Ini adalah pertama kalinya aku datang di Desa Kaluppini. Hujan mulai turun, tanah menjadi basah.
Senin, 26 Mei 2025 sore, aku bersama rombongan jurnalis, mulai jalan di tengah hutan. Akhirnya kita sampai menjelang malam, dan kami bermukim di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Sulawesi Selatan.
Desa ini posisinya berada sekitar 900 meter di atas permukaan laut, berlokasi kira-kira 6 jam perjalanan jalur darat dari Kota Makassar. Yang khas dari desa inilah, banyak perempuan disini yang telah berhasil memperjuangkan desa menjadi desa inklusi. Mereka mengubah aturan desa dan membuat Musrenbang desa yang mengikutsertakan perempuan. Walaupun mereka masih punya pekerjaan rumah untuk memperjuangkan keadilan gender dalam kelembagaan adat.
Dalam kehidupan masyarakat desa dan masyarakat adat, sering kali perempuan termarjinalkan dan tidak mendapatkan ruang yang layak dalam musyawarah maupun rapat.
Oleh karena itu, dengan perjuangan yang panjang, di tahun 2023, Sutirah dan perempuan Desa Kaluppini akhirnya berhasil menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI). Perdes Nomor 05/Perdes/DK/X/Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak, Perempuan, dan Disabilitas itu mengatur sejumlah hal tentang inklusivitas. Termasuk kesepakatan bahwa semua kegiatan desa harus diikuti setidaknya 30 persen perwakilan perempuan.
Sedangkan dalam struktur Badan Pemerintahan Desa, dari 11 orang yang menjabat, 3 di antaranya adalah perempuan. Mereka menjabat sebagai Kepala Urusan Keluarga, Kepala Urusan Umum, dan Kepala Seksi Pelayanan.
Sutirah (51) adalah salah satu perempuan Kaluppini yang aku temui yang sangat aktif menyampaikan usulannya dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrebangdes) di Kaluppini pada 2024.
“Mengusulkan agar soal perlindungan anak dan perempuan bisa didanai dan dimasukkan di agenda dana desa,” tutur Sutirah kepada Konde.co.
Baca Juga: ‘Hidup Mati Kami di Sini’ Perlawanan Perempuan di tengah Terjal 15 Tahun RUU Masyarakat Adat
Sutirah, yang berprofesi sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) setelah itu juga mendorong agar pemerintah desa memperbaiki sarana belajar di PAUD, serta memberikan alat mainan tambahan edukasi untuk anak-anak.
Sementara itu, Kepala Desa Kaluppini, Muh. Salata (31) menegaskan, Perdes tentang GEDSI itu hadir agar suara perempuan tidak lagi terabaikan. Terutama soal PAUD, kesehatan lansia, dan sarana ritual. Kini, perempuan bukan hanya ‘hadir’ dalam musyawarah dan rapat untuk menyuguhkan makanan, tetapi juga lebih aktif menyampaikan masukan dan saran untuk pembangunan desa.
Aku mendengarkan cerita-cerita ini sesaat setelah tiba di desa. Bersama rombongan jurnalis lainnya, lalu aku mengikuti Imam (salah satu pemangku adat laki-laki) menghampiri sebuah lapangan rumput di dekat pemukiman warga. Puluhan warga desa saat itu sedang berkumpul di lahan tersebut. Para laki-laki duduk melingkar di bagian depan, beberapa tampak sibuk menyobek lembaran daun pisang dan melakukan persiapan lainnya. Sedangkan para perempuan meletakkan nasi, pisang, dan lauk pauk lainnya di atas daun pisang itu. Seluruh sajian makanan berasal dari hasil ladang para warga Kaluppini.
