Ganti Menteri, Ganti Kurikulum Pendidikan: Ini Menyengsarakan Siswa

Ada persoalan sistemik dalam dunia pendidikan yang lebih mendesak segera dibereskan. Dibanding, ganti kurikulum tiap pergantian menteri untuk menunjukkan “legacy” padahal masih banyak evaluasi.

Pasca reformasi, kurikulum pendidikan Indonesia sudah berganti sebanyak 6 kali. Perubahan pondasi sistem pendidikan itu mengikuti situasi politik, sosial, hingga kebutuhan pembangunan nasional. 

Jika pada tahun-tahun sebelumnya, kurikulum pendidikan sarat dengan semangat revolusi, nasionalis dan teknokratis, era reformasi diklaim mulai memberi ruang kompetensi dan kemandirian. Itu misalnya tampak mencolok pada Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. 

Pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar, kurikulum 2004 mulai diterapkan bertahap. Fokus pencapaian kompetensi siswa melalui pembelajaran yang kontekstual dan aktif. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini menekankan pada penilaian berbasis kelas. Sekolah memiliki fleksibilitas untuk mengembangkan KTSP. 

Di tahun 2006, pergantian Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo, mengubah arah kurikulum pendidikan pula. Dia menyusun satu kurikulum yang berfokus pada kebutuhan masing-masing sekolah yang disebut KTSP. Dengan itu, Ia berupaya mengurai penerapan kurikulum yang tersentralisasi yang selama puluhan tahun berlangsung. 

Implikasinya, sekolah dan guru pada masa ini mempunyai kewenangan untuk mengembangkan pengajaran masing-masing. Patokannya, sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Meskipun dalam perjalanannya, kurikulum ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap belum berhasil. Utamanya karena minimnya kualitas sekolah dan guru, serta hambatan infrastruktur pendukung. Bukannya berinovasi sesuai karakteristik kebutuhan siswanya, sekolah justru rentan menduplikasi kurikulum sekolah lain. 

Di masa akhir jabatannya pada 2014, Menteri Pendidikan M Nuh kembali mengganti kurikulum pendidikan di Indonesia. Dia mencanangkan Kurikulum 13 (K-13) atau populer disebut Kurtilas. Pendekatan dari kurikulum ini adalah saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, dan menalar. 

Baca juga: ‘Telur Busuk hingga Militerisme’ Temuan ICW Tunjukkan Carut Marut Proyek MBG

Baru juga setahun berjalan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan berhenti menerapkan kurikulum K-13 dan kembali lagi ke KTSP. Pendapatnya, penerapan K-13 dinilai terlalu tergesa-gesa dan sekolah belum pada siap. 

Di era Joko Widodo, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada tahun 2022 meluncurkan Kurikulum Merdeka. Sesuai namanya ‘merdeka’, kurikulum ini dimaksudkan memiliki fleksibilitas, keleluasaan dan kemudahan bagi murid dalam pembelajaran yang lebih dalam dan menyenangkan. Di samping, kurikulum ini juga fokus dalam upaya penguatan karakter. 

Pada saat itu, situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan banyak pembelajaran tatap muka yang beralih ke daring, turut jadi pertimbangan perumusan Kurikulum Merdeka itu. Alih-alih seperti K-13 yang punya beban materi pelajaran dan administrasi yang berat, Kurikulum Merdeka ini disebut-sebut membebaskan murid mendalami minat dan bakatnya. Pembelajarannya berbasis pengerjaan proyek yang terfokus pada materi esensial. 

Saat kepemimpinan Prabowo-Gibran, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengatakan K-13 dan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional. Dia juga menerapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) tidaklah wajib dan tidak jadi penentu kelulusan murid. 

Dengan begini, kita bisa melihat situasi: ganti menteri, ganti kurikulum di sistem pendidikan Indonesia. Untuk kepentingan politis, ini tampak bisa jadi “legacy” yang menandakan adanya inovasi. Tapi untuk strategi jangka panjang pendidikan, kurikulum yang cepat berganti juga kurang baik untuk keberlanjutan. Di samping, dampaknya yang bisa langsung dirasakan pada siswa, guru, dan lingkungan pendidikan. 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengungkapkan, situasi ‘gonta-ganti’ kurikulum ini tidak berimplikasi signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan. Itu bisa dilihat dari agregat pencapaian dasar atas kurikulum seperti kemampuan membaca, berhitung, dan karakter sains yang tidak banyak perubahan. 

