Riset ini merupakan bagian dari Edisi Khusus Perempuan.
Periode 100 hari pertama pemerintahan jadi sorotan utama Konde.co dalam melihat bagaimana isu perempuan dan keadilan sosial bagi kelompok marjinal dijalankan.
Ini merupakan fase krusial yang mencerminkan arah, prioritas, dan pola kepemimpinan Pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan meningkatnya eksposur informasi melalui media, analisis terhadap narasi dan respons pejabat publik kami harapkan dapat memberikan gambaran tentang dinamika pemerintahan baru.
Pemahaman terhadap sikap dan tindakan pejabat publik ini menjadi penting untuk mengevaluasi bagaimana kebijakan negara dijalankan.
Berangkat dari hal itu, Konde.co melakukan riset tentang pernyataan pejabat negara yang dikumpulkan dari berbagai sumber, antara lain dari 28 media, website organisasi dan media sosial.
Tujuan analisis ini adalah untuk memahami sikap dan pandangan pejabat publik terkait kebijakan 100 hari pemerintahan. Khususnya yang melibatkan keterlibatan publik, serta untuk mengevaluasi respon mereka terhadap kasus-kasus yang menjadi perhatian publik selama periode pemerintahan tersebut. Selain itu, riset ini juga menyoroti perilaku atau tindakan pejabat yang memicu kritik dari masyarakat.
Riset ini memiliki limitasi pada jajaran kabinet merah putih dari Prabowo–Gibran, tidak termasuk jajaran pemerintah di tingkat legislatif dan yudikatif.
Data diperoleh dari liputan media yang diterbitkan selama periode 20 Oktober 2024 hingga 28 Januari 2025. Sumber data didapat dari 28 media lokal, nasional, dan internasional seperti Tempo, CNN Indonesia, Kompas, Kabar24bisnis.com, Suara.com, Ayoindonesia.com, Tirto.id, Antaranews.com, Elshinta.com, Narasi.tv, Kompas.com, KBR.id, Detik.com, Liputan6.com, Mediaindonesia.com, The Jakarta Post, CNBC Indonesia, CNA Indonesia, Kupasbengkulu.com, Asumsi.co, BBC.com, VOI.id, Kumparan.com, Metrotvnews.com, JPPN.com, Kontan.co.id, Bloomberg, dan Katadata. Selain itu, analisis juga mencakup data dari situs resmi seperti mui.or.id dan platform media sosial, termasuk Instagram, X (sebelumnya Twitter), dan YouTube.
Konde.co menemukan sebanyak 144 pernyataan kontroversial dari pejabat kabinet merah putih dalam kurun waktu 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran (20 Oktober 2024 – 28 Januari 2025) yang mendapat kritik publik.
Berdasarkan data tersebut, kami kemudian membaginya dalam 12 kategori pernyataan, antara lain:
1. Isu Perempuan dan Anak
Secara umum, isu perempuan tidak banyak muncul dalam pernyataan-pernyataan pejabat selama 100 hari pemerintahan, apalagi soal isu kesetaraan gender. Jika muncul, malah menjadi kritik publik.
Kondisi ini bukan sesuatu yang mengejutkan, sebab dalam kabinetnya sendiri hanya ada 5 menteri perempuan ditambah 8 wakil menteri perempuan. Dengan kata lain, hanya 13 persen perempuan secara keseluruhan dalam jajaran kabinet merah putih.
Masih di awal masa pemerintahan Prabowo–Gibran, Presiden kala itu melantik Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Ekonomi Kreatif dan Digital yang sempat dilaporkan atas penganiayaan terhadap perempuan. Kendati laporannya dicabut dengan dalih telah diselesaikan secara damai, pelantikan adik Riza Patria ini juga tidak luput dari kritik.
Muramnya keterwakilan perempuan yang sebatas simbolis belaka juga keluar dari pernyataan Menteri Komdigi, Meutya Hafid soal pelantikan artis, Raline Shah sebagai Staf Khusus Kemitraan Global dan Edukasi Digital Komdigi.
“Mbak Raline juga mewakili pekerja seni, Mbak Raline juga mewakili keterwakilan perempuan dan Mbak Raline punya koneksi yang cukup baik dengan komunitas internasional.”
Baca Juga: Demokrasi Hari Ini, Mengapa Para Aktivis Laki-laki Bergabung di Pemerintahan Prabowo?: Wawancara Made Tony Supriatma
Pernyataan Menteri Meutya Hafid menekankan bahwa Raline mewakili beberapa kelompok (pekerja seni, perempuan, dan komunitas internasional). Tetapi tidak dijelaskan bagaimana keterwakilan ini secara spesifik akan diimplementasikan dalam tugas dan kebijakan yang relevan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah penunjukan tersebut benar-benar didasarkan pada keahlian atau hanya sekadar untuk memberikan kesan inklusivitas pada perempuan.
Di sisi lain, latar belakang keluarga Raline Shah yang memiliki hubungan erat dengan politik dan bisnis dapat menimbulkan persepsi bahwa penunjukannya tidak sepenuhnya berbasis kompetensi profesional, melainkan lebih karena jejaring sosial atau hubungan kekuasaan. Hal ini memperkuat kesan adanya konflik kepentingan, sehingga meragukan integritas dan objektivitasnya sebagai staf khusus.
