Jika kamu adalah anak perempuan pertama, kamu pasti banyak mendengarkan pernyataan seperti ini
“Mengalah dong sama adiknya.”
“Jaga adik ya.”
“Masak nilai adikmu lebih bagus dari nilaimu sih?.”
Kalian para anak sulung familiar kan dengan kalimat tersebut? Sejak kecil, anak sulung terbiasa mengalah, diberi tanggung jawab menjaga adik, atau bahkan dikritik karena prestasi adik yang lebih gemilang. Alasannya selalu sama: “Kamu kan anak sulung.”
Baca Juga: ‘Anakku Diambil Saat Sakit dan Menyusu’ Cleo Shelvia Kini Berjuang Bisa Bersama Anak
Beban ini tak berhenti sampai di situ. Beranjak dewasa, ekspektasi terhadap anak sulung kebanyakan, terutama perempuan, semakin bertumpuk. Anak perempuan pertama harus membersihkan rumah, memasak, dan merawat anggota keluarga yang sakit menjadi tugas rutin. Tak jarang, orang tua pun menaruh harapan besar di pundak mereka, seperti harus sukses agar menjadi contoh bagi adik-adik, dan menjauhi perilaku yang dianggap ‘nakal’ seperti gak boleh pulang malam menonton konser atau berpacaran.
Semua itu karena anak perempuan terutama si sulung, diharapkan untuk menjadi anak yang ‘baik’ dan membanggakan keluarga.
Dewasa Sebelum Waktunya
Seorang teman saya Nadia (bukan nama sebenarnya) bercerita saat ia sedang berusia 13 tahun, ia pura-pura tidur saat mendapati orang tuanya sedang bertengkar dan melihat ayahnya melakukan kekerasan. Kedua adiknya saat itu tertidur lelap di kamar belakang. Ia yang mengintip sambil takut dan menangis kemudian mengetahui bahwa pertengkaran itu karena masalah perselingkuhan.
Esoknya, ibunya menceritakan apa yang terjadi dan ingin agar Nadia merahasiakannya dari siapapun termasuk adik-adiknya. Beberapa lama ayahnya meninggalkan rumah dan kemudian pulang lagi ke rumah. Ia harus menutupi dan bersikap seolah keluarga sedang baik-baik saja. Kini orangtuanya rukun kembali dan sampai sekarang adik-adiknya tidak tahu peristiwa yang membekas di ingatannya itu.
Usia 13 tahun tentu masih sangat belia untuk mencerna pertengkaran orangtua. Menjadi satu-satunya anak yang mengetahui rahasia keluarga, dan dipaksa untuk berbohong demi menjaga ketenangan. Tapi dibanding adik-adiknya, hanya Nadia yang paling bisa diajak bicara tentang masalah orangtuanya. Sejak itu ia jadi terbayang-bayang dan tidak fokus belajar. Saat ujian nasional, nilainya anjlok, namun beruntung masih bisa lulus.
Saya yang juga adalah anak perempuan pertama sudah bekerja sejak umur 18 tahun, karena harus membiayai sekolah adik-adik sejak ayah kami meninggal. Saya mengambil double job bahkan triple job demi untuk mencukupi biaya sekolah kedua adik laki-laki saya. Semua itu bahkan saya kerjakan tanpa lelah sambil kuliah. Beruntung, saya mendapatkan beasiswa kuliah dari kantor yang meringankan beban biaya.
Baca Juga: Viral Suami Pelaku KDRT dan Bunuh 4 Anak Kandung, Apa Hukuman Yang Tepat?
Meskipun lelah, tidak pernah ada keluhan terlontar dari bibir saya. Pikiran saya selalu terpaku pada tagihan demi tagihan yang harus dibayarkan. Bagi saya, tidak ada pilihan lain. Siapa lagi yang bisa mereka harapkan selain saya?
Hingga suatu ketika saya tidak sengaja mendengar adik saya berkata kepada pacarnya, “Seharusnya ada perayaan Hari Kakak ya, soalnya karena kerja keras kakakku, aku nggak jadi putus sekolah.”
Kalimat itu bikin saya terharu, meskipun bekerja untuk biaya sekolah mereka saya lakukan dengan ikhlas dan tidak berharap pengakuan atau apresiasi apapun.
