Pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia makin pesat seiring dengan sejumlah kemudahan regulasi yang diberikan pemerintah kepada pelaku industri. Pada 2019 populasi kendaraan listrik berjumlah 1.437 unit. Angka ini terus bertambah hingga pada 2024 jumlahnya mencapai 133.255 unit.
Kendaraan listrik digadang-gadang sebagai upaya menciptakan transisi energi dan mendorong energi berkelanjutan. Pasalnya kendaraan listrik dimaksudkan untuk mengalihkan transportasi berbasis bahan bakar fosil menjadi berbahan bakar listrik.
Upaya ini dilakukan salah satunya lewat penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan oleh Presiden Jokowi pada Agustus 2019.
Baca Juga: Helen Keller dan The Miracle Worker yang Mengubah Dunia
Namun langkah pemerintah tersebut tidak lepas dari sejumlah kritik. Di sektor hulu kritik berkaitan dengan pertambangan nikel sebagai bagian penting dalam program kendaraan listrik berbasis baterai yang justru memicu konflik dan krisis lingkungan hidup.
Sementara di sektor hilir keberadaan kendaraan listrik dinilai aksesnya belum merata. Masih ada kelompok masyarakat yang belum bisa mengakses bahkan tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun implementasi. Akibatnya kendaraan listrik belum mengakomodasi kebutuhan orang dengan disabilitas.
Seperti diungkapkan Rina Prasarani, Ketua II Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran kepada Konde.co.
“Transisi energi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sama sekali belum berkeadilan, khususnya pada perempuan dengan disabilitas netra,” tegas Rina.
Belum Berkeadilan dan Risiko KBG pada Perempuan dengan Disabilitas
Kendaraan listrik adalah kendaraan yang menggunakan motor listrik sebagai penggerak utama tanpa menghasilkan emisi dan suara bising seperti kendaraan berbahan bakar fosil. Walaupun banyak yang melihat kendaraan listrik dapat mengurangi polusi suara, tetapi ternyata hal ini sangat berbahaya bagi penyandang disabilitas.
Kendaraan listrik yang didesain tanpa suara kurang memperhatikan kebutuhan orang dengan disabilitas. Suara senyap pada kendaraan listrik membuat orang dengan disabilitas netra sulit mendeteksi kendaraan yang mendekat. Akibatnya kondisi ini meningkatkan risiko kecelakaan, terutama di area yang padat pejalan kaki.
“Kendaraan yang bersuara aja kita bisa (kecelakaan). Kalau misal kendaraan tetap ada suaranya, tidak hanya menguntungkan kita yang Tuna Netra tapi juga anak-anak dan lansia. Jadi, menurut kami suatu transisi harus mempertimbangkan masukan dari orang-orang rentan,” jelas Rina.
Tidak hanya risiko kecelakaan tetapi juga ada potensi lain yang membahayakan, salah satunya kekerasan berbasis gender.
Baca Juga: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema
Suara adalah salah satu cara disabilitas netra menavigasikan dirinya agar aman. Tanpa adanya suara, disabilitas netra tidak dapat mendeteksi kendaraan yang mendekat, yang mengancam keselamatan mereka di jalan raya.
Jalan raya sendiri jauh dari kata aman bagi perempuan, terlebih lagi perempuan dengan disabilitas netra. Perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan ganda yakni karena dirinya sebagai perempuan sekaligus karena disabilitas yang ada pada dirinya.
Berdasarkan laporan UNFPA 2023, perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas punya kemungkinan 10 kali lebih besar mengalami kekerasan berbasis gender dibanding perempuan dan anak perempuan tanpa disabilitas. Bahkan Catahu Komnas Perempuan mencatat korban perempuan dengan disabilitas yang menjadi korban kekerasan berjumlah 103 kasus sepanjang 2023.
Keberadaan kendaraan yang senyap menambah kerentanan perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas, karena mereka kesulitan untuk mengetahui kendaraan yang mendekat. Hal ini meningkatkan potensi kecelakaan dan kekerasan berbasis gender yang bisa terjadi di ruang publik.
Perempuan dengan disabilitas memiliki tantangan tersendiri di ruang publik dalam mengakses transportasi umum. Rina menceritakan ia kerap mengalami kekerasan di jalan atau saat di transportasi umum baik secara verbal maupun fisik. Ia menilai pelaku kekerasan melihat perempuan dengan disabilitas netra sebagai sosok inferior yang bisa dimanfaatkan. Di lain sisi, tidak mudah bagi perempuan dengan disabilitas untuk melawan.
“Jadi banyak pertimbangan bagi perempuan disabilitas kalau mau melapor. Melapor juga kemana dia nggak tahu kan arahnya. Jadi narasi di tempat-tempat publik tentang pencegahan kekerasan sangat penting. Berani mengadu buat perempuan disabilitas itu susah. Untuk perempuan biasa saja susah. Kami (perempuan disabilitas) lebih susah lagi,” ungkap Rina.
