Banyaknya korban perempuan dalam tsunami Aceh 2004

Refleksi dari Tsunami Aceh: Budaya Membuat Perempuan Lebih Rentan Jadi Korban Bencana

Sebuah riset menemukan faktor penyebab banyaknya korban perempuan dalam tsunami Aceh 2004. Budaya membuat perempuan lebih rentan dalam bencana.

Pada suatu pagi di awal Februari 2025, saya menemukan sebuah utas di Twitter. Pembahasannya mengenai sebuah hasil penelitian tentang tsunami Aceh 2004. Utas itu mengutip jurnal berjudul, ‘Why did so Many Women Die in the 2004 Aceh Tsunami? Child Survivor Accounts of the Disaster’ yang diterbitkan di International Journal of Disaster Risk Reduction. Isinya menggugah sekaligus mengusik: mengapa lebih banyak perempuan yang meninggal dalam tsunami dibandingkan laki-laki?

Sebagai konteks, menurut riset Oxfam (2005) di empat desa di Aceh Besar, hanya 189 dari 676 penyintas tsunami Aceh 2004 yang merupakan perempuan. Jumlah penyintas laki-laki mencapai rasio hampir 3:1 dari penyintas perempuan. Sedangkan di empat desa di Aceh Utara, dari 366 korban meninggal dunia, 284 di antaranya adalah perempuan. Persentase perempuan yang tewas akibat bencana tersebut mencapai 77% dari total angka kematian di daerah tersebut.

Baca Juga: Urusan Bencana Bukan Urusan Perempuan? Jangan Salah, Perempuan Berkontribusi Besar

Sementara itu, di desa Kuala Cangkoy yang terdampak paling buruk, perbandingan korban tewas antara laki-laki dan perempuan adalah 1:4. Dengan kata lain, 80% dari total jumlah korban tewas adalah perempuan.

Kembali pada utas dan jurnal pertama yang saya baca. Saya membaca temuan dari jurnal itu dengan perasaan tak nyaman. Bukan karena angka-angka statistik yang mengerikan, tetapi karena alasan di baliknya. Perempuan tidak hanya kehilangan nyawa karena arus yang lebih ganas atau tubuh yang lebih lemah dibandingkan laki-laki. Mereka meninggal karena budaya mengajarkan mereka untuk menunggu.

Ketika Budaya Menahan Langkah Perempuan

Dalam banyak masyarakat patriarkal, perempuan diajarkan bahwa keputusan terakhir selalu ada di tangan laki-laki. Bicara konteks situasi sehari-hari, ini mungkin hanya terasa sebagai aturan sosial yang harus dipatuhi. Namun, dalam situasi darurat, aturan ini bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati.

Jurnal yang saya baca tersebut menunjukkan suatu temuan tentang hal itu. Rupanya, banyak perempuan tetap tinggal di rumah saat tsunami datang. Bukan karena mereka tidak tahu bahaya yang mengancam, tetapi karena mereka merasa harus menunggu suami pulang lebih dulu. Menyelamatkan diri dianggap tidak pantas sebelum mendapatkan izin atau persetujuan.

Di masyarakat kita, perempuan sering kali diajarkan bahwa seorang istri yang baik adalah yang setia menunggu suaminya. Namun, dalam bencana seperti tsunami Aceh, kesetiaan itu berubah menjadi jebakan. Mereka menunggu dalam ketidakpastian, hingga gelombang besar datang dan tidak memberi mereka kesempatan kedua. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk menyelamatkan diri, justru dihabiskan untuk menunggu izin yang tak pernah datang.

Budaya semacam ini tidak hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rentan, tetapi juga membentuk cara mereka berpikir. Ketika perempuan tumbuh dalam lingkungan yang selalu mengajarkan bahwa keputusan ada di tangan laki-laki, mereka akan merasa tidak punya hak untuk bertindak sendiri. Bahkan dalam situasi hidup dan mati. 

Antara Iman dan Keselamatan Diri

Namun, budaya bukan satu-satunya alasan yang membuat perempuan kehilangan nyawa dalam bencana. Ada juga faktor lain yang tak kalah berpengaruh: keyakinan.

Dalam wawancara yang dilakukan oleh penelitian ini, banyak anak penyintas menceritakan tentang ibu mereka yang memilih tetap tinggal di rumah dan berdoa ketika tsunami datang. Mereka duduk bersama, membaca Al-Qur’an, dan menyerahkan nasib mereka kepada Tuhan.