Baca juga: Para Mahasiswi UGM Membuat Kurikulum Ramah Gender di Kampus: Seperti Apa?

Secara global, kualitas pendidikan Indonesia bisa ditunjukkan dari perolehan skor PISA (Programme for International Student Assessment). Dalam penilaiannya, skor PISA diukur dari kemampuan matematika, membaca dan sains. Jika dilihat data terbaru pada 2022, skor PISA Indonesia menunjukkan penurunan di semua bidang. Indonesia berada di peringkat ke-66 dari 81 negara.  

Di sisi lain, menurut Ubaid, pergantian kurikulum pendidikan yang cepat menurutnya juga malahan membingungkan murid dan guru. 

“Faktor kurikulum yang gonta-ganti ini, membingungkan banyak dari sisi murid dan guru karena adaptasi dengan banyak hal baru,” kata Ubaid kepada Konde.co, Kamis (12/6).

Pernyataan Ubaid itu pernah diungkapkan oleh Aris Kurniawan dalam ‘Masalah Pendidikan di Indonesia: Dampak Perubahan Kurikulum’ (2011). Dia bilang, perubahan kurikulum yang begitu cepat menyebabkan adanya mutu pendidikan yang menurun dan masalah seperti prestasi siswa yang merosot. Ini dikarenakan siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran pada kurikulum baru. 

Tak hanya capaian akademik, Ubaid juga menyoroti soal ‘gonta-ganti’ kurikulum yang tidak berimplikasi pada efektifnya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Seperti, kekerasan seksual hingga bullying yang masih banyak terjadi. 

Menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023. 

Baca juga: Putus Sekolah Sampai KDRT: Marak Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan, Anak Perempuan Jadi Korban

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) juga mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak. 

Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan perincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus. 

“Kekerasan berbasis gender itu terutama mestinya jadi catatan bagaimana pendidikan yang mestinya punya perspektif kuat tentang pendidikan karakter dan responsif gender yang juga harus melibatkan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak dengan disabilitas.  Saya pikir ini koreksi yang sangat serius dari adanya kurikulum pendidikan mestinya. Kurikulum mestinya menjawab itu,” katanya. 

Realisasi Penerapan Kurikulum Pendidikan

Menyoal evaluasi kurikulum pendidikan, Henny Supolo Sitepu yang sudah berkecimpung menjadi pendidik sekitar 30 tahun turut bersuara. Dia mengambil contoh terbaru pada penerapan Kurikulum Merdeka. 

Dia yang juga Ketua Yayasan Cahaya Guru, organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu pendidikan yang mengusung toleransi dan keberagaman itu, mengapresiasi semangat yang diusung di Kementerian Nadiem soal ‘kemerdekaan’ untuk belajar. Namun, dia juga mengkritik bolong-bolong dalam implementasinya di lapangan. 

“Kata merdeka itu memang jargon yang sangat menarik, merdeka. Tapi, seberapa jauh sebetulnya spirit itu betul-betul dilakukan. Karena kenyataannya adalah pada masa itu kementeriannya ‘tertutup’,” ujar Henny kepada Konde.co, Rabu (14/6).

Henny menjelaskan, maksud ‘tertutup’ itu adalah minimnya pelibatan komunitas pendidikan. Ketertutupan ini, menurutnya tidak mencerminkan sesungguhnya spirit kemerdekaan yang seharusnya mengandung dua kata kunci. Kesetaraan dan kemandirian. 

Di masa Nadiem, salah satu yang jadi kritiknya adalah kebijakan yang implementasinya masih diskriminatif. Seperti pada program Pendidikan Guru Penggerak (PGP). 

PGP adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan Pendampingan selama 6 bulan bagi calon Guru Penggerak. Selama program, guru tetap menjalankan tugas mengajarnya sebagai guru. 

Kedudukan PGP diatur lewat Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pendidikan Guru Penggerak dan Permendikbudristek No 52/2023 tentang Perubahan Atas Permendikbudristek No 26/2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak. Sejak diluncurkan Nadiem Makarim pada 3 Juli 2020 dalam Program Merdeka Belajar Episode 5, jumlah lulusan PGP dari angkatan 1-9 sebanyak 92.888 orang, 12.400 orang di antaranya sudah diangkat sebagai kepala sekolah.

