Dilecehkan Sampai Sulit Dapat Pembalut: Ini Yang Dialami Perempuan di Lokasi Bencana

Dewi Rana, seorang pendamping korban bencana menyatakan, bahwa para perempuan yang tinggal tenda-tenda pengungsian pasca bencana selama ini mengalami kondisi yang sangat rentan, mereka seperti orang yang diabaikan.

Dewi Rana mengungkapkan selama ini ada remaja perempuan yang kehilangan orangtuanya dan harus hidup sendiri di pengungsian. Ada 4 perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Sementara, 6 perempuan mengalami pelecehan. Satu perempuan yang mengalami kekerasan dari aparat.

“Tubuhnya ditendang,” kata Dewi Rana dari Organisasi Penjaga Pengungsi Perempuan dan Anak (Libu Perempuan) di Sulawesi Tengah.

Data ini ia dapat ketika mendampingi para perempuan yang tinggal di pengungsian di Sulteng. Dewi Rana menyatakan ini dalam acara refleksi Konvensi anti diskriminasi perempuan CEDAW dan bencana yang diadakan CEDAW working Group Indonesia (CWGI) pada Jumat, 4 Agustus 2023.

Baca Juga: Sudah 39 Tahun CEDAW, Perempuan Masih Berjuang Stop Diskriminasi dan Ketidakadilan

Dalam pengungsian, juga terjadi perkawinan di usia anak. Ada juga perempuan yang jadi korban KDRT dan persoalan kesehatan reproduksi yang mereka alami. Para perempuan tak cukup mendapatkan air bersih, juga pembalut.

“Yang banyak diperhatikan itu ketika mereka dalam kondisi darurat, tapi bukan pada pasca bencana. Padahal dalam pasca bencana, banyak perempuan yang harus diperhatikan.

“Ada perempuan yang mengalami stres, mereka harus makan pil tiap hari biar tidak stres dengan bencana yang mereka alami.”

Ini biasanya dialami oleh para ibu yang harus kehilangan anaknya, mereka harus minum obat penenang tiap hari.

“Padahal kami tidak punya dinas atau pemerintah yang punya dana talangan untuk paska bencana ini.”

Dewi Rana banyak menangani bencana di Sulteng. Bersama dengan para penggerak disana, mereka kemudian berinisiatif mengadakan rapat cluster. Rapat cluster adalah rapat yang diadakan mereka semua dan langsung dilaporkan pada pemerintah.

“Laporan cluster ini bisa langsung diproses di Sulteng ini. Lalu ada ruang ramah perempuan di tenda- tenda itu karena sebelumnya tidak ada jarak diantara tenda. Membangun ruang ramah perempuan ini penting dilakukan pasca bencana. Kami belajar tentang mapping kerentanan perempuan karena perempuan tidak mengetahui dia dimana, akses mana yang perlu mereka jangkau jika mereka akan melaporkan. Di bencana Sulteng itu kearifan lokal diturunkan pada perempuan untuk menyelamatkan perempuan dan anak- anaknya,” kata Dewi Rana.

Baca Juga: Anak dan Perempuan Korban Bencana Butuh Jaminan Aman Dari Kekerasan Seksual

Frida Kurniawati, Angga Sisca Rahadian dan Wabilia Husnah dalam The Conversation.com menuliskan bahwa setiap tahun, terjadi ribuan bencana alam yang terjadi di Indonesia dengan jumlah yang terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, telah terjadi sekitar 24.270 bencana, yang didominasi oleh bencana hidrometeorologis – seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, dan puting beliung. Bencana alam itu disebabkan oleh perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut dan eksploitasi sumber daya alam. Sepanjang 2021 tercatat 5.402 bencana alam. Baru-baru ini Indeks Risiko Dunia 2022 menobatkan Indonesia sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi ketiga dari 193 negara, dengan skor 41,46.