Pernyataan lain datang dari Menteri HAM Natalius Pigai soal pernyataan tidak penting yang memiliki tendensi objektifikasi perempuan.
Pada prosesi pengangkatan pejabat Kementerian HAM Natalius Pigai mengatakan dalam pidatonya, “Saya sudah 13 tahun tidak punya istri, cuma tiga pacar. Tiga bos, saya tiga aja saya nggak pernah macem-macam. Instagram terbuka, Twitter terbuka, Facebook terbuka, WA terbuka, nggak ada yang teror saya. Karena memang kita baik.”
Pernyataan tersebut, meskipun bertujuan untuk menyampaikan pesan agar tidak berselingkuh, memiliki potensi objektifikasi pada perempuan karena cara penyampaiannya lebih berfokus pada jumlah hubungan yang dimiliki dan kesan “citra baik” dari Pigai.
Baca Juga: Pantau ‘Asta Cita’ dalam 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran
Dengan menyebutkan bahwa ia memiliki tiga pacar selama 13 tahun dan menekankan transparansi seperti “Instagram terbuka, Twitter terbuka, Facebook terbuka, WA terbuka,” fokus utamanya terkesan pada pembuktian diri sebagai seseorang yang tidak bermasalah atau “baik,” alih-alih menekankan pentingnya nilai kesetiaan dan penghargaan terhadap pasangan dalam hubungan.
Framing ini dapat mereduksi pasangan hanya sebagai bagian dari pembuktian moralitas pribadi Pigai tanpa memperhatikan mereka sebagai individu yang memiliki perasaan dan agensi. Hal ini, meskipun tidak secara eksplisit objektifikatif, dapat menciptakan kesan bahwa perempuan dalam konteks tersebut tidak sepenuhnya dihargai sebagai individu, melainkan sebagai elemen yang mendukung citra Pigai.
Selain Menteri, pejabat seperti Miftah Maulana yang sebelumnya memegang jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, juga bermasalah dalam isu perempuan. Dirinya tertangkap video melecehkan sinden Yati Pesek dengan mengatakan,“Aku bersyukur Bude Yati jelek, makanya jadi sinden. Kalau cantik jadi lont* ini. Aku takut mati duluan, sudah kedaluwarsa ini susunya.”
Meski telah mengundurkan diri, rekam jejak buruk Miftah yang sempat menjabat menjadi preseden buruk pemerintahan Prabowo–Gibran dalam isu kesetaraan gender.
Pada isu anak, salah satu pernyataan yang menuai kritik adalah pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Choiri Fauzi. soal larangan murid mendapat penugasan lewat gawai, yang dapat dinilai tidak menyentuh akar masalah. Masalah penggunaan gawai pada anak seharusnya diselesaikan secara menyeluruh.
“Kalau kami sedang mengusulkan kepada Mendikdasmen, ‘Prof boleh enggak kami dari kementerian mengusulkan untuk tidak menugaskan sekolah ke anak-anak tidak lagi melalui gadget tetapi melalui manual saja,” sebut Arifatul Choiri Fauzi.
Baca Juga: Dikriminalisasi Hingga Dilecehkan, Perempuan Pembela HAM Hadapi Ancaman Berlapis di Indonesia
Seiring dengan itu, Meutya Hafid, Menteri Komdigi juga mengungkapkan pernyataan senada.
“Pada prinsipnya gini, sambil menjembatani aturan yang lebih ajeg, pemerintah akan mengeluarkan aturan pemerintah terlebih dahulu (mengenai batas usia mengakses medsos) sambil kemudian kajian perlindungan anaknya lebih kuatnya lagi, karena harus melibatkan DPR itu akan kita siapkan.”
Kedua pernyataan tersebut dapat dikritik karena cenderung menyederhanakan persoalan kompleks dalam pendidikan berbasis teknologi tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
Masalah utama bukan terletak pada penggunaan gawai itu sendiri, melainkan pada kesenjangan akses terhadap perangkat dan literasi digital yang belum merata. Mengusulkan penghapusan tugas berbasis digital dan kembali ke metode manual belum tentu menyelesaikan persoalan mendasar terkait kualitas pendidikan dan akses yang setara.
Selain itu, pernyataan ini harus didukung dengan analisis mendalam atau bukti empiris yang menunjukkan bahwa metode manual lebih efektif daripada pembelajaran berbasis teknologi. Dengan hanya berfokus pada media pembelajaran tanpa mempertimbangkan inovasi pedagogis atau metode pengajaran yang lebih baik, pernyataan ini terlihat reaktif, bukan solutif.
Solusi yang lebih relevan seharusnya diarahkan pada pengelolaan penggunaan gadget secara bijak, pengembangan literasi digital, serta pemberdayaan guru dan siswa untuk memanfaatkan teknologi secara optimal dalam proses pembelajaran.
2. Pemilihan Pejabat yang Tidak Berdasar
Pemilihan sejumlah pejabat oleh kabinet Prabowo–Gibran juga menuai kritik tajam karena dianggap tidak didasarkan pada pertimbangan kompetensi maupun rekam jejak yang relevan.