Kesadaran Eldest Daughter Syndrome di Media Sosial
Kini berkat media sosial, orang-orang mulai menyadari ada hal tak terlihat namun menjadi beban bagi anak perempuan pertama. Hal ini diberi istilah eldest daughter syndrome atau sindrom anak perempuan tertua.
Di balik keceriaan dan konten-konten menariknya di TikTok, Jazzy, seorang influencer dengan akun @jazzybaby99, ternyata mengalami eldest daughter syndrome.
Jazzy bercerita bahwa ia adalah orang yang sangat mandiri dan tidak bergantung kepada siapapun, karena sulit baginya untuk mempercayai orang lain.
“You would never ever in million years see me ask for help even if I’ve been crying all night to sleep because I always saw it as a sign of weakness. And I would never let myself be a burden to other people” (“Jutaan tahun pun kamu tidak akan pernah melihat aku meminta bantuan, bahkan setelah menangis semalaman, karena aku selalu menganggapnya sebagai tanda kelemahan. Dan aku tidak pernah mau menjadi beban bagi orang lain”) ujarnya.
Baca Juga: Dipilih Jadi Duta Kesehatan Mental, Sejumlah Anak Perempuan Diduga Malah Dieksploitasi
Jazzy pun pergi ke psikiater dan mendapati bahwa perilaku independennya adalah hasil dari trauma. Menjadi anak perempuan tertua, membuatnya menjadi orangtua ketiga bagi adik-adiknya Tidak ada seorangpun yang mengkhawatirkan dirinya karena ia sudah dianggap mandiri, menjadi mediator orangtua dan adik-adiknya, dan berhasil menjadi contoh yang baik di mata keluarganya. Ia malah memastikan adik-adiknya bisa menikmati masa kecil yang bahkan tidak ia dapatkan.
Kini ia memiliki karakter sebagai people pleaser. Ia pun kelelahan dan mudah burn out akibat selalu cemas dalam waktu lama dengan kebiasaan untuk detail dan micromanaging. Belum cukup, ia pun harus selalu produktif, karena kalau tidak, ia akan merasa sebagai seorang pemalas dan menyalahkan diri sendiri. Ia mengatakan beruntung telah mengenali masalahnya dan sedang berjuang untuk sembuh.
Perbedaan dengan Anak Laki-Laki Tertua
Eldest daughter syndrome atau sindrom anak perempuan tertua bukanlah kondisi yang dapat didiagnosis, kata Laurie Kramer, profesor psikologi terapan di Northeastern University. Urutan kelahiran dan jenis kelamin seseorang tidak secara otomatis menentukan sifat atau peran tertentu dalam keluarga.
Namun, Kramer, yang meneliti hubungan saudara kandung, menyatakan bahwa banyak anak perempuan tertua akhirnya mengambil tanggung jawab tanpa pengakuan karena norma-norma masyarakat.
“(Sindrom anak perempuan tertua) memang terasa nyata dan ada alasan yang kuat,” ujar Kramer.
“Ketika saya mendengar istilah sindrom anak perempuan tertua, saya membayangkan keluarga di mana secara tidak sengaja membebankan tanggung jawab pada individu tertentu. Hal ini terjadi di seluruh dunia, namun dampak negatifnya sering terabaikan.”
Baca Juga: ‘Korban Tapi Dipenjara’ Perempuan yang Dituduh Lecehkan Anak di Jambi Ajukan Banding
Kramer menyebutkan, penelitian yang menunjukkan bahwa anak perempuan sulung sering diminta mengasuh adik-adiknya, bahkan sejak usia 5 tahun. Ini menciptakan dinamika di mana anak perempuan sulung disosialisasikan untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab dan lebih peduli terhadap kebutuhan orang lain.
Menempatkan tanggung jawab kerja perawatan pada anak perempuan tertua adalah dinamika umum yang sering berlanjut hingga mereka dewasa, di mana mereka akhirnya merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan, tidak hanya antara orang tua dan anak, tetapi juga antara saudara kandung. Bagi banyak anak perempuan tertua, tanggung jawab ini membentuk kepribadian dan hubungan mereka di luar keluarga.
Anak laki-laki tertua juga tidak dikecualikan dari tanggung jawab keluarga, kata Kramer. Namun, mereka sering diharapkan untuk mengambil tanggung jawab keuangan daripada tanggung jawab rumah tangga atau pengasuhan anak, yang cenderung lebih diabaikan.