Baca juga: Dear Guru dan Lingkunganku, Remaja Perempuan Dibelenggu Aturan Berpakaian, Tugas Kalian Memperbaiki 

Diskriminasi yang terjadi pada PGP ini terjadi karena untuk menjadi kepala sekolah mesti disyaratkan memiliki sertifikat guru penggerak. Hal itu diatur sebagaimana Permendikbudristek No 40/2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, untuk menjadi kepala sekolah diharuskan memiliki sertifikat guru penggerak, dan ini hanya bisa diperoleh setelah mengikuti PGP. Sertifikat guru penggerak yang menggantikan nomor unik kepala sekolah (NUKS) dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS). 

Dengan kata lain, guru tidak akan bisa menjadi kepala sekolah, jika tidak mendapatkan sertifikat guru penggerak. Padahal mestinya semua guru berhak untuk memperoleh kesempatan menjadi kepala sekolah sesuai dengan rekam jejak dan kualitasnya yang teruji selama bertahun-tahun lamanya. Terlebih, ada pembatasan usia bagi guru yang bisa ikut PGP ini menjadikan kebijakan ini diskriminatif. 

“Jadi bukan mengangkat secara organik, guru-guru yang sungguh-sungguh menggerakkan, tetapi terstruktur. Ini menurut saya menghilangkan spirit penggerak itu sendiri,” kata dia. 

Meski begitu, hal yang menjadi apresiasi pada kebijakan Nadiem Makarim adalah soal pelarangan pemakaian jilbab melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri. Kebijakan itu dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag) pada 3 Februari 2021. 

SKB 3 Menteri ini dibuat berdasar 3 pertimbangan, yaitu bahwa sekolah punya eksistensi penting menjaga ideologi Pancasila dan kesatuan. Sekolah juga harus memelihara persatuan dan kesatuan, serta pakaian seragam atau atribut murid dan guru harus merupakan perwujudan moderasi beragama dan toleransi.

Keputusan ini mengatur secara spesifik sekolah-sekolah negeri di Indonesia dengan agama dan identitas apapun, Esensi SKB 3 Menteri ini adalah semua berhak memilih seragam dan yang memakai adalah individu, bukan sekolah. Pemda tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam atribut kekhususan agama.

Baca juga: ‘Saya Masih Ngajar, Padahal Mau Lahiran, Sekarang Malah di-PHK’ Cerita Pedih Guru Honorer

Karena ini adalah pilihan individu dan sekolah tak boleh melarang, maka sekolah wajib mencabut dalam 30 hari jika ada aturan yang melanggar di sekolah atau pada tanggal 3 Maret 2021. Jika ada pelanggaran, maka akan ada sanksi dari Pemda, Kementerian Dalam Negeri bisa memberikan sanksi kepada Gubernur jika ada sekolah yang melanggar, dan Menteri bisa memberikan sanksi ke sekolah.

“Kami mendukung 100% kebijakan yang berlandaskan keberagaman. Karena misalnya soal jilbab, baru pada Menteri Nadiem itu disuarakan bahwa seharusnya sekolah negeri tidak mewajibkan jilbab,” kata dia. 

Namun, Henny memberi masukan bahwa sosialisasi dari kebijakan itu semestinya bisa lebih masif dan merata dilakukan. “Sosialisasi tidak dilakukan secara konsisten,” tegasnya. 

Sementara itu, pada penerapan kurikulum di Kementerian Abdul Mu’ti ini, dia mengapresiasi adanya kebijakan opsional pada Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang tidak diwajibkan bagi seluruh murid. Ini menjadi jalan tengah untuk siswa yang ingin menggunakan TKA sebagai seleksi masuk sekolah lanjutan ataupun yang tidak ingin melakukan tes TKA. 

“Sifatnya bukan menggantikan Ujian Nasional. TKA itu saya kira memecahkan kebuntuan antara keinginan sekolah untuk menaikkan nilai supaya murid-muridnya diterima untuk program undangan. Tetapi, pada saat yang sama tidak menjadi keharusan bagi mereka yang tidak ingin ke sana,” terang dia. 

