Kekerasan pada perempuan dalam kasus kekerasan seksual tidak ‘berhenti’ pada satu kejadian. Korban sering kali menghadapi stigma dari masyarakat hingga intimidasi dari pelaku dan aparat penegak hukum, bahkan ketika ia mencoba bersuara demi mendapatkan keadilan. Hal inilah yang digemakan dalam buku ‘Nyanyi Sunyi Para Puan’.
Pertemuanku dengan buku ‘Nyanyi Sunyi Para Puan’ merupakan hadiah dari seseorang atas ketertarikanku membaca buku. Nama penulis buku, Dian Septi Trisnanti, terpampang di bagian tengah paling atas sampulnya.
Buku ini memuat cerita-cerita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan. Warna sampulnya biru, seakan menyimbolkan kebebasan yang luas, seperti langit dan laut; hal yang diperjuangkan banyak perempuan di luar sana. Kebebasan. Bebas dari stigma, intimidasi, kekerasan, menjadi perempuan, serta merayakan tubuh dan keperempuanannya.
Baca Juga: ‘Setuju Berciuman Bukan Berarti Setuju Berhubungan’: Saatnya Bicara Consent dan Koersi Seksual
Buku ini masih terbilang belia. Usianya baru setahun lebih, dicetak pertama kali pada Januari 2024. Visual sampul buku ini memikat, dengan ilustrasi perempuan yang menyiratkan berbagai kisah tak tersampaikan.
Selain itu, kekuatan buku ini juga terletak pada sosok di baliknya. Penulisnya, Dian Septi Trisnanti, adalah seorang aktivis isu gender yang dulu pernah bekerja sebagai jurnalis di Yogyakarta. Setelah menetap di Jakarta, ia mulai mengorganisir buruh di Jakarta Utara hingga mengantarkannya membangun serikat pekerja. Sepanjang karirnya ia terus aktif menyuarakan isu-isu perempuan, mulai dari bekerja di Jurnal Perempuan, membangun Marsinah FM yang kemudian berkembang menjadi Marsinah.id, menyutradarai film bertema perempuan, dan tentu saja menulis buku dengan tema perempuan pula.
Peliknya Kekerasan Seksual di Ranah Digital
‘Nyanyi Sunyi Para Puan’ memiliki tebal 210 halaman. Aku melewatkan 32 halaman pertama yang terdiri dari ucapan terima kasih hingga pendahuluan, demi langsung mencapai kisah-kisah inti dalam buku.
Buku ini memuat enam kisah perempuan korban kekerasan seksual yang ditulis dari perspektif pendamping yang selama ini mendampingi kasusnya. Di bagian akhir, ada kisah ketujuh yang bercerita tentang perbincangan dua orang pendamping kasus: seorang aktivis dan seorang psikolog. Bagian ini membahas mengenai alasan di balik keputusan mereka melakukan pendampingan dan kondisi-kondisi yang mereka hadapi.
Keenam kisah perempuan korban kekerasan seksual disuguhkan dengan bahasa sederhana. Pembaca seolah diajak ikut merasakan perjalanan pendamping dan pergumulan batin yang mereka rasakan dalam mendampingi korban mencari keadilan. Setiap kasus tidak berjalan mulus dan tidak berakhir dengan rasa keadilan yang diterima korban. Terkadang, kasus tiba-tiba berakhir damai tanpa sepengetahuan sang pendamping. Namun kisah mereka tetap menghadirkan banyak pelajaran bermakna. Bukan hanya dari segi proses pendampingan, tapi juga membuka perspektif baru tentang sisi lain kehidupan sosial perempuan di sudut-sudut tertentu kota besar.
Baca Juga: Pegawai ASN di Maluku Utara Diduga Lakukan Pelecehan Seksual Anak, Pelaku Belum Diproses
Kisah pertama datang dari Maya, seorang perempuan yang menjadi korban grooming di media sosial dan berujung pada tersebarnya foto-foto pribadi miliknya oleh si pelaku. Grooming merupakan tindakan membangun hubungan dengan seseorang untuk tujuan mengeksploitasi, mengendalikan, mengisolasi, dan menyalahgunakan korban, baik secara emosional, fisik, maupun seksual. Perjuangan dan kondisi tersudut yang dialami korban terasa nyata dalam setiap lembar buku. Termasuk kondisi latar belakang sosial dan ekonomi yang membuatnya semakin rentan terhadap kekerasan berlapis.
