Ibarat jantung kehidupan, masyarakat adat di Lamalera Nusa Tenggara Timur (NTT) begitu tergantung dengan laut. Mereka menganggap laut sebagai “Mama” atau lebih dikenal dengan sebutan Ina Lefa (Ibu Laut).
Tak sebatas geografis mereka yang dikelilingi laut, mereka memiliki ikatan spiritual yang erat kaitannya dengan laut. Bagi mereka, laut adalah pembawa keberkahan untuk menjalani hidup. Layaknya ibu yang memberikan segalanya untuk melahirkan dan merawat anaknya.
Lefa (laut) dianggap sebagai tempat yang suci dan sakral, dan Ina Lefa (Ibu Laut) dianggap sebagai pemilik tempat sakral tersebut. Pengudusan laut juga dapat dilihat dari syair-syair dan ritus yang dilakukan masyarakat Lamalera sebagai bentuk puji-pujian dan rasa syukur terhadap Ina Lefa.
Dalam kepercayaan masyarakat Lamalera, laut dipersonifikasikan sebagai Ina Lefa, yang menunjukkan penghormatan terhadap laut. Ia dianggap sebagai sang pemberi kehidupan sekaligus sebuah entitas sakral yang menjadi pusat dari keberlangsungan hidup mereka.
Konsep Ina Lefa menggambarkan hubungan spiritual masyarakat dengan laut sebagai sumber rezeki dan keseimbangan kosmologis mereka. Penghormatan terhadap Ina Lefa terwujud dalam berbagai ritual dan tradisi yang menunjukkan rasa syukur. Seperti beberapa prosesi yang perlu dilakukan sebelum dilaksanakannya Lefa Nuang.
Baca Juga: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Seperti yang dikatakan oleh Daison (2022), “Dalam interaksi dengan alam, manusia sendiri akhirnya membentuk apa yang disebut kesadaran kolektif tentang adanya kekuatan supranatural yang dianggap suci atau kudus. Manusia percaya bahwa alam ini dikuasai oleh kekuatan supranatural. Masyarakat pada akhirnya menciptakan berbagai ritus-ritus sebagai aksi atau tindakan dalam menjelaskan kesadaran kolektif masyarakat akan kekuatan yang menguasai alam.”
Walaupun masyarakat Lamalera melakukan ‘peng-ibuan’ terhadap laut, peran perempuan sebenarnya tidak begitu signifikan dalam proses yang berkaitan langsung dengan laut. Pekerjaan melaut adalah lingkungan yang didominasi oleh laki-laki. Contohnya adalah peran lamafa (penombak paus) pada agenda Lefa Nuang dan peran lama holu (pemimpin kru perahu) yang hanya bisa dipegang oleh laki-laki.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam ritual Misa Lefa (Misa untuk laut) yang dilakukan sebelum Lefa Nuang juga bukan sebagai aktor utama. Tetapi sebagai peserta kolektif saja. Peran simbolik perempuan di Lamalera seringkali bersifat terbatas.
Tradisi Berburu Paus: Perempuan Dibebankan Kerja Domestik dan Perawatan
Masyarakat Lamalera yang tinggal di pesisir selatan Kabupaten Lembata NTT itu, dikenal dengan tradisi berburu paus yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dengan jumlah populasi sekitar 2.300 orang, sebagian besar dari masyarakat Lamalera berprofesi sebagai nelayan tradisional. Selain karena mereka tinggal di pesisir hal ini juga disebabkan oleh struktur tanah desa yang terdiri atas bebatuan cadas dan karang yang tidak subur jika digunakan untuk bercocok tanam (Peni, 2021). Oleh karena itu, masyarakat menggantungkan kehidupannya pada Laut Sawu yang berhadapan langsung dengan pemukiman mereka.
Secara administratif masyarakat Lamalera tinggal di Kecamatan Wulandoni, dengan pemerintahan desa yang dibagi menjadi 2 desa. Di antaranya, Desa Lamalera A (Teti Lefo) dan Desa Lamalera B (Lefo Bela), A artinya atas karena desanya terletak di dataran tinggi. Sedangkan B untuk Lamalera bawah yang berada di sekitar Laut Sawu. Laut Sawu adalah wilayah perairan yang kaya akan keragaman hayati. Termasuk dengan populasi paus sperma (Physeter macrocephalus) yang menjadi bagian penting dalam tradisi berburu paus mereka, Lefa Nuang.