Partisipasi Bermakna untuk Penyandang Disabilitas
Komunitas disabilitas sudah mempersoalkan aspek suara pada kendaraan listrik sejak lama. Namun pandangan mereka justru diabaikan.
“Pembahasan mengenai zero noise pada kendaraan listrik sebenarnya sudah ada sejak tahun 2007. Terutama oleh komunitas disabilitas netra, seperti World Blind Union”, tutur Rina.
Mereka menyoroti bahwa kendaraan listrik yang hampir tidak bersuara dapat menjadi ancaman serius bagi pejalan kaki. Terutama bagi mereka yang mengandalkan suara kendaraan untuk navigasi, seperti penyandang disabilitas netra.
Namun, alih-alih menjadi pertimbangan utama dalam perancangan kendaraan listrik, isu ini baru mendapat perhatian bertahun-tahun kemudian. Yakni ketika mulai terjadi kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dengan disabilitas.
Baru setelah itu, beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, mulai memberlakukan aturan yang mewajibkan kendaraan listrik memiliki sistem peringatan suara buatan atau Acoustic Vehicle Alert System (AVAS). Sayangnya, implementasi kebijakan ini masih belum ada di Indonesia.
Baca Juga: Kenapa Papan Informasi di Transportasi Umum Penting? Ini Aksesibel dan Inklusif
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 44 Tahun 2020 yang mengatur pengujian tipe fisik kendaraan bermotor dengan motor penggerak listrik. Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah kewajiban bagi kendaraan listrik kategori M (mobil penumpang), N (kendaraan pengangkut barang), dan O (trailer) untuk dilengkapi dengan suara. Gunanya meningkatkan keselamatan pengguna jalan, terutama bagi penyandang disabilitas netra yang mengandalkan suara kendaraan untuk navigasi, seperti dilansir CNN Indonesia. Namun, implementasi ketentuan ini baru diwajibkan mulai tahun 2024.
Penyebab utama keterlambatan ini adalah kurangnya perspektif disabilitas dan inklusi sosial dalam kebijakan transportasi dan inovasi teknologi. Salah satunya karena tidak ada keterlibatan dan partisipasi berarti untuk penyandang disabilitas.
Rina bercerita bahwasanya para pemangku kepentingan sering mengundang dirinya dan juga HWDI ke berbagai forum kebijakan. Namun, menurutnya, keterlibatan ini lebih sering terasa sebagai formalitas daripada sebuah partisipasi yang benar-benar bermakna. Dalam banyak kesempatan, ia dan rekan-rekan penyandang disabilitas hadir hanya untuk memenuhi kuota inklusi, tanpa adanya perhatian serius terhadap isu yang mereka bawa.
Hal serupa disampaikan Kepala Divisi Penelitian dan Advokasi Publish What You Pay, Mouna Wasef. Ia pernah menghadiri sebuah forum tentang transisi energi yang diadakan oleh salah satu kementerian. Di acara itu ia mendapati bahwa pemerintah belum menyadari adanya isu zero noise yang berdampak pada orang dengan disabilitas netra.
Baca Juga: Kamila Andini: Film adalah Subjek yang Menggerakkan Hidup Saya Sebagai Perempuan
Rina menambahkan perempuan dengan disabilitas masih banyak yang belum memahami konsep transisi energi, apalagi dampaknya terhadap kehidupan mereka. Minimnya sosialisasi dan edukasi mengenai kebijakan energi berkelanjutan membuat mereka sulit terlibat dalam diskusi yang lebih luas. Padahal mereka adalah kelompok yang turut merasakan dampaknya.
“Teman-teman itu istilah transisi energi aja masih belum mengerti. Istilah, kalau kita ngomong masalah perubahan iklim aja, mereka masih mikirnya bencana aja. Jadi memang CIE, Communication Information and Education untuk penyandang disabilitas itu nggak bisa disamakan modelnya dengan yang lain. Harus dimodifikasi biar bisa sesuai dengan kita,” ungkap Rina.
Dengan kondisi seperti ini, transisi energi yang diharapkan membawa keadilan justru berisiko menciptakan ketimpangan baru. Jika perancangan kebijakan masih tidak melibatkan mereka yang terdampak langsung, bagaimana mungkin penyandang disabilitas bisa ikut beradaptasi, apalagi berpartisipasi dalam perubahan ini?
Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas di Perkotaan
Selain kendaraan listrik, infrastruktur transportasi di perkotaan juga belum ramah untuk penyandang disabilitas dari semua ragam. Rasanya masih terlalu jauh saat membicarakan partisipasi yang berarti tanpa memberikan akses dasar dalam pemberian aksesibilitas di kota.
