Nama Sean ‘Diddy’ Combs, atau dikenal sebagai P Diddy, ramai dibincangkan di media sosial belakangan ini. Diddy, seorang rapper dan produser musik terkemuka, juga konglomerat di dunia musik, mendapatkan setidaknya 12 gugatan kekerasan seksual sejak 2023 hingga saat ini. Bahkan, konon korban kekerasan seksual P Diddy sesungguhnya mencapai ratusan orang.
Hal itu menggemparkan karena P Diddy dikenal sebagai musisi pengusaha dengan berbagai lini bisnis. Termasuk fashion (Sean John) dan produksi musik. Itu menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh di industri hiburan Amerika Serikat dan dunia.
Satu per satu laporan kekerasan seksual yang dilakukan P Diddy bermunculan. Gugatan yang dilayangkan New York menyebut tuduhan pada Diddy termasuk melakukan penculikan, pemberian obat bius, dan pemaksaan terhadap perempuan untuk melakukan aktivitas seksual. Tindak kejahatan tersebut juga kadang dilakukan dengan penggunaan senjata api dan ancaman kekerasan.
Baca Juga: Industri Hiburan di Indonesia Minim Libatkan Penyandang Disabilitas, Tiru Korea!
Pada Maret 2024 silam, Rumah Diddy di Beverly Hills, Los Angeles digerebek polisi. Ditemukan barang-barang bukti yang digunakan Diddy untuk menggelar pesta seks ‘Freak Off’, termasuk narkoba. Kemudian pada Selasa, 17 September 2024, Diddy membantah semua tuduhan pada dirinya. Kasus ‘Freak Off’ sendiri mencuat setahun setelah Diddy dihujani gugatan dari sejumlah perempuan atas tuduhan kekerasan seksual.
Kemudian di tanggal 26 September 2024, seorang korban bernama Thalia Graves menggugat Diddy atas dugaan kekerasan seksual hingga distribusi video pornografi. P Diddy digugat bersama rekannya, Joseph Sherman. Dalam gugatan itu, Diddy dan Sherman dituduh memerkosa korban di sebuah studio rekaman di Kota New York pada 2001.
Menurut pengakuan Graves, saat itu ia dibius, diperkosa, hingga direkam tanpa persetujuan oleh Diddy dan Sherman. Pada November 2023, korban lantas mengetahui adanya rekaman video kejadian tersebut. Rupanya Diddy dan Sherman telah menjual video rekaman pemerkosaan itu.
Sederet artis papan atas di Hollywood diduga mengetahui perilaku Diddy. Mereka kebanyakan pernah dekat, menjalin relasi, atau datang ke pesta Diddy. Beberapa di antara mereka tetap diam, tapi ada juga yang diasumsikan pernah memberikan peringatan ke publik soal Diddy.
Disebutkan, para artis yang dimaksud di antaranya Leonardo DiCaprio, Jay-Z, Beyonce, Ashton Kutcher, Paris Hilton, Howard Stern, Russell Brand, Mariah Carey, Jennifer Lopez, Russell Simmons, Usher, Meghan Fox, Justin Bieber, Kanye West, dan Usher.
Kini, diketahui 120 orang akan menggugat Diddy atas kekerasan seksual seperti penyerangan seksual, pemerkosaan, dan eksploitasi seksual. Kelompok pengacara mengklaim telah menerima lebih dari 3.000 laporan. Pengacara memastikan 120 kasus dapat ditindaklanjuti setelah pengecekan. Kasusnya juga menjadi alarm tanda perempuan tidak memiliki ruang aman di industri hiburan.
Kronologi Kasus Kekerasan Seksual oleh P Diddy
Sean Combs atau P Diddy digugat pada 16 November 2023 oleh penyanyi Casandra ‘Cassie’ Ventura. Cassie adalah salah satu mantan artis di bawah label rekaman Diddy, sekaligus pernah menjadi pacarnya selama lebih dari satu dekade.
Dalam gugatannya, Cassie mengaku bahwa hubungannya dan Diddy mengalami relasi kuasa yang timpang. Diddy menjeratnya dalam hubungan romantis dan seksual yang manipulatif dan penuh kekerasan.
Menurut deskripsi Cassie, Diddy kerap memukul dan menendangnya. Musisi tersebut juga menceritakan soal pesta seksual ‘freak off’ yang digelar Diddy. Pesta tersebut diadakan selama berhari-hari di bawah pengaruh narkoba. Diduga, dalam pesta itu Diddy memaksa para perempuan untuk melakukan hubungan seksual yang direkam untuk kesenangan pribadinya. Ia juga dituding melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan yang disaksikan para kawannya, yang tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya.
