‘Love in The Big City’: Persahabatan Dua Orang Kesepian di Kota Besar

Dua manusia terhubung bukan oleh cinta, melainkan oleh rasa kesepian yang sama. Sebuah kesepian di tengah masyarakat yang memandang mereka dengan prasangka. Mereka menciptakan ruang kecil yang hangat, tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri. Love in The Big City wajib banget kamu tonton di minggu ini.

Tinggal di Seoul, kota besar yang tak pernah tidur, adalah sebuah tantangan tersendiri. Harga sewa yang mencekik kerap membuat mimpi merdeka dalam hidup nyaris mustahil. Namun, di tengah kota yang sibuk ini, dua jiwa yang berbeda—seorang laki-laki gay dan perempuan heteroseksual—memutuskan untuk berbagi atap demi bertahan. Begitulah cerita dalam film Love In the Big City, sebuah karya hangat yang disutradarai oleh sutradara perempuan Lee Eon Hee, diangkat dari novel Sang Young Park dengan judul yang sama.

Jae Hee, diperankan oleh Kim Go-eun, adalah perempuan penuh kebebasan yang pernah merasakan kehidupan di Prancis. Eropa membentuk pandangannya, memberikan warna kebebasan yang ia serap dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, Heung Soo, yang diperankan oleh Steve Sanghyun Noh, adalah kebalikan total. Seorang pendiam, suka menyendiri, menolak terbuka dengan orang-orang di sekitarnya, karena rahasia yang terpendam dalam dirinya. Rahasia itu adalah jati dirinya sebagai seorang gay.

Plot persahabatan lelaki gay dengan perempuan heteroseksual bukanlah kali pertama diangkat dalam film. My Best Friend’s Wedding (1997) dan serial Sex and the City (1998-2004) juga menghadirkan plot yang sama. Namun, tidak menjadikan persahabatan sebagai tema utama. Dalam Love In the Big City, persahabatan Jae Hee dan Heung Soo dieksplor secara mendalam. 

Baca juga: Film ‘Pinky Promise’, Pentingnya Peran Careworker Penyintas Kanker Payudara

Dinamika keduanya hidup dalam masyarakat Korea yang belum sepenuhnya menerima kelompok marginal dan kebudayaan barat menjadi menarik dan dalam beberapa momen menjadi sangat menyentuh. Selayaknya dua orang yang berteman akrab, Jae Hee dan Heung Soo juga tidak lepas dari perselisihan-perselisihan kecil. Hal yang menarik adalah mereka selalu kembali dan memikirkan satu sama lain bahkan saat mereka sedang bertengkar hebat.

Hal lain yang menarik adalah Jae Hee dan Heung Soo memiliki pandangan yang berbeda mengenai hubungan asmara. Meskipun Jae Hee adalah perempuan bebas dan sering dianggap “liar” oleh masyarakat, Jae Hee nyatanya mencari cinta dan hubungan serius. Sementara Heung Soo memiliki dilema yang berbeda. Identitas Heung Soo sebagai seorang gay tidak bisa ia ungkapkan bahkan kepada ibunya yang sangat taat dalam beragama. Bagi Heung Soo menjalin hubungan yang serius dan penuh komitmen sama saja mencari masalah dan berhadapan dengan represi masyarakat. Perbedaan pandangan soal asmara dan identitas Heung Soo inilah yang nantinya akan dikembangkan menjadi konflik dalam film.

Karakter Gay Sebagai Sidekick

Stereotipe karakter gay dalam layar lebar sering kali digambarkan sebagai karakter yang flamboyan. Hal ini membuat mereka lebih sering dijadikan pendamping peran utama atau “sidekick” untuk mengisi elemen komedi ketimbang karakter yang mendalam. Karakter gay biasanya dihadirkan lebih “ringan” tetapi tetap dalam aturan romansa heteroseksual. Seringnya sebagai penstabil emosi tokoh protagonis perempuan.

Namun, Heung Soo dalam film ini hadir dengan nuansa berbeda. Bukan dari segi karena ia menutupi identitasnya, tetapi karena ia memang tidak berbeda dari orang pada umumnya. Penggambaran karakter Heung Soo secara emosional juga tidak berlebihan. Heung Soo dihadirkan sebagai sosok introvert yang hanya bisa berbagi hal pribadi dengan orang-orang tertentu. Namun, meskipun Heung Soo dihadirkan dengan terlihat biasa saja seperti orang pada umumnya, penonton akan bisa merasakan gejolak emosi dan permasalahan yang dipendamnya.

