Anak-anak Dayak Kualan di Sakolah Adat Arus Kualan. (sumber foto: Instagram @arus_kualan)

Kisah Para Perempuan Penjaga Hutan Merawat Peradaban Pengetahuan di Dayak Kualan

Dewi Wulandari mendirikan Sakolah Adat Arus Kualan untuk melestarikan tradisi dan ekosistem yang terancam di Dayak Kualan. Perempuan menjadi akar-akar yang menutrisi pengetahuan lokal demi menjaga Ibu Bumi. Sistem advokasi yang memihak kepada masyarakat adat adalah kewajiban untuk menjaga kelestariannya.

Dewi Wulandari dan saudara-saudaranya di Dayak Kualan mendirikan Sakolah Adat Arus Kualan untuk melestarikan tradisi dan pengetahuan lokal. Terutama di tengah ancaman dari perusahaan yang membabat hutan dan gambut.

Melalui advokasi dan dukungan berbagai pihak, mereka berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka dan melestarikan ekosistem yang menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.

Berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), Masyarakat Adat didefinisikan sebagai sekelompok orang atau organisasi yang hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu. Mereka memiliki asal usul leluhur, kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup. Serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum. 

Identitas dan keberlanjutan mereka terikat erat dengan tanah yang mereka huni. Sehingga kehilangan tanah bukan hanya berarti kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga hilangnya bagian dari jiwa mereka.

Di tengah komunitas adat, perempuan memegang peranan penting dalam pelestarian dan pewarisan pengetahuan lokal. Mereka menjadi pengejawantahan “Ibu Bumi” penjaga hutan dan alam sekitarnya.

Sekolah Arus Kualan, Perempuan, dan Pewarisan

Di bawah naungan pohon besar di Dayak Kualan, perempuan-perempuan berkumpul untuk berbincang sambil menenun kain, berbagi pengetahuan tentang alam dan lingkungan sekitar. Dewi Wulandari bersama saudara-saudaranya, Desi dan Deli, mendirikan Sakolah Adat Arus Kualan pada tahun 2014. 

Sekolah ini didirikan dari keprihatinan akan hilangnya identitas budaya mereka. Ketika pertama kali pindah ke kota, mereka malu dengan identitas adat mereka. Kembali ke akar budaya, mereka mendirikan sekolah ini sebagai upaya melestarikan tradisi nenek moyang.

“Kami bertiga, Dewi, Desi, Deli, mendirikan Sakolah Adat Arus Kualan pada 2014. Sebenarnya ini dari keresahan kita sendiri. Bagaimana pengalaman kita ketika kita datang ke kota itu mengalami culture shock. Kita malu dengan identitas kita, seperti itu. Oleh sebab itu, makanya dirikan Arus Kualan ini sendiri,” kenangnya.

Dewi menekankan peranan kritis perempuan dalam komunitas adat Kualan. Perempuan dilihatnya lebih dekat dengan lingkungan, anak-anak, dan orang tua. Sehingga mereka berperan besar dalam mewariskan pengetahuan lokal termasuk lingkungan kepada generasi berikutnya. Perempuan secara langsung menjadi penjaga tradisi dan ekosistem di komunitas Kualan.

Baca Juga: Melalui Pembelajaran Kontekstual, Ignatia Rini Purwati Mengajar tentang Menstruasi dan Mimpi Basah Tanpa Bayang-Bayang Tabu

 “Perempuan memang dekat dengan lingkungan, dengan anak-anak, dengan orang tua, sehingga pengetahuan tentang lingkungan ini lebih banyak diwariskan oleh perempuan,” jelas Dewi.

 “Kami belajar tentang tumbuhan obat kepada orang tua, dan anak-anak kami ajarkan untuk menghormati dan menjaga alam,” tambahnya.

Melalui sistem pengajaran nonformal, Sakolah Adat Arus Kualan mengajak murid untuk turun langsung ke hutan. Tujuannya, merasakan dan menyadari  pentingnya peran ekosistem alam terhadap kehidupan manusia. Dewi menjelaskan bahwa mereka ingin anak-anak merasakan perbedaan antara keadaan hutan yang masih ada dan jika hutan tersebut hilang. 

Pengalaman langsung ini bertujuan untuk menanamkan kesadaran ekologis yang mendalam pada anak-anak, sehingga mereka dapat menghargai dan melindungi alam dengan lebih baik.

“Selanjutnya, kita juga membawa mereka ke hutan, apa yang kita rasakan ketika masih ada hutan, bagaimana rasanya kalau sudah tidak ada hutan. Mereka akan merasakan sendiri,” ungkap Dewi. 

Baca Juga: Perempuan di Balik Layar Perak: Mengukuhkan Representasi, Resistensi, dan Suar Suara Inklusi

Praktik menjaga bumi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Dayak Kualan sejalan dengan prinsip ekofeminisme yang menghubungkan perjuangan perempuan dengan lingkungan hidup. Kesadaran ekologis ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka. 

Namun, di balik upaya mulia ini, terdapat ancaman yang membayangi komunitas ini. Terutama dari perusahaan besar yang berupaya mengeksploitasi ekosistem alam di daerah tersebut.

“Memang kita sedikit terancam, bukan lagi sedikit, tapi memang kita terancam sekarang untuk wilayah kita sendiri,” ujar Dewi dengan nada yang serius. 

