Ilustrasi karyawan Google dipecat karena membela Palestina

Google PHK Pekerja Pro-Palestina, AJI Jakarta Serukan Boikot  Project Google

AJI Jakarta mendukung aksi boikot yang dilakukan oleh serikat pekerja Amazon dan Google karena perusahaan tersebut dianggap mendukung Israel.

Perusahaan raksasa teknologi Google memecat puluhan pekerjanya. Pemecatan ini dilakukan usai aksi boikot dan protes para pekerjanya. Mereka memprotes karena kontrak proyek Google ini dilakukan dengan pemerintah Israel. 

Google diduga menandatangani kontrak senilai $1,22 miliar, setara Rp19,4 triliun dengan pemerintah dan militer Israel.

Kontrak bernama proyek Nimbus, yang juga dikerjakan oleh perusahaan teknologi Amazon ini, berpotensi memperkuat rezim apartheid Israel dan melanjutkan sistem penindasan, dominasi, dan segregasi terhadap rakyat Palestina. 

Merespons hal itu, Aliansi Jurnalis Independen/AJI Jakarta sebagai organisasi berwatak serikat pekerja dan menjunjung tinggi pemenuhan HAM bagi semua orang,  menyatakan dukungan terhadap aksi boikot yang dilakukan oleh lebih dari 1.000 orang yang tergabung dalam serikat pekerja Google dan Amazon. 

“Teknologi seharusnya digunakan untuk mempersatukan orang, bukan untuk mendukung kebijakan apartheid, pembersihan etnis, dan kolonialisme,” seperti tertulis dalam pernyataan sikap AJI Jakarta yang diterima Konde.co 

AJI Jakarta bersama dengan masyarakat yang peduli akan keadilan dan HAM, menyerukan kepada CEO Amazon Andy Jassy, CEO Amazon Web Services Adam Selipsky, CEO Google Sundar Pichai, dan CEO Google Cloud Thomas Kurian untuk mengakhiri semua hubungan dengan rezim apartheid Israel dan menghentikan kontrak proyek Nimbus. 

Baca Juga: Bagaimana Rasanya Peringati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Di Tengah Konflik di Gaza?

“Bersama-sama, kita menolak teknologi digunakan untuk apartheid. Mendesak Google dan Amazon mengakhiri kerja sama dengan apartheid Israel untuk proyek Nimbus. AJI Jakarta menolak bekerja sama dengan Google dan Amazon hingga proyek Nimbus diakhiri. Kami juga menyerukan stop genosida terhadap rakyat Palestina.”

Pada Mei 2024, Google memecat sebanyak 20 pekerja yang terlibat protes terhadap kontrak layanan Cloud dengan pemerintah Israel. Hal ini menambah jumlah pemecatan pekerja Google yang telah dilakukan April lalu, yaitu PHK sebanyak 30 pekerja. Kini total ada 50 pekerja yang telah diberhentikan Google dengan alasan yang sama.

Padahal, 20 pekerja yang baru saja dipecat itu tidak pernah terlibat dalam aksi protes di Kantor Google di New York dan California. Mereka tidak terlibat aktif dalam aktivisme di tempat kerja. Menurut serikat pekerja setempat, pemecatan massal ini sebagai “tindakan pembalasan yang agresif dan putus asa” oleh Google.

Pertengahan April lalu, Google memberhentikan 30 karyawan yang terlibat aksi protes. Mereka dianggap mengganggu pekerjaan di sekitar lokasi kantor. Google menyebut telah menginvestigasi setiap karyawan yang terlibat aksi protes.

Para karyawan tersebut melakukan aksi protes berupa kampanye “No Tech for Apartheid (tidak ada teknologi untuk diskriminasi rasial)”. Sebelumnya, 9 pegawai juga ditangkap imbas protes di kantor Google yang berlokasi di New York dan Sunnyvale California. Alasannya pun sama, mereka dianggap telah mengambil alih ruangan, merusak properti, dan menghambat pekerjaan pegawai lainnya.

Sebagai informasi, “No Tech for Apartheid” adalah kampanye yang muncul sebagai aksi protes atas kerjasama Google dengan Israel senilai 1,2 miliar USD. Kontrak proyek Nimbus ini telah ditandatangani sejak 2021.

Baca Juga: Menteri Spanyol Ione Belarra Dipecat, Sebut Netanyahu dan Israel ‘Penjahat Perang’

Proyek Nimbus adalah kesepakatan antara Amerika Serikat yang menyediakan layanan cloud kepada pemerintah Israel, khususnya militer. Proyek ini ditandatangani pertama kali pada 2021.

Tujuan utama proyek Nimbus adalah untuk memasok militer Israel dengan teknologi canggih. Proyek tersebut memungkinkan Israel mengakses kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan pengumpulan intelijen. Selain itu, proyek Nimbus juga memudahkan pemerintah Israel mengawasi warga Palestina.

