Apa Itu Psychogeography Feminis? Yang Harus Kamu Pelajari Agar Kotamu Ramah Perempuan

Perempuan punya peta memori rasa takut yang dipenuhi oleh titik-titik tidak aman di lingkungan rumahnya. Psychogeography feminis membedah semua itu.

Apakah perempuan hari ini telah benar-benar bebas berjalan-jalan di kotanya? Bisa kelayapan, keluyuran, mlaku-mlaku (Jawa), melalak (Medan) untuk menikmati ruang publik tanpa rasa takut?

Jika sudah aman, kenapa kalau mau keluar rumah, selalu ditanya seperti ini: 

“Mau ke mana?”

“Mau ketemu siapa?”

“Pulang jam berapa?”

“Kok pakai baju itu?”

“Ngapain kok harus keluar malem-malem?”

“Lama banget di luar, ngapain aja sih?” dan kalau jawabannya dianggap tidak lulus, kemungkinan akan dilarang “Kalau nggak penting nggak usah keluar” atau dimarahi “Perempuan jangan suka keluyuran!”.

Sedangkan laki-laki bisa bebas keluar tanpa tujuan, berjalan-jalan cari angin tanpa khawatir dimarahi, karena kebebasan bergerak di ruang publik telah lama menjadi hak istimewa laki-laki. Bagi perempuan, ia harus punya alasan yang cukup masuk akal agar kehadirannya di luar tidak dianggap provokatif atau membahayakan dirinya sendiri. 

Laki-laki yang nongkrong adalah pemandangan yang umum. Laki-laki bisa berkeliaran sendirian saat gelap, mampir untuk minum kopi di warung atau kafe, atau membuat rencana spontan sesuka hati. Perempuan tidak bisa melakukan hal yang sama. Tidak bisa berhenti di mana pun perempuan mau, atau duduk-duduk santai di taman tanpa rencana dan pengamatan. Kalau warung kopi pengunjungnya semua laki-laki, kemungkinan perempuan akan balik badan. Aktivitas nongkrong adalah aktivitas yang bergender.

Kalau kamu perempuan dan lapar tengah malam, pasti pernah berpikir berkali-kali jika ingin membeli makanan di luar. Apakah jalan sepi? Apakah pencahayaan cukup? Atau apakah ada laki-laki yang nongkrong di pinggir jalan? Dan kalau akhirnya memilih memesan lewat aplikasi pengantar makanan, juga tetap berpikir nanti pengirimnya sopan nggak? Gimana kalau pengantar makanan tidak langsung pergi, melainkan berusaha memperpanjang interaksi dengan alasan mau kenalan atau nanya “Sendirian di rumah, Mbak?”

Baca juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian

Shilpa Phadke seorang profesor media dan studi budaya Mumbai mengajak perempuan untuk berkeliaran dengan tajuk Why Loitering? Di YouTube TEDx Talk. “Sekarang bayangkan jika kamu perempuan dan keluar di malam hari lalu mengalami pelecehan seksual. Pasti yang pertama kali ditanyakan padamu adalah kenapa kamu keluar tengah malam, apa alasannya?” Ruang publik telah lama dianggap sebagai wilayah berisiko bagi perempuan, sebuah anggapan yang justru mendorong lahirnya berbagai bentuk kontrol. 

Di India, kekhawatiran ini bahkan membuat sebagian perempuan terpaksa menerima pernikahan dengan laki-laki yang tidak mereka inginkan, demi mendapatkan perlindungan di ruang publik.  Larangan dari keluarga kepada perempuan untuk keluar rumah kita anggap bukan kekerasan, melainkan perlindungan, kepedulian. Padahal, itu adalah kekerasan struktural yang membatasi kebebasan perempuan. 

Shilpa juga menyampaikan bahwa di ruang publik menawarkan perlindungan hanya kepada perempuan tertentu, perempuan yang dianggap terhormat. Siapa mereka? Yaitu perempuan yang keluar dengan tujuan yang jelas seperti bekerja, berbelanja. Maka ia mengajak perempuan untuk merebut kembali ruang publik dengan berjalan-jalan berkeliaran (loiter) dengan senang di ruang publik. Sekadar nongkrong, duduk-duduk, tidak melakukan apa-apa, dan tanpa tujuan. Tidak ada seorangpun yang berhak mempertanyakan tujuan perempuan berada di ruang publik. Jika perempuan memenuhi ruang publik, kita akan menuntut negara menyediakan infrastruktur yang lebih aman, toilet umum, dan transportasi 24 jam.

