Amanda Bartolomes dalam film Dekada '70 (sumber foto: YouTube ABS-CBN Star Cinema)

Film ‘Dekada ‘70’: Kisah Ibu Lawan Patriarki, Fasisme, dan Rezim Militer di Filipina

‘Dekada ‘70’ membawa kita menelusuri Filipina di periode 1970-an. Saat itu, Filipina berada di bawah kekuasaan diktator Ferdinand Marcos, yang menjadi presiden pada tahun 1965 dan kembali terpilih di tahun 1969.

Film ‘Dekada ’70‘ membawa kita ke Filipina di era 1970-an. Kala itu, presiden diktator Ferdinand Marcos masih berkuasa setelah pertama kali terpilih menjadi presiden pada tahun 1965 dan mempertahankan tampuk kekuasaannya di tahun 1969.

Selama masa itu pula, masyarakat negara tersebut hidup di bawah bayang-bayang fasisme. Di tengah semua itu, Amanda Bartolome menjalani kehidupan sebagai perempuan yang terkungkung patriarki, menyaksikan seluruh anggota keluarganya—suami dan anak-anak laki-laki mereka—tumbuh, berubah, melawan, hingga dilenyapkan rezim militer yang kejam.

Film ‘Dekada ’70’, dengan judul Bahasa Inggris ‘The ‘70s’, merupakan adaptasi dari novel karya Lualhati Bautista. Ia hadir sebagai potret kuat tentang keluarga, peran perempuan, dan perlawanan sipil di masa-masa tergelap dalam sejarah Filipina. Disutradarai oleh Chito S. Roño dan dirilis pada tahun 2002, film ini menyajikan kisah perjuangan rakyat sipil, terutama perempuan, dengan latar politik yang mencekam. Terutama di periode ketika Ferdinand Marcos mengumumkan darurat militer di Filipina.

Baca Juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis

Di satu sisi, film ini menyoroti betapa fasisme bukan hanya mengekang, tetapi juga membunuh rakyat sipil secara kiasan maupun harfiah. Sementara itu, fasisme yang kawin-mawin dengan patriarki juga menindas perempuan, mencerabut segala hak hidup perempuan demi kekuasaan dibalut maskulinitas beracun.

Film ‘Dekada ‘70’ bukan film baru; ia sudah ada sejak lebih dari dua dekade silam. Selain itu, film ini juga secara spesifik menyoroti kekejaman pemerintahan Marcos di Filipina di masa lalu. Namun, film ini akan selalu relevan. Bukan hanya untuk masyarakat Filipina, tetapi juga bagi seluruh rakyat sipil di berbagai belahan dunia yang pernah dan sedang dikerangkeng militerisme fasis dan patriarki. Sayangnya, Indonesia juga termasuk dalam cakupan ini, dulu dan kini.

Sinopsis ‘Dekada ‘70

Cerita ‘Dekada ‘70’ berpusat pada kehidupan keluarga Bartolome, pasangan kelas menengah di Manila yang memiliki lima anak lelaki. Sang ibu, Amanda Bartolome (Vilma Santos), menjadi sosok utama dalam film ini.

Ia awalnya seorang ibu rumah tangga biasa. Namun, Amanda perlahan menyadari bahwa ia tidak bisa lagi tinggal diam di tengah penindasan dan ketidakadilan yang terjadi. Baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar rumah.

Suami Amanda bernama Julian Bartolome Sr. (Christopher de Leon). Laki-laki tersebut digambarkan sebagai kepala keluarga yang memegang nilai-nilai konservatif, mewakili sistem patriarki yang masih mengakar. Ia begitu keras mengatur Amanda sebagai satu-satunya perempuan di rumah, tapi kerap ‘lembek’ terhadap anak-anak laki-laki mereka, bahkan saat mereka berbuat onar.

Film ‘Dekada ’70‘ sendiri dibuka dengan adegan Julian menolak dengan tegas keinginan Amanda untuk bekerja di bidang periklanan. Sebab menurutnya, Amanda seharusnya tetap menjadi ibu rumah tangga saja. Julian juga tersinggung lantaran ia merasa penghasilannya selama ini selalu lebih dari cukup untuk menafkahi Amanda dan keluarga mereka.