“Kemiskinan, sungguh ia tak pernah mudah, merenggut banyak kemerdekaan. Membuat si rentan mengalami kekerasan bertubi di segala ruang kehidupan, pun di dunia maya,” kata penulis.
Kalimat itu sekali lagi mengingatkan bahwa tidak ada celah aman sedikitpun bagi perempuan. Ia terancam di mana pun ia berada, termasuk di dunia maya. Terlebih bagi mereka yang berasal dari kelompok masyarakat menengah ke bawah yang dijauhkan dari akses informasi, pengetahuan, kesehatan, hingga pekerjaan oleh kemiskinan. Alhasil, mereka menjadi sangat rentan terhadap kekerasan dan kontrol dari orang lain.
Kisah ini membawaku pada satu ingatan di masa lalu ketika seseorang memotretku yang tengah tidur tanpa mengenakan hijab dan dengan pakaian yang cukup terbuka. Foto itu kemudian disebarkan sebagai bahan memuaskan hasrat orang-orang dalam mengomentari fisik orang lain. Sebagai seorang yang powerless, tak ada yang bisa kulakukan saat foto pribadiku disebarkan dengan gembira oleh pihak-pihak tertentu. Mengingat itu, bisa kubayangkan betapa perempuan dalam kisah itu mengalami tekanan yang membuatnya depresi.
Baca Juga: April Adalah Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual, Kenakan Pita Biru Atau Denim
Itu sebabnya literasi dan perlindungan digital adalah keharusan yang tidak bisa lagi ditawar-tawar. Dengan literasi digital, kelompok rentan dapat memahami hal-hal dasar seperti manfaat dan risiko yang dapat ditemui saat berselancar di dunia maya. Pengguna perangkat pintar dapat belajar mengenai taktik predator, ciri-ciri grooming, membedakan akun palsu, dan melakukan perlindungan privasi serta keamanan akun demi menghindari manipulasi dan pencurian data. Di atas semua itu, perlindungan digital harus lebih mampu menjerat pelaku kekerasan seksual dengan hukuman seberat-beratnya atas kejahatan yang ia lakukan.
Namun kenyataannya, tidak semua orang mendapatkan kemudahan mengakses informasi dan pendidikan karena kemiskinan. Di sisi lain, lemahnya hukum yang berlaku membuat pelaku bebas berkeliaran dan malah balik menjerat korban.
Tentang Perempuan yang Dipaksa Bungkam
Kisah lainnya dalam ‘Nyanyi Sunyi Para Puan’ datang dari para perempuan dengan latar usia, tempat tinggal, dan kasus yang beragam. Mulai dari anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota keluarga sendiri, anak yang bekerja dan menjadi korban pemerkosaan oleh majikan, perempuan yang menjadi korban pelecehan di masa pandemi, anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandung selama bertahun-tahun hingga akhirnya terjun ke dunia prostitusi, dan perempuan-perempuan buruh garmen yang tidak punya kendali penuh atas kemerdekaannya dalam bekerja dan memilih diam saat menjadi korban kekerasan seksual oleh atasan.
Keenam kisah itu, terasa menyedihkan dan menyakitkan. Kekerasan seksual yang mereka alami juga tak kalah mengerikan. Penulis juga menyajikan pergolakan batin, ketakutan, depresi, keinginan bunuh diri, rasa membenci terhadap tubuh, dan trauma yang dialami korban atas kejadian yang menimpa hidupnya. Buku ‘Nyanyi Sunyi Para Puan’ pun memotret kisah korban kala menghadapi situasi ketiadaan dukungan orang terdekat hingga intimidasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Buku ini mendokumentasikan peristiwa kekerasan seksual yang dialami keenam korban. Namun, tidak hanya itu, buku ini juga menyajikan perjalanan dan perjuangan—baik korban maupun pendamping—dalam meraih keadilan. Meski awalnya tak mendapat dukungan, perjuangan korban sedikit demi sedikit menemukan titik terang. Sistem dukungan (support system) awal mulai terbentuk melalui pendamping, lalu ke keluarga korban, dan akhirnya memberi kekuatan pada korban untuk terus melawan.
Baca Juga: Habis Gelap Tak Kunjung Terang: di Bawah Rezim Militeristik, Deretan Kasus Kekerasan Seksual oleh Aparat Diabaikan
Buku ini bukan hanya tentang pilu kekerasan seksual. Ia juga menampilkan cerita perempuan yang dipaksa diam, bungkam, dan menyembunyikan kekerasan seksual yang dialaminya. Namun dalam satu titik, perempuan menemukan keberanian mengakui dan menerima dirinya sebagai korban. Mereka mencari keadilan melalui dukungan pihak lain saat keluarga tidak menjadi tempat pelindung.