Langit makin temaram dan hujan masih turun rintik-rintik. Setelah berdoa bersama, para warga pun makan bersama. Menurut mereka, makanan yang diberikan saat ritual adat baru boleh dimakan setelah doa selesai. Meski hujan dan angin dataran tinggi cukup menggigit, suasana di lapangan itu terasa hangat. Para perempuan dan laki-laki saling mengobrol, termasuk dengan kami sebagai pendatang baru. Anak-anak juga ikut untuk bertemu dan bermain dengan sesamanya di lapangan itu.
“Jangan dibawa ke rumah!” seru seorang warga perempuan saat kami menerima sebonggol pisang. “Harus habis di sini. Tidak boleh dibawa ke rumah.”
Rupanya, dalam ritual adat yang belakangan kami ketahui merupakan ritual tolak bala itu, makanan yang disajikan di tempat harus dihabiskan di tempat itu juga. Mereka percaya, jika makanan pemberian itu dibawa ke kediaman masing-masing, akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Baca juga: “Kami Tidak Akan Angkat Kaki,” Perempuan Adat Melawan Penggusuran PT Krisrama
Ritual tolak bala itu dilakukan menyusul kematian tidak wajar yang terjadi pada beberapa orang muda di desa selama setahun terakhir.
Cemas akan kemungkinan masyarakat melakukan sebuah kekeliruan, Sutirah (51) perempuan warga Kaluppini pun mencetuskan gagasan untuk melakukan ritual tolak bala. Menurutnya, ritual itu untuk menghormati alam dan para leluhur, sehingga keseimbangan antara manusia dan alam dapat kembali.
Tentunya gagasan itu tidak segera terlaksana. Selain membutuhkan keterlibatan banyak orang, sebagai perempuan, Sutirah juga tidak bisa mengikuti forum pengambilan keputusan terkait usulan ritual tolak bala itu.
Musyawarah adat pun dilaksanakan; warga, pemangku adat, dan pemangku agama bertemu untuk mendiskusikan kemungkinan ritual tolak bala. Rupanya bukan hanya Sutirah yang khawatir; sejumlah perempuan di Kaluppini juga menyuarakan keresahan yang sama. Melalui para suami, mereka menyampaikan kegelisahan itu untuk dibahas dalam forum. Akhirnya, diputuskan bahwa ritual tolak bala bakal diselenggarakan Senin (26/5/2025) sore di lapangan desa. Guyuran hujan tidak menghentikan ritual dan doa yang dipanjatkan untuk memohon kembalinya keselarasan antara kehidupan manusia dan jagat raya.

Hari kedua bermukim di Kaluppini, suara musik yang lirih namun bernada khas mengalun dari sebuah rumah adat setiap jamnya. Suara ini menyejukkan.
Aku melihat Nenek Rasi (88) dengan lihai nya memainkan alat musik karumbing dengan mulutnya. Alat musik tiup khas Kaluppini dari pelepah pohon aren itu bentuknya pipih dan kecil, tapi mampu menghasilkan bunyi yang tidak biasa.
Baca juga: Yang Bisa Kamu Pelajari Dari Perempuan Adat: Sebagai Pelindung Hutan dan Lingkungan
Rasi adalah perempuan yang dipercaya untuk menjaga rumah adat sapo lalanan, salah satu dari dua rumah adat yang disucikan di desa Kaluppini. Rumah adat lainnya, sapo batoa, berada tidak jauh dari sana.
Para perempuan yang dipilih untuk menjaga rumah-rumah adat syaratnya harus tidak menikah dan sudah menopause. Ini karena mereka dinilai sudah lepas dari kepentingan duniawi dan bisa fokus menjaga budaya dan komunitas adat.
Rasi sendiri sudah ditinggalkan orangtuanya sejak usia 6 bulan. Di umur 8 tahun hingga sekarang, ia tidak bisa melihat. Ia juga pernah tidak makan dan minum selama 1 bulan. Namun, setelah semua itu, ia masih hidup di Kaluppini.
“Karena itu, mungkin hidup saya harus diserahkan untuk menjaga (rumah) ini,” sebut Rasi kepada Konde.co, Selasa (27/5/2025).

