dosen, serta diktat dan buku catatan. Ia perlu dibiasakan dan dipraktekkan bersama. Refleksi saya seraya merilis emosi kesedihan di bagian akhir tulisan ini adalah, kita perlu mengupayakan agar kasus TAS jadi yang terakhir. Sempatkan diri untuk menanyakan kabar kawan dan orang-orang di sekitar kita. Tanyakan perasaannya hari ini. Saling bercerita dan mengapresiasi. Jangan biarkan perundungan dan diskriminasi tersimpan oleh kita atau orang lain sendirian.
Kita perlu memutus rantai bullying. Di sisi lain, kita juga mesti pandai mendeteksi tanda, serta menemani satu sama lain, terutama mereka yang menjadi korban perundungan. Jangan biarkan ia sendirian dan tersudut, lalu memilih lari ke lantai tertinggi.
Cukup TAS menjadi yang terakhir. Stop bullying.
(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)






