Di Hari Buruh Sedunia 2025 ini, Konde.co meluncurkan riset atau jurnalisme data tentang situasi dan kondisi ojol perempuan. Liputan ini ditayangkan pada 30 April- 1 Mei 2025, yang merupakan bagian dari series #MeiMelawan 2025.
Hasil riset Konde.co yang dipublikasikan 30 April 2025 kemarin menyebut bahwa kehidupan ojek online (ojol) perempuan dieksploitasi secara reproduktif, dan dirongrong kapitalisme platform yang mengekstraksi dalam sistem kemitraan semu. Riset ini dilakukan terhadap ojol perempuan di 9 kota di Indonesia untuk mengetahui persoalan gender dan maskulinitas kerja https://www.konde.co/2025/04/jalan-terjal-ojol-perempuan-bertaruh-pada-aspal-dan-algoritma-hasil-riset-konde-co-1/
Pada publikasi kedua kali ini, tim Konde.co kemudian menemui sejumlah ojol perempuan yang bekerja di Sukabumi dan Yogyakarta, lalu menghubungi perusahaan aplikator ojol untuk mengetahui nasib kerja mereka.
Renny, adalah pengemudi 0jek online (ojol) asal Sukabumi yang tak pernah lelah menyuarakan problem yang dialami perempuan ojol atau lady ojol. Ia tergabung dalam Serikat Demokrasi Pengemudi Ojol Indonesia (SDPI). Di SPDI, Renny mendata ada banyak persoalan reproduksi yang terjadi pada ada ojol perempuan. Misalnya, ada ojol yang keguguran karena masih kerja sampai 8 bulan usia kandungannya.
“Ini keguguran karena 8 bulan masih kerja. Tetep kerja saat hamil 8 bulan, tak ada libur hamil.”
Baca Juga: Perempuan Petani Tak Pernah Dianggap Pekerja, Dianggap Pembantu Suami di Sawah
Selain itu, ada perempuan ojol yang harus angkat rahim karena pendarahan. Renny memaparkan ini dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Perempuan Indonesia (API) 8 Maret 2025. Ia mengungkap soal perempuan ojol yang tetap bekerja walau usia kehamilannya 8 bulan karena tak ada aturan libur untuk ojol. Semuanya atas nama relasi kemitraan dengan perusahaan, namun jika tak bekerja dalam waktu lama, ada penilaian tentang kinerja atau algoritma yang buruk.
“Kita terpaksa jadi ojol karena negara tak bisa memberikan lapangan kerja. Di ojol tidak ada campur tangan aturan atau kebijakan pemerintah, maka kami harus ikut komunitas. Seringnya pengabaian yang membuat kami tidak bisa bersuara. Tidak ada perhatian dari pemerintah dan pengusaha untuk ini semua” ungkap Renny.
Menjadi ojek online (ojol) perempuan memang tak kalah rumitnya dibandingkan ojol laki-laki. Jumlah yang sedikit, yaitu 20% membuat mereka menjadi minoritas. Mau protes bingung karena harus protes sama siapa, sedangkan mau bercerita lebih terbuka, jumlah mereka minim.
Baca Juga: Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Panas Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (1)
Para ojol perempuan ini banyak mengalami persoalan tenaga kerja perempuan seperti kesehatan reproduksi, karena bekerjanya selama ini atas nama kemitraan dengan perusahaan, padahal kemitraan yang dibangun tak equal, mereka banyak mengeluhkan soal tak ada ruang kerja, alat kerja dan penyelesaian persoalan.
Misal, waktu bekerja mereka dihabiskan di jalan, namun mereka tak punya ruang untuk duduk, makan, kamar mandi, atau yang lebih mewah lagi ruang untuk ojol yang lagi hamil dan menyusui. Jadi yang sedang hamil besar pun, tak ada tempat istirahat atau duduk. Mereka mencari sendiri di warung-warung untuk duduk dan istirahat. Problemnya bertambah karena mereka juga harus mengeluarkan uang setiap istirahat di warung sambil mencari toilet bersih.
“Tak ada toilet untuk para 0jol, bagaimana untuk perempuan hamil jika membutuhkan toilet secara cepat?” kata Renny.
Jika mereka protes, perusahaan aplikator ojol kemudian ‘merawat’ para driver ojol perempuan agar tetap loyal dan tidak melawan. Salah satu contohnya, Renny menyebut, adalah saat momen peringatan Hari Kartini pada 21 April lalu. Di Jabodetabek. Ada sekitar 20 orang driver ojol perempuan yang ‘dimanjakan’ dengan fasilitas manicure dan pedicure di Hari Kartini. Mereka juga mendapatkan fasilitas salon dan didandani. Sebut Renny, hal itu berlangsung agar para mitra perempuan tidak ‘berteriak’ menuntut keadilan.
Majalah Sedane menuliskan bahwa ini disebabkan karena algoritma yang dibangun perusahaan-perusahaan transportasi berbasis aplikasi tidak ramah perempuan. Seperti tertulis dalam riset yang dilakukan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) dan ditulis dalam Majalah Sedane.
Pertama, sekitar 80 persen pengguna ojol adalah perempuan. Sedangkan driver ojol perempuan hanya 20 persen dari total semuanya. Dengan perhitungan sederhana, ojol perempuan semestinya mendapat lebih banyak kesempatan mendapatkan order. Kenyataannya, ojol perempuan lebih banyak mendapatkan pelanggan laki-laki, yang berarti rentan mengalami canceling karena pengemudi perempuan dianggap tidak cakap mengendarai sepeda motor.[2]
Baca Juga: Cerita 3 Ojol Perempuan: Ditolak Penumpang Laki-laki karena Bukan Muhrimnya Sampai Bias Algoritma
Kedua, sistem gamifikasi algortima transportasi online mensyaratkan onbid secara terus-menerus dengan pengaturan waktu yang konsisten.[3] Penonaktifan aplikasi karena menstruasi atau hamil berpengaruh terhadap performa akun. Performa merupakan satu elemen penilaian untuk mendapatkan order. Tentu saja algoritma tidak peduli jika waktu onbid karena harus mengurus pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, fleksibilitas jam kerja bagi ojol adalah omong kosong.