Baca Juga: Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan

Sementara itu, anak-anak mereka menunjukkan ragam respon terhadap situasi politik saat itu. Ada yang apatis hingga radikal. Mulanya, belum tampak bahwa anak-anak Bartolome menyadari kondisi darurat kebebasan di negara mereka. Film dibuka dengan percakapan ‘ringan’ nan seksis di meja makan keluarga Bartolome. Saat itu, Julian ‘Jules’ Bartolome (Piolo Pascual) dan Isagani ‘Gani’ Bartolome (Carlos Agassi) hendak pergi ke malam prom SMA mereka. Amanda beberapa kali tampak jengah dan kesal dengan cara para lelaki di rumahnya membicarakan perempuan, tapi sang suami menganggapnya terlalu kaku.

Dua pemuda tertua Bartolome pun pergi ke malam prom dan dijemput oleh keluarga mereka. Di tengah jalan, mereka terjebak macet yang disebabkan oleh aksi demonstrasi dan pembakaran figur raksasa sosok penguasa di area Gedung DPR. Pemandangan itu pun membuka mata keluarga Bartolome, terutama si sulung Jules.

Beberapa tahun berselang, Jules pun menjadi anak yang paling gencar mengikuti demonstrasi. Ia dan sahabatnya, Willy, bergabung dengan gerakan mahasiswa University of the Philippines dan berunjukrasa di tahun 1971 melawan diktatorianisme Marcos. Dirinya juga bergabung dengan gerakan bawah tanah sebagai bentuk perlawanan terhadap kediktatoran.

Baca Juga: ‘Momoye, Mereka Memanggilku’: Militerisme dan Perbudakan Seksual di Era Perang Asia Timur Raya

Di saat hampir bersamaan, si tengah Emmanuel ‘Em’ Bartolome kerap membuat karya-karya tulis yang dilarang oleh pemerintah. Lalu suatu hari, si bungsu Benjamin ‘Bingo’ Bartolome yang masih anak-anak menerbangkan layangan. Amanda, yang menemani Bingo, memungut layangan itu dan mendapati benda itu dibuat dari kertas koran komunis Ang Bayan. Julian, mengetahuinya dari Amanda, segera mengecek kamar anak-anak mereka dan mendapati selebaran protes milik Jules di kamarnya.

Gani, berbeda dari saudara-saudaranya, mengungkapkan keinginan untuk bergabung dengan Angkatan Laut Amerika Serikat. Tujuannya demi mendapatkan gaji yang besar dan sejumlah keuntungan lainnya. Jules terang-terangan mencibir adiknya lantaran ia sangat anti terhadap Amerika Serikat yang saat itu sedang gencar menyerang Vietnam. Namun sang ayah mengizinkan Gani untuk pergi.

Setahun kemudian, pada 1972, Presiden Marcos mengumumkan darurat militer di Filipina. Jam malam diberlakukan, pasukan keamanan bersenjata lengkap berjaga di setiap sudut jalanan. Kehidupan keluarga Bartolome, terutama Amanda, berubah saat itu juga.

Sebelum sempat bertolak ke Amerika Serikat, Gani rupanya juga menghamili pacarnya, Evelyn. Meski perempuan tersebut begitu tertekan dengan situasi itu, ayah Evelyn memaksanya untuk menikah dengan Gani sebagai bentuk pertanggungjawaban. Evelyn akhirnya melahirkan anak perempuan dan, tak berselang lama, meninggalkan rumah keluarga Bartolome. Keputusan Evelyn didukung oleh Amanda, yang memahami tekanan batin yang dialami Evelyn sebagai sesama perempuan.

Baca Juga: Habis Gelap Tak Kunjung Terang: di Bawah Rezim Militeristik, Deretan Kasus Kekerasan Seksual oleh Aparat Diabaikan

Sementara anak kedua menjadi angkatan militer, Amanda makin dibuat pusing oleh aktivisme Jules. Sejak sahabatnya, Willy, dibunuh oleh aparat karena ‘berkeliaran di luar jam malam’, Jules memutuskan untuk bergabung dengan gerakan bawah tanah dan pergi ke daerah perbatasan. Tentu saja Amanda menolak keras; ia khawatir dengan keselamatan sang anak. Namun Jules tetap pergi, meninggalkan surat untuk adik-adiknya tanpa mengatakan sepatah kata pun untuk sang ibu.

Amanda dan Julian tentu tidak menyangka hal itu akan terjadi. Amanda secara terang-terangan mengekspresikan kekecewaan dan kesedihannya saat Jules pergi begitu saja. Sedangkan Julian, meski awalnya tampak cenderung mendukung pemerintahan Marcos dan beberapa kali berdebat dengan si sulung soal presiden diktator itu, berusaha bersikap baik-baik saja dan meyakinkan diri bahwa anaknya paham konsekuensi yang ia ambil.