Selain Miftah Maulana dan Ahmad Ridha Sabana, beberapa pelantikan lain juga memicu pertanyaan, terutama karena justifikasi yang diberikan oleh para penunjuk jabatan cenderung mengabaikan aspek substansial.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, misalnya, melantik Raline Shah dan Rudi Sutanto sebagai staf khusus dengan alasan yang dianggap lemah. Untuk Rudi Sutanto, yang dikenal sebagai seorang pendengung (buzzer), Meutya berdalih bahwa dirinya “tidak mau berspekulasi” terkait rekam jejak Rudi, meskipun keterlibatan Rudi dalam strategi komunikasi politik menjadi sorotan.
Meutya hanya menyebut bahwa dari CV yang diterima, Rudi adalah ahli strategi komunikasi, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai kredibilitas atau dampak dari peran Rudi dalam kementerian. Pernyataan ini mencerminkan kurangnya kehati-hatian dalam proses seleksi pejabat strategis di kementerian, terutama di bidang yang berhubungan erat dengan opini publik.
“Saya enggak tahu ya. Rudi Sutanto yang saya kenal ya Rudi Sutanto. Jadi saya tidak mau berspekulasi mengenai apa siapa Rudi Sutanto, yang dari CV yang kami terima beliau memang juga adalah strategi komunikasi. Jadi juga mewarnai di kementerian ini, karena secara kementerian juga ini enggak cuma digital tapi juga di bidang komunikasi.”
Baca Juga: Wibu Turun Aksi #PeringatanDarurat, Tanda Politik Indonesia Lagi Gawat?
Kritik serupa juga muncul atas pelantikan selebritas Raffi Ahmad sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Meskipun Raffi dikenal luas sebagai figur publik, penunjukannya dianggap tidak memiliki landasan profesional yang jelas, terutama untuk peran strategis seperti pembinaan generasi muda.
Dalam waktu singkat setelah dilantik, Raffi bahkan terlibat beberapa kontroversi, termasuk tuduhan penggunaan gelar doktor honoris causa palsu dan insiden arogansi terkait penggunaan mobil patwal. Kontroversi ini memperburuk citra pelantikan tersebut, menunjukkan kurangnya kehati-hatian dalam menilai dampak potensial dari penunjukan figur publik yang rentan terhadap sorotan negatif.
Secara keseluruhan, rangkaian pelantikan ini menyoroti masalah serius dalam proses seleksi pejabat yang seharusnya tebal pada transparansi, akuntabilitas, dan fokus pada integritas, alih-alih demikian, kompetensi tampaknya diabaikan. Tanpa landasan yang kuat, keputusan semacam ini tidak hanya berisiko merusak kepercayaan publik tetapi juga mengurangi efektivitas lembaga dalam menjalankan tugasnya.
3. Gaya Otoritarianisme
Kecenderungan otoriter dalam pemerintahan Prabowo sudah mulai terlihat dari caranya menyikapi perbedaan pendapat. Salah satu ciri utama otoritarianisme adalah menuntut kepatuhan mutlak dan menekan pihak yang tidak sejalan. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataannya.
“Yang tidak mendukung hal ini (makan siang gratis), silahkan keluar dari pemerintah yang saya pimpin.”
Pernyataan ini berbahaya karena menutup ruang dialog dalam sistem pemerintahan yang seharusnya demokratis.
Seharusnya, dalam sistem demokrasi, kebijakan harus melalui uji publik, kajian akademik, dan pembahasan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Namun, dengan ancaman ini, Prabowo menutup ruang diskusi bagi anggota pemerintahannya sendiri, yang mencerminkan sikap otoriter dan anti kritik.
Selain itu, sikapnya yang merendahkan intelektualisme tampak dalam pernyataannya terhadap akademisi yang mengkritik programnya.
“Saya mau bikin program memberi makan untuk semua anak Indonesia pun diejek. Pun ada yang tidak setuju sampai sekarang. Sekarang ada profesor-profesor yang pintar-pintar kok tidak setuju? Heran saya. Profesor pintar atau bodoh? Saya tidak tahu.”
Baca Juga: Perempuan Lintas Iman Menolak Diam, Gemakan Doa Selamatkan Demokrasi
Serangan terhadap intelektual menunjukkan bahwa pemerintahan ini tidak siap dengan kritik berbasis data. Padahal, akademisi memiliki peran penting dalam menelaah kebijakan publik secara objektif. Jika pemerintah mulai menstigmatisasi akademisi yang kritis, maka ini merupakan tanda bahwa kebijakan tidak didasarkan pada perdebatan rasional, tetapi lebih pada kehendak absolut penguasa.
Sikap otoriter ini juga tampak dalam hubungannya dengan pers. Pernyataannya kepada jurnalis, “Saya kira media ini masih muda, ya. Jadi ada hal yang kalau orang tua berbicara, anak-anak harus nunggu di luar,” memperlihatkan pola pikir hierarkis dan tidak menghormati kebebasan pers.
Pernyataan tersebut menunjukkan sikap yang menganggap bahwa jurnalis bukan bagian dari sistem checks and balances dalam demokrasi, tetapi hanya sebagai pihak yang harus tunduk terhadap narasi pemerintah. Hal ini mengancam kebebasan pers dan independensi media dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya.