Ketiga, upah per trip mengondisikan perempuan tidak dapat meninggalkan pekerjaannya. Meninggalkan pekerjaan karena menstruasi atau hamil maka secara otomatis tidak akan mendapatkan upah.
Di Serikat Demokrasi Pengemudi Ojol Indonesia (SDPI), Renny kemudian mendiskusikan tentang apakah mereka akan menjadikan ojol ini pekerja atau mitra?. Renny sendiri cenderung mendorong driver ojol sebagai pekerja, sebab status sebagai pekerja paling tidak membantu kejelasan hak-hak mereka untuk minimal terpenuhi.
“Walau pekerja di sektor manufaktur pun sebenarnya (kondisinya) buruk, karena undang-undang yang dibuat oleh pemerintah pun sebenarnya lebih ke mengakomodir pengusaha daripada memperjuangkan dan melindungi buruh itu sendiri,” ujar Renny yang ditemui Konde.co
Salah satu hak pekerja yang tidak dimiliki oleh driver ojol saat ini adalah jaminan pendapatan. Penghasilan yang sepenuhnya mengandalkan jumlah pesanan membuat mereka tidak punya kepastian mengenai hal itu. Selain itu, tak jarang pengemudi ojol harus mengeluarkan modal sendiri untuk bekerja. Seperti menyediakan motor atau mobil, bensin, ponsel, pulsa, dan sebagainya. Bahkan, menurut Renny, pakaian yang mereka kenakan juga membutuhkan modal mereka sendiri. Namun, di sisi lain, mereka diminta untuk mengiklankan aplikator atau pemberi kerja.
Baca Juga: Ruang Laktasi Tak Layak, Buruh Pabrik Sering Kehilangan Alat Pumping ASI
Driver ojol juga tidak diberikan jaminan kesehatan oleh aplikator atau pemberi kerja. Alih-alih, mereka harus mengeluarkan dana sendiri untuk mengakses layanan kesehatan.
“Setidaknya perlindungan secara umum, perlindungan sosial itu buruk. Baik laki-laki atau perempuan,” Renny berkata. “Apa lagi perempuan. Karena perempuan itu kan, kita punya siklus menstruasi, melahirkan, itu benar-benar… Jangankan untuk perempuan, untuk keseluruhan ojol pun tidak ada jaminan sosialnya. Baik itu kecelakaan kerja ataupun kesehatan.”
Bahkan, lanjut Renny, biaya akibat kecelakaan kerja harus ditanggung sendiri oleh driver. Jaminan kesehatan seperti BPJS-TK juga diajukan secara mandiri, sebab aplikator tidak menjamin perlindungan dari kecelakaan kerja.
“Tapi kita harus melindungi diri kita sendiri dengan cara membayar pool mandiri, BPJS-TK mandiri, gitu. Kesehatan pun sama.”
Padahal, selain risiko kecelakaan kerja, efek jangka panjang bekerja di luar ruangan juga sangat buruk bagi kesehatan jangka panjang pengemudi ojol. Mereka terpapar polusi di jalanan, cuaca yang buruk, dan sebagainya. Risiko penyakit paru-paru hingga kelainan darah kerap membayangi para driver ojol. Terutama driver ojol perempuan yang cenderung lebih rentan. Sayangnya, jaminan sosial kesehatan tersebut sama sekali tidak dijamin oleh aplikator, bahkan oleh pemerintah. Maka driver ojol harus mengupayakan segala cara untuk melindungi diri mereka sendiri.
“Misalnya juga, di pendapatan kita yang sangat minim; jika kita sakit, kita juga tidak punya biaya untuk sakit. Akhirnya kita dipaksa sehat di negara yang sakit,” tukas Renny.
Distigma ‘Perempuan Tidak Benar’, Dilecehkan, dan Alami KDRT
Selain kesehatan fisik dan reproduksi, Renny menjelaskan, tingkat depresi driver ojol perempuan lebih tinggi dibanding pekerja pada umumnya.
Penyebab stres beragam, mulai dari macet, suara bising knalpot, hingga minimnya dukungan dari keluarga. Faktor terakhir menjadi penting lantaran stigma buruk terhadap perempuan yang memilih menjadi driver ojol masih lekat. “(Dianggap) perempuan ‘tidak benar’,” ucap Renny. Ia menirukan salah satu kalimat stigma yang pernah didengarnya.
“Kamu daripada kerja jadi ojol, mendingan kamu kerja di pabrik, deh!”
Ia sendiri juga mengalami stigma tersebut karena bekerja sebagai driver ojol perempuan. Kakak kandungnya tidak mengizinkan dirinya untuk ‘narik’ ojek. Pasalnya, sang kakak berpikir bahwa menjadi tukang ojek bukan pekerjaan perempuan. Maka perempuan yang melakukannya kerap dipandang hina.
“Kedua, (saat mengemudi ojek) perempuan harus nongkrong di jalan. Itu pun membuat keluarga malu untuk mengakui bahwa ‘dia adalah keluarga saya’, karena kerjaannya,” Renny menuturkan.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga bisa terjadi kepada driver ojol perempuan. Jelas Renny, biasanya kekerasan terjadi karena suami cemburu saat istrinya menjadi driver ojol dan membonceng laki-laki. Stigma terhadap driver ojol perempuan muncul dari masyarakat sekitar, sesama pengemudi ojol, hingga lingkungan terdekat seperti keluarga. Hal-hal seperti ini pula yang meningkatkan stress dan depresi di kalangan driver ojol perempuan.