“Kami mengindahkan seruan lebih dari 1000 pekerja Google dan Amazon untuk menentang kontrak tersebut, yang dikenal sebagai Project Nimbus,” tulis situs No Tech for Apartheid.

Menurutnya, teknologi harus digunakan untuk menyatukan orang-orang, bukan malah mendukung apartheid, pembersihan etnis, dan kolonialisme. Israel sendiri dituding telah melakukan apartheid yang merupakan sistem pemisahan ras, agama dan kepercayaan, serta kelas sosial.

Serangan demi serangan kepada Palestina membuat penduduk Amerika Serikat melayangkan protes terhadap pemerintahnya. Sebab, pemerintah AS telah memberikan dukungan bisnis kepada Israel yang membuatnya semakin memiliki kuasa. Hal ini tentu merugikan bagi Palestina, terlebih kelompok rentan seperti perempuan dan anak.

Mengutip CNN, juru bicara Google enggan memberitahukan jumlah pekerja yang dipecat akibat protes soal Nimbus. Yang jelas, pemecatan tambahan dilakukan seiring penyelidikan terhadap gangguan fisik di dalam gedung pada 16 April 2024.

“Sekali lagi, setiap orang yang dipecat secara pribadi dan pasti terlibat dalam aktivitas yang mengganggu di dalam gedung kami.” ujar juru bicara Google kepada CNN.

Baca Juga: Ribuan Nama Rakyat Palestina Korban Genosida Tertulis dalam Poster Aktivis

Setelah protes di Google, CEO Sundar Pichai menuliskan memo yang dikirim kepada para staf. Memo tersebut berisi desakan untuk menjauhkan politik di tempat kerja karena dapat mengganggu rekan kerja yang lain.

“Ini adalah bisnis, dan bukan tempat untuk bertindak dengan cara yang mengganggu rekan kerja,” ujar Pichai.

PHK Massal Lain Dilakukan di Industri Teknologi

Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal nyatanya tidak hanya terjadi di Google saja. Industri teknologi dalam negeri juga sering melakukannya. Terlebih dana dari investor yang masuk pun semakin berkurang sehingga menyulitkan operasional industri yang bersangkutan.

Pengurus Pengembangan Organisasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Rizqullah menyebut industri teknologi di Indonesia yang bisa mencapai keuntungan bisa dihitung jari. Padahal, investor terus menyuntikkan dana dengan harapan perusahaan teknologi di Indonesia bisa mendapatkan profit.

“Investor mulai ngerem (suntikan dana) dan minta, sudah mulai banyak investor menuntut company untuk fokus ke profit. Karena di-push kayak gitu, cara paling cepat ya potong karyawannya,” ujar Rizqullah saat dihubungi Konde.co pada Selasa (7/5/2024).

Pemotongan jumlah karyawan pun tidak main-main. Satu kali PHK bisa mencapai puluhan hingga ratusan karyawan sehingga disebut PHK massal. Alih-alih mencegah, aturan yang ada justru memfasilitasi agar perusahaan dapat melakukan PHK massal sewaktu-waktu.

“PP (Peraturan Pemerintah) 35 Tahun 2021 itu membolehkan PHK dengan alasan tertentu, nanti pesangonnya bisa dipotong setengah. Alasannya efisiensi karena kerugian,” tambah Rizqullah.

Tidak menutup kemungkinan juga ada perusahaan yang melanggar PP 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pelanggarannya dapat berupa pesangon atau uang penggantian hak yang tidak dibayarkan.

Baca Juga: Aktivis Serukan Gencatan Senjata dan Akhiri Genosida di Gaza 

Rizqullah sering menemukan kasus PHK yang tidak diinformasikan secara jelas. Tiba-tiba saja software yang digunakan oleh karyawan yang bersangkutan tidak bisa dioperasikan. Ia pun tidak bisa menyelesaikan pekerjaan. Rupanya itu adalah strategi perusahaan untuk memecat karyawan secara sepihak.

Oleh karena itu, SINDIKASI terus berupaya untuk memahami hak-hak kerja dalam undang-undang yang berlaku, termasuk praktiknya di perusahaan. Pihaknya akan membantu melakukan advokasi apabila terdapat anggotanya yang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan.

“Kita himbau di media sosial ya mengajak untuk join serikat. Karena sulit juga gitu kalau kita melawan (ketidakadilan perusahaan) sendiri,” ujar Rizqullah.

Hal ini juga tengah dilakukan oleh para pekerja yang di-PHK sepihak oleh Google. Mereka bersatu dan merapatkan barisan dengan gerakan “No Tech for Apartheid”. Mereka akan memperjuangkan hak untuk kembali bekerja di Google

“Kami tidak akan berhenti berjuang, dan kami tidak akan mundur,” tegas mereka.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!