Setiap orang memiliki preferensi pelancongan masing-masing. Ada yang lebih suka jalan-jalan sendirian, bersama teman se-geng, atau mengikuti open trip bersama orang-orang baru yang dapat ditemukan di media sosial. Namun, pernah nggak, kamu coba mengikuti open trip khusus perempuan atau girls trip?
Inilah yang dilakukan Ghaizain (27) di waktu senggangnya pada 25 Oktober 2024 lalu. Ia dan teman-teman perempuannya mengikuti girls trip ke Geopark Ciletuh, Sukabumi, Jawa Barat.
Awalnya, ia berniat reuni bersama teman-teman kuliahnya dengan trekking. Mereka pun memutuskan untuk mengikuti open trip yang sudah menyediakan rute perjalanan, destinasi, hingga fasilitas transportasi. Pasalnya, dengan kesibukan pekerjaan masing-masing, Ghaizain dan para sahabatnya kesulitan mengatur waktu untuk mengurus rencana perjalanan yang mereka inginkan.
“Pertama kita punya semacam list gitu sih, mau ke mana dan mau experience apa. Waktu itu prefer yang trekking biasa ke curug/pantai,” kata Ghaizain yang merupakan lulusan program studi Fakultas Teknik Geologi itu kepada Konde.co, Selasa (7/1/2025). Sebagai pekerja kantoran, Ghaizain dan teman-temannya mencari trip yang tak jauh dari sekitar Jabodetabek dan bisa dilakukan dalam sehari penuh agar tak perlu menginap.
Baca Juga: Pengalamanku Frugal Travel, Jalan-Jalan Irit Tak Mesti Sulit
Bermodal pengalaman temannya yang sering mengikuti trip dari kantor, mereka pun mengeksplorasi jasa open trip dengan destinasi wisata yang mereka mau. Pilihan mereka jatuh kepada open trip yang diadakan explorer.idn di Instagram. Wisata terbuka yang mereka tawarkan dipatok harga mulai dari 200 ribu Rupiah per orang dengan beragam pilihan rute dan tujuan.
Menurut Ghaizain, sebetulnya ada beberapa opsi untuk jenis perjalanan. Seperti perjalanan dengan peserta umum dan peserta khusus perempuan. Faktor keamanan menjadi salah satu pertimbangannya dan kawan-kawannya memilih girls trip. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan harga, fasilitas, dan rencana perjalanan yang tersedia.
“Ikut girls trip karena tentunya rasa aman. Skeptis kalau nge-trip sama laki-laki stranger,” tutur Ghaizain. Meski perjalanan mereka dipandu oleh guide laki-laki, tapi ia bilang kalau dirinya sudah biasa menangani perjalanan perempuan. “Selain itu, karena kegiatan trekking ini lumayan capek, jadi pace dari satu tempat ke tempat lainnya juga sesuai sama kita-kita ini.”
Secara keseluruhan, Ghaizain merasa wisata kala itu seru dan menyenangkan. Selain karena staf yang membantu dan tampak berniat mengurus acara, destinasi yang dituju pun sebagus foto-foto yang ditampilkan di media sosial. Sedikit kendala baginya hanya soal toilet yang dikenai biaya meski menumpang ke rumah warga dan kondisi toilet yang kebanyakan tidak layak.
Baca Juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka
Tidak hanya explorer.idn, ada sejumlah jasa perjalanan lainnya yang membuka open trip khusus perempuan. Di Instagram misalnya, ada nomaden__club yang tidak hanya membuka girls trip, tetapi juga mengadakan sesi yoga dalam beberapa rencana wisatanya. Lalu ada ladiestrip.id yang menyediakan perjalanan wisata untuk perempuan muslim yang ingin melancong dengan aman tanpa mahram laki-laki.