Baca Juga: Stereotip Bikin Gen Z Dianggap Gak Layak Jadi Manajer di Kantor
Perempuan yang menjadi pengemudi ojol juga rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual saat bekerja. Perempuan kerap menjadi minoritas dalam komunitas driver ojol. Renny mencontohkan, dalam satu grup komunitas pengemudi, biasanya hanya ada sekitar 2-5 orang perempuan. Dengan kondisi seperti itu, mereka dipaksa menormalisasi berbagai bentuk pelecehan yang dilakukan oleh para laki-laki di kelompok sekitar mereka. Penggunaan stiker bernuansa pornografi di grup obrolan, bahasa-bahasa yang melecehkan, hingga penghinaan terhadap anggota tubuh perempuan jadi kondisi sehari-hari yang dihadapi para driver ojol perempuan. Pada akhirnya, hal itu terpaksa dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
“Itu kan, karena kita (ada dalam) grupnya cowok,” ujar Renny.
“Mereka tidak melihat bahwa ternyata di dalam grup atau komunitas itu ada perempuannya. Dan kita harus menormalisasi itu.”
Tidak hanya itu, para laki-laki dalam komunitas driver juga kerap membela diri dengan mengatakan bahwa hal yang mereka lakukan tidak dimaksudkan untuk melecehkan perempuan. Atau, mereka tidak merasa bahwa itu merupakan pelecehan terhadap perempuan. Kondisi ini terutama rentan dialami oleh driver ojol perempuan yang berstatus janda.
“’Lu mendingan ‘ini’ sama gue aja, deh. Sama gue aja’, seperti itu, lah,” Renny mencontohkan kalimat pelecehan terhadap perempuan janda di kalangan driver ojol dengan getir.
Tidak hanya di kalangan pengemudi, pelecehan terhadap driver ojol perempuan juga dilakukan oleh customer dan masyarakat yang tidak mereka kenal.
Tak Ada Cuti Maternitas, Kesehatan Reproduksi Terganggu Sampai Keguguran
Jaminan sosial dan kesehatan terutama penting bagi pekerja perempuan. Pasalnya, perempuan memiliki siklus haid, hamil, dan melahirkan yang mengharuskan mereka untuk beristirahat saat dibutuhkan. Sayangnya, hak cuti maternitas seperti itu hanya menjadi sebuah kemewahan yang tidak dapat dimiliki driver ojol perempuan.
“Boro-boro, sama sekali tidak ada,” tegas Renny.
“Hak libur gitu, kan. Kita nggak punya liburan sama sekali. Ketika haid, kita dipaksa untuk kerja. Ketika hamil pun, sering. Ada beberapa kawan yang pernah keguguran. Terus ada juga yang mengalami masalah kesehatan dalam kehamilan, sampai harus diangkat rahimnya.”
Ironis, meski kasus-kasus seperti itu sering terjadi kepada driver ojol perempuan, pihak aplikator justru mengabaikannya. Bahkan, ketika kondisi kehamilan perempuan sudah begitu dekat menuju waktu melahirkan, mereka masih harus memikirkan performa dan status mereka sebagai driver ojol.
“Dua minggu kita tidak menjalankan orderan, itu akan ada peringatan,” kata Renny. “Satu bulan kita tidak menjalankan aplikasi, itu akan ada suspend. Tiga bulan kita tidak menjalankan aplikasi, kita akan diputus permanen. Putus mitra atau PHK, lah, kalau di pabrik.”
Baca Juga: Glass Ceiling Perempuan Pekerja: Distigma Tak Mampu Kerja, Dijerat Beban Ganda
Kondisi itu memaksa perempuan tetap bekerja sebagai pengemudi ojol, bahkan dalam kondisi hamil besar. Padahal, seharusnya perempuan tidak boleh melakukan aktivitas berat dalam waktu setidaknya 40 hari sebelum melahirkan. Sedangkan pihak aplikator tidak memberikan kompensasi apa pun terhadap driver ojol perempuan yang mengalami keguguran atau gangguan kehamilan akibat bekerja.
“Jangankan dalam waktu lama. Misalnya nih, dalam satu minggu kita ada libur 1-2 hari, itu akun pas dinyalain jadi anyep,” terang Renny.
“Jadi kadang dipaksa aja kita kerja itu. Dipaksa untuk tidak libur, termasuk pada saat haid. Karena kalau kita tidak pakai aplikasi 1-2 hari, pas kita nyalakan lagi lebih susah.”
Renny menyebut, ada driver ojol perempuan di Sukabumi yang mengalami gangguan kehamilan akibat bekerja saat hamil. Ia sampai harus menjalani pengangkatan rahim.
“Karena dia (kerja) sampai malam terus. Terus di motor kan, kejeglag-jeglug gitu, kan. Dan masalah kehamilan si anaknya… Apa Namanya, ya? Posisinya kurang-lebih mengharuskan di-caesar. Sama ada pendarahan juga.”
Anak tersebut pun lahir dan kini sudah tumbuh besar. Namun, perempuan driver ojol tersebut harus mengalami pengangkatan rahim akibat kejadian itu. Kini perempuan tersebut sudah tidak terlalu aktif menjadi pengemudi ojol.
Sementara itu, kasus perempuan hamil yang keguguran akibat bekerja sebagai driver ojol terjadi di Tangerang. Tutur Renny, “Karena pendapatan ojol yang tidak pasti itu, akhirnya dia memperpanjang jam kerjanya sampai malam. Kebanyakan malam. Akhirnya terjadilah keguguran tersebut. Dia pas hamilnya itu sering ngalong—bahasa kami, kerja di malam hari. Sedangkan, jangankan angin di malam hari, ya; angin di siang hari saja sudah buruk bagi perempuan hamil.”
Baca Juga: Overwork Sampai Union Busting Menimpa Septia, Sutradara Film Sampai Jurnalis CNN
Dari kedua kasus tersebut, pihak aplikator atau perusahaan ojol tidak memberikan kompensasi apapun. Hal itu menjadi tanggungan pribadi para perempuan pengemudi ojol. Tambah Renny, bahkan biaya melahirkan pun mereka tanggung sendiri.
“Enggak ada tunjangannya gitu, enggak ada. BPJS mandiri, sendiri. BPJS Kesehatan tidak difasilitasi oleh aplikator sama sekali.”