Bermain alat musik karumbing adalah keahlian Rasi. Ia tidak hanya memainkannya di rumah adat. Meski sudah lanjut usia, ia tetap hadir dalam berbagai upacara dan ritual adat untuk memainkan karumbing saat bulan purnama. Rasi juga mengajari caranya kepada para orang muda di festival atau yang datang langsung berkunjung padanya. Transfer pengetahuan budaya ia lakukan dengan cara itu, selain juga dengan menuturkan pau nene atau dongeng setempat.
Baca juga: Problem Perempuan Adat: Belum Ada Aturan Khusus Yang Lindungi Hak Kolektifnya
Sama seperti Rasi, para perempuan di Desa Kaluppini menjadi ‘kunci’ keberlangsungan budaya Kaluppini. Transfer pengetahuan berlangsung antara perempuan dan generasi yang lebih muda lewat pau nene, persiapan ritual adat, dan sebagainya. Menurut Manajer Program Kemitraan, Moch., Yasri Sani, cerita-cerita tentang ritual adat diturunkan oleh ibu atau perempuan melalui dongeng. Ini juga berlaku dalam tata perilaku masyarakat adat secara umum.
Turun-temurun pengetahuan budaya komunitas dilakukan pula oleh Haswisa (60), salah satu perempuan adat Kaluppini. Saat ditemui Konde.co pada Selasa (27/5/2025), Haswisa sedang menyiapkan alan nota, medium yang wajib ada dalam setiap ritual adat Kaluppini. Alan nota yang dibuatnya hari itu sederhana saja, hanya untuk menjadi contoh. Ia menata daun sirih yang baru saja dipetiknya dari pekarangan rumah bersama dengan buah pinang, yang ia sebut sudah tua. “Kurang enak buat dimakan,” ucapnya.
Alan nota terdiri dari pinang, sirih, dan kapur yang dibuat dengan cara khusus dan menjadi kompetensi yang harus dimiliki para perempuan Kaluppini. Paling tidak, satu orang di setiap rumah tangga harus mampu membuatnya.
“Tahu bikin alan nota ini turun temurun,” ucap Haswisa. Secara alamiah, ia mendapatkan pengetahuan dan keahlian membuat alan nota lewat interaksi sehari-hari dengan ibu dan neneknya saat dirinya masih muda. “Dari ibu saya, nenek saya, dan ke atas-atas lagi itu semua pembuat alan nota.”
Perempuan bertugas menyiapkan kebutuhan acara ritual adat di Kaluppini. Mulai dari mencari pinang, sirih, dan kapur, hingga menganyam bambu untuk wadah alan nota dan memasak untuk acara.
Baca juga: Apa Yang Diperjuangkan Perempuan Adat Selama ini?
Haswisa juga kerap menuturkan pau nene kepada anak-anak sebelum tidur. Dongeng lokal itu terdiri dari berbagai cerita, seperti kisah binatang yang mengajarkan untuk tidak rakus, kisah sepasang kekasih yang tragis tentang pentingnya menepati janji, dan sebagainya. Selain untuk menghibur anak-anak, Haswisa juga melantunkan pau nene demi melestarikan adat. “Malu kalau sudah tua enggak tahu,” ucapnya.

Perdes GEDSI, Inklusivitas, dan Angka Perkawinan Anak di Kaluppini
Kawasan adat Kaluppini terdiri dari lima desa. Desa Kaluppini sendiri memiliki penduduk sejumlah 1.078 orang, yang terdiri dari 518 perempuan dan 560 laki-laki.
Salata menyatakan, memang masih ada usulan-usulan dari perempuan yang belum dapat terakomodir. Namun paling tidak, dengan adanya Perdes GEDSI tersebut, mereka mulai mencapai partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa.
Salata menjelaskan, dana desa Kaluppini adalah sebesar Rp1,190 miliar. Namun, alokasi untuk program pemberdayaan perempuan adat dan disabilitas serta perlindungan anak kurang dari 10%. Sedangkan sekitar 20% dari dana desa Kaluppini dialokasikan untuk program kedaulatan pangan.