Pers seharusnya memiliki hak yang sama dalam menggali informasi dan mempertanyakan kebijakan pemerintah, bukan justru dianggap sebagai “anak-anak” yang harus menunggu di luar.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional, Perjuangkan Investasi Gender dan Jaga Demokrasi Perempuan
Wakil Presiden Gibran Rakabuming bahkan lebih jauh menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi inisiatif lain di luar visi presiden.
“Sekali lagi Bapak/Ibu saya garis bawahi tidak ada visi lain selain visi Bapak Presiden Prabowo. Tidak ada program lain selain program Bapak Presiden Prabowo.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa semua kebijakan harus tunduk pada satu garis komando tanpa ada ruang bagi inovasi atau kebijakan alternatif dari daerah maupun kementerian. Kondisi ini dapat menciptakan homogenisasi kebijakan.
Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri, juga menunjukkan indikasi intervensi pemerintah pusat dalam kewenangan atau otonomi daerah dengan menyatakan, “Saya sudah melakukan zoom meeting dengan seluruh sekda-sekda sebagian sudah mengalokasikan anggaran di APBD-nya.”
Intervensi seperti ini dapat mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang mengikis prinsip otonomi daerah. Jika ini dibiarkan, maka pemerintah daerah hanya akan menjadi kepanjangan tangan pusat tanpa fleksibilitas dalam menentukan kebijakan sesuai dengan kebutuhan lokalnya.
4. Isu Lingkungan yang Tidak Berperspektif Ekologis
Ketidakpekaan terhadap isu lingkungan menjadi salah satu aspek yang mencemaskan dalam pemerintahan ini.
Alih-alih berkomitmen pada keberlanjutan, berbagai pernyataan pejabat menunjukkan bahwa orientasi mereka lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan dampak ekologis jangka panjang.
Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, mencoba merasionalisasi proyek food estate dengan menyatakan:
“Tidak usah khawatir, saudara-saudara, kami tidak menebang pohon baru, karena itu di Merauke memang dulunya sudah dipersiapkan untuk pertanian, jadi sudah datar, rata, dan tidak ada pohon-pohon yang lain.”
Baca Juga: Lightstick K-Pop sampai Meme, Cara Generasi Muda Korsel Demo Makzulkan Presiden
Pernyataan ini bertentangan dengan laporan dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang menyebut bahwa food estate di Merauke akan menyebabkan deforestasi besar-besaran. Proyek ini bukan hanya akan menghancurkan ekosistem, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
Raja Juli Antoni bahkan mengungkapkan ambisi yang lebih besar dengan menyatakan, “Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air.”
Angka 20 juta hektare ini sangat mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa pemerintah memiliki agenda besar dalam eksploitasi hutan tanpa pertimbangan ekologis yang matang.
Prabowo sendiri tidak menunjukkan komitmen terhadap konservasi lingkungan dengan pernyataannya, “Saya kira ke depan kita harus tambah tanam sawit. Nggak usah takut membahayakan, deforestasi.”
Pernyataan ini bertentangan dengan berbagai riset yang menunjukkan bahwa industri kelapa sawit adalah salah satu penyebab utama hilangnya hutan tropis di Indonesia. Jika ekspansi sawit terus digenjot tanpa regulasi yang ketat, maka Indonesia akan kehilangan aset ekologisnya dengan dampak jangka panjang yang tidak bisa diperbaiki.
5. Bias Kelas
Salah satu masalah besar dalam pemerintahan ini adalah bagaimana pejabat negara seringkali menunjukkan disconnect dari realitas sosial masyarakat.
Tito Karnavian, misalnya, mencoba menyangkal menurunnya daya beli masyarakat dengan mengatakan, “Artinya apa, masyarakat punya uang untuk merawat pribadi. Ya ke salon, mungkin datang ke apa namanya itu pijit kaki, potong rambut, buat fesyen-fesyen.”
Pernyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa indikator kesejahteraan masyarakat dapat diukur dari konsumsi gaya hidup. Padahal, deflasi yang terjadi lebih disebabkan oleh daya beli masyarakat yang menurun drastis akibat berbagai faktor ekonomi.
Sementara itu, Immanuel Ebenezer (Noel), Wakil Menteri Ketenagakerjaan, memberikan respons yang sangat tidak solutif terhadap sulitnya lapangan kerja bagi Gen Z dengan berkata, “Bisnis online lewat rumah, ngapain lagi mencari pekerja kawan-kawan bisnis saja begitu.”
Pernyataan ini mengabaikan fakta bahwa tidak semua orang memiliki modal untuk memulai bisnis. Jika pemerintah tidak menyediakan kebijakan yang berpihak pada penciptaan lapangan kerja formal, maka ketimpangan ekonomi akan semakin tajam.
6. Komentar Tidak Berdasar dan Asal Bunyi (Asbun)
Dalam pemerintahan, pernyataan pejabat publik seharusnya didasarkan pada data, analisis yang matang, serta bertanggung jawab terhadap dampak dari ucapan tersebut.
Namun, dalam kabinet Prabowo, berbagai pernyataan yang tidak berdasar dan asal ucap (asbun) justru menjadi tren yang mencerminkan lemahnya pemahaman kebijakan serta rendahnya standar komunikasi publik.
Budi Gunawan, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, mengklaim:
“Di awal tahun ini, Bapak Presiden juga memberikan hadiah istimewa berupa pembatalan kenaikan PPN dari rencana 12% menjadi tetap 11%.”