Eksploitasi Verbal: Perempuan Disanjung Aplikator, Tapi Hak-Hak Dasarnya Diabaikan
Renny melanjutkan, perempuan juga cenderung lebih dieksploitasi dalam hal verbal. Salah satu aplikator ojol, ujarnya, pernah mengatakan bahwa perusahaan mereka sudah banyak membantu para perempuan single fighter untuk bisa menghidupi keluarganya. Perusahaan tersebut mengangkat narasi seorang perempuan yang tidak punya suami dan mereka bantu untuk menyekolahkan anaknya sampai lulus.
“Ibaratnya memang kita dikasih pekerjaan, tapi kita tidak dikasih perlindungan, gitu,” tukas Renny.
Meski sekilas driver ojol perempuan tampak baik-baik saja karena aplikator memberikan pekerjaan, tapi mereka kesulitan mendapatkan perlindungan yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai pekerja. Selain itu, Renny menambahkan, pekerjaan yang dilakoni pun tidak layak. Namun, banyak perempuan pengemudi ojol masih belum menyadari itu.
“Sebenarnya mereka mengeksploitasi perempuan. Lebih lagi karena perempuan itu tidak sadar bahwa dirinya sedang dieksploitasi. Karena dia pikir, ‘Oh, kalau saya tidak ada ini, mungkin saya tidak akan bisa bekerja’.”
Minimnya kesadaran akan eksploitasi driver ojol perempuan salah satunya karena pada beberapa waktu, mereka mendapatkan jumlah pesanan yang tinggi. Sementara itu, kondisi kerja mereka sendiri tidak layak dengan pendapatan tidak menentu, tidak ada jam kerja yang pasti, dan sebagainya.
Renny memberikan simulasi tingginya pesanan yang dimaksud. “Misalnya orderannya gacor. Sehari dia mendapatkan 20 trip lebih. Memang (driver) perempuan itu lebih gacor; bisa 20 trip per hari. Dengan nominal 250 ribu, mungkin lebih besar dari pekerja di pabrik, gajinya—kalau menurut mereka.” Imbuhnya, “Sebenarnya ketika order itu 20 trip sesuai, dia melihat nominalnya. ‘Oh, saya dapat uang sekian’, misalnya 250 ribu (sehari). Kalau gaji di pabrik, kayaknya mungkin kecil. Padahal dengan bekerjanya dia 20 trip itu, dia bekerja lebih keras. Pengeluaran bensin lebih banyak, tingkat kelelahannya lebih banyak. Sebenarnya jika itu layak pendapatannya, maka dia seharusnya mendapatkan lebih dari saat ini yang dia dapatkan.”
Baca Juga: “Kami Bekerja 20 Jam, Dicambuk dan Disetrum” Pengakuan Korban Kerja Paksa di Myanmar
Ilusi pendapatan ‘gacor’ itu menutupi fakta bahwa perempuan dibuat lebih kelelahan dan harus mengeluarkan modal lebih besar untuk mengisi bensin, servis, dan sebagainya. Alhasil, banyak yang tidak menyadari bahwa hal itu adalah bentuk eksploitasi terhadap diri mereka. Penghasilan tinggi dalam sehari itu pun sebetulnya lebih banyak tersalurkan ke aplikator alih-alih pada driver.
“Padahal motor dia akan lebih cepat rusak, biaya perawatannya akan lebih tinggi. Biaya bensin juga akan lebih banyak. Karena kan, motor akan lebih (banyak digunakan). Mereka tidak menghitung itu.”
Doktrin aplikator dan skema pendapatan ojol membuat driver ojol lebih fokus pada jumlah nominal yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga. Kemudian, mereka baru menyadari eksploitasi tersebut ketika jumlah pesanan dan penghasilan menurun.
“Itu sengaja dibuat oleh sistem agar orang-orang ini nantinya akan menjadi tameng-tameng mereka,” terang Renny. “Jadi ketika kita keluar, maka kita dihadapkan dengan kawan-kawan kita sendiri. Dan aplikator akan merawat mereka, akan memberikan fasilitas kepada mereka agar mereka mau untuk membela aplikator.”
Ilusi ‘Kerja Fleksibel’ Ojol Bagi Perempuan
Salah satu persoalan dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah batasan usia untuk melamar pekerjaan. Khususnya bagi perempuan. Usia 30-an kerap dipandang tidak cukup prima bagi perempuan untuk bekerja di sektor-sektor umum. Selain itu, latar belakang Pendidikan juga sering kali berpengaruh dalam melamar kerja. Padahal, banyak perempuan masih kesulitan mencapai jenjang Pendidikan tertentu karena ketimpangan gender.
Kondisi itu membuat banyak orang, terutama perempuan, merasa bahwa menjadi driver ojol lebih mudah dilakoni ketimbang melamar pekerjaan formal. Ditambah lagi, ilusi fleksibilitas kerja sebagai ojol membuat mereka berpikir bahwa mereka dapat memilih jam kerja sesuka hati. Padahal, kata Renny, kenyataannya tidak seperti itu.
“Faktanya tidak terjadi itu,” tegas Renny. “Tetap harus ada konsisten seperti karyawan. Kalau tidak konsisten, orderan anyep. Jadi mau enggak mau mereka akhirnya bekerja konsisten di ojol ini.”
“Jangankan gitu. Yang katanya fleksibel, misalnya, kita menyalakan jam 7 pagi. Kita kan, disuruh konsisten selama 8 jam, 9 jam minimal. Jadi si aplikasi itu harus nyala setiap hari, jam segitu sampai jam segitu. Konsisten terus, baru ordernya bagus.” Renny menukas, “Kalau memang fleksibel, bebas dong, jangan ada sistem seperti itu.”
Melamar pekerjaan sebagai driver ojol sekilas tampak lebih mudah dibanding pekerjaan formal. Dulu, saat Renny baru mendaftar sebagai driver ojol, persyaratan yang dibutuhkan hanya KTP, SIM, dan STNK. Cukup bermodalkan ponsel dan email, mereka sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pengemudi ojol. Tidak ada pertanyaan mengenai usia dan latar belakang Pendidikan. Alhasil, banyak orang terutama perempuan memilih untuk menjadi driver ojol.