Gugatan Cassie dibantah oleh Diddy. Lelaki itu menuduh Cassie melakukan pemerasan dan kasus tersebut ditutup di New York setelah Diddy membayar ganti rugi.
Namun, di masa ketika Cassie berhadapan hukum dengan Diddy, laporan kekerasan seksual yang dituduhkan kepada Diddy makin banyak bermunculan. Bahkan, Diddy disebut telah melakukan kekerasan seksual sejak 1991. Ia juga digugat atas kasus perdagangan seks dan gang rape pada Desember 2023. Menurut gugatan tersebut, pada tahun 2023, Diddy dan Harve Pierre, eks-presiden Bad Boy Records, serta seorang laki-laki lain, melakukan gang rape terhadap penggugat yang saat itu masih berusia 17 tahun.
Baca Juga: Dalam Industri Hiburan, Idol Laki-laki Lebih Diagungkan Dibanding Idol Perempuan
Lagi-lagi, Diddy membantah seluruh tuduhan itu. Ia dan juru bicaranya menyebut hal tersebut sebagai upaya ‘perampasan uang’.
Kasusnya tidak berhenti di situ. Pada Februari 2024, produser musik Rodney Jones Jr menggugat Diddy. Musisi rap itu dituduh melakukan kontak seksual yang tidak diinginkan dan memaksa Jones Jr menyewa pelacur untuk berpartisipasi dalam pesta seks. Bahkan, Jones Jr mengaku Diddy pernah ‘merayu’nya untuk berhubungan seksual dengan laki-laki lain. Sebut Diddy menurut Jones Jr, hal itu, “Praktik normal dalam industri musik.”
Kemudian 17 Mei 2024, rekaman CCTV pada 2016 menunjukkan kekerasan dilakukan oleh sosok yang diduga merupakan Diddy terhadap Cassie Ventura. Disiarkan oleh CNN, sosok laki-laki tersebut mendorong Cassie hingga tersungkur dan menendangnya. Diddy juga melakukan praktik-praktik kekerasan lainnya di lorong hotel di Los Angeles dalam rekaman tersebut.
Laporan kekerasan seksual yang dilakukan Diddy terus bermunculan. Dua di antaranya dari model dan aktris Crystal McKinney dan April Lampros. Oleh mereka, Diddy disebut memaksa hubungan seks di bawah pengaruh obat bius. Laporan pemerkosaan hingga perdagangan seks yang dilakukan Diddy berseliweran meski kerap dibantah oleh Diddy dan juru bicaranya.
Baca Juga: Kebangkitan Perempuan di Industri Film Hiburan
Diddy ditangkap pada 16 September 2024 di sebuah kamar hotel di Manhattan. Penangkapan dan penggerebekan rumahnya di Beverly Hills juga mengungkapkan soal pesta seks ‘freak off’ yang berdampak sangat parah terhadap perempuan. Selain itu, laki-laki juga konon menjadi korbannya. Salah satu musisi dunia yang diduga menjadi korban Diddy adalah penyanyi Justin Bieber. Bertahun-tahun silam, Bieber yang saat itu masih berusia 15 tahun bergabung dengan label milik rapper Usher saat debut dan berkenalan dengan P Diddy.
Hingga 28 September 2024, Diddy masih digempur berbagai laporan kasus kekerasan seksual. Lebih dari 100 orang perempuan dan laki-laki akan menggugat Diddy tersebut secara individual. Tuduhannya meliputi kekerasan seksual, hingga pemerkosaan dan eksploitasi seksual.
Skandal Kekerasan Seksual di Industri Hiburan
Skandal kekerasan seksual seperti yang dilakukan P Diddy bukan satu-satunya yang terjadi di industri musik dan hiburan di dunia.
Salah satu skandal paling terkenal melibatkan penyanyi R&B R. Kelly. Ia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap banyak perempuan, termasuk perempuan di bawah umur selama bertahun-tahun. Kasus ini mencuat ke permukaan setelah investigasi jurnalis dan film dokumenter ‘Surviving R. Kelly’ dirilis pada 2019.
Pada 2021, R. Kelly dinyatakan bersalah atas sejumlah tuduhan, termasuk perdagangan seks dan eksploitasi anak di bawah umur. Kasus ini mengejutkan industri musik dan memicu gerakan di kalangan penggemar serta masyarakat umum untuk tidak lagi mendukung karya R. Kelly.