Pernyataan ini secara tidak langsung menyesatkan publik karena membingkai keputusan ekonomi sebagai “hadiah” dari Presiden, seolah-olah ini adalah kemurahan hati pemerintah, bukan kebijakan yang harus mempertimbangkan daya beli rakyat. Padahal, kebijakan ini bukan hadiah, melainkan keputusan fiskal yang seharusnya berdasarkan analisis ekonomi, bukan ajang unjuk politik populis.
Sementara itu, Natalius Pigai mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kurangnya perencanaan program:
“Kami tidak punya program 100 hari. Kami punya program emergency conditions untuk membangun rakyat dan bangsa dan negara selama lima tahun kalau dipertahankan.”
Baca Juga: Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin
Ketidakjelasan program dalam 100 hari pertama adalah indikasi lemahnya visi dan strategi pemerintahan. Program “emergency conditions” juga tidak dijelaskan secara konkret, seolah-olah pemerintahan hanya akan beroperasi dalam mode darurat tanpa landasan kebijakan yang sistematis.
Lebih parah lagi, Natalius Pigai dalam rapat resmi DPR mengakui bahwa ia tidak membaca bahan yang diberikan:
“Bapak pimpinan dan para anggota yang saya hormati, saya mungkin tidak terlalu banyak membaca ya, bahan-bahan yang disediakan oleh kami. Karena saya sendiri berasal dari tukang parkir.”
Pernyataan ini bukan hanya mempermalukan dirinya sendiri, tetapi juga mencerminkan rendahnya standar kompetensi di lingkaran kekuasaan. Pejabat publik seharusnya memiliki kapasitas membaca, memahami, dan mendiskusikan kebijakan secara kritis, bukan justru menggunakan latar belakang pribadi sebagai alasan untuk tidak mempersiapkan diri.
Tito Karnavian pun ikut melontarkan pernyataan yang terkesan tidak profesional ketika membahas peretasan terhadap situs lembaga negara:
“Tapi, saya enggak nantang temen-temen hacker, enggak. Tolong, jangan juga dihajar gitu.”
Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Diprediksi Naik, Tapi Masih Ada Belenggu Masalah Ini
Pernyataan ini menggambarkan betapa lemahnya pemerintah dalam menghadapi ancaman siber. Bukannya menunjukkan sikap tegas untuk memperkuat sistem keamanan digital negara, ia justru terlihat seperti meminta belas kasihan dari para peretas.
Maman Abdurrahman, Menteri UMKM, juga membuat pernyataan yang menimbulkan kontroversi:
“Tujuan kita kan sebetulnya ingin memberikan ruang kepada mereka yang masuk di sektor usaha kecil dan menengah agar mereka bisa tumbuh masuk ke usaha besar.”
Namun, kebijakan yang mendorong UKM untuk mengelola tambang menimbulkan pertanyaan besar, bukan hanya dari sisi kelayakan bisnis, tetapi juga dari aspek kepentingan politik dan dampak lingkungan. Industri tambang adalah sektor ekstraktif yang memiliki risiko tinggi terhadap ekosistem dan masyarakat sekitar. Alih-alih memberdayakan UKM secara berkelanjutan, kebijakan ini justru dapat membuka ruang bagi eksploitasi lingkungan dengan dalih partisipasi ekonomi rakyat.
Tambang sering kali berhubungan erat dengan kepentingan oligarki dan korporasi besar, sehingga memberikan akses kepada UKM dalam industri ini bisa menjadi strategi politik untuk melanggengkan kepentingan kelompok tertentu. Bukannya menciptakan kemandirian ekonomi berbasis industri hijau atau ekonomi kreatif, UKM malah diarahkan ke sektor yang sarat konflik lahan, perusakan ekosistem, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
7. Kontradiktif Menggunakan Kekuasaan
Salah satu ciri khas pemerintahan yang bermasalah adalah ketika mereka menetapkan aturan tetapi melanggarnya sendiri demi kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Prabowo, yang seharusnya menjaga netralitas dalam Pilkada, justru secara terang-terangan mendukung calon gubernur tertentu. Hal ini juga diperparah oleh keterlibatan selebritas seperti Raffi Ahmad, yang mendukung Ridwan Kamil dan Andra Soni. Keberpihakan semacam ini mengaburkan batas antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi/partai politik.
Lebih dari itu, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk program bansos bertajuk “Bantuan Wapres” menunjukkan bagaimana kebijakan sosial sering kali dipolitisasi demi citra pemerintah. Alih-alih didistribusikan secara transparan dan berbasis kebutuhan, bantuan sosial kerap digunakan sebagai alat mobilisasi dukungan politik.
Status sebagai pejabat publik juga disalahgunakan oleh Yandri Susanto, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Ia memakai kop surat kementerian untuk acara haul pribadinya.
Saat disinggung soal kasus yang menimpa di pekan pertamanya menjabat, Yandri mengatakan “Ya [ada kesalahan] karena kan saya baru jadi menteri. Saya kan memang tiga periode di DPR ya, kan ya maklumlah baru belajar.” Ungkapan tersebut disampaikan untuk memaklumi kesewenang-wenangan yang dilakukan.
