Perubahan besar selalu dimulai oleh mereka yang berani melangkah pertama kali. Setiap nama perempuan di sini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak pernah tunggal, ia dibentuk oleh banyak suara dan perempuan adalah salah satu kekuatan besarnya.
Begitulah sepenggal kalimat yang tertulis di dinding pameran ‘Sunting’, yang bisa menjadi pengingat bahwa ada jejak para perempuan Indonesia di balik sejarah di Indonesia yang selama ini tertulis. Para perempuan ini dari masa ke masa berjuang untuk kesetaraan gender dan menggerakkan perubahan. Pameran Sunting diselenggarakan Kementerian Kebudayaan yang dibuka 21 April lalu dan dibuka hingga Juli 2025 di Museum Nasional di Jakarta.
Memasuki pameran ‘Sunting’ kita akan diajak berkelana pada memori sejarah perempuan, yang hingga kini perjuangannya masih terus relevan. Ruangan pameran bernuansakan warna dominan merah dan monokrom.
Tiap jengkal langkah, kita seolah dibawa ke mesin waktu cerita para perempuan itu hidup dan menghidupi pergerakkan sesuai bidangnya. Ada tiga zona utama yang ada di ruang pameran di Museum Nasional, Jakarta. Zona itu membagi tiap episode masa dan keselarasan nafas perjuangan.
Baca Juga: Pameran ‘Speak Up’, Anak-Anak Bersuara Melawan Isu Kekerasan Seksual
Zona 1 tentang “Perempuan, Kekuasaan, dan Perlawanan”, menampilkan 14 tokoh perempuan pemimpin dan pejuang. Sedangkan, zona 2 tentang “Perempuan, Penggerak Sejarah”, menghadirkan 29 tokoh yang berperan dalam dinamika sosial-politik Indonesia. Zona 3 tentang “Perempuan, Pembangun Peradaban”, menyuguhkan 53 tokoh perempuan yang berjasa dalam bidang pendidikan, seni, kesehatan, diplomasi, hingga teknologi.
Sunting Simbol Kekuatan, Kecerdasan, dan Ketangguhan
Pameran ini hadir sebagai penghormatan atas peran perempuan dalam membentuk sejarah bangsa, menjadikan Sunting sebagai simbol kekuatan, kecerdasan, dan ketangguhan mereka.
Sunting, dalam budaya Nusantara, adalah hiasan kepala yang memperindah rupa, juga penanda martabat, peran sosial dan identitas budaya. Di Minangkabau, misalnya, sunting dikenakan dengan harapan bahwa pemakainya dapat “menghaluskan budi dan mengelokkan tingkah.”
Lebih dari sekadar atribut fisik, makna sunting meluas ke ranah gagasan dan perubahan menyusun ulang, meninjau kembali, dan membentuk arah baru bagi masyarakat.

Baca Juga: Perempuan dan Napas Kesenian Feminis dalam Biennale Jogja Khatulistiwa
Diketahui dari tulisan dalam dinding pameran itu, inspirasi sunting juga tercermin dalam sejarah literasi perempuan Indonesia Nama “Soenting Melajoe” surat kabar perempuan pertama yang diterbitkan oleh Roehana Koeddoes pada 1912 menjadi bukti bahwa perempuan mampu menjadi penggerak perubahan melalui tulisan dan pemikiran.
Surat kabar tersebut merupakan wadah ekspresi serta alat perjuangan bagi perempuan untuk menata ulang norma sosial dan memperjuangkan hak-hak mereka. Seperti, sunting yang menata dan memperindah rambut, perempuan Indonesia telah menata dan memperindah perjalanan sejarah dengan gagasan dan aksi nyata.
Nama Roehana Koeddoes tak pernah lepas dari sejarah pers perempuan di Indonesia. Namun karena tak banyak disebutkan dalam literatur-literatur sejarah pers di Indonesia, nama Roehana tenggelam dalam hiruk-pikuk tokoh-tokoh pers lainnya di Indonesia. Nama Roehana Koeddoes juga kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk tokoh pers yang rata-rata adalah laki-laki. Tidak banyaknya penulis yang menuliskan nama-nama tokoh pers atau jurnalis perempuan di masa lalu yang berjuang mengelola media perempuan dan menggelorakan perjuangan perempuan melalui media.
