Bentuk ketimpangan gender yang marak ditemukan merupakan produk masyarakat patriarkal. Konstruksi sosial yang lebih banyak melibatkan laki-laki turut mengendalikan kekuasaan atas perempuan dan mengkristal dalam budaya, hak sosial, kepemimpinan, dan kebijakan publik bahkan privat.
Dengan otoritas tersebut, mengaminkan tindakan sewenang-wenang atas tubuh perempuan dengan kekerasan dan pemerkosaan yang tidak sedikit berujung pada pembunuhan. Pembunuhan pada perempuan ini tidaklah sama dengan pembunuhan biasa. PBB menyebutnya sebagai Femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, penaklukan, penguasaan, dan pandangan kepemilikan perempuan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Singkatnya adalah pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh laki-laki karena gender mereka. Kebanyakan dilakukan oleh pasangan (atau mantan pasangan) atau anggota keluarga (ayah, paman, sepupu, kakak/adik laki-laki).
Baca Juga: Femisida Terjadi Lagi, Gimana Hukum Indonesia Mengatur Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Perempuan Berbasis Gender?
Selain didorong oleh kentalnya patriarki di masyarakat, faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan pada perempuan patut ditelisik. Seperti degradasi moral, pemahaman agama yang dangkal, motif balas dendam, rendahnya kepekaan sosial, dan putusan pengadilan yang dianggap tidak objektif.
Sebuah penelitian pernah mengungkap tingginya Femisida di Honduras difaktori oleh tingginya angka kemiskinan negara tersebut. Kompleksitas tata sosial dan negara masih menjadi momok menakutkan masyarakat sekaligus persoalan bersama. Meskipun Femisida terjadi di ranah personal, bukan berarti merupakan masalah personal melainkan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.
Di Indonesia, Femisida menjadi isu yang cukup ramai dibicarakan dalam beberapa tahun ini. Komnas Perempuan melaporkan terdapat 90 kasus pada 2020, 307 kasus pada 2021-2022, dan 290 kasus pada 2023-2024. Jakarta Feminist beranggapan bahwa angka tersurat bukanlah angka pasti, dikarenakan ada banyak sekali kasus Femisida yang sulit terdeteksi akibat keberpihakan media dan kepolisian.
Femisida sendiri menyasar perempuan golongan rentan, namun tidak menutup celah perempuan di sektor publik pun terkena imbas. Maka di sini, penulis berupaya menyoroti isu Femisida sebagai sinyal darurat keadilan perempuan untuk mengurai bagaimana upaya mengenali dan mengakhiri persoalan mendesak tersebut melalui kesadaran sosial dan otoritas agama.
Bagaimana Islam Memandang Femisida?
Al Qur’an sangat memuliakan manusia dan mencela perilaku melukai atau membahayakan kehidupan. Baik kepada dirinya sendiri maupun orang lain atas dasar alasan apapun yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
Nilai kesetaraan hak-kewajiban dan keadilan terkandung dalam QS. Hujurat: 13, QS. An-Nahl: 97, QS. Al-Baqarah: 30, QS. At-Taubah: 71-76. Maka dari itu, anggapan bahwa Al Qur’an menjadi penyebab adanya penyimpangan dan sumber ketidakadilan adalah salah.
Al Qur’an menjunjung hak asasi manusia dengan mengecam secara tegas pembunuhan sebagai kategori dosa besar (QS. Al-An’am: 151) yang juga sama meliputi praktik pembunuhan perempuan. Femisida bukanlah hal baru di awal pewahyuan sebab Femisida Honour Killing pernah terjadi atau pembunuhan yang biasanya dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki untuk melakukan kekerasan kepada anggota keluarga perempuan yang dianggap melukai martabat keluarga.
Baca Juga: ‘Hoe Phase’ dan ‘Hookup Culture’ di Kultur Patriarki: Seksisme sampai Femisida
Dimana keluarga membunuh bayi perempuannya akan dipertanggung jawabkan kelak (QS. At-Takwir: 8-9) disebabkan pandangan misoginis masyarakat jahiliyyah pada perempuan (QS. An-Nahl: 58, QS. Az-Zukhruf: 17). Perempuan kala itu dianggap sebagai aib keluarga, memalukan, menambah beban ekonomi, dan tidak produktif dalam kehidupan.
Al Qur’an juga membahas konsekuensi bagi pelaku pembunuhan yaitu ganjaran hukuman setimpal (qishash), ganti rugi (diyat), atau jalur damai antar keluarga korban dan pelaku (QS. Al-Baqarah: 178). Ayat ini mengandung spirit perlindungan jiwa manusia yang selanjutnya menjadi peringatan bagi semua untuk tidak melakukan perbuatan yang sama(QS. Al-Baqarah: 179).