Baca Juga: Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu
Pada musim Pilkada, Yandri juga terlihat ikut dalam kampanye di Bengkulu untuk mendukung calon yang berasal dari keluarga Zulkifli Hasan.
Pelanggaran terhadap prinsip meritokrasi juga terlihat dalam kebijakan rekrutmen pegawai Kominfo (kini Komdigi) yang saat itu dipegang oleh Budi Arie. Ketika ditanya soal islah rekrutmen pegawai bermasalah tersebut, Budi Arie yang kini jadi Menteri Koperasi menjawab enteng, ” Skill Lebih Utama dari Ijazah.”
Pernyataan ini kontradiktif dengan prinsip seleksi berbasis kompetensi. Jika alasan ini digunakan untuk merekrut pegawai yang tidak memenuhi syarat seleksi resmi, maka kebijakan ini membuka ruang bagi nepotisme dan penyalahgunaan kewenangan.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, juga menghadapi kontroversi karena diduga memecat pekerja tanpa prosedur yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan institusi yang bertanggung jawab atas pendidikan dan inovasi pun tidak terbebas dari kebijakan semena-mena yang bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan.
Seluruh tindakan ini menunjukkan bagaimana pemerintahan Prabowo sering kali menetapkan aturan tetapi melanggarnya sendiri untuk kepentingan tertentu, yang semakin memperlemah sistem hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik.
8. Tidak Berperspektif Keberagaman
Di tengah masyarakat yang majemuk, pemerintah seharusnya menjadi perekat yang menjaga keseimbangan dan harmoni antar kelompok.
Namun, berbagai pernyataan dari pejabat negara justru memperkuat polarisasi dan mengabaikan perspektif keberagaman.
Maruarar Sirait, misalnya, dengan terang-terangan menyatakan:
“Kemudian pemilih-pemilih non muslim meninggalkan Rano Karno karena didukung Anies. Meninggalkan Pramono karena didukung oleh Anies.”
Pernyataan ini seolah-olah menegaskan bahwa faktor agama menjadi penentu utama dalam preferensi politik masyarakat, dan justru memperkuat sentimen negatif terhadap kelompok tertentu. Alih-alih merangkul keberagaman, pernyataan ini justru mempertajam sekat-sekat identitas yang berbahaya bagi kohesi sosial.
Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh
Hal yang lebih mengkhawatirkan datang dari Nasarudin Umar, yang mengatakan:
“Kita berada di jalan Thamrin-Sudirman, ini segitiga emas, sekalian sepanjang Thamrin-Sudirman dan sepanjang Kuningan tidak ada masjid nongol di jalan.”
“Mestinya kita jangan biarkan daerah Jakarta ini tidak ada masjidnya. Sekitar 1.000 hektare di Pantai Indah Kapuk (PIK) tidak ada suara adzan.”
Pernyataan ini menunjukkan kecenderungan untuk melihat tata kota hanya dari perspektif satu kelompok, tanpa mempertimbangkan keberagaman yang ada.
Jakarta adalah kota dengan berbagai komunitas agama dan budaya, dan setiap kebijakan tata ruang seharusnya didasarkan pada keseimbangan antara berbagai kepentingan, bukan sekadar narasi sektarian.
Ketidakpekaan terhadap keberagaman dalam pemerintahan ini semakin memperlihatkan bahwa alih-alih menjadi perekat bangsa, negara justru bisa menjadi faktor pemecah belah jika tidak berhati-hati dalam membangun kebijakan berbasis inklusivitas.
9. Distorsi Pernyataan
Distorsi pernyataan sering kali menjadi strategi komunikasi politik untuk memberikan kesan positif terhadap kebijakan yang sebenarnya tidak membawa perubahan signifikan atau bahkan menutupi fakta yang ada. Salah satu contoh nyata adalah pernyataan Prabowo mengenai kesejahteraan guru:
“Kita telah meningkatkan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang berstatus ASN dan PPPK serta guru-guru non-ASN. Guru ASN mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar 1 kali gaji pokok. Guru-guru non-ASN, nilai tunjangan profesinya ditingkatkan menjadi Rp2 juta.”
Pernyataan ini menggunakan bahasa yang seolah menggambarkan adanya kenaikan gaji guru. Namun, jika dianalisis lebih kritis, tidak ada kenaikan gaji yang dimaksud. Sejak 2008, Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi guru ASN yang telah mendapat sertifikat pendidik memang sebesar satu kali gaji pokok. “Ditingkatkan menjadi 2 juta” juga ambigu, dalam realitanya, kenaikan tunjangan hanya Rp500.000.
Baca Juga: Caleg Cantik dan Baliho “Mamah Semok” Menjual Sensualitas Perempuan? Ini Kampanye di Tengah Politik yang Sakit
Pernyataan tersebut adalah bentuk permainan narasi yang berpotensi menyesatkan publik, terutama bagi mereka yang tidak mencermati kebijakan secara mendetail. Hal yang sama terjadi pada pernyataan Airlangga Hartanto terkait Pantai Indah Kapuk (PIK) 2:
“PIK 2 tidak pernah jadi PSN. Yang menjadi PSN adalah ekowisata di sana. Coastland.”