Di permukaan, memang terlihat perempuan kini memenuhi kafe, di mall, bekerja hingga larut malam, dan muncul di sudut-sudut kota yang dulu dianggap bukan tempat perempuan. Tapi apakah perempuan sudah benar-benar bebas dari gangguan? Belum. Catcalling, tatapan mengganggu, diikuti, difoto diam-diam, atau diajak bicara untuk mengganggu masih menjadi pengalaman harian.

Baca juga: Kenapa Kami Harus Datang ke Kota untuk Bekerja? Cerita PRT

Dan apakah perempuan bisa benar-benar nyaman berada di ruang publik tanpa perlu khawatir dengan pandangan orang tentang baju yang dia pakai, jalan cepat-cepat agar tidak diperhatikan, atau pura-pura pakai headset, liat handphone, dan laptop ketika sedang sendirian di ruang publik, agar tidak diajak bicara oleh orang iseng? Dan apakah semua tempat seperti warung kopi, tempat olahraga, bengkel, atau bahkan kantor polisi sudah ramah perempuan? Banyak perempuan memang hadir di ruang publik. Tapi sering kali, kehadiran itu dibarengi dengan rasa waspada.

Kebebasan bergerak perempuan jadi tergantung pada seberapa baik ia bisa menipu ruang publik agar tidak dianggap rentan atau mengundang bahaya. Ini termasuk dalam psychogeography, geografi psikis yang tidak terlihat di peta, tapi hidup di dalam tubuh dan pikiran manusia. 

Istilah psychogeography pertama kali diperkenalkan oleh Guy Debord, seorang pemikir Marxis dari Perancis dan tokoh kelompok Situationist International pada 1955. 

Dalam esainya Introduction to a Critique of Urban Geography, ia menulis bahwa psychogeography adalah studi tentang dampak langsung dari lingkungan geografis terhadap emosi dan perilaku individu. Semua ini membentuk peta mental yang menentukan bagaimana kita merasakan dan menavigasi kota. Kalau kamu kembali ke kota yang menyimpan kenangan akan cinta pertama, lalu secara otomatis memilih melewati jalan tertentu, mampir ke tempat-tempat yang mengingatkan pada masa itu, atau justru menghindari lokasi yang membawa ingatan buruk, itulah contoh psychogeography: cara kenangan dan perasaan membentuk rute yang kamu ambil di kota.

Cara psychogeography mengeksplorasi kota bukan berdasarkan fungsi kota atau peta resmi, tapi berdasarkan efek emosional dan psikologis dari ruang. 

Baca juga: Riset: Sejumlah Kota di Aceh dan Prabumulih Menjadi Kota Intoleran

Bagi Debord, kota modern pada 1950-an terjebak dalam logika kapitalisme termasuk obsesi terhadap kepemilikan mobil pribadi. Propaganda kapitalis meyakinkan massa bahwa memiliki mobil adalah tanda privilese, meski pada akhirnya justru menciptakan kemacetan dan polusi. Kapitalisme menjadikan masyarakat hanya sebagai penonton yang menerima narasi, citra, dan konsumsi tanpa dilibatkan partisipasinya. Kota akhirnya diciptakan untuk tujuan konsumsi, bukan interaksi manusia.

Suatu tempat tidak lagi menjadi wadah bagi ingatan kolektif atau kenangan pribadi. Sebaliknya, tempat terus-menerus dibongkar, direnovasi, dan dikomersialisasi agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Berjalan-jalan tanpa arah di kota (dérive) adalah bentuk perlawanan terhadap rutinitas kapitalis dan tata kota yang kaku. 

Namun, seperti ditunjukkan dalam buku Feminist City oleh Leslie Kern, psychogeography ala perempuan sangat berbeda dari konsep Debord yang masih maskulin. Jika pengamat kota ala laki-laki bisa berkeliaran secara spontan, menikmati kekacauan dan ketidakpastian kota sebagai bentuk kebebasan, perempuan tidak punya kemewahan itu. Bagi perempuan, psychogeography bukan tentang eksplorasi, tapi tentang survival.