Salah satu perubahan lainnya sejak penerapan Perdes Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah terkait angka perkawinan anak atau pernikahan dini. Sebelumnya, Desa Kaluppini dikenal sebagai desa dengan angka pernikahan dini yang tinggi.
“Kami juga berupaya mencegah pernikahan dini dengan sosialisasi ke warga,” ujarnya.
Kemudian setelah Perdes Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terbit, angka pernikahan dini di Kaluppini berkurang hingga menjadi nol. Masyarakat mulai sadar akan pentingnya membatasi usia minimum menikah demi pernikahan yang berkualitas dan tidak menindas perempuan.
Di balik sunyi lereng pegunungan Sulawesi Selatan, perempuan adat Kaluppini juga sehari-harinya bekerja menyulam dua benang utama: pelestarian budaya dan kesinambungan ekonomi. Mereka bukan sekadar ikut andil; mereka adalah jantung dari ritual, ladang, dan rumah adat.
Baca juga: Problem Perempuan Adat: Regulasi dan Aturan Adat Yang Belum Berperspektif Perempuan
Menurut Imam atau salah satu pemangku adat Kaluppini, Abdul Halim, perempuan berperan sangat penting dalam ritual adat. Kehadiran perempuan dalam ritual adat juga cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Misalnya, ketika laki-laki masing bekerja di ladang saat ritual berlangsung, maka perempuan yang datang mewakili keluarga. Mereka juga berperan menyiapkan segala kebutuhan ritual.
“Yang paling berperan dalam ritual‑ritual itu adalah perempuan.”
Terdapat pembagian peran gender dalam kehidupan bermasyarakat adat di Kaluppini. Dalam ritual adat, misalnya, perempuan menyiapkan segala kebutuhan acara, sedangkan laki-laki menentukan waktu pelaksanaan ritual dan memimpin acara. Perempuan di Kaluppini juga berkebun dan mengurus keuangan keluarga sehari-hari. Mereka memegang kendali atas pengelolaan uang dan hasil kerja dalam keluarga.
Soal bercocok tanam, wewenang mutlak penentuan waktu tanam dan waktu panen ada pada perempuan. Laki-laki tidak boleh ikut campur selain menyampaikan keputusan perempuan kepada para pemangku. Perempuan juga memegang peran kunci atas pengelolaan hasil berkebun. Mereka berwenang atas pengelolaan pabbarassang (tempat penyimpanan beras).
Di satu sisi, Desa Kaluppini berupaya memastikan kesetaraan gender dengan menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) mengenai GEDSI. Ruang bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam musyawarah desa pun muncul. Dari segi ekonomi, perempuan di Kaluppini juga dapat berdaya dengan menjadi petani hingga membuat kelompok usaha ekonomi dengan mengolah hasil pertanian dan perkebunan asli Kaluppini tanpa merusak ekosistem lingkungan.
Kendati demikian, jalan menuju kepemimpinan perempuan adat di sana barangkali masih panjang. Dalam struktur lembaga adat Kaluppini, sejauh ini, belum ada perempuan yang menjadi pemangku adat. Nilai-nilai adat membuat hanya laki-laki yang bisa menjabat sebagai pemangku adat dan agama di sana.
Baca juga: Yuk, Bareng-Bareng Memutus Rantai Kekerasan Pada Perempuan Adat
Ini membuat keterwakilan perempuan di tingkat lembaga adat dan agama masih belum tampak. Padahal, jajaran pemangku adat dan agama terdiri atas 13 orang. Mereka bertugas menjalankan berbagai ritual adat dan agama—yang mayoritas adalah Islam—serta berperan sebagai lembaga eksekutif di komunitas adat Kaluppini.