Namun, Kementerian Investasi sendiri mengungkapkan bahwa PIK 2 memang telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Rapat Internal di Istana Negara pada Maret 2024. Pernyataan Airlangga ini bukan hanya bertentangan dengan fakta, tetapi juga menunjukkan upaya manipulasi informasi terkait proyek-proyek besar yang sering kali melibatkan kepentingan bisnis dan investasi.
Distorsi seperti ini berbahaya karena mengaburkan transparansi kebijakan dan menghindarkan pemerintah dari akuntabilitas yang seharusnya mereka emban.
10. Pernyataan tak Berperspektif HAM
Sikap abai terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sorotan dalam pemerintahan ini, terutama melalui pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
Dalam berbagai kesempatan, Yusril secara konsisten meremehkan atau bahkan menolak signifikansi pelanggaran HAM masa lalu.
“Jangan kita terus melihat ke masa yang lalu. Apalagi masa lalu itu sudah susah sekali untuk kita ungkap, mungkin karena bukti-buktinya sudah tidak ada, atau peristiwa itu sudah lama sekali.”
Pernyataan ini menunjukkan kecenderungan untuk mengubur kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan dalih waktu yang telah berlalu. Padahal, banyak negara telah menunjukkan bahwa penyelesaian kasus HAM dapat dilakukan bahkan setelah puluhan tahun berlalu.
Ketika ditanya mengenai peristiwa 1998, Yusril dengan tegas menyatakan:
“Enggak (peristiwa 98 bukan pelanggaran HAM berat).”
Sikap ini mencerminkan penyangkalan terhadap fakta sejarah yang telah diakui oleh banyak pihak, termasuk para penyintas dan organisasi HAM. Bahkan ketika diminta tanggapan tentang kasus penembakan Gamma oleh aparat, ia hanya menjawab:
“Nanti saja.”
Baca Juga: Terganggu Dengan Baliho Pemilu Karena Rusak Lingkungan? Banyak Pohon Dipaku Dan Bikin Sampah
Pernyataan tersebut dinilai aktivis HAM sebagai bentuk pelecehan terhadap hak-hak korban yang telah lama menuntut keadilan. Selain itu, pernyataan berikutnya memperjelas bahwa orientasi kebijakan hukum saat ini lebih condong ke arah impunitas.
“Presiden Prabowo memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk tindak pidana korupsi.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, ada potensi besar penyalahgunaan kewenangan untuk melindungi pihak-pihak yang terlibat dalam kasus korupsi atau pelanggaran HAM. Jika amnesti dan abolisi dapat diberikan secara sewenang-wenang, maka hal ini akan semakin melemahkan sistem hukum dan menciptakan preseden buruk bagi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
11. Pembungkaman Kebebasan Berekspresi
Pemerintah yang represif sering kali menggunakan dalih “keamanan” untuk membatasi kebebasan berekspresi, dan hal ini mulai terlihat dalam berbagai kebijakan yang diambil.
Salah satu contoh nyata adalah penunjukan Brigjen Pol Alexander Sabar sebagai Plt Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi. Langkah ini menuai kritik luas karena melibatkan pejabat kepolisian dalam pengawasan ruang digital, yang berpotensi mempersempit kebebasan berpendapat dan meningkatkan kontrol negara atas opini publik.
Di sisi lain, Prabowo juga melemparkan wacana yang berpotensi mereduksi demokrasi:
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati.”
Usulan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi langsung yang telah diterapkan di Indonesia pasca reformasi. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka ada risiko besar bahwa pemilihan akan lebih dipengaruhi oleh transaksi politik daripada aspirasi rakyat.
Selain itu, pembungkaman juga terjadi di dunia seni. Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, dengan alasan moralitas, mewajarkan penurunan lukisan pelukis, Yos Suprapto yang dianggap tidak pantas:
“Ada yang telanjang. Sedang bersetubuh. Itu tidak pantas.”
Kondisi tersebut menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk mengontrol ekspresi seni dengan standar moralitas yang sempit, yang justru dapat menghambat perkembangan kebebasan berekspresi di ruang budaya dan intelektual.
12. Watak Militerisme
Watak militerisme dalam pemerintahan ini semakin tampak dalam berbagai kebijakan yang mengedepankan pendekatan militer dalam aspek yang seharusnya berbasis sipil.
Salah satu contohnya adalah kebijakan penggunaan TNI dalam sektor pertanian di Papua dengan alasan tenaga kerja yang kurang.
“Ini karena tenaga kerja di sana [Papua] kurang dan mengedukasi, kita kolaborasi karena TNI, kan, sangat disiplin,” kata Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian.
Dalih “disiplin” yang digunakan untuk melibatkan militer dalam sektor pertanian menunjukkan pola pikir yang cenderung mengedepankan pendekatan komando daripada pendekatan berbasis pembangunan masyarakat. Padahal, ketahanan pangan seharusnya menjadi ranah sipil yang berbasis riset dan partisipasi masyarakat, bukan justru dijadikan ruang intervensi militer.
TNI juga kini dapat menjabat tanpa harus pensiun menjadi pejabat setingkat menteri. Hal ini terjadi pada Mayor Teddy yang diangkat menjadi Sekretaris Kabinet. Kasus ini menjadi indikasi kembalinya Dwi Fungsi TNI dalam penyelenggaraan negara.