Menurut Syekh Syaltut, ulama cendekiawan Mesir (w. 1963), bahwa penetapan hukuman harus disamakan antara pembunuhan laki-laki dengan perempuan, orang muslim dengan non-muslim, seorang ayah dengan anaknya, harus tetap dikenai hukuman qishash dan jumlah diyat laki-laki dengan jumlah diyat untuk perempuan harus sama, sehingga posisi manusia adalah sama di depan hukum.
Terlepas dari bagaimana transformasi hukum pidana Islam akhirnya berupa ta’zir (hukuman dengan efek jera), Al Qur’an berpesan untuk menjunjung tinggi kesamaan dan keadilan yang berlaku secara merata tanpa diskriminasi status sosial, gender dan agama.
Baca Juga: #911Femisida: Femisida di Kupang, Istri Dibakar Suami Akibat Cemburu Tak Beralasan
Sementara itu dalam kacamata hukum Islam, Femisida sendiri sudah mencederai aspek-aspek primer yang terkandung dalam Maqashid Syariah. Maqashid Syariah adalah barometer dari segala tindak-tanduk perilaku yang menuju pada kemaslahatan baik bagi dirinya ataupun lingkup yang lebih luas dalam pijakan hukum Islam. Dengan melayangkan nyawa perempuan yang kerap didahului oleh pemerkosaan, pelaku melanggar etika Hifdz Nafs (perlindungan terhadap jiwa) sekaligus Hifdz ‘Ird (perlindungan terhadap kehormatan).
Realitas Sosial tentang Femisida
United Nation (UN) Women mendeklarasikan bahwa Femisida merupakan bentuk kekerasan paling brutal dan ekstrim terhadap perempuan dan anak perempuan. Laporan terbaru dari UN Office on Drugs and Crime (UNODC) dan UN Women (24/11/24) menunjukkan bahwa pembunuhan perempuan meningkat di seluruh dunia.
Tidak terkecuali Indonesia, rentetan Femisida 2024 yang terjadi antara lain kasus NKS, seorang perempuan belia penjual gorengan yang diperkosa dan dibunuh keji (19/9/24), kasus mutilasi istri di Ciamis, Jawa Barat (3/5/24), KDRT berakhir pembunuhan istri hamil di Cikarang (7/9/24), seorang kader Fatayat Lampung meninggal dengan jasadnya ditemukan dalam karung (18/7/24), pemerkosaan dan pembunuhan santriwati di Kendal (17/10/24), dan berita lainnya.
Femisida belum sepenuhnya dipahami oleh semua masyarakat Indonesia sehingga langkah-langkah preventif juga minim disadari. Terutama dalam etika laman berita, jurnalis, dan media mendokumentasikan kasus pembunuhan kronologis ini agaknya masih berbau seksis. Sebab evaluasi tersebut sebagai edukasi masyarakat untuk menguak Femisida bukan sebagai kriminalitas biasa.
Selain tagline berita yang harus ramah gender, media juga perlu menyoroti perspektif korban. Misalnya, dengan memperdalam pada pihak keluarga, pengadaan layanan ataupun pendamping keluarga korban. Sementara yang muncul di media adalah pelaku sering dilihat apakah punya gangguan jiwa atau kecenderungan tertentu. Alih-alih mempertanyakan apakah sebenarnya kita gagal sebagai masyarakat untuk melindungi perempuan? Apa saja yang diperlukan korban supaya tidak terbunuh? Kita tidak dapat itu.
Baca Juga: #PerempuHAM: Femisida dalam Tragedi 1965, Perempuan Bersuara Lewat Dialita Choir
Secara hukum, hukuman Femisida tidak ditemukan secara eksplisit termaktub dalam UU HAM dan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Rumusan pasal-pasal UU HAM hanya mengatur hak asasi setiap manusia yang berlaku secara universal. Di sisi lain, UU TPKS tidak mengatur Femisida sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tentu saja hal itu merupakan salah satu kelemahan dari hukum positif Indonesia, khususnya yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan. Meskipun ini merupakan proses panjang dalam perkembangan hukum pidana Femisida, namun hakim perlu meninjau pemberatan pidana pelaku dengan mengintegrasikan indikator Femisida. Utamanya, dalam putusan pengadilan dan aparat penegak hukum untuk mengajukan ganti kerugian kepada pelaku untuk selanjutnya diberikan ke ahli waris. Hal itu sebagaimana yang dirilis dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peluncuran Pemantauan Femisida 2024 (10/12/24). Upaya ini dilakukan untuk memenuhi keadilan pada korban dan keluarga yang ditinggalkan.