Lembaga adat jauh lebih berpengaruh ke kehidupan warga Kaluppini sehari-hari ketimbang pemerintah. Hal ini diakui oleh Kepala Desa Kaluppini, Muh. Salata (31). Menurut Salata, pemerintah desa lebih menjadi ‘panitia’ dari lembaga adat. “Pemerintah desa tugasnya hanyalah terkait administrasi negara,” jelas Salata kepada Konde.co, Selasa (27/5/2025). “Misalnya, bagaimana menyukseskan kegiatan-kegiatan ritual adat. Karena kalau aturan kehidupan, aturan hidup sebagai manusia itu, bagi saya sudah lengkap di dalam aturan-aturan adat.”
Ke-13 pemangku adat dan agama di Kaluppini punya istilahnya masing-masing. Empat pemimpin tertingginya disebut tomakaka, khali, ada’, dan imam. Kemudian ada pemangku lapis kedua dan ketiga berjumlah delapan orang, yang dapat menggantikan keempat pemimpin tertinggi tersebut bertugas menjalankan ritual jika berhalangan hadir. Lalu ada seorang pande tanda (ahli astronomi) yang bertugas memberikan rekomendasi untuk memulai musim tanam.
Mereka semua diawasi oleh delapan orang di jajaran dewan pengawas yang disebut tomassituru. Dewan ini juga dapat merekomendasikan pencopotan pemangku adat dan agama yang melanggar peraturan adat Kaluppini. Selain itu, ada pitu lorong, tujuh orang penjaga keamanan sekaligus penegak hukum di wilayah adat. Seluruh bagian struktur kelembagaan adat itu diisi oleh laki-laki.
Baca Juga: Suara Perempuan Muda Adat Talang Mamak
Menurut Abdul Halim, Imam masyarakat adat Kaluppini, seluruh pemangku adat dan agama hingga tomassituru dan pitu lorong dipilih oleh masyarakat, diwakili para pemangku terdahulu. Dengan keyakinan bahwa seluruh masyarakat Kaluppini berasal dari nenek moyang yang sama, semua warga memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi bagian dari kekuasaan lembaga adat. Kepada Konde.co, Abdul Halim juga menyebut, pemangku adat dan agama di Kaluppini bersifat, “Kolektif kolegial. Tidak ada satu yang lebih tinggi dari yang lain.”
Ia mengatakan, sebetulnya tidak ada peraturan adat yang secara eksplisit melarang perempuan untuk menjadi pemangku adat. “Kalau memang ada persetujuan secara keseluruhan komunitas (untuk perempuan) diangkat sebagai pemangku, tidak jadi masalah.”
Hal itu diamini Saing (57), salah satu tomassituru di Kaluppini. Saing juga mengakui bahwa perempuan memang berperan besar dalam keberlangsungan masyarakat adat. Peran tersebut terutama dalam ritual adat, karena persiapannya kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
Namun, prasyarat yang masih diterapkan untuk dapat menjadi pemangku atau ikut dalam forum pengambilan keputusan di lembaga adat, tetap menghambat dan mengeliminasi perempuan. Saing mencontohkan, salah satu syaratnya adalah pemangku adat yang hendak diangkat harus memiliki istri. Selain itu, ritual-ritual adat biasanya harus dipimpin atau dihadiri dalam kondisi tidak menstruasi. Ini mempersulit perempuan untuk terlibat dalam kepemimpinan adat di Desa Kaluppini.
Selama ini, tokoh-tokoh lembaga adat Kaluppini kerap mengadakan rapat paripurna setiap Jumat di masjid desa untuk membahas berbagai masalah dan sama-sama mencari solusinya. Rapat itu dihadiri para pemangku, tomassituru, pitu lorong, dan perwakilan kampung. Masalahnya ketika tidak ada perempuan dalam jajaran adat tersebut, suara mereka tidak tersampaikan secara langsung, sehingga masih ada pekerjaan rumah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di sana.