Baca Juga: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya
Sebelum dimulainya musim lefa atau musim berburu dalam rentang waktu Mei hingga Oktober, masyarakat Lamalera akan menggelar sebuah ritus upacara Tobu Némé Vaté. Upacara Tobu Némé Vaté merupakan pintu awal sebelum pelaksanaan musim lefa. Dimana masyarakat akan menggelar forum musyawarah guna mengevaluasi kesalahan yang pernah terjadi pada musim-musim sebelumnya.
Jika ditemukan kesalahan, masyarakat melanjutkannya dengan upacara Bapa Béllé. Ini bertujuan untuk menghapus dosa dan memohon maaf kepada leluhur yang juga diyakini masyarakat sebagai perwujudan dari Ina Lefa.
Setelah itu masyarakat akan melaksanakan ritus Iye Gérék yang dilakukan untuk menghormati jelmaan roh moyang paus berupa batu menyerupai anatomi paus yang dimiliki oleh Desa Lamalera di pegunungan. Selama prosesi ini masyarakat diharuskan untuk menjalankan aturan adat secara ketat untuk menjaga kesakralannya.
Sehari setelahnya, akan dilaksanakan Misa Lefa yang dipimpin oleh Romo, dalam rangkaian itu Romo akan melakukan pemberkatan kepada laut. Dilakukan pula Misa Arwah, untuk mendoakan dan mengenang para leluhur yang meninggal di laut.
Setelah rangkaian ritual dilakukan, masyarakat Lamalera akan memulai perburuan paus di Laut Sawu. Perburuan ini dipimpin oleh laki-laki, yakni lama holu sebagai pemimpin kru perahu dan diikuti dengan lamafa sebagai penombak paus.
Baca Juga: Jejak Perempuan dalam Transisi Energi: Menuju Energi Terbarukan yang Berkeadilan
Bagi Masyarakat Lamalera perburuan ini juga dilakukan sebagai penjemputan berkah yang diberikan Ina Lefa berupa paus. masyarakat Lamalera menyadari bahwa tanpa ikan paus mereka tidak bisa hidup, karena paus adalah sumber kehidupan mereka yang utama.
Oleh karena itu, paus yang merupakan hadiah dari ina Lefa diperlakukan secara berbeda. Masyarakat Lamalera juga menyebut paus sebagai Sora tare bala (kerbau bertanduk gading), yang mana kerbau merupakan hewan yang bernilai tinggi pula untuk masyarakat Lamalera. Dalam melakukan perburuan paus, masyarakat Lamalera telah memiliki aturan tidak tertulis mengenai paus mana yang boleh ditangkap dan tidak boleh ditangkap.
Mereka tidak akan menangkap paus yang kelihatannya masih kecil dan paus yang sedang dalam kondisi hamil. Masyarakat Lamalera juga tidak akan menangkap paus biru (klaru) karena konon katanya nenek moyang masyarakat Lamalera pernah diberi bantuan oleh paus biru ketika mengalami kecelakaan di laut. Kasus tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap lingkungan sangat dipengaruhi oleh setting di masa lalu. Seberapa lama persepsi itu dapat bertahan dalam sebuah komunitas sangat tergantung pada bagaimana upaya menurunkan pengetahuan lingkungan tersebut kepada generasi selanjutnya (Kurniasari & Reswati, 2011).
Musim perburuan paus adalah musim yang paling ditunggu oleh masyarakat Lamalera, harapan-harapan mereka tertuang dalam senandung syair mereka ketika menunggu kedatangan migrasi paus di Laut Sawu, syair tersebut juga mengungkapkan rindunya masyarakat akan kehadiran kelompok paus yang bermigrasi ke Laut Sawu.
Baca Juga: Digadang-Gadang Dorong Transisi Energi, Industri Kendaraan Listrik Masih Abaikan Kebutuhan Perempuan Disabilitas Netra
Apabila mereka sudah melihat tanda-tanda kemunculan paus (seperti semburan air di laut), para Lefa Alep (nelayan) berseru kepada teman-temannya yang lain, “Baleo…!Baleo…!” sebagai panggilan untuk segera pergi ke bibir pantai dan menaiki tena.