Meski begitu, Ubaid Matraji dari JPPI mengatakan, adanya TKA yang setahun lalu ditiadakan ini, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam strategi pendidikan yang berkelanjutan. Ironisnya, lagi-lagi anaklah selalu dijadikan bahan kelinci percobaan, dan objek yang selalu diuji.

“Ironisnya ujian berkali-kali yang dilakukan oleh sekolah, sama sekali tidak diakui oleh pemerintah dan kampus, sehingga kampus harus tes ulang, dan juga pemerintah harus mengadakan TKA. Ini potret buruk karena tidak adanya trust di antara para pengelola pendidikan. Hal ini bisa terjadi karena memang dunia sekolah dan pendidikan kita dipenuhi dengan praktek manipulasi, korupsi, dan juga cuci nilai. Ini yang harus dibenahi dari atas sampai level bawah,” katanya. 

Alokasi Dana, Kapasitas Guru dan Kurikulum Memuat Sejarah Perempuan

Baik Henny maupun Ubaid sepakat dua hal krusial yang penting untuk menjadi evaluasi dan perbaikan serius adalah soal alokasi dana dan peningkatan kapasitas guru. Menurut mereka, ini harus dicari solusinya, di tengah pemangkasan anggaran pendidikan yang terjadi di pemerintahan ini.

Instruksi Presiden No. 1/2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Lewat aturan itu, pemerintah memangkas anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun dari alokasi awal Rp1.160,1 triliun untuk 2025. Sementara efisiensi anggaran transfer ke daerah mencapai Rp50,5 triliun dari alokasi awal Rp919,9 triliun.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ditetapkan melakukan efisiensi sebesar 23,95%, atau sebesar Rp 8,03 triliun, dari anggaran belanja awal sebesar Rp 33,5 triliun. Target pemotongan kementerian dan lembaga, seperti tertulis dalam Lampiran Surat Menteri Keuangan No. S-37/MK.02/2025.

Di tengah pemangkasan dana pendidikan itu, Ubaid Matraji dari JPPI menyayangkan adanya pengalokasian anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran. Dalam kajian JPPI, ditemukan beberapa masalah yang membuat anggaran pendidikan belum optimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hak semua anak atas layanan pendidikan tanpa diskriminasi.

Pertama, ditemukan dana sebesar Rp 139,9 triliun salah alamat. Pada anggaran pendidikan tahun 2025, ditemukan Rp 104,4 triliun tersedot ke Kementerian/Lembaga lain (di luar Kemendikdasmen, Kemenag, Kemendiktisaintek) dan Rp 35,5 triliun ke pos Non-K/L. Totalnya mencapai Rp 139,9 triliun. 

“Ini bukan hanya pemborosan, ini adalah pelanggaran terhadap UU Sisdiknas pasal 49 ayat 1, yang melarang penggunaan anggaran pendidikan untuk, antara lain, pembiayaan sekolah-sekolah kedinasan. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari Rp 74,929 triliun yang dibutuhkan untuk menggratiskan seluruh SD dan SMP swasta. Jelas ini bukan soal tidak ada uang, tapi uangnya ada tapi salah alamat,” kata Ubaid. 

Baca juga: Viral Kasus Kriminalisasi Guru, Apakah Guru Yang Lakukan Tindakan Pendisiplinan Pada Siswa Bisa Dipidana?

Kedua, ratusan triliun dana pendidikan menganggur. Tingkat serapan anggaran pendidikan tergolong buruk. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) pada anggaran pendidikan tiap tahun cukup fluktuatif, tapi dengan angka serapan yang kurang dari 90%. 

Bahkan, tahun 2022, serapan anggaran pendidikan cuma 77%, dengan jumlah SILPA mencapai Rp 110 triliun dan tahun 2023 jumlah SILPA tambah besar Rp 111 triliun. “Dana ratusan triliun yang tak terpakai ini jauh melebihi hitungan kebutuhan tadi. Jadi, sekali lagi, ini bukan soal kurang dana, tapi kegagalan fatal dalam perencanaan dan eksekusi,” katanya. 