Baca juga: Kedaulatan Atas Ruang Hidup Perempuan Adat
Paradoks terkait ketimpangan gender dalam kelembagaan adat bukan hanya terjadi di Kaluppini. Ini juga kerap ditemukan dalam komunitas masyarakat adat lainnya di Indonesia. Di satu sisi, perempuan adat punya peran penting dan potensi untuk berdaya secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan juga kerap menjaga dan mewarisi pengetahuan lokal, lantas menurunkannya pada generasi berikutnya. Namun, dalam struktur formal kekuasaan adat, perempuan masih termarjinalkan. Struktur kekuasaan adat biasanya tetap patriarkal, dengan posisi pemimpin adat seperti kepala suku dan tetua adat dipegang laki-laki.
Dari perspektif feminisme interseksional, kekuasaan budaya dan ekonomi yang dimiliki perempuan tidak otomatis berujung pada kekuasaan politik atau kelembagaan. Masih ada pelanggengan struktur patriarki dalam adat yang tidak serta-merta diubah meskipun peran perempuan vital.
Sementara itu, feminisme komunitarian menekankan pentingnya melihat keadilan bukan hanya dari representasi formal, misalnya kuota pemimpin perempuan, tetapi juga relasi kekuasaan dalam komunitas.
Dalam masyarakat adat, kepemimpinan bisa terjadi dalam bentuk informal seperti peran perempuan sebagai penjaga nilai, tabib, atau pengambil keputusan keluarga. Namun, hal itu tidak lantas menafikan bahwa ketika lembaga formal seperti dewan adat, musyawarah kampung, atau pengelola wilayah adat dibentuk, perempuan sering tidak dilibatkan. Representasi simbolik mereka pun tidak cukup untuk mengubah keputusan strategis.
Namun, kesempatan itu masih bisa diperjuangkan. Menurut Saing dan Abdul Halim, masyarakat Kaluppini terbuka pada perubahan zaman. Sehingga nilai-nilai adat bisa saja beradaptasi sesuai dengan kebutuhan dan konteks kekinian.
Baca Juga: 15 Tahun RUU Masyarakat Adat Tak Juga Disahkan, Aktivis Gugat Pemerintah ke PTUN
Hal ini, misalnya, terlihat dari pembolehan adanya dokumentasi ritual adat pangewaran yang diadakan masyarakat adat Kaluppini setiap delapan tahun sekali. Dulu, kegiatan dokumentasi dianggap dapat mengurangi kesakralan upacara adat. Namun setelah melalui musyawarah, muncul kesepakatan dari warga dan pemangku adat untuk mengizinkan perekaman ritual tersebut. Ini agar dokumentasi yang ada bisa menjadi referensi bagi generasi berikutnya.
Upaya serupa mungkin juga bisa diterapkan untuk membuka kesempatan bagi perempuan berada di kelembagaan adat. Peluang ini juga hadir mengingat Desa Kaluppini sudah menerapkan Peraturan Desa Nomor 05/Perdes/DK/X/Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak, Perempuan, dan Disabilitas yang fokus pada isu-isu GEDSI. Adanya ruang partisipasi bermakna perempuan dalam musyawarah desa, bisa jadi jalan menuju keadilan gender di lembaga adat.
Jika memang tidak ada aturan adat yang secara spesifik melarang perempuan untuk berada dalam lembaga adat maupun mengikuti ritual adat, pembacaan kritis terhadap budaya dan struktur kekuasaan adat bisa dilakukan.
Yang harus diingat adalah bahwa perempuan adat butuh keadilan struktural, bukan sekadar simbolik. Komunitas adat yang inklusif dan adil gender serta melibatkan perempuan secara bermakna dalam seluruh aspek kehidupan, niscaya lebih kuat menghadapi tantangan seiring masa.
Liputan ini merupakan bagian dari media field visit yang didukung KEMITRAAN dan Sulawesi Cipta Forum (SCF) melalui program Estungkara atas dukungan INKLUSI.
(Editor: Luviana)