Kejadian tsunami dan gempa di Palu tahun 2019 silam, menorehkan cerita yang menyesakkan, terutama bagi perempuan.Percobaan perkosaan dan pengintipan marak terjadi pada masa pengungsian. Ada 57 laporan kasus kekerasan berbasis gender berupa KDRT, perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkawinan anak, dan perkawinan paksa di 10 kamp pengungsian.

Salah satu faktor penyebab terjadinya hal tersebut adalah tempat pengungsian yang tidak sensitif gender, seperti fasilitas mandi-cuci-kakus yang digabung untuk laki-laki dan perempuan. Faktor lainnya antara lain penerangan yang kurang, jarak yang cukup jauh antara tenda dengan kamar mandi, serta lokasi perempuan mengumpulkan air di hutan.

Baca Juga: Aktivis: Pemerintah Mestinya Punya Sensitivitas Gender Dalam Penanganan Bencana

Tantangan lain yang juga dialami oleh perempuan pasca bencana adalah hilangnya hak mereka atas kepemilikan lahan. Studi tersebut menemukan bahwa memang jumlah perempuan yang terlibat dalam rapat dan pelatihan Destana sudah lebih dari 30%.

Namun, para perempuan ini kesulitan menyampaikan pendapatnya karena kultur setempat membiasakan mereka untuk tidak berani berbicara di depan publik. Pendapat perempuan pun jarang dianggap penting.

Lidwina Inge Nurtjahyo di The Conversation menulis soal tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban bencana alam karena disebabkan beberapa hal.

Pertama, adanya konstruksi nilai dalam masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk lebih dahulu menyelamatkan anggota keluarganya.

Kedua, perempuan sering tidak dapat hadir dalam latihan penyelamatan diri dari kondisi bencana alam. Hal itu terjadi karena konstruksi nilai budaya di mana perempuan fokus pada urusan domestik sehingga jarang bisa keluar rumah untuk mengikuti pelatihan.

Baca Juga: Paradoks pemberdayaan perempuan Aceh pascatsunami

Ketiga, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana membuat pengetahuan mereka terkait pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi minim. Pengetahuan yang terbatas soal teknik penyelamatan diri membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana alam.

Keempat, ada faktor memudarnya pengetahuan lokal dalam masyarakat tentang pengenalan gejala awal bencana alam. Dan perempuan sebagai kelompok dengan akses yang minim terhadap penyebaran pengetahuan menjadi rentan.

Pengetahuan lokal yang dimaksud adalah pengetahuan dari leluhur untuk melihat perubahan alam yang bisa menandakan terjadinya bencana alam. Misalnya di Papua Nugini, masyarakat belajar ‘membaca’ awan. Apabila awan itu mengalami perubahan tekstur, warna, arah, kecepatan berpindah, maka hal tersebut dapat dibaca sebagai potensi badai.

Situasi Rentan Penyandang Disable di Pengungsian

Situasi paling rentan dialami para penyandang disable. Renita Alwi dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dalam diskusi CEDAW tersebut  juga mengungkap soal lemahnya pengakuan pada para disable pada saat bencana dan perubahan iklim

“Padahal kelompok ini termarjinalisasi, sehingga perempuan disable tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Lebih parah dalam situasi krisis dan gender.”

Penanganan khusus utk disable harus dilakukan misalnya ada posko khusus atau kebutuhan khusus para disable yang harus dipenuhi.

Rena Herdiyani dari Kalyanamitra menyebut, sudah 39 tahun implementasi konvensi CEDAW di Indonesia, namun penanganan bencana untuk perempuan masih parsial, belum berkembang.

Baca Juga: Ironi Penyandang Disabilitas, Diabaikan di Kota Ramah Disabilitas

Khotimun dari Yayasan LBH APIK Indonesia menyatakan bahwa seharusnya pemerintah memikirkan bahwa penanganan bencana dibutuhkan sejak pra bencana, pada saat tanggap darurat sampai dengan paska bencana.

Pemerintah perlu memperbaiki kebijakan pengelolaan bencana berbasis gender dan inklusi sosial. Ini berguna agar bersifat lebih substantif. Tujuannya, menghadirkan solusi penanggulangan bencana yang lebih responsif gender.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!