Bagaimana jadinya bila tentara yang sangat terlatih fisik dan strategi harus mengerjakan tugas pengiriman jutaan surat prajurit dan keluarganya yang telah lama menumpuk di gudang hingga tak lagi berbentuk?
Itulah premis yang diangkat dalam film ‘The Six Triple Eight’ karya Tyler Perry. Film itu dirilis pada 6 Desember 2024 dan bisa kamu tonton di Netflix. Film ini mengangkat kisah nyata Batalyon 6888 dari Korps Angkatan Darat Amerika Serikat. Itu adalah satu-satunya unit militer yang seluruhnya terdiri dari perempuan kulit hitam. Mayor Charity Adams (diperankan dengan gemilang oleh Kerry Washington) memimpin Batalyon itu.
Tyler Perry menyutradarai film ini dengan tujuan utama menghadirkan narasi yang jarang terdengar tentang perempuan kulit hitam yang berjasa dalam sejarah perang, tetapi sering kali dilupakan.
Batalyon ini dikirim ke Eropa selama Perang Dunia II untuk menyelesaikan masalah yang tampaknya mustahil. Yaitu, mengurai mandeknya pengiriman surat selama tiga tahun antara prajurit di medan perang dan keluarga mereka di rumah.
Dengan tenggat waktu enam bulan, Mayor Charity Adams dan 855 perempuan di bawah komandonya harus mengidentifikasi dan mengirimkan 17 juta surat. Surat sebanyak itu tersebar di gudang penuh tikus dan kutu, sering kali hanya dengan sedikit petunjuk, seperti nama ‘Robert Smith’ yang muncul di 7.500 surat. Semua ini dilakukan di hadapan para perwira Angkatan Darat laki-laki yang merasa tidak sanggup melaksanakan tugas tersebut. Alasannya, lebih mengutamakan kemenangan perang daripada mengirim surat.
Baca Juga: Dari ‘To Room 19’ Hingga ‘Because This is My First Life’: Perempuan Butuh Ruang Pribadi
Batalyon 6888 yang berisi perempuan-perempuan cerdas ini pun kemudian menciptakan sistem dan memecahkan teka teki tentang siapa nama pengirim surat, nama penerima surat, dan lokasi mereka saat ini.
Surat-surat itu sulit diidentifikasi, meskipun tinggal sepotong namun sangat berharga bagi yang menantikannya. Dari jenis wangi parfum yang disemprotkan ke kertas surat saja, mereka akhirnya bisa menemukan nama pengirim surat. Hal yang mungkin tidak bisa dipecahkan perwira laki-laki yang mengurus surat sebelumnya.
Seluruh perwira laki-laki kulit putih mengejek dan meragukan mereka. Rasisme verbal kerap diterima oleh perempuan kulit hitam di Batalyon 6888, yang seringkali mendapat penghinaan dan diragukan kemampuannya. Hal ini didorong oleh sistem yang memang memandang rendah peran perempuan kulit hitam dalam militer dan di masyarakat pada umumnya.
Mereka harus mati-matian membuktikan bahwa orang kulit hitam bukan orang yang bodoh. Sampai Mayor Charity Adams berkata kepada prajuritnya, “Sebagai negro dan perempuan, kalian tak boleh hanya sebaik tentara kulit putih, kalian harus lebih baik!”
Musuh mereka bukan hanya perang, tetapi juga ejekan, hinaan, dan keraguan yang datang dari prajurit senegaranya sendiri. Mereka direndahkan, diragukan kemampuannya, dan sering kali dianggap tidak layak berada di medan tugas.
Stigma dan Rasisme yang Diterima Prajurit Perempuan Batalyon 6888
Sejarawan Brenda L. Moore menuliskan kesaksian dari perempuan yang bertugas di Batalyon 6888 di buku To Serve My Country, To Serve My Race. Buku itu mengungkapkan berbagai stigma, rasisme, dan kesulitan yang mereka hadapi selama bertugas.
