Kesehatan mental remaja perempuan

Jangan Ajari Perempuan Cara Berpakaian, Ajari Orang untuk Tidak Jadi Pelaku Pelecehan 

Bukan salah pakaian perempuan yang merangsang pelecehan seksual, tapi pelaku yang merasa lebih berkuasa untuk mengobjektifikasi seksual dan menyerang otonomi tubuh perempuan.

Beberapa waktu lalu, sempat lewat unggahan di media sosialku tentang kasus pelecehan seksual yang dialami seorang penumpang perempuan di bus. Awalnya, laki-laki yang jadi pelaku itu, duduk di sebelahnya dengan perbincangan basa-basi biasa. Dia bertanya ke perempuan itu; mau ke mana, turun di mana. 

Namun, siapa sangka, keramah-tamahan tersebut malah dijadikan kesempatan untuk melecehkan secara fisik. Pelaku menyentuh paha korban. Korban takut, gemetar, freeze dan tidak berani berteriak meminta bantuan orang lain. Korban akhirnya memutuskan turun di pemberhentian sebelum tujuan seharusnya, karena merasa semakin tidak aman. 

Setelah turun dan dirasa lebih tenang, barulah korban dapat menceritakan kejadian tersebut ke media sosial dengan menahan jijik dan tangis.

Baca Juga: Marak Pelecehan Seksual di Fasilitas Umum: Kebijakan Pemerintah Mesti Serius Lindungi Perempuan

Korban pelecehan seksual di ruang publik seperti ini, sayangnya terjadi bukan ini saja. Ada banyak kasus serupa, yang menunjukkan perempuan di ruang publik seperti transportasi umum belum aman dari kekerasan seksual. 

Riset Konde.co tentang ‘Apakah Transportasi Publik Kita Sudah Berperspektif Gender dan Inklusif’ pada Maret 2025 lalu, mengonfirmasi hal itu. Riset yang melibatkan 87 responden yang disurvei, menunjukkan bahwa perempuan naik transportasi umum itu seringkali berarti harus bersiap menghadapi risiko pelecehan seksual. 

Dari data yang dianalisis dari survei 10 kota di Indonesia ini, bus menjadi moda transportasi dengan kasus pelecehan tertinggi (22,4%), disusul oleh KRL (20,8%), angkot (10,4%), dan halte atau stasiun (13-16%). Moda transportasi yang padat dan minim pengawasan menjadi area rawan bagi perempuan.

Baca Juga: Jika Jadi Korban Pelecehan Seksual, Kamu Harus Bersuara, Karena Bersuara Itu Sangat Berharga

Bentuk pelecehan yang dialami pun beragam. Pelecehan verbal seperti catcalling dan komentar tidak pantas terjadi dalam 23 kasus, menjadikannya bentuk pelecehan yang paling sering terjadi. Pelecehan fisik seperti sentuhan tanpa izin tercatat dalam 19 kasus, sementara pelecehan visual seperti tatapan mengintimidasi atau pemotretan tanpa izin muncul dalam 14 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi pemantauan seperti CCTV mulai diterapkan di beberapa moda transportasi, masih banyak celah yang membuat perempuan tetap dalam kondisi tidak aman.

Bagi sejumlah responden perempuan dan minoritas gender yang disurvei oleh Konde.co, pengalaman seperti ini menimbulkan ketidaknyamanan yang terus membayangi. Setiap kali harus menggunakan transportasi umum, mereka menjadi lebih waspada, berusaha menghindari situasi serupa. Pada momen tidak menyenangkan itu, beberapa  penumpang memutuskan untuk diam dan tidak melapor, karena takut hanya akan sia-sia hasilnya, ada pula yang melawan untuk mematahkan argumentasi, bahwa perempuan tak bisa dilecehkan di transportasi umum karena pakaiannya.

Pakaian Mengundang Pelecehan Seksual? Itu Mitos!

Selama ini, banyak anggapan yang mengatakan bahwa perempuan yang mengenakan baju terbuka akan menjadi korban pelecehan. Atau yang lebih mengenaskan lagi, adanya mitos bahwa perempuan dengan baju terbuka adalah perempuan yang merangsang pelecehan seksual.

Survei yang pernah dilakukan Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia (2019) tentang survei pelecehan seksual di ruang publik menepis anggapan itu semua.

Hasil survei tentang pelecehan seksual di ruang publik ini yang diikuti oleh 62 ribu orang ini kemudian menyanggah mitos-mitos tentang pelecehan seksual yang selama ini banyak dipercaya orang.

Baca Juga: ‘Saya Jalan Lebih Jauh’ Cerita Perempuan Hindari Pelecehan di Ruang Publik

Menurut hasil survei, mayoritas korban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual melainkan memakai celana/rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%). Hasil survei juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%).

Kinanti dan Wungo mengatakan ruang publik yang tidak aman dipengaruhi oleh kondisi fisik ruangnya sendiri. Faktor kurangnya kualitas pencahayaan, area sepi, bangunan kosong, ruang yang didominasi oleh pria, serta tidak ada pengawasan yang proper. Namun, area yang padat belum tentu menjadikannya aman juga, sebab mayoritas tidak akan menyadari ketika pelaku melakukan aksinya.

Lalu, mengapa kasus pelecehan masih saja terjadi padahal tempat publik dengan fasilitas-fasilitas layak telah dioptimalkan dan pengawasan juga proper? Maka faktor “tempat” menjadi tidak sah sebagai penyebab utama. Melainkan, diri pelaku pelecehan seksual itu sendiri, yang menurut fakta seringnya laki-laki yang jadi pelaku. 

Baca Juga: ‘Setuju Berciuman Bukan Berarti Setuju Berhubungan’: Saatnya Bicara Consent dan Koersi Seksual

Dalam konstruksi masyarakat patriarkis, laki-laki di berbagai sektor mempunyai posisi surplus kuasa atas perempuan. Relasi yang timpang inilah yang kemudian terjadi di berbagai ranah kehidupan seperti ruang publik. Bahkan menyasar hal yang paling privat sekalipun pada perempuan yaitu ketubuhan.

Kaitannya kekerasan seksual, perempuan yang menjadi korban telah “diambil” otoritas dan kontrol penuh atas tubuhnya. Padahal semestinya, perempuan sebagai pemilik otoritas tubuhnya memiliki kontrol penuh atas ketubuhannya secara bebas dan merdeka. 

Lalu, mengapa kasus kekerasan yang terjadi harus viral dulu agar ditindak-lanjuti dengan sigap?Atau istilahnya, No Viral No Justice. Padahal, trauma korban terus menyelimuti. Perasaan takut, bingung, sedih, marah, jijik, malu, tidak nyaman, merasa direndahkan, self-blaming, tidak berdaya, frustasi, seperti pada kasus yang penulis singgung di awal. 

Korban juga merasa khawatir terjadi reviktimisasi akibat stigma sosial dan penanganan kasus tidak tepat karena dinilai aib, sepele, menyita waktu, serta sulit pembuktiannya. 

Disini hadirnya negara sebagai penjaga sistem sangat penting. Negara seharusnya tidak permisif, apatis, dan subjektif. Negara harus hadir untuk keadilan bagi korban dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual. 

(Editor: Nurul Nur Azizah)

Isma Saqila

Alumni Mahasiswi UIN Walisongo Semarang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!