Membaca setiap kisah di dalam buku ini membuatku merasakan kemarahan, kesedihan dan frustrasi korban dan pendamping. Kisah para korban membuatku sesak membayangkan perjuangan mereka. Semakin membuatku geram ketika korban justru kembali menjadi korban akibat disalahkan oleh keluarga dan lingkungan.
Budaya blaming the victim atau menyalahkan korban memang masih mengakar di masyarakat. Hal ini membuat korban kehilangan tempat untuk berlindung dan sulit percaya ataupun terbuka pada orang lain yang hendak membantu. Situasi ini tentu saja menghambat proses pendampingan korban.
Ada perasaan berat seperti membawa batu di atas dada ketika selesai membaca buku ini. Membuatku bertanya-tanya: bagaimana korban-korban kekerasan seksual di luar sana melewati hidup mereka setelah itu? Apakah mereka tetap berjuang? Atau ada sebagian dari mereka yang memilih menyerah? Sulit sekali membayangkannya.
Baca Juga: Dugaan Kekerasan Seksual Mantan Kapolres Ngada, Fajar WLS: Korban Diperkosa, Direkam, Diunggah di Website
Setiap kisah yang diceritakan dalam buku ini berhasil membawaku ikut dalam proses pendampingannya. Meski yang penulis uraikan hanyalah bagian permukaan saja. Luka dan trauma korban dalam buku tidak seberapa dengan yang benar-benar dialami korban. Situasi-situasi yang korban dan pendamping hadapi sungguh sampai kepada pembaca. Situasinya terasa nyata.
Setiap kisah memiliki kekuatan masing-masing. Kendati demikian, aku menyayangkan karena suara korban tidak langsung ditulis oleh mereka sendiri. Ini membuat ada jarak emosional yang mengurangi intensitas dan kedalaman kisah. Sebagai pembaca yang menikmati setiap lembar buku ini, besar harapan ku jika korban turut menulis kisahnya. Setidaknya menggambarkan perasaan dan rasa sakit yang mereka alami sebagai korban. Lalu tulisan itu dikolaborasikan dengan tulisan dari pendamping yang dalam setiap kisah pembaca ikut merasakan setiap kepedihan, luka, trauma, dan kemarahan korban. Namun dapat dipahami, barangkali lebih sulit bagi korban untuk membawa dirinya kembali ke masa-masa traumatis lewat narasinya sendiri.
Secara keseluruhan, buku ini sangat layak dan direkomendasikan untuk dibaca semua kalangan. Saking terpikat dengan kisah-kisah dalam buku ini, aku tak lagi ingat waktu ketika membaca. Dan di akhir, pada pukul tiga dini hari, saat menyelesaikan membaca kisah terakhir. Kupanjatkan harap yang besar kepada semua korban kekerasan seksual agar mereka bisa tetap mencintai dirinya terlepas apa yang telah terjadi. Tetap merayakan diri sebagai perempuan, dan terus melangkah memenangkan setiap hari yang berlalu. Memenangkan setiap pertempuran yang mereka hadapi karena mereka perempuan dan pernah menjadi korban.
Baca Juga: Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya
Buku ini seperti cermin yang retak. Ia memantulkan wajah-wajah perempuan yang terluka, wajah-wajah yang dianggap tidak lagi utuh layaknya puzzle yang kehilangan beberapa pecahan. Tapi di sisi lain, cermin ini juga membiarkan kita melihat bayangan diri sendiri di antara pecahannya. Sampul bergambar seorang perempuan itu bukan hanya korban-korban yang diceritakan dalam buku ini. Tapi juga aku, kamu, dan semua perempuan di dunia.
‘Nyanyi Sunyi Para Puan’ mampu menghadirkan semangat pembaca untuk bangkit dan ikut memungut setiap pecahan bahkan membongkar sistem yang terus membiarkan perempuan terluka tanpa suara. Buku ini mengajak perempuan korban kekerasan seksual untuk bernyanyi dan bersuara dengan lantang, bukan lagi dalam sunyi dan gelapnya trauma. Buku ini menggema, memecah bungkam yang dipaksakan pada perempuan. Kita diajak mendengarkan suara-suara itu.