Kehidupan Amanda terus berlanjut di bawah patriarki dan fasisme. Jules sempat kembali ke kota beberapa kali. Pertama, saat ia tiba-tiba hadir di depan rumah selepas jam malam membawa kawannya yang terluka. Amanda menggunakan kesempatan itu untuk berusaha lebih memahami si sulung, dengan mencoba mengobrol dengannya dan Rene, si kawan yang terluka.

Baca Juga: ‘Langgar Hak Asasi Perlindungan Anak, Bias Kelas, Sensasional’: Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi

Lalu di malam Natal, Jules menelepon ibunya setelah sekian lama, memperingatkan bahwa gerakan rakyat yang ia ikuti telah disusupi dan semua orang dalam bahaya. Ia menyuruh Amanda untuk membakar semua pamflet miliknya, tulisan-tulisan kritis Em, bahkan berbagai dokumen dan foto keluarga Bartolome yang menampilkan wajah Jules untuk menghapus jejak dan menyelamatkan keluarga mereka.

Di tengah proses pemberangusan itu, rumah Bartolome digerebek oleh Metrocom (komando kepolisian Filipina) bentukan Marcos. Rupanya Rene, yang pernah mereka rawat di rumah atas permintaan Jules, adalah mata-mata yang dimaksud. Beruntung, keluarga Bartolome bisa lolos dari kriminalisasi karena sudah memusnahkan bukti-bukti hubungan mereka dengan Jules dan protes terhadap pemerintah.

Kemudian di lain kesempatan, Jules diam-diam menemui sang ibu sekejap. Rupanya ia akan melakukan aksi perlawanan lebih lanjut. Jules juga memberitahu Amanda bahwa sebetulnya ia sudah punya istri dan anak selama masa persembunyian. Setelah itu, ia kembali pergi, paling tidak berbekal kepercayaan dari ibunya.

Dalam aksi berikutnya, si sulung ditangkap dan disiksa di penjara. Amanda sekeluarga mengetahui kabar itu dari sebuah panggilan telepon. Hancur hati Amanda menyaksikan Jules menghampiri mereka dengan kondisi babak belur. Belakangan, Jules menceritakan penyiksaan yang dia alami. Dipukul, ditendang, disetrum, dan sebagainya menjadi ‘rutinitas’ selama masa penahanan. Mendengar kesaksian sang anak, Amanda pun menghubungi sebuah organisasi non-pemerintah yang mengurusi keluarga korban pelanggaran HAM.

Baca Juga: Kamila Andini: Film adalah Subjek yang Menggerakkan Hidup Saya Sebagai Perempuan

Namun ‘kehilangan’ keluarga Bartolome sesungguhnya bukan hanya tentang kepergian Jules. Justru ketika darurat militer sudah berakhir, duka cita mereka baru hadir. Jason, anak keempat yang selama ini tidak begitu aktif seperti saudara-saudaranya, hendak kencan dengan pacarnya di malam Natal. Amanda melarangnya karena di waktu bersamaan, mereka sekeluarga bakal merayakan Natal bersama Jules di penjara. Kesal, Jason terpaksa mengikuti acara tersebut, tapi tidak kembali pulang dan menghilang setelahnya.

Amanda dan Julian kebingungan; mereka dan anak-anak yang tersisa segera mencari ke segala penjuru. Amanda menyambangi setiap kantor kepolisian, menanyakan keberadaan Jason. Namun, justru Em yang akhirnya menemukan sang kakak—terbujur kaku di sebuah ruang jenazah, tewas dibunuh setelah ditahan atas tuduhan penggunaan narkoba. Kejadian ini meluluhlantakkan Amanda dan keluarganya.

Kehilangan Jason menjadi titik puncak perasaan frustrasi Amanda. Ia merasa begitu tak berdaya, bukan hanya karena rezim yang fasis, tetapi juga karena menyadari betapa dirinya tidak dianggap penting oleh Julian selama ini. Padahal, ia yang begitu peduli terhadap nasib dan keselamatan anak-anak mereka; ia ibu yang melahirkan mereka. Ketika Jules bergerilya dan ditangkap, Amanda-lah yang mendengarkan segala pergumulan batin si sulung. Ketika Gani menghamili Evelyn, Amanda mendampingi perempuan tersebut di tengah kemelutnya.