Ketiga, dia mengungkap, ditemukan Rp 47,3 triliun “dana cadangan” tanpa program nyata. Beberapa pos anggaran yang masuk dalam hitungan 20% anggaran pendidikan, ternyata ditemukan angka-angka yang ditulis di atas kertas, tapi tidak ada program yang nyata. Misalnya, pada anggaran pendidikan 2024, pos anggaran pendidikan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) sebesar Rp 47,3 Triliun, dilabeli sebagai “dana cadangan”. 

“Ini berarti, dana tersebut dianggarkan dan dihitung sebagai bagian dari 20% APBN, namun programnya masih gaib dan tidak jelas peruntukannya. Ini juga tidak sejalan dengan konstitusi yang secara tegas mengatakan, bahwa 20% dari APBN wajib disediakan untuk membiayai program-program di sektor pendidikan, bukan sekadar cadangan yang tak jelas arahnya. Besaran angka ini, sudah lebih dari separuh kebutuhan untuk pembiayaan pendidikan dasar tanpa dipungut biaya,” terang Ubaid. 

Keempat, inefisiensi anggaran pendidikan yang jumbo ini ternyata diperparah dengan kebocoran yang masif. Kasus korupsi pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun yang kini sedang ramai hanyalah puncak gunung es. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) secara konsisten menempatkan sektor pendidikan dalam daftar 5 sektor terkorup di Indonesia. 

Baca juga: Guru dan Aktivis Kecam Tindakan Cukur Rambut Karena Tak Pakai Ciput Jilbab

Dana yang seharusnya untuk membangun sekolah layak, meningkatkan akses anak ke sekolah, kesejahteraan guru, atau menyediakan buku, justru menguap ke kantong-kantong pribadi. Ini bukan soal kurangnya uang, tapi kurangnya integritas dan pengawasan.

Jadi, sebenarnya kebutuhan untuk menunaikan amanat konstitusi atas hak pendidikan dasar bagi jutaan anak Indonesia, bukanlah beban yang memberatkan, melainkan angka yang teramat kecil di tengah lautan pemborosan dan inefisiensi anggaran pendidikan. 

“Teka-teki ini sesungguhnya adalah ujian integritas dan keberanian politik para pemegang kekuasaan. Apakah mereka akan terus membiarkan jutaan anak terpasung dari haknya di usia kemerdekaan yang kian senja, ataukah berani membongkar dan memperbaiki borok anggaran demi melaksanakan kewajiban konstitusional. Berarti, jawabannya ada pada kemauan, bukan pada kemampuan fiskal,” kata dia. 

Selain soal alokasi dana pendidikan yang layak dan tepat sasaran, Henny Supolo juga menyoroti soal urgensi peningkatan kapasitas guru pendidik di lapangan. Sebab, mau ‘gonta-ganti’ seberapa banyak kurikulum pun, tidak akan berdampak signifikan pendidikan tanpa penyiapan kapasitas guru yang baik. 

Para guru harus didampingi optimal dalam setiap implementasi kurikulum pendidikan. Penting juga memperhatikan kesejahteraan hingga implementasi kebijakan yang menjunjung kemanusiaan dan kesetaraan. 

Baca juga: Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah

“Menguatkan mereka bukan hanya dalam penguasaan materi. Tapi menguatkan mereka pada spirit kurikulum yang pada dasarnya bertujuan untuk menggali dan menumbuh-kembangkan potensi pada setiap murid,” kata Henny. 

Pada kurikulum saat ini, Henny juga menyoroti agar tidak dipolitisasi. Termasuk kaitannya dengan wacana penghapusan sejarah perempuan dalam mata pelajaran murid. Penting untuk menghadirkan sejarah tanpa bias yang diajarkan melalui kurikulum dan bahan ajar di sekolah. 

Misalnya soal perkosaan Mei 1998. Para murid penting untuk mengetahui fakta sejarah yang tidak bias. Maka dari itu, penolakan tentang penghapusan sejarah tentang perkosaan Mei dalam pembelajaran di sekolah mesti disuarakan. 

“Kalau itu (Perkosaan Mei 1998) dihapuskan, dari mana murid-murid kita mau belajar? Kecuali mereka mencari sendiri dan itu sungguh tidak mudah tentu ya. Jadi saya kira menghadirkan narasi perempuan berada di dalam sejarah Indonesia sangat penting. Sangat penting,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!