Baca Juga: Roehana Koeddoes dalam Monolog: Tidak Ada Kebencian, Ini Semua Adalah Perjuangan
Pada tanggal 8 November 2019 atau 2 hari sebelum peringatan hari pahlawan 10 November 2019, Roehana, perempuan pendiri Koran “Soenting Melajoe” mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Jadi Roehana merupakan jurnalis perempuan pertama yang menjadi pahlawan nasional Indonesia. Roehana juga merupakan salah satu peletak pers berperspektif perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dalam berbagai tulisannya di awal tahun 1900 lalu, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dari masa ke masa, perempuan telah memainkan peran penting dalam berbagai bidang, Kartini misalnya, melalui surat-suratnya mengusung gagasan progresif tentang kesetaraan gender dan akses pendidikan. Kartini adalah perempuan, yang dengan berbagai cara melakukan perlawanan. Ia mencintai tradisi, namun ia juga melawan tradisi ketika tradisi tak berpihak pada perempuan dan masyarakat kecil di lingkungan istana tempatnya tinggal, Jepara, Jawa Tengah. Tulisan Kartini hingga sekarang menjadi referensi penting bagaimana perempuan melawan dengan pemikiran lewat tulisannya. Seiring waktu, jejak perjuangan ini diteruskan oleh perempuan di berbagai sektor dari gerakan literasi hingga politik, dari seni hingga sains, dari perjuangan fisik hingga kebijakan sosial.

Pameran ini mengajak kita menyusuri lorong waktu, menurut langkah-langkah perempuan yang menjadi arsitek perubahan. Di setiap era, suara mereka adalah senjata, tubuh mereka adalah benteng, dan pikiran mereka adalah mercusuar yang menuntun bangsa. Mulai dari masa tradisional hingga kolonialisme, dari periode pergerakan nasional, pembangunan dan pembentukan demokrasi bangsa, mereka terus berpikir, berjuang, berkarya, dan mewujudkan mimpi tentang kesetaraan, sebuah warisan yang tetap relevan hingga kini.
Baca Juga: Kartini: Kami Gadis-Gadis, Apakah Tidak Boleh Mempunyai Cita-Cita?
Melalui pembagian periode dalam enam babak penting mulai dari Era Klasik/Tradisional (800-1950), Nasionalisme dan Identitas (1950-1966), Stabilitas dan Pembangunan (1996-1998), hingga Era Kontemporer, kisah mereka terangkai bukan hanya sebagai saksi, tetapi sebagai penggerak yang tak terbungkam.
“Di tengah derasnya arus inovasi dan era digital, peran perempuan semakin dituntut untuk menjadi sumber keteladanan dalam berbagai profesi dan bidang kehidupan. Dengan melihat ke belakang, kita diajak untuk merenungkan pertanyaan penting kemana arah perjuangan kesetaraan gender, selanjutnya, dan bagaimana kita bisa menjadi bagian dari perubahan itu?” begitu bunyi kalimat dalam dinding pameran itu mengajak kita merefleksikan.
Seperti sunting yang menata rambut, perempuan telah menata sejarah dengan keteguhan dan kecerdasan. Perempuan adalah sunting yang menata peradaban.
Perempuan, Kekuasaan, dan Perlawanan
Dari ruang istana hingga medan perang, dari geladak kapal hingga lembaran naskah, perempuan telah memainkan peran penting dalam sejarah Nusantara sejak awal abad 8 hingga abad 19. Mereka bukan hanya pendamping kekuasaan, tetapi pelaku utama yang mengubah jalannya zaman.
Tribhuwanatunggadewi memimpin majapahit di masa kejayaannya, bersekutu dengan Gajah Mada membangun kekuatan maritim yang menggetarkan Asia Tenggara. Sultanah Nahrasiyah membentuk Samudera Pasai sebagai pusat peradaban Islam, sementara Ratu Kalinyamat mengirimkan armada untuk melawan Portugis, memperlihatkan keberanian perempuan dalam diplomasi dan peperangan. Laksamana Malahayati memimpin pasukan Inong Balee di perairan Aceh. Di darat, Nyi Ageng Serang mengobarkan semangat gerilya, sementara Martha Christina Tiahahu, di usia belia, menjadi simbol perlawanan rakyat Maluku.
Baca Juga: Martha Christina Tiahahu, Perjuangan Perempuan Muda dari Maluku
Sedang Cut Nyak Dhien menulis epik heroik di tanah Aceh. Dengan rencong di tangan dan api semangat di dada, ia memimpin perlawanan hingga titik darah penghabisan. Sementara itu, Cholliq Pujie menjaga peradaban melalui aksara, membuktikan bahwa pena bisa menjadi senjata ampuh.
Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan tubuh dari keteguhan, keberanian, dan kebijaksanaan, tak ditentukan oleh siapa yang memegangnya. Dari masa ke masa, perempuan telah mengambil tempatnya, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai pemimpin yang sesungguhnya.
Perempuan Sebagai Penggerak Sejarah
Dari ruang kelas hingga medan perjuangan, dari meja redaksi hingga panggung politik, perempuan telah menjadi pelopor yang menyatakan api perubahan. Mereka menulis, mendidik, menyuarakan, dan bergerak, seringkali di tengah keterbatasan dan tuntutan zaman.