Berbagai cara Amanda lakukan untuk mempertahankan keluarganya. Ia juga berkali-kali mengingatkan Julian untuk lebih menyadari bahaya yang dihadapi anak-anak mereka, tapi Julian selalu mengabaikannya karena ia merasa Amanda tak lebih tahu ketimbang dirinya. Perseteruan antara Amanda dan Julian membuat perempuan itu menyampaikan keinginannya untuk bercerai dari Julian.

Baca Juga: ‘I’m Still Here’ Perlawanan Perempuan Dalam Penghilangan Paksa: Film Internasional Terbaik Piala Oscar 2025

Beberapa waktu berikutnya, Jules dinyatakan bebas dari tahanan. Keluarga Bartolome pun mengadakan makan malam bersama, termasuk dengan Evelyn dan Mara, istri Jules. Amanda dan Julian juga menghadiri pertunjukan teater Em tentang revolusi dan menyanyikan lagu nasional di sana.

Waktu bergulir di Filipina. Namun, kehilangan Jason dan gejolak keluarganya akibat militerisme masih membekas di hati Amanda. Film ‘Dekada ’70‘ pun ditutup dengan monolog Amanda saat mengikuti aksi revolusi rakyat sipil. Ia menjadi seorang perempuan yang melawan; seorang ibu yang melawan.

Di Balik Gerakan Rakyat Sipil, Ada Ibu yang Melawan

Dalam wawancaranya, sang penulis novel Lualhati Bautista pernah menyatakan bahwa Dekada ’70 bukan hanya tentang perjuangan rakyat Filipina melawan rezim militer. Tetapi juga tentang perjalanan batin seorang ibu yang belajar bersuara dan berdiri atas prinsipnya.

Vilma Santos mendapatkan banyak pujian atas penampilannya sebagai Amanda. Ia mampu menampilkan spektrum emosi yang luas—dari kelembutan seorang ibu hingga ketegasan seorang perempuan yang mulai menyadari kekuatannya sendiri. Kritikus film menyebut penampilan Santos sebagai salah satu yang terbaik dalam kariernya.

Dari sisi teknis, film ini juga dinilai berhasil merekonstruksi atmosfer tahun 1970-an dengan detail dan akurat. Tata busana, properti, serta nuansa visual film berhasil membawa penonton ke masa di mana ketakutan dan kekacauan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Film ‘Mudik’, Ketika Pulang Kampung Bikin Perempuan Menanggung Beban Sosial

Dua dekade setelah perilisannya, Dekada ’70 tetap relevan sebagai karya yang menyoroti pentingnya kebebasan berpendapat, peran perempuan dalam masyarakat, dan perjuangan melawan kekuasaan yang otoriter. Di tengah konteks global yang kembali melihat bangkitnya politik represif, film ini menjadi pengingat bahwa sejarah tidak boleh dilupakan—dan bahwa keberanian bisa muncul dari tempat yang paling tidak terduga: seorang ibu di ruang makan rumahnya sendiri.

Gerakan rakyat yang melibatkan perempuan dan para ibu juga bukan hanya terjadi di Filipina. Indonesia, misalnya, punya begitu banyak sosok perempuan sekaligus ibu yang membersamai dan menjadi bagian dari gerakan perempuan. Beberapa juga dilandasi oleh kehilangan anak dan keluarga akibat rezim penindas. Contohnya Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta yang tewas ditembak aparat dalam Peristiwa Semanggi I, 24 November 1998. Kejadian itu hanya beberapa bulan setelah berakhirnya masa kekuasaan Soeharto di Orde Baru.

Baca Juga: ‘Tiap 5 Tahun Kami Dibohongi, Janji Manis Tak Dipenuhi’ 17 Tahun Aksi Kamisan

Berkali-kali, sejak dulu hingga kini, Sumarsih menceritakan kronologi kematian Wawan yang saat itu bertugas sebagai relawan kemanusiaan. Sejak itu pula Sumarsih terus mencari keadilan bagi Wawan. Ia bergabung dengan jaringan keluarga korban pelanggaran HAM dan menggagas Aksi Kamisan di tahun 2007. Sebagaimana Amanda Bartolome dan para sosok ibu lainnya; tidak ada ibu yang rela anaknya dibunuh oleh negara.

Dekada ’70 adalah film yang tidak hanya menggugah emosi, tapi juga membangkitkan kesadaran. Film ini dapat menjadi refleksi tentang kehidupan sehari-hari yang amat dipengaruhi politik. Terutama, di tengah semua kekangan itu, perempuan dapat menjadi pusat perubahan. Sebab ia melawan lebih dari satu musuh sekaligus: fasisme dan patriarki.

(sumber foto: YouTube ABS-CBN Star Cinema)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!