Saya merenungkan bagian ini cukup lama. Keimanan adalah sesuatu yang sangat pribadi, dan dalam banyak kasus, keyakinan bisa menjadi sumber ketenangan di tengah ketakutan. Tetapi, bagaimana jika keyakinan ini justru menjadi alasan seseorang tidak menyelamatkan diri?

Baca Juga: Dilecehkan Sampai Sulit Dapat Pembalut: Ini Yang Dialami Perempuan di Lokasi Bencana

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Aceh. Saat Badai Katrina melanda Amerika Serikat, beberapa komunitas memilih untuk tetap tinggal dan beribadah daripada mengevakuasi diri. Mereka percaya bahwa Tuhan akan melindungi mereka tanpa perlu usaha tambahan. Sayangnya, realitasnya tidak demikian.

Dalam Islam, usaha dan doa harus berjalan beriringan. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika mereka sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya (QS. Ar-Ra’d: 11). Prinsip ini juga ditegaskan dalam hadis Rasulullah: “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini mengingatkan bahwa tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha. Tetapi mengupayakan yang terbaik sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Dalam konteks bencana, hal ini menjadi sangat relevan. Mengambil tindakan penyelamatan bukanlah bentuk kurangnya iman. Tetapi justru bagian dari kewajiban manusia untuk menjaga kehidupan yang telah dianugerahkan oleh Allah.

Perempuan dan Ketidakberdayaan dalam Situasi Bencana

Selain norma sosial dan faktor agama, penelitian ini juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat kesiapan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam menghadapi bencana.

Ada beberapa faktor yang membuat perempuan lebih rentan. Terkait tsunami Aceh 2004, salah satunya, kurangnya keterampilan bertahan hidup. Banyak perempuan di Aceh tidak bisa berenang, tidak tahu tanda-tanda tsunami. Juga tidak pernah diajarkan cara menyelamatkan diri dalam situasi darurat.

Kemudian soal pakaian dan keterbatasan mobilitas. Pakaian panjang dan tradisional menghambat gerakan mereka di air. Beberapa perempuan juga sedang hamil atau harus menggendong anak, sehingga mereka lebih sulit untuk bergerak cepat.

Baca Juga: Layaknya Avatar, LGBT Kerap Disebut Sebagai Sumber Bencana 

Kondisi fisik dan kurangnya akses informasi juga jadi faktor yang dimaksud. Perempuan sering kali tidak memiliki akses langsung ke informasi tentang bencana. Sebab di beberapa komunitas, informasi lebih dulu diberikan kepada laki-laki sebagai kepala keluarga.

Semua ini membuat saya berpikir: bencana alam memang tidak memilih korban, tetapi budaya kita sering kali menentukan siapa yang lebih sulit untuk selamat.

Menuju Mitigasi Bencana yang Lebih Inklusif Gender

Tsunami Aceh sudah 20 tahun berlalu, tetapi pertanyaan yang diajukan jurnal ini tetap relevan: Apa yang bisa kita lakukan agar perempuan tidak lagi menjadi korban yang paling banyak dalam bencana?

Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, edukasi kebencanaan harus dibuat lebih inklusif. Perempuan harus mendapatkan pelatihan yang sama dalam mitigasi bencana. Termasuk keterampilan bertahan hidup seperti berenang dan memahami tanda-tanda bahaya.

Kedua, mengubah norma sosial yang membatasi perempuan dalam mengambil keputusan. Pemberdayaan perempuan sangat penting agar tidak merasa harus menunggu izin dari laki-laki untuk menyelamatkan diri.

Ketiga, reinterpretasi ajaran agama dalam konteks keselamatan. Perlu pemahaman masa kini tentang keselamatan diri yang paling utama. Menyelamatkan diri bukanlah bentuk kurangnya keimanan, tetapi justru bagian dari ikhtiar yang dianjurkan.

Berapa Banyak Lagi yang Harus Menunggu?

Saya terus bertanya-tanya: berapa banyak lagi perempuan yang harus kehilangan nyawa sebelum kita benar-benar belajar?

Bencana alam mungkin tidak bisa kita cegah, tetapi cara kita meresponsnya bisa kita ubah. Jika budaya yang membatasi perempuan dalam mengambil keputusan tidak segera diubah, maka dalam bencana berikutnya, pola ini akan terus terulang.

Dan ketika itu terjadi, kita tidak bisa lagi menyebutnya sebagai kebetulan.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Pradiayufa

Seorang penulis lepas dan content writer
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!