Selain dari ritual-ritual tersebut, masyarakat Lamalera juga menunjukkan penghormatan mereka terhadap Ina Lefa lewat syair (disebut juga sebagai sastra mantra) yang mereka lantunkan setelah mendapatkan paus dan meminta Ina Lefa untuk memberikan hembusan angin, agar Tena (kapal) mereka bisa cepat berlabuh di bibir pantai.
Setelah para lamafa membawa paus yang telah diburu ke bibir pantai, tanggung jawab untuk memproses daging paus, membagikan dan mengelola distribusinya dilakukan oleh perempuan. Haryadi (2007) mengatakan bahwa untuk pembagian tubuh koteklema (paus), masyarakat sudah punya peran pembagian khusus. Misalnya selain daging dan lemaknya para pemilik tena berhak mendapatkan jantung koteklema, sayatan bagian ekor akan diberikan kepada awak kapal yang ikut membunuh paus.
Semua orang di Lamalera telah mengetahui bagian mana yang sudah menjadi hak mereka. Hal itu diatur berdasarkan perannya dalam perburuan paus serta perannya dalam struktur sosial Lamalera. Distribusi daging dan minyak paus dilakukan dengan cara barter yang disebut dengan penetang.
Baca Juga: Cerita Petani Perempuan di Lombok yang Berdaya Kelola Energi Hijau
Barter adalah salah satu kegiatan ekonomi utama perempuan di Lamalera, dan sebagian hasil tangkapan dapat dipertukarkan di pasar minggu (R. H. Barnes & Barnes, 1989). Selain ditukar di pasar minggu, perempuan-perempuan Lamalera akan berjalan berkilo-kilo jauhnya ke desa agraris. Seperti Labalekan untuk menukar bawaan mereka dengan bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, pisang, dan umbi-umbian.
Perempuan Lamalera bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya lewat distribusi tersebut. Tradisi penetang juga merupakan bagian dari penghormatan mereka terhadap nilai spiritual. Di mana kerja keras mereka dipandang sebagai wujud syukur kepada Alepte (Tuhan dalam bahasa Lamalera).
Tradisi penetang diawali dengan kesadaraan akan kerasnya kehidupan di tanah Lamalera sehingga memunculkan kesepakatan bagi para Ina (ibu) untuk menggunakan sistem barter dengan desa-desa tetangga. Seperti tradisi lainnya, tradisi penetang juga ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Lamalera dan diturunkan secara turun temurun untuk kelangsungan hidup mereka.
Peni (2021) mengatakan “Jika tidak melakukan penetang, maka kehidupan keluarga juga akan terhenti karena tidak adanya bahan makanan (selain ikan). Sehingga sudah menjadi tanggung jawab perempuan untuk melakukan penetang bahkan hingga saat ini.”
Baca Juga: Perempuan Mengolah Energi Terbarukan, Sayang Tak Didengar Pemerintah
Di sini kita bisa melihat, peran perempuan dalam hal domestik dan perawatan keluarga, meski sangat penting namun seringkali tidak dilihat. Dibandingkan hiruk pikuk tradisi penangkapan paus yang didominasi oleh laki-laki.
Sistem Patrilineal, Paternalisme dan Dampaknya pada Posisi Perempuan Lamalera
Sistem patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menurunkan garis keturunan, warisan, dan otoritas dalam keluarga melalui pihak laki-laki. Dalam sistem ini, laki-laki menjadi menjadi pewaris utama bagi harta keluarga, nama, dan status sosial, sementara perempuan seringkali diposisikan sebagai pendukung, pelengkap, atau penghubung antara keluarga lainnya melalui pernikahan. Dalam sistem patrilineal, peran laki-laki tidak hanya terbatas atas kepemilikan properti tetapi juga mencakup kontrol atas ritual, tradisi, dan tanggung jawab dalam pengelolaan keluarga besar.
Di Lamalera, sistem kekerabatan yang digunakan adalah sistem patrilineal. Garis keturunan dan warisan diturunkan melalui pihak laki-laki, yang menjadikan mereka pewaris utama dalam keluarga dan komunitas.
Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai penjaga tradisi dan pemegang otoritas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam kegiatan yang paling dihormati seperti perburuan paus. Salah satu posisi paling prestisius dalam masyarakat Lamalera adalah lamafa, yaitu penombak paus yang memiliki tanggung jawab utama dalam perburuan paus.