“LADIESTRIP.ID bertujuan untuk membantu para perempuan yang ingin menikmati keindahan alam tanpa adanya kaum lelaki yang bukan makhram. Menikmati alam dengan tenang dan leluasa bergerak tanpa ada rasa canggung atau malu,” tulis akun ladiestrip.id dalam deskripsi profilnya di Instagram pada 26 Juli 2024.
Melancong untuk Eksplorasi Girlhood
Bagi Ghaizain, pengalaman girls trip ke Geopark Ciletuh pada Oktober 2024 lalu itu juga membuatnya merasakan momen girlhood.
“Girlhood-nya kerasa di girls thing yang kita lakuin selama trip itu, sih,” gelaknya. “Nggak peduli mau panas-panasan atau basah-basahan, tetap on point. Pakai dress cantik dan make up, semua saling fotoin, nyari spot yang bagus di mana. Semuanya ngerti karena sama-sama perempuan. Kayak we just get it aja gitu.”
Dengan konsep open trip bersama peserta yang kebanyakan tidak saling kenal, Ghaizain mengaku, awalnya mereka sempat saling diam dan agak canggung. Peserta yang mengikuti perjalanan kala itu cukup beragam. “Ada anak perempuan sama mamanya, ada yang solo (trip) juga. Ada kita yang satu geng,” jelasnya. “Tapi pas sampai destinasi jadi nyatu karena girls being girls. Bonding dari minta difotoin, rasa aman yang tadi diharapkan itu jadi kerasa. Terus mungkin karena isinya semua perempuan jadi lebih mudah akrab karena rasa aman tadi.”
Suasana jadi makin cair di antara para peserta setelah beberapa saat. Momen-momen ketika para peserta perempuan saling bantu saat berganti baju di mobil, menjaga pintu kamar mandi saat sedang digunakan, hingga berdandan cantik dan ganti baju sampai tiga kali untuk berfoto ria pun menghangatkan perjalanan.
“Santai aja karena kita semua sama-sama perempuan, jadi nggak ada yg buru-buruin, gitu.”
Baca Juga: Jalan-jalan Perempuan #1: Mengunjungi Masyarakat Adat, Memahami Sudut Pandang Mereka
Hal lain yang disadari Ghaizain selama melancong adalah alasan para peserta perempuan mengikuti girls trip tersebut. Saat berhenti untuk rehat di rest area, mereka mengobrol untuk lebih mengenal satu sama lain.
“Ngomong gimana mereka juga ternyata emang sengaja ikut karena senang jalan-jalan. Tapi nggak mau sendiri atau nge-trip campur laki-laki. Terus sisanya kayak sharing pengalaman nge-trip lain sama background pribadi aja, sih.”
“Itu, sih, yang bikin semuanya jadi seru,” imbuh Ghaizain. “Karena girls understand each other. Jadi setiap momen sama obrolan terasa relatable.”
Wisata (Seharusnya) Aman untuk Perempuan
Travelling atau pelancongan dari perspektif feminis merupakan salah satu cara pemberdayaan perempuan. Ini juga memperluas ruang kebebasan perempuan. Banyak feminis menekankan pentingnya perempuan untuk bebas bepergian tanpa rasa takut atau keterbatasan. Berwisata bisa menjadi sarana bagi perempuan untuk mengeksplorasi dunia. Termasuk juga mengatasi ketergantungan pada orang lain dan merasakan kemandirian dalam keputusan dan tindakan mereka.
Dalam banyak budaya, perempuan sering kali dianggap lebih rentan atau tidak seharusnya bepergian sendirian. Maka travelling, khususnya bagi perempuan yang bepergian solo, dapat menjadi cara untuk melawan dan menantang stereotipe gender tersebut. Ini menunjukkan bahwa perempuan mampu melakukan hal-hal yang biasanya diasosiasikan dengan laki-laki.