“Misalnya, ketika ada bisnis keluarga, hal ini secara tradisional diwariskan kepada putra sulung,” kata Kramer.”
Anak perempuan tertua di beberapa keluarga diharapkan menjadi orang yang bisa menyatukan dan menjaga keluarga tetap rukun, namun kontribusi mereka sering tidak dihargai secara eksplisit.”
Baca Juga: Banyak Anak, Banyak Rezeki? Tak Semua Perempuan Relevan dengan Romantisasi Ini
Ahli antropologi UCLA, Molly Fox, dari penelitiannya menjelaskan bahwa kematangan dini pada anak perempuan tertua memungkinkannya membantu ibunya dalam membesarkan anak-anak lain.
Anak perempuan tertua yang mengalami eldest daughter syndrome mungkin juga menghadapi perfeksionisme, dengan keyakinan bahwa mereka harus selalu menjadi panutan yang bertanggung jawab. Mereka mungkin juga mengalami kesulitan dengan over-functioning, terutama dalam hubungan – istilah yang merujuk pada mengambil tanggung jawab untuk orang lain, seperti pasangan, teman, keluarga, kolega, bahkan orang asing. Praktiknya bisa berupa mengingatkan orang lain tentang tugas yang perlu diselesaikan, selalu menjadi orang yang membuat rencana kelompok, sering membuat keputusan untuk orang lain, dan menahan pendapat pribadi demi mengelola reaksi orang lain.
Dengan beban mental yang berat disertai tanggung jawab praktis yang diemban oleh anak perempuan tertua, tidak mengherankan jika kecemasan, stres, dan kelelahan dapat dengan mudah datang.
Kerja Perawatan Masih Dipikul Perempuan
Kerja perawatan yang kebanyakan dibebankan kepada perempuan juga bisa mengakibatkan perempuan harus mengalah meninggalkan pekerjaannya demi menjaga anak atau mengurus orangtua.
Peneliti Utama Kata Data, Satria Triputra dalam temuan survei, sebanyak 93% responden sebetulnya menjawab bahwa laki-laki dan perempuan harus berbagi beban dalam pekerjaan perawatan di rumah.
Namun di satu sisi, saat pertanyaan menyoroti persepsi tentang sifat yang melekat pada perempuan. Seperti, anggapan bahwa perempuan itu lebih telaten dan penyabar. Mayoritas mereka menjawab setuju. “Ini seolah kayak laki-laki itu nggak telaten dan penyabar gitu kan,” ujar Satria.
Konstruksi berbasis gender inilah, yang turut jadi penyebab pelimpahan beban perawatan kepada perempuan. Sementara satu sisi, bukannya tidak mungkin laki-laki yang turut serta dalam perawatan dianggap kurang maskulin.
Baca Juga: ‘Ibu Digital’ dan Sharenting: Pentingnya Menjaga Hak Privasi Anak
Dampak lainnya juga diungkap dalam survei ini. Demi kerja perawatan, perempuan harus berhenti dari pekerjaan. Sebanyak 28,1 % laki-laki menjawab istri atau saudara perempuan mereka, berhenti kerja demi melakukan pekerjaan perawatan. Dan 22,4% laki-laki menganggap, bahwa hal itu merupakan kewajiban utama istri atau saudara perempuannya. Mereka pun tidak berencana menggunakan pihak lain.
Sementara itu, 68,3 persen laki-laki menganggap perempuan yang berhenti bekerja karena pekerjaan perawatan, bukanlah masalah yang harus diselesaikan.
Semua persepsi itu, didasari pada pemahaman soal kewajiban seorang ibu yang merawat anak. Begitu pun jika sebagai anak, mereka menganggap itu juga sudah menjadi kewajibannya sebagai perempuan merawat orang tua.
Peran besar yang diemban anak perempuan tertua sering kali tidak disadari dan dihargai oleh keluarga. Jika sudah menyadarinya, mari ciptakan kondisi keluarga yang terbuka dan adil, berikan kesempatan kepada tiap anggota keluarga untuk membicarakan keluhannya. Apapun tugas dan masalah, jangan dibebankan ke satu individu saja.
Setiap anggota keluarga, termasuk anak perempuan tertua, berhak berkembang dengan optimal dan menikmati masa mudanya tanpa beban yang berlebihan.