Baca Juga: Transpuan Dapat Energi Sehat di NTT, Bagaimana di Ibu Kota?
Posisi ini diwariskan secara eksklusif kepada laki-laki dan menjadi simbol keberanian serta otoritas dalam komunitas. Sebaliknya, perempuan tidak memiliki akses ke posisi sosial tertinggi seperti lamafa, meskipun mereka memainkan peran penting dalam kegiatan domestik dan ekonomi seperti penetang.
Sistem patrilineal yang diterapkan di Lamalera berjalan seiring dengan paternalisme. Paternalisme mengacu pada suatu sistem sosial dimana laki-laki diposisikan sebagai pihak yang memonopoli kehidupan kemasyarakatan karena dianggap memiliki daya intelektual yang lebih baik dari perempuan. Perempuan dianggap sebagai pihak yang perlu diayomi oleh laki-laki dari bahaya-bahaya yang mungkin terjadi.
Dari kacamata paternalisme, mereka memandang bahwa perempuan sebagai pribadi-pribadi yang lemah dalam berbagai aspek: jasmani, moral, dan spiritual. Peran mengayomi, terdapat kesejalanannya dengan pengatur sehingga perempuan tidak siap untuk bisa mandiri (Kebingin & Martasudjita, 2023).
Baca Juga: Jauh Dari Gegap Gempita, Perempuan Adat Menjadi Game Changer
Dalam kasus di Lamalera, paternalisme memperkuat pembagian kerja berbasis gender yang membatasi perempuan hanya pada ruang-ruang tertentu. Sedangkan laki-laki menguasai ranah publik dan prestisius.
Meskipun perempuan Lamalera memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup keluarga dan komunitas, mereka tetap berada dalam posisi subordinat dalam hierarki sosial. Kegiatan barter penetang yang mereka lakukan meskipun penting secara ekonomi, tidak dianggap setara dengan aktivitas berburu paus yang dilakukan oleh laki-laki.
Ibuisme Laut dan Kesenjangan Gender
Dalam berbagai kelompok masyarakat, peran ibu sering disematkan pada sesuatu yang bersifat sakral, mengayomi, menjaga, dan memberi kehidupan. Konsep ‘ibuisme’ disini menggambarkan bagaimana sifat yang dianggap alamiah dimiliki perempuan atau sebuah entitas feminim diposisikan sebagai penjaga kehidupan dan keseimbangan alam. Yang tercermin dalam personifikasi laut sebagai Ina Lefa oleh masyarakat Lamalera sebagai simbol kehidupan dan keberkahan bagi mereka.
Meskipun Lefa dihormati layaknya ibu yang melindungi dan memberi penghidupan, struktur sosial masyarakat Lamalera masih didominasi oleh nilai-nilai patriarkis. Kita dapat melihat bagaimana simbolisme nilai feminim pada Lefa yang dihormati dalam kosmologi masyarakat, tidak sebanding dengan pengakuan sosial terhadap peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Ortner (1974) mengatakan bahwa “perempuan sering dikaitkan dengan alam yang dipandang memiliki ranah yang lebih dekat dengan aspek-aspek biologis, emosional, dan alamiah dalam kehidupan manusia. Sedangkan laki-laki dianggap lebih rasional, intelektual, dan superior. Oleh karena itu laki-laki dianggap lebih tinggi atau berharga dibandingkan dengan alam yang diasosiasikan dengan perempuan.”
Baca juga: “Kami Tidak Akan Angkat Kaki,” Perempuan Adat Melawan Penggusuran PT Krisrama
Perempuan Lamalera menempati posisi yang ambigu dalam struktur sosial mereka. Di satu sisi simbolisme feminim mereka dihormati dalam bentuk personifikasi laut sebagai ibu yang memberikan kehidupan. Namun, perempuan tetap menempati hierarki lebih rendah dari laki-laki dalam struktur sosial mereka dan pembagian kerja. Posisi ambigu ini menunjukkan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, sebagai hasil dari struktur sosial yang diwariskan dan mengakar sejak lama dan diperkuat oleh norma dan nilai budaya yang ada.