Dengan bepergian pun, perempuan dapat memperoleh pengalaman hidup yang memperkaya wawasan. Selain itu, mereka dapat mengasah keterampilan pribadi dan mengembangkan rasa percaya diri. Melalui travelling, perempuan dapat mengeksplorasi identitas diri, memilih tempat dan cara bepergian sesuai keinginan mereka, serta mendobrak pembatasan sosial yang sering ditujukan pada perempuan.
Baca Juga: Jalan-Jalan Ramadan: Aku Menemui Para Perempuan Pedagang Takjil
Feminisme juga melihat pelancongan sebagai kesempatan untuk memahami masalah sosial dan politik yang dihadapi perempuan di berbagai belahan dunia. Hal ini dapat membuka mata perempuan terhadap ketidaksetaraan gender. Kemudian memberikan perspektif yang lebih luas tentang kondisi perempuan di berbagai tempat.
Keberadaan girls trip, di satu sisi, menjadi sarana para perempuan untuk berwisata bersama. Namun, tak bisa dipungkiri pula, kebutuhan wisata khusus perempuan bisa jadi muncul karena banyaknya kasus perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual saat berwisata. Apa lagi dalam open trip, dengan peserta yang tidak kita kenal sebelumnya. Serta perasaan waspada yang timbul saat melakukan perjalanan dengan laki-laki.
Meski travelling memiliki potensi untuk memberdayakan, banyak feminis juga menyoroti tantangan yang dihadapi perempuan. Seperti kekhawatiran akan keselamatan dan privasi perempuan saat melancong. Isu seperti kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi gender tetap menjadi tantangan besar saat ini. Keamanan pun menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan.
Seorang feminis bernama Cynthia Enloe memiliki pandangan yang mendalam mengenai hubungan antara perempuan dan wisata. Terutama dalam konteks globalisasi, politik, dan militerisme. Dalam karyanya, Enloe sering membahas mobilitas perempuan, baik dalam konteks wisata, pekerja migran, atau bahkan dalam perjalanan yang terkait dengan militerisme, dapat mengungkapkan dinamika kekuasaan, ketidaksetaraan gender, dan ketergantungan ekonomi.
Baca Juga: Liburan Versi Gen Z dan Millennial: Keluar Kota untuk Refreshing dan Family Time
Enloe mengulas soal ini dalam bukunya berjudul ‘Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Politics’ (1989). Ia menyoroti industri pariwisata yang sering kali terkait dengan genderisasi konstruksi sosial. Perempuan yang bepergian untuk wisata atau migrasi pekerjaan, kerap ditempatkan dalam posisi yang lebih rentan dibandingkan laki-laki. Misalnya, perjalanan ke destinasi tertentu mungkin berkaitan dengan harapan untuk memenuhi peran-peran gender tradisional atau ekspektasi seksual.
Selain itu, Enloe juga mengkritisi fenomena pariwisata yang berhubungan dengan eksploitasi seksual perempuan. Dalam analisisnya, dia melihat industri pariwisata sebagai sarana untuk memperdagangkan tubuh perempuan. Serta mengungkapkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi keputusan perempuan untuk bepergian atau bekerja di luar negeri.
Enloe pun mengakui bahwa pariwisata bisa menjadi bentuk pemberdayaan bagi perempuan. Asalkan, perempuan diberi ruang untuk bepergian dan mengeksplorasi dunia dengan cara mereka sendiri. Bukan hanya sebagai objek konsumsi atau alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politik tertentu.
Maka travelling bagi perempuan tidak dapat dipandang secara sederhana sebagai kegiatan yang bebas dari dampak politik atau ekonomi. Sebaliknya, perjalanan perempuan sering kali sangat dipengaruhi oleh kekuatan global, gender, dan ketidaksetaraan sosial yang mendalam. Oleh karena itu pula, perjalanan wisata seharusnya juga ramah gender. Sebab perempuan juga berhak melancong dengan asyik dan seru tanpa bayang-bayang kerentanan akibat risiko kekerasan berbasis gender.