Awal bulan lalu, aku menghadiri pra-acara Women’s March Jakarta 2023 bertajuk ‘Jati Diri: Ragam Warna Identitas’. Hadir berupa Open Mic, pra-acara ini menghadirkan penampilan publik dengan beragam ekspresi terkait keresahan yang terasa kolektif.
Perjalanan menemukan dan menyuarakan jati diri tidak melulu harus di jalan raya yang ramai, tetapi juga bisa di dalam kamar. Selalu berjalan dan berteriak begitu melelahkan, terkadang kita juga perlu bersantai, berdiskusi, atau bahkan bersenda gurau. Seperti yang dilakukan Women’s March Jakarta (WMJ) pada awal Mei di pusat Jakarta. WMJ membuka acara tahunannya dengan berbagai kegiatan, salah satunya adalah penampilan publik bertajuk keragaman identitas.
Sebelumnya, WMJ memberikan kesempatan bagi publik yang punya keinginan untuk tampil di panggung dengan tema terkait. Bak kebebasan berekspresi yang seharusnya dimiliki siapapun saat ini. Toh, bukannya kita sudah bebas dari invasi koloni? Sayangnya, kita masih menemukan berbagai penindasan kepada “warga kelas dua”. Atau bahkan… tiga?
BACA JUGA: Women’s March, Bersama Wujudkan Peradaban Setara dan Adil Gender
Perjalanan dimulai dari ruangan utama yang diisi dengan berbagai karya fotografi–hasil mereka bekerja sama dengan Women Photograph Indonesia (WPI) bersama para perempuan dan nonbiner. Mereka membongkar definisi estetika yang selama ini jadi satu-satunya yang layak tampil, layak tayang. Kali ini fotografi diisi dengan visual yang kompleks dan tidak terbatas dengan apa yang ‘ideal’ belaka. Bak perempuan seutuhnya.
Jati diri berwarna, tidak melulu juga fisik. Bisa jadi karya, nyanyian, puisi, atau sebagainya–yang tumpah pada Open Mic sebagai penutup pra-acara Women’s March Jakarta 2023 tersebut.
Enam penampil maju satu per satu. Dibuka dengan apik lewat penampilan dari Citra Benazir yang membawakan kumpulan puisi yang pernah dibuatnya. Tentang tubuh dan penindasan pada perempuan. Mengupas berbagai isu terkait: objektifikasi, kekerasan berbasis gender, dan ketidaksetaraan hak.
“Bukan tanggung jawab kami untuk memikul dosa laki-laki.“
“‘Jadi cewek, tuh, yang masih tertutup rapat bungkusnya.’
Perempuan bukan mainan!
‘Yang buka segel dong yang harus beli.'”
BACA JUGA: 8 Kota Aksi Tolak Kekerasan Perempuan di Hari Perempuan Internasional
Beberapa lainnya, yaitu Cube dan Hani, juga membacakan puisi yang, baik berbahasa Indonesia maupun inggris. Tentang krisis identitas dan kebebasan memilih yang seharusnya dimiliki siapa saja.
“Aku bukan hanya seonggok daging
yang memakai baju bermerek,
atau sebuah piagam yang dipajang Ibu
setiap kali kedatangan tamu,
aku adalah jumlah dari keberhasilan,
kegagalan,
luka,
tawa,
air mata,
dan tatapan kosong setiap pulang kerja.“
Cube adalah nama panggilan, ia kenakan karena beban berat nama aslinya. Walau sudah berumur dewasa, Cube bercerita singkat saat perkenalan bahwa pilihannya dipanggil demikian masih diberatkan orang tuanya.
“Itu pun sampai sekarang saya berumur 26 tahun, saya masih diprotes sama orang tua. Padahal mereka kasih nama saya juga nggak diskusi dulu, gitu, kan,” keluhnya.
BACA JUGA: Mengapa Saya Merayakan International Women’s Day di 8 Maret?
“Di balik baju ini, ada aku serigala betina.”
Salah satu penampil yang saya senangi adalah Hani. Tidak hanya berpuisi, ia babat habis panggung dengan nyanyian dan juga nge-rap. Salah satu penampilannya buat saya terkesima. Hani awalnya menggunakan baju hitam monoton.
Lalu sekejap mata ia lepas baju gelap itu dan berganti dengan baju pancawarna di tengah membacakan puisi.
“Whatever color I choose,
regardless of gender,
I just want you to know that…
this is me.
This is who I want to be.
All I want is justice,
equality for all of us!
Look how the world will shine with it!“
BACA JUGA: Saya Mengalami KDRT Karena Coming Out Orientasi Seksual
Melela. Coming out. Mudah untuk mengucapkannya, tetapi sulit untuk melakukannya. Adalah Leon, seorang laki-laki yang menceritakan pengalamannya di atas panggung.
Ia memulai dengan memperkenalkan karakter orang tuanya yang keras. Mereka selalu mengambil keputusan untuk Leon, bahkan hingga pemilihan jurusan kuliah.
Leon menyebut ayahnya berperilaku bak ‘diktator’. Berkali-kali diucapnya. Semasa hidupnya, Leon dihukum dan diancam secara finansial semata ingin pindah jurusan. Apalagi keputusannya untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah queer?
Di tengah keluarga heteronormatif yang religius, Leon melewati berbagai tantangan. Berkali-kali ia harus menghadapi keluarga yang menganggap bahwa “Tubuhnya ada iblis”.
Leon mengaku sudah melewati berbagai hal karena kepercayaan itu. Ia dua kali dibawa khatam Alquran, dibawa rukiah, sampai disiram air di Gunungkidul.
“Kenapa saya beranikan cerita? Karena sudah merasa nggak tau antara happy atau nggak. Beberapa tahun Bokap sakit, saya ngerasa nggak sedih apa-apa.”