Penyanyi, penulis lagu, dan produser Ryan Adams juga dituduh melakukan pelecehan seksual dan emosional oleh beberapa perempuan. Termasuk artis Phoebe Bridgers dan mantan istrinya, Mandy Moore. Artikel investigasi The New York Times pada 2019 merinci tuduhan dari beberapa perempuan terhadap Adams. Mereka menyebut, Adams menggunakan relasi kuasa untuk mengontrol dan melecehkan mereka. Tuduhan ini mengakibatkan Adams kehilangan kontrak rekaman dan tur musiknya dibatalkan.
Baca Juga: JKT48 dan Kerentanan Artis Perempuan di Industri Idola
Di industri musik Korea Selatan, kasus Burning Sun pada 2019 menyeret nama para artis Korea sebagai pelaku. Skandal ini melibatkan kekerasan, penyalahgunaan narkoba, prostitusi, korupsi polisi, dan pelecehan seksual di sebuah klub malam bernama Burning Sun di Seoul. Keseluruhan kasus ini sangat dikaitkan dengan Seungri, eks-anggota boygroup K-Pop BIGBANG sekaligus direktur eksekutif Burning Sun pada saat itu.
Awalnya, nama Burning Sun mencuat ke publik setelah terjadi insiden kekerasan di sana pada November 2018. Seorang lelaki bernama Kim Sangkyo melaporkan bahwa ia dipukuli oleh staf klub setelah mencoba membantu seorang perempuan yang diduga sedang dilecehkan secara seksual. Namun, justru Sangkyo yang ditangkap alih-alih staf klub yang melakukan pelecehan. Pengungkapan ini memicu penyelidikan yang lebih luas terhadap aktivitas klub Burning Sun.
Kemudian terungkap bahwa terjadi berbagai aktivitas ilegal di Burning Sun. Termasuk penyediaan jasa prostitusi untuk investor VIP di klub. Meski Seungri mengklaim tidak terlibat dalam operasional klub sehari-hari, ia diduga terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut.
Salah satu yang paling mengejutkan dalam skandal ini adalah bocornya grup obrolan di platform KakaoTalk. Ruang obrolan ini melibatkan sejumlah selebriti terkenal, termasuk Seungri dan beberapa artis K-pop lainnya. Isi obrolan tersebut mengungkapkan diskusi tentang layanan prostitusi.
Baca Juga: Di Balik Glamorisasi Industri Fesyen, Terjadi Pelecehan Seksual, Tokenisme dan Diskriminasi Rasial
Yang lebih menggegerkan, mereka berbagi rekaman video ilegal dari hubungan seksual tanpa persetujuan perempuan yang terlibat. Terdapat pula pembahasan aktivitas ilegal lainnya. Skandal ini menjadi semakin serius ketika terungkap bahwa beberapa rekaman video tersebut diambil tanpa sepengetahuan atau persetujuan para korban.
Klub Burning Sun juga diduga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan perdagangan manusia. Klub tersebut diduga menyediakan narkoba kepada pengunjung VIP dan terlibat dalam prostitusi. Beberapa mantan karyawan dan pengunjung mengungkapkan bahwa narkoba sering kali digunakan dalam pesta-pesta di klub tersebut.
Skandal Burning Sun memicu diskusi lebih luas tentang budaya misoginis dan toksik dalam industri hiburan Korea Selatan. Banyak penggemar dan masyarakat mulai mempertanyakan standar moral dari selebriti dan penyalahgunaan kekuasaan dalam industri yang didominasi laki-laki.
Usai geger Burning Sun, masyarakat menyerukan reformasi hukum yang lebih tegas terkait kekerasan seksual, pelecehan, dan korupsi di kalangan selebriti dan industri hiburan. Gerakan-gerakan feminis dan aktivis hak-hak perempuan di Korea juga semakin aktif dalam mengecam ketidakadilan yang dialami oleh korban pelecehan seksual. Skandal ini dianggap sebagai salah satu yang paling merusak dalam sejarah industri hiburan Korea. Publik pun menyoroti masalah-masalah sistemik dalam industri tersebut serta kebutuhan akan perubahan struktural.
Industri musik dan hiburan Indonesia tidak lantas bebas dari skandal serupa. Salah satu yang sempat mengguncang masyarakat adalah kasus yang melibatkan Gatot Brajamusti, sosok yang dianggap sebagai ‘guru spiritual’ para artis Tanah Air.