Baca Juga: Problem Perempuan Pekerja Film: Over Work, Standar Kerja Jauh dari Impian
Ilusi fleksibilitas kerja sebagai driver ojol juga membayangi perempuan. Banyak situasi yang membuat perempuan harus menanggung beban ganda: bekerja di sektor publik sekaligus mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh anak bagi yang sudah menjadi ibu. Jika mereka bekerja di sektor formal atau industri seperti buruh pabrik, mereka dihadapkan pada keharusan meninggalkan anak untuk bekerja. Sementara dengan menjadi pengemudi ojol, sekilas tidak tampak demikian. Namun faktanya tidak seindah itu pula. Tak jarang, perempuan yang melakoni pekerjaan sebagai pengemudi ojol harus membawa anaknya bekerja.
“Itu kan, hanya asumsinya saja: bahwa fleksibel itu membuat kita lebih mudah menjadi ojol. Karena memang kita pun tidak apa-apa kalau bawa anak. Beda dengan di pabrik yang harus meninggalkan anak, ya,” tutur Renny. Ia sendiri, karena lebih sering mengambil pesanan pengantaran makanan, selalu ngojol dengan membawa anak.
Pada awal masa kehadirannya, pendapatan sebagai driver ojol sangat besar. Menurut Renny, dulu mereka juga sempat mendapatkan insentif. Namun sistemnya saat ini sudah berubah. “Karena kalau zaman dulu kan, aplikator yang membutuhkan kita. Sekarang karena pemerintah yang tidak bisa menyiapkan lapangan kerja yang baik, akhirnya mereka sulit bekerja dan memilih menjadi (driver) ojol.”
Saatnya Mengorganisir Driver Ojol Perempuan
Salah satu perusahaan aplikator ojol juga mengadakan fitur prioritas bagi driver ojol perempuan. Renny mengatakan, hal ini merupakan hasil dari tuntutan mereka selama dua tahun terhadap aplikator tersebut melalui Kemenaker.
Mereka kerap mengadakan aksi dan menyuarakan pemenuhan hak-hak driver ojol perempuan dalam demonstrasi seperti May Day. Namun, hal ini juga membuat perempuan lebih sulit mengorganisir diri karena mereka dituntut untuk terus bekerja.
“Di Sukabumi sendiri, ada fitur prioritas perempuan. Yang itu memang perempuan-perempuan (pendapatannya menjadi) gacor. Salah satu cara agar perempuan tidak mudah diorganisir; mereka dibuat bekerja terus-menerus.”
Alhasil, para driver ojol perempuan malah merasa bahwa keberadaan organisasi mengganggu produktivitas dan pekerjaan mereka. Di sisi lain, mereka harus mengutamakan keluarga dengan menyibukkan diri dalam pekerjaannya.
“Mengorganisir perempuan ojol itu lebih sulit dibanding mengorganisir para laki-laki,” aku Renny. “Karena memang, satu, dirinya tidak merasa dieksploitasi. Bahkan ketika kita berpropaganda, berkampanye tentang bagaimana buruknya eksploitasi itu. Perempuan (berkata), ‘Ah, enggak kok, kita baik-baik aja’.”
Oleh karena itu, Renny mengubah strategi. Ia membungkus pengorganisiran perempuan lewat cara-cara yang lebih ‘dekat’ dengan perempuan. Misalnya melalui arisan atau obrolan selintas.
“Misalnya kita ngajakin arisan, sedikit-sedikit didoktrin saat arisan. Atau misalnya ngeliwat,” ujar Renny. “Mereka tidak tahu, sebenarnya mereka sedang diorganisir untuk diberikan penyadaran-penyadaran. Tapi itu lebih efektif dibanding mengorganisir laki-laki lewat diskusi dan ngopi.”
Baca Juga: ‘Ferienjob’ Kerja Berkedok Magang Mahasiswa, Bagaimana Aturan Ketenagakerjaan di Jerman?
Bahan obrolan yang mengarah pada diskusi tentang eksploitasi dan perampasan hak-hak driver ojol perempuan juga harus diramu dengan matang. Topik pembuka obrolan, sebut Renny, sebaiknya dimulai dengan hal-hal ‘aman’ tentang kehidupan sehari-hari.
“Dalam obrolan itu, maka akan disisipkan yang mengarah ke kesadaran tentang, ‘penting lho, kalian berorganisasi’. Dari pertama Cuma ada 10 orang, saat arisan bertambah lagi menjadi 15 orang arisan, menjadi 20 lebih. Itu kan, satu peningkatan lah ya. Yang asalnya tidak mau berkumpul, akhirnya sedikit demi sedikit berkumpul.”
Ketika kesadaran itu sudah mulai terbangun, Renny pun mendorong para driver ojol perempuan untuk tampil ke publik dan menyuarakan keresahan mereka. Cara itu sejauh ini membantunya menggaet lebih banyak perempuan untuk bersuara dan melawan.
“Kalau saya meyakinkan kawan-kawan dengan ‘Tidak perlu kita melawan untuk orang lain. Minimalnya kita melawan untuk dapur kita sendiri’,” sebut Renny. “Kalau dapur kamu tidak kondusif dengan kondisi anyep, terus kamu capek, kamu itu minimalnya melawan dari situ dulu aja. Dari rumah kamu.”
Seperti itulah cara Renny mengorganisir driver ojol perempuan di Sukabumi. Dimulai dengan percakapan dan keluhan mengenai harga cabai dan beras yang naik, mereka pun membahas tentang kesewenang-wenangan pemerintah dan nasib mereka sebagai pengemudi ojol perempuan. Perlahan tapi pasti, kesadaran dan kemauan untuk melawan itu pun bersemi.
Baca Juga: Hari Buruh: Jika Daycare Jumlahnya Minim, di Mana Buruh Bisa Titipkan Anaknya Ketika Kerja?