Sengketa tanah dengan perusahaan besar menjadi tantangan besar yang dihadapi Masyarakat Adat Dayak Kualan. Digerakkan oleh dorongan untuk terus mengekspansi kapital, perusahaan-perusahaan besar berusaha mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah mereka, menggusur tanah adat yang menjadi sumber kehidupan mereka. Tekanan dari kuasa perusahaan sering kali datang dengan cara-cara yang tidak adil, menciptakan ketegangan dan ketidakpastian bagi masyarakat adat.

Dewi dan komunitasnya menyadari bahwa advokasi dan dukungan dari berbagai pihak sangatlah penting untuk melindungi hak-hak mereka. Masyarakat adat telah mengambil sikap tegas untuk melawan dan mempertahankan hak-hak mereka. 

“Advokasi harus terus dilakukan agar kita bisa bertahan dan melestarikan budaya serta lingkungan kita,” tegas Dewi. 

Sistem Advokasi Masyarakat Adat sebagai Program Minimum Kebudayaan

Berkenaan dengan kerentanan Masyarakat Adat khususnya ketika berhadapan dengan korporasi, Kemendikbudristek melalui Ditjen Kebudayaan telah berkomitmen untuk senantiasa hadir mendukung Masyarakat Adat. Sistem Advokasi Masyarakat Adat menjadi salah satu dari 10 Program Minimum Kebudayaan yang perlu diupayakan keberlanjutannya. Program ini penting untuk mendukung Masyarakat Adat di Indonesia beserta pengetahuan dan praktik-praktik lokalnya yang berkaitan dengan ekologi. Dalam konteks ini, advokasi tidak hanya tentang mempertahankan hak atas tanah, tetapi juga tentang melindungi pengetahuan dan praktik tradisional yang berharga.

Untuk mendukung Masyarakat Adat di Indonesia beserta pengetahuan dan praktik-praktik lokalnya yang berkaitan dengan ekologi, sistem advokasi menjadi sangat penting. Salah satu langkah maju yang diperlukan adalah pengesahan UU Masyarakat Hukum Adat, yang sudah 14 tahun lamanya masih belum kunjung ketuk palu. Rancangan undang-undang ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi Masyarakat Adat dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk konflik lahan dan eksploitasi sumber daya alam.

Rancangan UU Masyarakat Hukum Adat memberikan pengakuan resmi terhadap keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat. Namun, implementasi undang-undang ini masih menghadapi berbagai hambatan. Terutama dalam hal sengketa lahan dengan perusahaan besar. Kasus PT Mayawana Persada di Dayak Kualan menjadi salah satu contoh bagaimana Masyarakat Adat sering kali harus berjuang keras untuk mempertahankan hak-hak mereka.

Baca Juga: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema

Dalam kasus ini, PT Mayawana Persada berusaha mengambil alih lahan yang telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan komunitas Dayak Kualan. Masyarakat adat tersebut menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan hak mereka. Termasuk mengajukan tuntutan hukum dan menggalang dukungan dari organisasi advokasi. Perempuan memainkan peran penting dalam upaya ini, menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan tanah mereka.

Advokasi untuk Masyarakat Adat tidak hanya mencakup perlindungan hak-hak atas tanah, tetapi juga penegakan hukum adat dan pelestarian budaya. Pemerintah perlu memastikan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat disahkan dan diimplementasikan dengan serius. Termasuk dalam penyelesaian sengketa lahan yang melibatkan perusahaan besar. Hal ini menjadi sakral untuk menjaga keberlanjutan ekologi dan sosial di komunitas-komunitas adat.

“Saat ini banyak undang-undang yang menempatkan masyarakat adat sebagai objek, sehingga selalu saja dalam pelaksanaan undang-undang yang ada masyarakat adat menjadi korban. Kehadiran UU MHA kelak, sejatinya bertujuan menempatkan masyarakat adat sebagai subyek dalam proses pembangunan,” ujar Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Hilmar Farid pada diskusi daring bertema “Keberadaan Masyarakat Adat dalam Negara Indonesia, Sampai Dimana?” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Agustus 2023 lalu.

Salah satu dari 10 Program Minimum Kebudayaan yang perlu diupayakan keberlanjutannya adalah sistem advokasi yang kuat untuk Masyarakat Adat. Program ini mencakup perlindungan hak-hak adat, pelestarian budaya, dan dukungan bagi praktik-praktik lokal yang berkaitan dengan ekologi. Implementasi program ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan komunitas adat itu sendiri.

Baca Juga: Peran Ibu dalam Pelestarian Anyaman Bambu

“Pihak Ditjen Kebudayaan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Kemenko PMK) membentuk tim untuk melayani advokasi masyarakat adat,” lanjut Hilmar pada konferensi yang sama.

Dewi dan komunitas Dayak Kualan adalah akar-akar pohon yang menyemai ranting hingga dedaunan, sehingga buahnya bisa dinikmati peradaban. Mereka tahu bahwa menjaga warisan alam untuk generasi mendatang adalah tanggung jawab besar. Dengan mengajarkan generasi muda tentang pentingnya hutan, mereka berharap dapat mewariskan pengetahuan lokal yang berharga kepada anak cucu untuk menjaga ibu bumi dari kesengsaraan.

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

(sumber foto: Instagram @arus_kualan)

Luthfi Maulana Adhari

Staf program Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!