Baca Juga: Kiprah ‘NewJeans’ di Tengah Objektifikasi Industri Musik di Korea Selatan
Gatot ditangkap karena dugaan penyalahgunaan narkoba. Menyusul kasus tersebut, muncul tuduhan bahwa ia telah melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap beberapa perempuan. Termasuk pengikut-pengikutnya. Sosok yang pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) itu diketahui kerap melakukan ritual ‘kedamaian’ dan ‘peningkatan kualitas hidup’. Namun ternyata, ‘ritual’ yang dimaksud adalah praktik seks dan penggunaan narkoba. Konon, Gatot memaksa para pengikutnya, terutama perempuan muda, untuk melakukan hubungan seksual dengan dalih ritual penyucian.
Nama artis senior Elma Theana dan Reza Artamevia pun mencuat dalam kasus ini karena ia dikenal sebagai pengikut Gatot. Oleh pengadilan, Gatot dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 20 tahun pada 2016. Ia meninggal dunia di Lapas Cipinang pada 8 November 2020.
Relasi Kuasa dan Misoginis: Mana Ruang Aman Bagi Perempuan di Industri Hiburan?
Skandal P Diddy dan kasus-kasus lainnya terkait kekerasan seksual mencoreng industri musik dan hiburan dunia. Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa perempuan tak punya ruang aman, apa lagi di tengah relasi kuasa dan misoginisme. Dua hal itu memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan lingkungan berbahaya bagi perempuan di industri tersebut. Keduanya mempengaruhi cara perempuan diperlakukan, baik di depan layar maupun di belakang layar. Serta mempengaruhi kemampuan mereka untuk melawan pelecehan atau kekerasan yang dialami.
Industri musik dan hiburan sering kali didominasi oleh sosok berkuasa seperti produser, sutradara, agen, dan eksekutif perusahaan yang kebanyakan adalah laki-laki. Relasi kuasa ini membuat perempuan berada dalam posisi rentan. Ketakutan di bawah ancaman membuat perempuan sulit untuk berbicara atau melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.
Misoginisme dalam industri musik dan hiburan juga termanifestasi dalam bentuk objektifikasi dan hiperseksualisasi perempuan. Dalam banyak karya musik, video musik, dan film, perempuan sering kali ditampilkan sebagai objek seksual untuk memuaskan hasrat laki-laki. Dalam kasus P Diddy pun, para perempuan yang menggugatnya telah mengalami kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender demi kepuasan pribadi Diddy dan kawan-kawannya.
Baca Juga: Fans Service Ala ‘Pamungkas’: Sekedar Hiburan Atau Pelecehan Pada Penonton?
Relasi kuasa kerap memungkinkan terjadinya budaya pelecehan yang terus-menerus. Di industri hiburan, pelecehan seksual, intimidasi, dan eksploitasi sering kali dianggap sebagai ‘rahasia umum’ yang diabaikan. Bahkan, hal ini seakan diterima sebagai bagian dari ‘sisi gelap’ industri. Korbannya kebanyakan perempuan, tetapi juga bisa mengancam laki-laki dan anak di bawah umur. Korban terjebak dalam sistem yang membuat mereka justru terancam jika melaporkan kejadian yang dialami ke aparat.
Contoh seperti skandal Burning Sun di Korea Selatan menunjukkan jaringan kekuasaan yang luas. Ia bahkan melibatkan polisi dan figur-figur hiburan untuk dapat melindungi pelaku pelecehan seksual. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pelecehan di industri hiburan tidak hanya terjadi secara individual. Tetapi sering kali difasilitasi oleh struktur kekuasaan yang lebih luas.
Kemudian ketika korban berusaha bicara, ia malah dibungkam. Dalam kasus P Diddy, meski berkali-kali digugat oleh banyak perempuan, Diddy selalu menepis tuduhan dan menyelesaikan kasus dengan membayar uang ganti rugi. Korban juga dibungkam atau diintimidasi untuk menjaga reputasinya.
Baca Juga: Riset Sindikasi: Belum Ada Kelayakan Kerja Bagi Perempuan Pekerja di Industri Kreatif
Relasi kuasa yang tidak seimbang dan budaya misoginisme di industri musik dan hiburan menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan. Mereka sering kali berada dalam posisi yang rentan terhadap pelecehan seksual dan eksploitasi. Para pelaku menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeksploitasi atau membungkam korban.
Reformasi sistemik, peningkatan kesadaran tentang kesetaraan gender, serta peraturan yang lebih tegas terhadap pelecehan seksual diperlukan untuk melindungi perempuan dan menciptakan industri yang lebih aman dan inklusif.
(sumber foto: Page Six)