Subordinasi perempuan di Lamalera mencerminkan pola ketidaksetaraan gender yang ditemukan di banyak masyarakat patriarkal lainnya dengan sistem kosmologi serupa. Di banyak kelompok masyarakat lain, perempuan juga sering dikaitkan dengan alam dan diberi peran sebagai penjaga kehidupan, sementara laki-laki akan mendominasi ranah budaya dan struktur sosial yang lebih kompleks.
Tradisi berburu paus di Lamalera mencerminkan keterikatan masyarakat dengan alam dan menunjukkan pula hubungan spiritual mereka dengan laut sebagai Ina Lefa, entitas feminim yang dihormati sebagai ibu pemberi kehidupan. Namun, simbolisme ini tidak diterjemahkan dalam pengakuan terhadap peran perempuan dalam struktur sosial mereka.
Baca juga: “Tanah Itu Hidup Kami, Akan Kami Perjuangkan,” Perempuan Adat Soge dan Goban Melawan Kriminalisasi PT Krisrama
Subordinasi perempuan di Lamalera menunjukkan bagaimana sistem patrilineal dan nilai-nilai patriarkal yang ada menciptakan ketimpangan gender. Meskipun perempuan memainkan peran yang krusial dalam ekonomi mereka melalui penetang untuk menjaga keberlangsungan hidup keluarga, mereka tetap berada dalam posisi subordinat yakni di bawah posisi sosial laki-laki.
Pola ketimpangan ini mencerminkan bagaimana norma-norma budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi dapat memperkuat struktur patriarki. Kasus pada masyarakat Lamalera menunjukkan bahwa sistem kosmologi dan simbolisme yang mereka pegang dapat menjadi alat yang digunakan untuk melanggengkan ketimpangan gender. Dimana perempuan dihormati namun masih kurang diberdayakan.
Sebagai penutup, tulisan ini saya tulis untuk menyoroti pentingnya mendekonstruksi norma-norma patriarkal yang masih mensubordinasikan perempuan. Perlu dipahami apabila sebuah penghormatan simbolik terhadap perempuan (seperti dalam personifikasi Ina Lefa), harus diimbangi dengan pengakuan nyata terdapat peran dan kontribusi mereka dalam struktur sosial. Dibutuhkan inklusifitas dalam pengambilan keputusan komunitas dan pelibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang ada dalam rangka pemberdayaan.
Referensi:
Barnes, R. H. (1974). Lamalerap: a whaling village in eastern Indonesia. Indonesia, 17, 136. https://doi.org/10.2307/3350777
Barnes, R. H., & Barnes, R. (1989). Barter and money in an Indonesian village economy. Man, 24(3), 399. https://doi.org/10.2307/2802698
Daison, A.G.R. (2022). LAUT, “INA LEFA”, DAN MASYARAKAT LAMALERA. DIMENSI – Journal of Sociology, Volume II No 2(1). https://journal.trunojoyo.ac.id/dimensi/issue/view/1033
Fortier, J., & Ortner, S. B. (1997). Making Gender: The politics and erotics of culture. Anthropological Quarterly, 70(3), 153. https://doi.org/10.2307/3317675
Haryadi, R. 2007. Cakram Matahari Memburu Koteklema. Gatra Nomor 28. Jakarta.
Kebingin, B. Y., & Martasudjita, M. (2023). Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Keberperanan Perempuan Lamaholot dan Budaya Patriarkat. Journal of Education Research, 4(3), 1457–1467. https://doi.org/10.37985/jer.v4i3.450
Kurniasari, N., & Reswati, E. (2011). Kearifan lokal masyarakat Lamalera: sebuah ekspresi hubungan manusia dengan laut. Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 6(2), 29. https://doi.org/10.15578/marina.v6i2.5810
Mf, F. (2021, January 1). Hikayat para pemburu Paus Lamalera. DestinAsian Indonesia. https://destinasian.co.id/hikayat-para-pemburu-paus/
Nolin, D. A. (2011). Kin preference and partner choice: Patrilineal descent and biological kinship in Lamaleran cooperative relationships. Carolina Digital Repository (University of North Carolina at Chapel Hill). https://doi.org/10.17615/qwk4-x139
Ortner, S. B. (1972). Is female to male as nature is to culture? Feminist Studies, 1(2), 5. https://doi.org/10.2307/3177638
(Editor: Nurul Nur Azizah)
(Sumber Foto via Barakata.id)