Baca Juga: Nenden Sekar Arum: Ini Tahun Politik, Perempuan Jadi Korban Digital, Tapi Tak Dianggap Vital
Selain itu, ada rencana retreat bagi kepala daerah yang mencerminkan upaya pelembagaan mentalitas militer dalam pemerintahan sipil. Pada November 2024, hal ini diungkap Gibran Rakabuming hingga akhirnya direalisasikan oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Ini mungkin Pak Mendagri mungkin tahun depan ini rakornya kita geser aja ke Akmil, Akmil Magelang.”
“Kita kemarin tiga hari, tapi mungkin untuk kepala-kepala daerah ya minimal lima hari.”
Pendekatan seperti ini menimbulkan kekhawatiran bahwa gaya kepemimpinan yang ingin ditanamkan dalam pemerintahan lebih menekankan kepatuhan dan hierarki daripada keterbukaan dan deliberasi. Jika kepala daerah dibentuk dalam kultur militeristik, maka pola kepemimpinan yang lahir cenderung otoriter dan kurang akomodatif terhadap aspirasi rakyat.
Peningkatan peran militer dalam berbagai aspek sipil ini berpotensi mempersempit ruang demokrasi. Mengurangi kontrol sipil atas kebijakan publik, dan melemahkan prinsip-prinsip pemerintahan yang partisipatif.
Militerisme yang semakin mengakar dalam pemerintahan dan dapat mengancam kebebasan politik. Serta membentuk pemerintahan yang lebih represif dalam mengelola perbedaan pendapat dan oposisi.
Berbenah atau Sabar Kami Habis Sudah
Refleksi terhadap 100 hari pertama pemerintahan Prabowo–Gibran mengungkapkan kelemahan mendasar dalam memahami dan menangani isu kesetaraan gender serta keadilan sosial secara menyeluruh.
Representasi perempuan dalam kabinet yang hanya mencapai 13 persen, menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di pemerintahan hanya mencapai keterwakilan simbolis belaka. Penunjukan pejabat seperti Raline Shah dengan alasan “keterwakilan perempuan,” tanpa kejelasan kontribusi strategis yang nyata, memperlihatkan bahwa keterlibatan perempuan sering kali hanya menjadi alat untuk membangun citra inklusivitas tanpa menyentuh akar permasalahan ketimpangan struktural.
Selain itu, pernyataan seksis dan bias yang disampaikan oleh sejumlah pejabat negara mencerminkan kurangnya pemahaman dan kepekaan terhadap pentingnya menghormati perempuan sebagai individu dengan agensi penuh. Ketika perempuan direduksi menjadi objek moralitas atau pelengkap narasi politik, hal ini tidak hanya menciptakan luka simbolis, tetapi juga memperkuat struktur sosial yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
Minimnya gerakan konkret yang dirancang untuk memberdayakan perempuan dan mengatasi ketimpangan gender menegaskan bahwa perempuan belum menjadi prioritas dalam visi pembangunan negara ini jika dilihat dari 100 hari kerja pemerintahan.
Baca Juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’
Ketidakadilan juga tampak dalam isu lingkungan. Kebijakan yang mendorong eksploitasi sumber daya alam tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap perempuan, khususnya perempuan adat yang bergantung pada ekosistem lokal untuk keberlangsungan hidup mereka. Kebijakan ini menghancurkan lingkungan berturut komunitas perempuan yang sering kali menjadi tulang punggung keluarga dan komunitas di wilayah terdampak.
Di sisi lain, pola otoritarianisme yang mulai terlihat dalam pemerintahan ini membawa ancaman serius bagi kelompok-kelompok marjinal, termasuk perempuan. Ketika ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat dipersempit, perempuan yang sering kali berada di garis depan perjuangan untuk hak-hak sosial akan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kebijakan represif. Pemerintah tampak belum siap menerima kritik dan masukan dari berbagai kelompok, termasuk perempuan, yang seharusnya menjadi bagian integral dalam pengambilan keputusan.
Tanpa langkah nyata untuk merombak sistem yang bias, eksploitatif, dan tidak berpihak pada keadilan sosial, pemerintahan ini hanya akan memperdalam ketimpangan yang sudah ada. Dibutuhkan komitmen kuat untuk memastikan bahwa perempuan tidak hanya sekadar diwakili, tetapi juga diakui sebagai aktor penting dalam semua aspek pembangunan.
Baca Juga: Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru
Secara keseluruhan, evaluasi ini mencerminkan bahwa pemerintahan Prabowo–Gibran masih jauh dari harapan publik untuk membangun tata kelola yang inklusif, demokratis, dan berbasis keadilan sosial dari 100 hari kerja. Pemerintah harus segera mengubah arah, memperkuat komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keberlanjutan.
Transparansi dalam proses pengambilan keputusan, penghormatan terhadap kritik, dan keterlibatan masyarakat secara luas adalah langkah-langkah mendasar yang harus diambil untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Jika tidak, potensi krisis legitimasi politik akan semakin besar, membawa risiko yang jauh lebih serius bagi stabilitas sosial dan masa depan demokrasi di Indonesia.
Tim riset
Periset: Luthfi Maulana Adhari
Grafis: Ardiles
Editor: Salsabila Putri Pertiwi, Nurul Nur Azizah, Luviana Ariyanti