Memasak

Benarkah Memasak Itu Tugas Perempuan? Ini Pertanyaan yang Mengganggu Sejak Kecil

Ketika masih kecil, saya sering dibanding-bandingkan dengan anak perempuan tetangga yang pandai memasak. Katanya, memasak adalah tugas seorang perempuan.

Omongan tetangga bahwa memasak adalah tugasnya para perempuan ini, kemudian mengganggu saya hingga masuk ke bangku kuliah.

Saya masih ingat ketika saya menjadi bahan pembicaraan para orangtua yang tengah membanggakan anak perempuannya yang pandai memasak. Saya dipandang sebagai anak perempuan yang tidak berguna. 

“Benarkah memasak adalah tugas anak perempuan? Kenapa memasak harus tugas anak perempuan, lalu anak laki-laki apa gunanya? Kenapa saya harus terlahir sebagai perempuan?,” pikir saya saat itu.

Saya tidak suka memasak dan tidak suka terlahir sebagai seorang perempuan saat masih kecil. Tidak ada yang bisa menjadi contoh bagi saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di pikiran saya saat itu karena saya tinggal di lingkungan yang peran perempuannya di sektor domestik.

Hingga suatu hari, saya membeli Majalah Kreatif yang berbonus buku Kumpulan Cerpen Bobo yang berjudul “Mereka Membicarakanku”. Di dalam buku itu, saya menemukan cerita anak yang berjudul “Masakan Ayah Vs Masakan Ibu”. Cerita anak itu mengisahkan tentang Aida yang diledek oleh teman-temannya karena ibunya tidak bisa memasak dan ayahnya yang pandai memasak. Teman-temannya bilang memasak bukan pekerjaan laki-laki, melainkan pekerjaan perempuan. 

Baca Juga: Siapa Yang Memasak Opor Ayam di Hari Lebaranmu?

Akhirnya, Aida meminta ibunya memasak agar keluarganya tidak dipandang aneh dan berbeda. Namun, dia menyesal karena ternyata masakan ayahnya lebih enak dan rindu ingin mencicipinya lagi. Dia mempertanyakan tentang pekerjaan khusus berdasarkan jenis kelamin ini, lalu akhirnya memahami bahwa harusnya pembedaan itu tidak dilakukan, karena ayah dan ibu sama-sama bisa memasak, seharusnya pembagian tugas memasak juga tak harus dibebankan pada ibu, tapi juga pada ayah.

Cerita anak tersebut membekas bagi saya hingga sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala saya saat itu terjawab oleh cerita anak itu. Saya yang saat itu berusia belasan tahun tidak memusingkan lagi anggapan orang terhadap saya yang tidak pandai memasak. 

Saya sadar memiliki jiwa pemberontak sejak kecil. Untuk melawan stigma bahwa memasak adalah tugas perempuan, saya kemudian menolak belajar memasak, tetapi saya mau belajar yang lainnya. Perlawanan itu terus saya lakukan hingga kuliah semester 5.

Sampai pada suatu hari, saya merasa bosan dengan makanan yang saya beli di warung, sehingga akhirnya saya belajar memasak. Namun, alih-alih sebagai kewajiban perempuan, memasak bagi saya adalah sebuah seni. Saya senang melihat video kreasi masakan karena itu akhirnya yang membuat saya belajar memasak dan mencoba berbagai resep masakan. Saya juga menemukan ketenangan ketika sedang memasak. Saat itu, saya pikir tidak perlu lagi melakukan perlawanan karena saya sudah menemukan esensi dari memasak.

Baca Juga: Ingin Lebih Bahagia Dan Sehat? Memasak Adalah Jawabannya

Lalu berangkat dari pengalaman saya ini, saya kemudian menyusun skripsi yang berjudul Representasi Perempuan dalam Majalah Anak-Anak (Analisis Wacana Sara Mills dalam Rubrik Cerpen Majalah Bobo Edisi Tahun 2019). Skripsi ini membahas bagaimana perempuan digambarkan dalam teks yang berfokus pada peran perempuan yang ditampilkan dalam rubrik cerpen di majalah Bobo. Dalam buku Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak (2000) yang ditulis oleh Sunarto, dijelaskan bahwa peran gender dibedakan menjadi peran gender tradisional, transisi, ganda, egalitarian, dan kontemporer.

Dari 52 edisi Majalah Bobo tahun 2019, saya menemukan 20 cerpen yang menggambarkan tentang perempuan. Sembilan cerpen menggambarkan perempuan menjalankan fungsi-fungsi produktif (sektor publik) dan 11 cerpen menggambarkan perempuan menjalankan fungsi-fungsi reproduksi (sektor domestik). Peran perempuan dalam 20 cerpen di majalah Bobo tahun 2019 digambarkan sebagai perempuan yang menjalankan peran gender tradisional dan ganda. Saya menemukan belum ada kesetaraan gender dalam cerita anak di Majalah Bobo edisi tahun 2019. Meskipun perempuan digambarkan berperan dalam sektor publik, namun pekerjaan yang dilakukan berupa usaha toko kue dan usaha katering terbilang tidak jauh dari sektor domestik.

Dalam cerita anak di Majalah Bobo edisi tahun 2019, belum ada penggambaran perempuan yang bekerja di bidang sains dan teknologi, otomotif, seni dan desain, dan pekerjaan lainnya yang relatif didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa cerita anak di Majalah Bobo edisi tahun 2019 belum menerapkan perspektif gender.

Setelah menyusun skripsi tersebut, saya merasa khawatir. Bagaimana jika ada anak perempuan yang mengalami hal yang sama seperti yang saya alami ketika kecil? Tinggal di lingkungan yang membuatnya berpikir bahwa pekerjaan perempuan memang di sektor domestik, pun membaca cerita anak yang makin menguatkan anggapan itu. Bagaimana juga jika anak laki-laki yang ditanamkan anggapan memasak adalah tugas perempuan tumbuh menjadi sosok yang mendiskreditkan perempuan yang tidak bisa memasak karena alasan yang sama?

Baca Juga: Pekerja Rumah Tangga Yang Single Parent: Aku Sekolahkan Anakku Sampai Lulus Kuliah

Saya lalu berselancar di internet untuk menelusuri buku cerita anak Indonesia yang berisi tentang kesetaraan gender. Hasilnya, ternyata buku cerita anak dengan perspektif gender jumlahnya masih minim. Sungguh miris!. Saya yakin buku cerita anak yang beredar di negara kita mengandung banyak pesan moral. Sayangnya, PR kita untuk mulai mengenalkan perspektif adil gender kepada anak-anak sangat berat, karena nyatanya kita kekurangan buku cerita anak yang merepresentasikan nilai tersebut.

Indonesia butuh cerita anak yang menggambarkan kesetaraan gender agar mereka mengerti bahwa tidak ada pekerjaan yang harus dikuasai oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Baik perempuan maupun laki-laki dapat memilih pekerjaan apa pun yang mereka sukai tanpa khawatir di-judge atau bahkan di-bully oleh orang lain.

Oleh karena itu, dear penulis cerita anak, mari mulai menyuguhkan cerita berperspektif gender demi menciptakan dunia yang tidak hanya berwarna, namun juga adil dan tidak diskriminatif.

(Editor: Luviana)

Septiani

Seseorang yang berusaha beradaptasi di bumi.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!