Memasuki era pergerakan nasional di awal abad ke-20, R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Roehanna Koeddoes membawa pemikiran baru tentang pendidikan dan peran perempuan. Kartini, dengan surat-suratnya, menggugah kesadaran akan emansipasi, Dewi Sartika membangun sekolah untuk perempuan Sunda, dan Roehanna Koeddoes menulis dan mengisi lembar sejarah melalui koran perempuan pertama Soenting Melajoe.
Baca Juga: Kiprah Koran ‘Perempoean Bergerak’: Media Feminis Pertama di Indonesia
Di bidang kesehatan, Marie Thomas dan Anna Warouw mendobrak dominasi laki-laki dan menjadi perempuan-perempuan dokter pertama di Indonesia. Sedangkan Emiria Soenassa, Ibu Soed, dan Sariamin Ismail menjadi pelopor dalam membangkitkan semangat kebangsaan melalui karya seni dan sastra.
Di masa revolusi kemerdekaan 1945 hingga 1950, Siti Manggopoh dan Opu Daeng Risaju berdiri di garis depan. Organisasi seperti Laskar Putri Indonesia dan Perwari menunjukkan bahwa perjuangan juga dijalankan lewat logistik, advokasi, dan diplomasi. Di ruang jurnalisme dan politik, S.K Trimurti dan Herawati Diah menguatkan suara Rakyat dari sudut pandang perempuan.
Kongres Perempuan Indonesia 1928 menjadi tonggak persatuan pergerakan perempuan, menandai bahwa perempuan dari beragam latar belakang mulai menyatukan langkah. Narasi perempuan pun terus bergerak, menembus batasan-batasan yang dulu dianggap tetap dan tak tergoyahkan. Kongres perempuan juga sangat dinamis dan memunculkan perdebatan-perdebatan. Berbagai topik dalam kongres memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegah suatu kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju.
Baca Juga: Kongres Perempuan Dari Masa ke Masa: Perempuan Rebut Tafsir dan Dobrak Stigma Lewat Kongres
Dalam kongres ini, para perempuan bertemu dan berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan Indonesia lebih-lebih di bidang pendidikan dan perkawinan. Beberapa isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam kongres tersebut antara lain kedudukan perempuan dalam perkawinan, perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya, poligami, dan pendidikan bagi anak perempuan.
Pameran ‘Sunting’: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan’ dikurasi oleh Citra Smara Dewi. Ia adalah seorang seniman yang juga Wakil Rektor Bidang Pendidikan Institut Kesenian Jakarta, bersama kurator independen Sabila Duhita Drijono. Penelitian dalam pameran ini dilaksanakan oleh tim Departemen Sejarah Universitas Indonesia.
Tak hanya ketiga zona dalam pameran itu, sebanyak 17 organisasi perempuan seperti LBH APIK, Jurnal Perempuan, dll juga mendapat sorotan sebagai elemen penting dalam perjuangan kolektif perempuan Indonesia sepanjang sejarah yang ditampilkan. LBH APIK dan Jurnal Perempuan merupakan organisasi yang memperjuangkan feminisme di masa itu. Jurnal Perempuan memperjuangkannya melalui tulisannya di jurnal dan LBH APIK memperjuangkan feminist legal theory dimana saat itu hukum di Indonesia hanya mengenal logika hukum yang netral gender. LBH APIK memandang bahwa netralitas hukum adalah mitos dalam masyarakat patriarkal. Maka, keadilan yang diperjuangkan bukan hanya soal memenangkan perkara, tapi membongkar struktur yang merugikan perempuan.
Baca Juga: Toeti Heraty, Perempuan Pemikir Feminis Telah Tiada
Di luar itu dalam ruang pameran ini, ada jejak perempuan Indonesia di masa kini yang berkontribusi dalam berbagai bidang yang mendobrak standar “kecantikan” dan berbasis kearifan lokal Indonesia.
Dalam pameran ini ditampilkan artefak lintas budaya dan lintas waktu yang mencakup arsip, karya sastra, tekstil, artefak etnografi, karya seni, panji, karya visual, karya performance, dan dokumentasi. Seluruhnya merefleksikan rekam jejak perjuangan, identitas, dan kontribusi perempuan dalam berbagai ranah kehidupan serta lintas periode sejarah Indonesia.
Pameran itu juga menampilkan suara para perempuan penggerak perubahan lintas zaman itu. Mereka menyuarakan peradaban yang terus hidup.
Pameran ‘Sunting’ dibuka sejak 21 April 2025 saat perayaan Hari Kartini, yang masih bisa kamu kunjungi sampai Juli mendatang. Mari, hadir!
(Khoirunnisa Nur Fithria turut berkontribusi dalam reportase liputan dalam penulisan artikel ini)
(Editor: Luviana Ariyanti)