“Walaupun sedikit demi sedikit, tapi setidaknya saya menciptakan pemikiran para perempuan itu untuk melawan dengan cara mereka sendiri sebagai emak-emak. Melawan dengan cara mereka sebagai driver ojol yang, ‘Oh, kita ternyata uang hanya segini, geuningan’. Cara yang sederhana,” ucap Renny. “Lebih mudah mereka terima dibanding dengan kita terlihat lebih pandai. Mengatakan tentang undang-undang, tentang ini-itu. Biasanya mereka langsung pergi, udah.”
Renny berharap, pengemudi ojek daring atau ojol dapat dimasukkan ke dalam kelas pekerja. Sebab, mereka juga membutuhkan hak-hak sebagai pekerja.
“Terutama untuk driver perempuan sangat dilindungi karena negara bertanggungjawab atas kami. Sebagai warga negara dan pekerja yang layak adalah hak kami, hak para ojol perempuan,” pungkas Renny. “Dan negara harus melindungi itu, harus mengakui itu.”
Balada Perempuan Ojol di Yogyakarta
Di Yogyakarta, ojol merupakan kendaraan langganan para mahasiswa yang tak punya motor. Fasilitas transportasi umum yang minim membuat warga Yogya mengandalkan motor pribadi dan ojol.
Di Yogyakarta, sejumlah ojol menyatakan, mereka tak mendapatkan gaji tetap dari pekerjaan ini, tapi mereka punya fleksibilitas waktu bekerja, walau bekerja tanpa perlindungan dan rentan pelecehan.
Untuk memantau dan menemui para ojol, jurnalis Konde.co berputar-putar di kawasan yang ramai dengan kehadiran ojol. Seperti di Malioboro atau pun Stasiun Yogyakarta. Dan nyaris tak menemukan perempuan ojol di sana. Lebih banyak laki-laki ojol, baik yang menunggu sambil duduk bergerombol, duduk sendirian, atau pun bahkan tertidur di jok motornya. Sementara perempuan ojol terlihat banyak berseliweran di kawasan kampus. Apakah ada diskriminasi terkait pembagian wilayah kerja?
“Nggak ada sih. Tapi memang kebanyakan cewek di kampus. Saya juga pernah antar penumpang ke stasiun. Tapi nyari orderan di sana nggak nyantol,” kata salah satu ojol perempuan.
Kamis, 24 April 2025 pagi, Konde.co lalu bertemu Yanti saat motor maticnya berbelok usai keluar dari lajur jalan salah satu kampus di Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat kami akan berhenti di tepi jalan, ia pun mengajak untuk bergegas. Di belakang kami, dua orang satpam kampus berboncengan motor untuk patroli.
“Kita cari tempat dulu,” ajak perempuan pengendara ojek online (ojol) itu yang khawatir diusir satpam kalau berhenti sembarangan.
Baca Juga: Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas
Dan di bawah pohon rindang di kawasan utara UGM, kami pun menepi. Yanti melepas kacamata hitamnya, membiarkan angin mengena ke wajahnya.
“Saya itu nggak betahan kalau disuruh ngetem. Kalau nggak nyantol (tidak dapat orderan) ya geser lagi (ke tempat lain),” kata Yanti yang tinggal di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Lima tahunan sudah perempuan 50 tahun itu menjadi pengendara ojol, usai suaminya meninggal dunia. Sebelumnya, Yanti adalah ibu rumah tangga menggantungkan hidup pada suaminya yang menjadi tulang punggung keluarga.
“Otomatis, saya harus menghidupi diri sendiri karena belum punya anak,” ucap dia.
Ojol menjadi pilihannya karena lebih fleksibel menentukan waktu kerja. Bisa berangkat atau pun pulang kapan saja.
“Kalau tidak (berangkat kerja) ya nggak perlu izin,” imbuh dia.
Apakah tak berpengaruh dengan algoritma?
“Kalau ojol tempat saya kerja, nggak ngaruh. Kami sendiri yang nentuin mau berangkat atau tidak. Nggak ada peringatan apa-apa, kecuali kalau sudah berbulan-bulan. Atau ada yang punya utang (pada perusahaan) itu ditelponin terus. Itu lain cerita,” beber dia.
Baca Juga: Pengalaman Kerja Tak Mengenakkan di Indonesia, Membuat Pekerja Milenial Pindah ke Luar Negeri
Ia biasa memulai hari di jalanan sedari pukul 07.00 dan pulang sebelum Maghrib. Awal bekerja tak selalu mulus. Yanti beberapa kali kena pembatalan order karena dia adalah perempuan, sementara customer nya laki-laki.
“Oh, saya nyari yang drivernya cowok. Gitu katanya. Itu dibatalin setelah ketemu,” aku dia.
Padahal, acapkali ia harus menempuh jarak lumayan jauh menuju ke tempat customer. Namun usai bertemu, dibatalkan. Di sisi lain, pembatalan dari laki-laki calon penumpang tak selalu dialami. Ada juga yang bersedia untuk diboncengkan dia. Hanya saja, ada perilaku beberapa penumpang yang membuatnya gerah, seperti tiba-tiba mencengkeram pundaknya untuk bisa naik duduk ke atas jok motor.
“Kalau sekadar pegang untuk bantu naik, terus sudah, nggak papa. Asal tidak berlanjut. Kalau berlanjut ya beda lagi,” kata Yanti.
Hingga suatu ketika, ia mendapat penumpang seorang laki-laki muda yang mengenakan celana pendek.
“Dia bilang senang banget dapat driver cewek, baru kali ini,” ucap Yanti.
Namun perilaku penumpang itu membuat Yanti tak nyaman. Sebab posisi duduk penumpang semakin lama semakin maju sehingga mepet ke punggungnya.
“Maju, maju sampai nyenggol itu. Untungnya cuma (jarak) dekat,” ucap Yanti.