Perempuan dan Alkohol: Stigma yang Tak Berubah Sampai Saat Ini

Jae Hee dan Heung Soo punya hobi yang sama, ke bar dan minum-minum. Karakter Jae Hee yang suka minum dan pergi ke bar membuatnya menghadapi stigma buruk bahkan dari kekasihnya. Anggapan bahwa Jae Hee adalah perempuan yang tidak baik dan tidak bisa diajak dalam hubungan serius berawal ketika orang sekitarnya tahu jika ia suka minum hingga mabuk. Ditambah, ia mengalami victim blaming saat mendapat kekerasan seksual dan hamil. Sementara Heung Soo sebagai laki-laki, tidak mendapat stigma apapun. Anggapan ini juga ditampilkan muncul dalam masyarakat Korea.

Sebuah penelitian dari Institute of Alcohol Studies telah menemukan adanya standar ganda moralitas gender seputar kebiasaan minum laki-laki dan perempuan. Misalnya, kebiasaan minum laki-laki, lebih umum dan dapat diterima, paling sering dikaitkan dengan risiko gangguan ruang publik saja. Sementara, kebiasaan minum perempuan dikaitkan dengan risiko seksual dan pergaulan bebas saat minum di tempat umum, atau dianggap mengabaikan tugas domestik. Inilah standar ganda yang tidak dihadapi laki-laki.

Karakter Jae Hee yang selalu berbicara lantang dan merokok di manapun dia suka ini dianggap oleh teman laki-lakinya sebagai ‘cool girl’, dan di sisi lain juga dianggap sebagai perempuan liar. Satu dialog saat ia ditawari teman laki-lakinya untuk mengantarnya pulang karena bahaya bagi perempuan pulang malam, Jae Hee marah dan berkata, “Seharusnya kalian para laki-laki yang pulang lebih cepat, agar perempuan bisa pulang malam dengan aman.”

Dalam budaya British, terdapat istilah ‘Ladette’. Budaya ini muncul sebagai respons terhadap gerakan feminisme yang berkembang dan keinginan perempuan untuk menegaskan kemandirian dan menantang norma gender tradisional. Sebutan ladette disematkan untuk perempuan dengan perilaku seperti minum berlebihan, kebebasan seksual, dan menolak untuk pasif atau tunduk. Mereka juga memprioritaskan keinginan dan ambisi mereka sendiri, mengejar karier dan tujuan pribadi dengan tekad dan keyakinan.

Baca juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Selain dianggap sebagai cara untuk perempuan menjadi bebas dan menemukan karakter autentik, ladette tidak luput dari kritik dan kontroversi. Beberapa berpendapat bahwa penekanan pada kebiasaan minum berlebihan dan perilaku gaduh dapat mengakibatkan konsekuensi yang merugikan. Seperti masalah kesehatan dan dituduh sebagai meningkatnya serangan seksual.

Sebelum film ini tayang, ada banyak suara skeptis, terutama dari netizen Indonesia. “Film ini nggak mungkin tayang di Indonesia” atau “Sampai akhir si cowok tetap gay kah?” Sementara itu di Korea sendiri, komentar netizen cenderung baik dan positif. Penonton Korea menyambut baik film ini karena alur cerita yang autentik, terlebih mereka menunggu Kim Go-eun berakting sebagai perempuan rebel.

Film adaptasi novel ini juga akan memiliki serial dengan judul yang sama dirilis pada akhir Oktober nanti. Untuk seriesnya sendiri sempat mengalami permasalahan. Video trailer serialnya sengaja di-takedown oleh agen publisitas. Video tersebut dianggap kurang cocok ditonton oleh anak muda.

Love In the Big City bukan hanya tentang dua orang yang tinggal bersama di bawah satu atap, tapi tentang dua jiwa yang saling menjaga, meskipun norma masyarakat memusuhi mereka. Film ini tidak hanya layak ditonton, tetapi juga dirasakan—karena dalam setiap adegannya, kita diingatkan bahwa persahabatan bisa melampaui batas identitas. Ada hubungan yang sama pentingnya dengan cinta romantis, yaitu persahabatan yang tak meminta apapun, tak menuntut penjelasan, dan saling melindungi.

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!