Perang Dunia II menandai titik balik dalam status minoritas rasial dan perempuan dalam dinas militer AS. Perang tersebut menantang bentuk stratifikasi sosial yang ada di Angkatan Darat, serta di institusi Amerika lainnya.
Pembatasan militer sebelumnya yang didasarkan pada ras dihapuskan sebagai hasil dari seleksi Service Training Act tahun 1940, dan laki-laki Afrika-Amerika direkrut untuk mendukung upaya perang dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan perang sebelumnya. Mereka juga diberi lebih banyak jenis penugasan militer.
Kesempatan untuk perempuan juga berkembang, dimulai dengan pendirian Women’s Army Auxiliary Corps (WAAC) pada Maret 1942. Sebelum Perang Dunia II, perempuan Afrika-Amerika hampir sepenuhnya dikecualikan dari dinas militer. Meskipun beberapa mencoba berpartisipasi dalam Perang Dunia I, hanya delapan belas yang diterima bertugas di Korps Perawat Angkatan Darat.
Sebaliknya, selama Perang Dunia II, perempuan Afrika-Amerika diterima di Women’s Army Auxiliary Corps (WAAC) segera setelah didirikan, sebagian besar karena tekanan dari organisasi politik kulit hitam yang menuntut kesetaraan rasial. Aktivis kulit hitam memantau dengan cermat rencana Departemen Perang untuk mengembangkan korps perempuan.
Baca Juga: Film ‘Dekada ‘70’: Kisah Ibu Lawan Patriarki, Fasisme, dan Rezim Militer di Filipina
Sebagian besar perempuan Afrika-Amerika yang bertugas di militer selama perang bergabung dengan Angkatan Darat AS, karena cabang militer lainnya secara kategoris menolak menerima mereka. Angkatan Laut, misalnya, tidak menerima perempuan Afrika-Amerika untuk bertugas aktif hingga hampir dua setengah tahun setelah Women Accepted for Volunteer Emergency Service (WAVES) didirikan.
Pejabat Angkatan Laut menjelaskan bahwa mereka tidak mengizinkan perempuan Afrika-Amerika untuk bertugas. Ini dikarenakan tidak ada laki-laki kulit hitam yang bertugas di laut untuk digantikan oleh mereka. Tidak ada yang dapat menjelaskan mengapa perempuan Afrika-Amerika tidak dapat menggantikan laki-laki kulit putih.
Akibatnya, perempuan Afrika-Amerika dikecualikan dari dinas di Angkatan Laut hingga Presiden Roosevelt mencalonkan diri dan kemudian secara langsung memerintahkan Angkatan Laut untuk menerima mereka.
Perempuan Afrika-Amerika masuk ke militer pada masa segregasi rasial masih diatur oleh hukum, dan tempat perempuan dianggap hanya di rumah kala itu. Akibatnya, perempuan Afrika-Amerika meskipun memberikan kontribusi dalam layanan militer, menghadapi kenyataan pahit dari rasisme dan seksisme. Kontribusi mereka terlalu sering diabaikan dalam catatan sejarah peristiwa militer serta dalam penilaian sosiologis dan psikologis terhadap para veteran militer.
Perang Didominasi Laki-laki
Film ini juga memperlihatkan bagaimana perang sebagai institusi didominasi laki-laki, seperti yang dijelaskan oleh filsuf feminis Sara Ruddick dalam bukunya Maternal Thinking: Toward a Politics of Peace. Ruddick berkata, “Whether victim or killer, war is his (Apakah sebagai korban atau pembunuh, perang milik laki-laki)”.