Baca Juga: Curhat Pekerja: Capeknya Kerja Sambil Berdiri, Gak Berani ke Toilet, Kena Paku Heels
Meski demikian, peristiwa itu menghantuinya. Sejak itu, Yanti tak berani mengambil order penumpang. Hanya pesanan mengantar paket atau makanan yang ditindaklanjutinya.
“Nggak nyaman,” tukas dia.
Teman-temannya sesama ojol terus menyemangatinya. Ia dimotivasi untuk mau kembali menerima penumpang.
“Ayo Mbak, nggak papa Mbak, coba lagi nggak papa, kata teman-teman. Baru 2023, saya mau antar penumpang lagi,” kenang Yanti.
Berbekal pikiran positif, Yanti pun mencoba lagi. Bahkan ia berupaya untuk ‘berdamai’ dengan situasi saat ini. Apalagi masa orderan dulu dengan saat ini jauh berbeda. Dulu orang masih ramai menggunakan jasa ojol, kini sepi. Ibaratnya, dulu nolak-nolak (orderan), kini menunggu sampai ngantuk-ngantuk. Untuk pilih-pilih orderan lagi, ojol mesti berpikir dua kali.
“Karena ada juga penumpang yang nggak nyaman dapat driver cewek. Malah ada yang sini Mbak, saya boncengin saja,” tutur dia.
Pembatalan order juga masih dialaminya kini. Setidaknya bisa 1-2 kali dalam sehari. Namun Yanti tak tahu apa alasannya.
“Jadi orderan masuk. Baru mau di-chat, tiba-tiba ilang. Kadang sudah jalan dua kilometer, mau dekat ke lokasi sudah dibatalin,” ungkap dia.
Baca Juga: Pekerjaan Rumah Tangga Dianggap Bukan Kerja, Ini Asal Mula Penindasan Dalam Rumah
Sementara Yanti berusaha tetap mempertahankan performanya dengan tidak melakukan pembatalan orderan penumpang. Kecuali untuk mengantar penumpang di lokasi yang jauh, seperti Magelang, Kulon Progo, juga Gunungkidul. Ia memilih untuk lokasi jarak dekat, seperti Yogyakarta, Bantul dan Sleman.
“Kalau yang jauh-jauh saya cancel, nggak berani. Itu dari segi keamanan. Bahkan ke Bandara YIA (Yogyakarta International Airport) di Kulon Progo itu, saya cancel,” tutur Yanti.
Tak hanya soal alasan keamanan, Yanti pun tak berani melewati daerah yang sepi.
“Takut. Apalagi kalau lewat sawah-sawah, atau ada pohonnya yang gede-gede,” aku dia.
Tak heran, Yanti tak berani mengambil orderan malam hari. Sebelum Maghrib, sebisanya ia sudah pulang ke rumah. Sementara beberapa teman perempuan ojol lainnya ada yang ngalong sampai 24 jam.
“Bahkan ada yang sering jatuh jatuh gitu. Itu kecapekan. Biasanya ngantuk,” ungkap dia.
Tidak adanya tempat yang nyaman untuk perempuan ojol beristirahat sejenak, menurut Yanti juga salah satu penyebab. Meskipun dirinya lebih suka mobile, ketimbang ngetem.
“Saya kalau mau istirahat, pulang,” kata dia yang sebisa mungkin tak ingin ada di jalanan hingga lanjut usia.
Baca Juga: Care Work Pada Komunitas Tak Dianggap Kerja, Padahal Ini Kerja Tambahan Perempuan
Biasanya pulang pukul 14.00 untuk salat Zuhur, sembari mengisi baterai handphone. Kemudian usai Asar, dia berangkat lagi. Begitu saban hari.
Salah satu perempuan ojol di Yogyakarta tengah menunggu orderan, Kamis, 24 April 2025. Foto Konde.co/Pito Agustin Rudiana.
Erfi, 35 tahun pun memilih tak ngetem berlama-lama di sebuah tempat. Dia juga memilih untuk mobile. Kalau pun lelah, ia memilih berhenti dan istirahat sejenak di warung burjo atau pun angkringan. Bahkan juga di tepi jalan seperti saat Konde jumpai siang itu di tepi Selokan Mataram.
“Dan saya bisa ketiduran di warung burjo,” kenang dia.
Erfi adalah pendatang baru di dunia jalanan ojek online. Baru bergabung lima bulan lalu sejak berstatus sebagai single parents dari ketiga anaknya. Seorang anak ikut dirinya, dua anak lagi ikut mantan suaminya.
Baca Juga: Nasib Rentan Mahasiswa Magang: Beban Kerja Penuh Waktu, Upah Tak Dapat
Menjadi pengendara ojol adalah pilihan karena waktu bekerja yang lebih fleksibel. Pukul tujuh, ia berangkat untuk mencari orderan usai mengantar anak ke sekolah. Pukul 09.30, ia mematikan aplikasi untuk menjemput anaknya.
“Anak saya titipkan ke mantan mertua, karena memang diminta di sana. Terus cari orderan lagi,” kata Erfi.
Lalu pukul 15.30, off lagi untuk menjemput anak sekalian pulang ke kosnya. Hingga esok hari, ia memilih di rumah untuk menemani anaknya. Bahkan saat ketiga anaknya berkumpul dan ingin jalan-jalan bareng atau sekadar berenang, Erfi pun memilih untuk mematikan aplikasi orderan.
“Pas semua anak ingin ikut saya, ya saya nggak kerja,” aku dia.
Saat tengah menstruasi pun, Erfi tak memaksakan diri untuk bekerja. Apalagi ia punya kista.
“Biasanya banyak off-nya. Kalau sudah enak, ya jalan lagi. Kalau sakit ya berhenti, di (tepi) jalan gini,” ungkap dia.
Baca Juga: ‘Aku Bunuh Kamu, Aku Gantung Lehermu’ Kesaksian Buruh Perempuan di Balik Tembok Pabrik
Namun saat bekerja, Erfi termasuk perempuan gigih. Ia tak menolak orderan, meskipun harus ke luar kota. Lebih sering, ia mengantar paket hingga ke Kulon Progo, bahkan daerah di Jawa Tengah, seperti Sukoharjo dan Boyolali.