Bahkan hingga ayahnya tiada kini, Leon masih harus dihadapkan dengan pertanyaan dari ibunya atas keputusan yang telah ia buat.
“Walau sekarang mama saya mencoba untuk terima, tetep suka dipertanyain,
‘Kenapa, Bang, kamu kayak gitu?’
‘Saya juga manusia biasa, kenapa Mama ngelakuin itu? Mama sudah ambil keputusan buat saya, tolong yang terakhir biarin saya ambil keputusan untuk saya sendiri.'”
BACA JUGA: Dear Ortu, Mudik Ini Aku Gak Bisa Penuhi Keinginanmu untuk Nikah dan Punya Anak
Melela tentu adalah perbuatan yang sulit, apalagi ditambah dengan stigma dan kepercayaan kental di sekitar. Cerita Leon adalah salah satu representasi tentang beratnya proses penerimaan orang lain terhadap identitas diri yang keluar dari jalur heteronormatif. Apa yang selama ini kita percayai.
Anggun Pradesha adalah seorang aktivis transpuan, penulis, dan seorang sutradara. Salah satu karyanya, “Emak dari Jambi” yang mengisahkan proses penerimaan ibu terhadap identitas anaknya, telah meraih berbagai penghargaan internasional. Anggun masih aktif membuat dokumenter dan berencana untuk mengeluarkan dua tahun ini.
Ia menampilkan monolog mini berjudul ‘Peristiwa-Peristiwa di Sekolah’ yang menceritakan tentang siswa bernama Suryanto yang menuliskan nama dirinya “Yanti” di atas lembar kerja siswa.
“‘Peristiwa-Peristiwa di Sekolah’ adalah refleksi dan harapan pada guru, pada sistem pendidikan.”
Latar belakang diambil di sekolah, kadang di dalam kelas, kadang di lapangan upacara. “Janji Siswa” berulang kali lantang disebut Anggun, kadang juga terdengar pasrah.
Mungkin kisah Suryanto hanyalah fiktif belaka, tetapi permainan Anggun sore tersebut menunjukkan lantangnya pendidikan formal menahan ekspresi peserta didiknya.
Anggun memulai penampilannya dengan berteriak dari belakang bangku penonton, menyanyikan lagu ‘Hymne Guru’ di perlintasannya, lalu meringis. Berganti peran di atas panggung sendirian.
Beberapa kali ia berteriak, terjatuh di atas lututnya, menangis–mata Anggun terlihat hampa, menghayati peran Suryanto sebagai siswa yang tertindas oleh orang dewasa.
BACA JUGA: Dulu Laki-laki, Sekarang Perempuan, Bisakah Aku Jadi Diriku Sendiri?: Cerita Transpuan
Aku datang bukan untuk peliputan belaka. Tujuan utamaku adalah menonton Philomena D. yang kerap disapa “Tante Phil”. Ia adalah karakter fiktif yang dimainkan oleh Aditya Pradipta Wardhana.
Tante Phil diceritakan sebagai seorang perempuan berusia 77 tahun. Ia bekerja sebagai konselor dan seniman, ditinggal pergi oleh almarhum suaminya yang adalah arkeolog.
Ia datang ke atas panggung menyoraki kemajuan pergerakan feminisme kini. Kobaran semangat itu masih ada semenjak pertama kali ia lihat di Amerika pada 1970.
Tante Phil menjelaskan bahwa berbagai komunitas feminis pada kala itu bersatu untuk merebut apa yang sebenarnya adalah hak mereka. Tidak terpisahkan semata karena warna kulit atau orientasi seksual belaka.
“Sebelumnya saya sudah tahu tentang feminisme. Dulu saya kuliah di UI, di Salemba, saya itu Hippie, zaman dulu. Saya tahu yang namanya free love feminism, tapi kalau ngomongin ini sama mama saya, saya digaplok karena dia ngomong ‘Apa itu? Laki-laki sama perempuan itu tidak sama!’ Ya, memang tidak sama–gajinya!” sindirnya.
Lalu Tante Phil bercerita tentang kembali ke Indonesia pada 2012, membandingkannya dengan kini. Ia menganggap bahwa hari ini berbagai acara bertajuk perempuan sudah diisi oleh keberagaman identitas.
“Kalau saya ingat acara yang judulnya ‘women‘, ‘women‘, zaman dulu itu isinya orang Jawa semua, yang cis semua. Makanya saya senang dengan acara hari ini, ragam identitasnya memang benar-benar ada.”
BACA JUGA: Gender Stereotypes: 5 Ways Parents Can Help Kids Avoid
Terlepas dari itu, Tante Phil menambahkan keprihatinannya tentang kondisi queer di Indonesia sekarang. Menurutnya, queer lintas generasi masih berjarak karena perbedaan privilese yang dimiliki, berakibat ke terputusnya komunikasi antar-queer.
Walau sebenarnya menarik, Tante Phil memotong pembahasannya terkait itu. Aku pun setuju dengan perkataan bahwa perjuangan feminisme seharusnya tidak setop di ketubuhan dan identitas diri secara individu atau kelompok diri saja, tetapi juga mencakup orang lain.
Feminisme perlu dipandang secara interseksional, membangun “jembatan” antarkelas–sehingga setara tidak hanya untuk “kami”, tetapi “kita semua”.
Aku begitu senang Tante Phil muncul terakhir, karena closing statement-nya terkait “identitas” yang bisa kita pahami bersama begitu padat makna.
“Kalau kita tanya apa itu identitas, identitas itu nama, agama, segala hal yang disematkan. Anggap identitas sebagai hadiah. Kita tidak pernah meminta, tetapi dikasih. Terserah kita mau kita simpan atau tidak. Mau kita peluk atau tidak.”