Seperti dikutip dari Kern dari Teju Cole: ” Inilah mengapa kita justru terdorong untuk mempraktikkan psychogeography. Kita berkelana dengan waspada, dan membayar beban psikis yang berat untuk kewaspadaan itu.” Kewaspadaan konstan inilah yang membentuk peta mental atau batin perempuan, peta yang dibangun dari rasa takut, pengalaman pelecehan, dan narasi kolektif tentang tempat berbahaya. Pengalaman berjalan kaki seorang ibu yang mendorong kereta bayi, perempuan yang sedang menstruasi, atau perempuan yang pulang malam, sangat berbeda dari laki-laki dewasa.

Baca juga: Apa itu Kota HAM: Sudahkah Perempuan Jadi Bagian Kota HAM?

Feminist City mengungkap bahwa geografi feminis adalah bentuk pengetahuan subaltern yaitu pengetahuan yang lahir dari pengalaman terpinggirkan dan mendorong agar perempuan diakui sebagai subjek perencanan wilayah. Perempuan kulit hitam, perempuan tunawisma, atau pekerja seks memiliki psychogeography mereka sendiri yang jauh lebih kompleks, karena ancaman mereka datang bukan hanya dari orang asing, tapi dari otoritas seperti polisi atau sistem yang mengkriminalisasi keberadaan mereka. Kota feminis, bagi Kern, bukanlah kota yang sempurna, tapi kota yang berjuang secara berkelanjutan. Butuh kita semua perempuan, queer, orang dengan disabilitas untuk menulis ulang peta kota

Pengalaman perempuan di ruang publik adalah hasil dari sejarah panjang tata kota yang dibentuk oleh nilai, norma, dan kekuasaan yang bias gender. Linda McDowell, salah satu tokoh dalam geografi feminis, dalam bukunya Gender, Identity, and Place mengkritik geografi tradisional karena mengklaim objektivitas dan universalitas padahal mengabaikan perbedaan pengalaman berdasarkan gender, ras, kelas, dan faktor sosial lain. Menurutnya, geografi konvensional dibangun dari sudut pandang maskulin yang menganggap ruang sebagai sesuatu yang netral dan dapat dijelajahi tanpa hambatan. McDowell menyayangkan bahwa karena perempuan sering dikaitkan erat dengan rumah, kajian feminis tentang ruang publik hanya menyoroti masalah dan bahaya yang dialami perempuan ketika berada di luar. Ini berangkat dari pemikiran bahwa kebebasan bergerak dan dominasi laki-laki di ruang publik sebagai sesuatu yang wajar dan sudah semestinya.

Ia juga menekankan pentingnya interseksionalitas. Perempuan tidak mengalami ruang publik dengan cara yang sama. Faktor seperti ras, kelas, usia, orientasi seksual, atau disabilitas memengaruhi tingkat risiko dan strategi yang dipilih. Perspektif ini semakin penting ketika membicarakan perempuan yang kehilangan rumah (homeless). 

Baca juga: Melarang Valentine, Depok Disebut Kota Intoleran dan Moral Panic

Berbeda dengan laki-laki tunawisma yang relatif lebih bebas tidur di trotoar atau taman, perempuan homeless menghadapi ancaman kekerasan seksual, pemerasan, dan stigma moral yang lebih berat. Banyak yang memilih bersembunyi di lokasi tersembunyi, di mobil, atau tidur di fasilitas umum hanya pada jam tertentu. Bagi McDowell, memahami ruang berarti mengakui bahwa ia selalu diproduksi secara sosial, politis, dan emosional.

Maka, membicarakan psychogeography dari perspektif feminis adalah menolak menerima kota apa adanya. Jika laki-laki bisa berkeliaran, nongkrong, bahkan tidur di tempat umum dengan nyaman, mengapa perempuan tidak bisa? Kota yang tidak bisa menerima tubuh perempuan adalah kota yang gagal. Membuatnya layak huni berarti memberi perempuan hak yang sama. 

Tertarik bikin peta psychogeography feminis di kotamu? Bisa dimulai dengan menandai tempat di mana kamu pernah merasa paling bebas atau paling takut. Bayangkan jika peta itu dikumpulkan dari ratusan cerita perempuan di satu kota, maka akan terlihat jelas di mana titik-titik yang tidak aman, jalur yang selalu dihindari, dan ruang publik yang benar-benar inklusif.

Dari situ, kita bisa menuntut pencahayaan yang lebih baik, transportasi yang aman, cctv, dan melahirkan kebijakan yang mengakui keberagaman tubuh dan pengalaman.

(Editor: Luviana Ariyanti)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!