“Kalau ke Boyolali itu pergi pulang tiga jam. Itu bisa dapat 98 ribu, 99 rbu, 100 ribu,” kata Erfi dengan senyum sumringah.
Bahkan mengantar paket dan makanan adalah orderan yang awal mula diterimanya saat bekerja. Saat itu, ia belum bisa baca peta dalam aplikasi.
“Alhamdulillah, sejauh ini aman. Kalau kami punya riwayat long trip, kalau ada orderan jauh pasti masuk ke kami,” tutur dia yang selalu membungkus tubuhnya dengan jaket ojol dan mengenakan masker.
Tak jarang pula, ia mengajak anaknya sepulang sekolah ikut mengantar paket yang berlokasi jauh itu.
“Ya, ajak anak sambil jalan-jalan. Kendalanya biasanya kalau hujan,” kata dia.
Baca Juga: Ketika Good Looking Jadi Syarat untuk Bekerja, Ini Bisa Sebabkan Diskriminasi Pekerja
Selebihnya, ia biasa menitipkan anak kepada teman di kos atau kepada mantan suaminya. Kini ia juga menerima orderan penumpang. Sejauh ini, perilaku penumpang yang membuatnya tak nyaman, seperti pelecehan seksual, tidak dialaminya.
“Alhamdulillah belum pernah. Kan aplikasi ojol ini bisa diprioritaskan perempuan. Jadi kalau kami driver cewek, lalu di sekitar kami ada cewek yang order, otomatis dia akan masuk ke kami. Jadi diutamakan perempuan,” papar dia.
Sembari ia menunjukkan menu pada aplikasi telepon pintarnya yang bisa digeser tombol on dan off itu. Sebaliknya, apabila di sekitarnya ada penumpang laki-laki yang order pun, bisa masuk dalam notifikasinya.
“Alhamdulillah, mereka baik. Saya aja Bu, yang di depan. Itu nggak masalah. Yang penting hati-hati,” kata Erfi.
Riset Konde.co: Situasi Ojol Perempuan
Dilakukan pada akhir April 2025, riset Konde.co menunjukkan rentetan multidimensi persoalan yang saling silang berdasarkan gender, status keluarga, hingga kelas sosial yang dialami para ojol perempuan.
Ojol perempuan misalnya dihajar beban ganda, mengerjakan pekerjaan publik dan domestik sampai mereka burnout. Sebagai perempuan dan sering kali kepala keluarga, mereka menghadapi diskriminasi gender di ruang publik dan tekanan ekonomi. Penghasilan rendah, jam kerja panjang, dan tanggung jawab domestik yang saling terikat. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan negara yang menganggap mereka sebagai “mitra”.
Pekerja perempuan ini mendapati diri mereka masuk dalam prekariat, berada di antara relasi kerja tidak jelas dan tanggung jawab domestik tak terbayarkan. Dengan demikian, kerentanan mereka bersifat struktural dan multidimensional.
Tantangan utama lain yang dirasakan ojol perempuan sangat terkait erat dengan diskriminasi gender dan ekspektasi tradisional. Sebanyak 26 responden (86,7% dari sampel) mengeluhkan sering dibatalkan order (cancel) hanya karena mereka perempuan.
Riset Konde.co juga menggambarkan bahwa pengemudi perempuan kerap menghadapi pelecehan seksual atau kekerasan verbal.
Dalam survei tercatat, 43,4% responden mengalami bentuk pelecehan (6,7% sering dilecehkan, 6,7% kadang-kadang, 30% pernah sekali-dua kali), sementara 56,6% menyatakan tidak pernah. Ketika berhadapan dengan pelecehan, mayoritas (54,5%) pengemudi perempuan memilih bercerita ke teman atau komunitas sebagai cara meluapkan emosi dan mencari dukungan. Hanya 22,7% yang berani melapor resmi ke aplikator, sisanya 18,2% memilih diam saja atau tidak tahu harus ke mana, dan 4,5% melakukan tindakan spontan seperti melaju cepat lalu memberi bintang satu pada pelanggan nakal.
Baca Juga: Ramai-Ramai Majikan Mengeluh soal PRT, Harusnya Ada Perjanjian Kerja antara Majikan dan PRT
Kondisi tersebut menunjukkan metode coping informal yang dominan, yakni solidaritas antar driver jadi pelampiasan utama. Sebab tidak berani melapor bukan tanpa alasan, selain ketakutan diputus kemitraan, mekanisme laporan di perusahaan platform juga tidak ada jaminan hasil.
Di zaman kapitalisme platform, kontrol perusahaan bukan lewat pekerja atau polisi, tapi lewat algoritma.
Data riset Konde.co ini menemukan 63,7% pengemudi perempuan pernah merasakan hukuman algoritmik, yaitu sebanyak 27,3% sering kena suspensi atau dibatasi fitur, 36,4% beberapa kali, dan 36,4% tidak pernah. Hukuman tersebut seringkali tanpa kejelasan karena algoritma dianggap netral. Selain itu, 90% responden berpendapat sistem kerja ojol hanya menguntungkan aplikator, sedangkan hanya 10% yang melihat keuntungan bagi kedua pihak.
Hasil tersebut semakin mempertegas bahwa platform memindahkan risiko ke pekerja, beban biaya operasional seperti bensin, sakit, mesin rusak ditanggung pengemudi, tapi keuntungan besar dikoleksi perusahaan.
Dari hasil riset ini, Konde.co kemudian menghubungi pihak Gojek melalui Corcomm nya, Michael Reza, dan dari pihak Grab, 30 April 2025 kemarin untuk mengetahui tanggapan mereka. Namun sampai berita ini diturunkan belum memberikan tanggapan.
TIM KONDE.CO
Penulis: Salsabila Putri Pertiwi, Pito Agustin Rudiana, Luviana Ariyanti
Periset: Luthfi Maulana Adhari, Laras Ciptaning Kinasih
Grafis: Fiona Wiputri
Editor: Luviana Ariyanti