Laki-laki yang merencanakan pertempuran, menciptakan senjata, dan memimpin pabriknya. Laki-laki mendominasi posisi sebagai mata-mata, jenderal, negosiator, pembom, kapten, dan menteri pertahanan dunia kebanyakan adalah laki-laki. Mayoritas senjata ditembakkan oleh laki-laki, begitu juga misil yang dikendalikan. Laki-laki jelas mendominasi kepemimpinan dalam perang. Dalam peperangan, laki-laki seolah dianggap sebagai pelindung, sementara perempuan adalah pendukung yang menderita di belakang.
Film ini menampilkan teman spesial Lena (diperankan Ebony Obsidian), yang seorang laki-laki kulit putih, ngotot ikut perang untuk melawan Hitler meski sudah dilarang Lena. Dalam bukunya, Sara Ruddick menjelaskan bahwa laki-laki ikut serta dalam perang karena percaya bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan kekerasan. Selain itu alasan lainnya adalah perang dianggap mengasyikkan bagi laki-laki karena menawarkan petualangan pribadi dan kemudian keuntungan ekonomi.
Baca Juga: ‘Dark Nuns’: Melihat Praktik Eksorsisme dan Kuatnya Patriarki dalam Gereja Katolik
Dalam film ini, keputusan mengirimkan Batalyon 6888 berawal dari keluhan seorang ibu yang tak kunjung menerima kabar dari anak-anaknya di medan perang. Menurut Ruddick, perang telah lama dimanfaatkan untuk menginspirasi loyalitas keibuan terhadap negara, tetapi ia juga sering memanfaatkan cinta keibuan untuk membenarkan kekerasan. Jika ibu menolak perang, tentu ia akan berhadapan dengan tekanan sosial. Maka ibu tidak memiliki pilihan selain mempertahankan komunitas dan keluarganya dan mendukung anak-anaknya berperang.
Ruddick juga mengkritik bagaimana pelatihan militer sering kali melibatkan penghancuran “kelemahan feminin” untuk menciptakan prajurit yang dianggap tangguh. Namun di film ini, Mayor Adams membalikkan narasi ini dengan pendekatan kepemimpinan yang empatik dan manusiawi.
Ia tidak pernah marah melihat tentaranya yang menangis, bahkan memberi kesempatan Lena untuk mencari makam teman spesialnya yang meninggal di medan perang. Ia memastikan anak buahnya cukup beristirahat, dan memasang badan ketika ada masalah. Mereka bahkan membuat ruang salon kecantikan di barak untuk menjaga kebahagiaan mereka.
Detail yang disajikan manis dan manusiawi oleh Tyler Perry di film ini. Sebuah pendekatan yang kontras dengan pelatihan militer pada umumnya, yang sering kali menggunakan misogini untuk membentuk “prajurit sejati.”
Baca Juga: Jumbo Bukan Sekadar Film Animasi Anak, Melainkan Surat Cinta untuk Mereka yang Terpinggirkan
Tyler Perry menyampaikan cerita ini dengan penuh penghormatan, menampilkan dinamika manusiawi yang sering kali hilang dalam narasi besar perang. Pekerjaan mengirim surat sering dianggap remeh, seolah hanya melibatkan tumpukan kertas yang perlu dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Namun, bagi para prajurit di medan perang, surat adalah jembatan terakhir yang menghubungkan mereka dengan rumah, dengan keluarga, dengan kehidupan yang mereka tinggalkan untuk bertarung di garis depan.
Di tengah kepungan bom dan rasa takut akan kematian, sepucuk surat bisa menjadi napas baru, harapan untuk bertahan, atau pengingat bahwa mereka masih dicintai dan dirindukan.
Akting para perempuan di film ini sangat mengesankan, menghidupkan kembali kisah yang hampir dilupakan sejarah. Kedalaman emosi serasa membawa saya ke masa itu dan ikut sakit hati karena stigma yang mereka terima.
Film ini layak banget buat ditonton, karena bukan sekadar kisah sejarah, tapi juga perayaan keberanian, solidaritas, dan perjuangan melawan ketidakadilan.
(Editor: Nurul Nur Azizah)