Berdasarkan riset ITDP bersama GAUN pada 2021, lebih dari 50% dari 53 penyandang disabilitas menyatakan transportasi umum, trotoar dan jembatan penyeberangan di Jakarta belum inklusif. Infrastruktur perkotaan di Jakarta masih belum mendukung mobilitas orang dengan disabilitas.
Rina mengaku kesulitan saat ia harus mengakses transportasi umum bahkan bersama dengan bantuan pendamping. Bagi Rina, transportasi publik masih jauh dari kata aksesibel bagi penyandang disabilitas netra. Bahkan saat pergi berdua dengan pendamping, ia masih sering kebingungan mencari akses masuk atau memahami arah pergerakan di dalam stasiun.
“Aku gak kebayang kalau sendirian,” ujarnya.
Baca Juga: Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Janji Manis Inklusivitas, Masih Bolong Sana- Sini (2)
Salah satu masalah terbesar adalah guiding block atau ubin pemandu yang seharusnya membantu disabilitas netra menavigasi ruang publik. Sayangnya, banyak guiding block di stasiun dipasang asal-asalan, bahkan lebih terlihat seperti ornamen dekoratif daripada alat bantu navigasi.
“Seharusnya guiding block itu memberi petunjuk jelas, tapi malah dibuat belok-belok tanpa arah yang benar,” keluhnya.
Hal ini menunjukkan orang yang memasang tidak memahami fungsinya. Akibatnya penyandang disabilitas makin kesulitan menggunakan transportasi publik meskipun sudah berbasis energi terbarukan.
Rina juga melihat berjalan di trotoar Jakarta masih menjadi tantangan besar. Sebagai disabilitas netra, ia sering kali harus menghadapi trotoar yang tidak rata, berlubang atau bahkan mendadak terputus tanpa peringatan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir Jakarta mulai berbenah dengan membangun jalur pedestrian yang lebih lebar dan guiding block bagi disabilitas netra, kualitas dan perawatannya masih jauh dari ideal.
Rina sering mendengar cerita dari teman-temannya yang terjatuh karena lubang di trotoar atau tersandung material galian yang dibiarkan begitu saja tanpa pengaman.
“Kalau di Jepang, pagi lantai rusak, sore sudah diperbaiki. Di sini, kita bahkan tidak tahu kapan akan dibenahi,” ujarnya.
Ia menekankan infrastruktur yang buruk bukan hanya menyulitkan disabilitas netra, tetapi juga berbahaya bagi pengguna kursi roda dan pejalan kaki.
Lebih dari itu, bagi penyandang disabilitas yang mengalami kecelakaan akibat buruknya infrastruktur, hampir tidak ada mekanisme yang memungkinkan mereka untuk menuntut pertanggungjawaban hingga tuntas. Inilah yang membuat Jakarta, meskipun tampak lebih maju pembangunannya, masih belum benar-benar ramah bagi semua warganya, terutama bagi kelompok disabilitas.
Pentingnya Akomodasi yang Layak dan Extra Cost of Disability
Dalam transisi energi yang berkeadilan, akomodasi yang layak dan extra cost of disability juga menjadi faktor penting yang sering kali terabaikan yang tidak mempertimbangkan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.
Orang dengan disabilitas mempunyai extra cost of disability dalam kehidupan sehari-hari mereka. Merujuk Yayasan Mitra Netra, extra cost of disability adalah biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh penyandang disabilitas dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dialami oleh orang nondisabilitas. Seperti kebutuhan pendamping, alat bantu dan akomodasi yang layak lainnya.
Rina mengaku layanan publik sering mempersulit dirinya dan penyandang disabilitas lain dalam mengakses layanan salah satunya mengisi e-money atau membuat rekening bank.
“Belum kalau dia (penyandang disabilitas) mau cari pendamping juga susah. Pendamping juga kadang-kadang sedikit, banyaknya pasti ada juga lagi, entah minumnya, transportnya, entah apanya gitu ya, yang kita keluarin. Itulah yang dinamakan extra cost of disability.”
Baca Juga: Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Sopir Ngebut Tak Sesuai Trayek, Penumpang Takut Negur(3)
Rina menyebut extra cost disability bisa dibilang merupakan pengeluaran 4x lipat dari orang non-disabilitas terutama dalam keadaan khusus, seperti sakit, menyusuri tempat baru, dan keadaan di luar rutinitas orang dengan disabilitas tersebut.
Penggunaan kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai solusi transportasi ramah lingkungan, sayangnya, masih belum mempertimbangkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Dari minimnya desain kendaraan yang inklusif hingga transportasi publik berbasis listrik yang sulit diakses, transisi ini justru semakin memperberat biaya yang harus mereka tanggung.
“Harus ada diskresi, nggak bisa disamaratakan. Tapi pada saat itu pengurangan cost itu, pengurangan energi untuk penyelamatan bumi, dengan memperhitungkan orang-orang yang rentan, itu baru namanya adil,” jelas Rina.
Tidak Etisnya Pengolahan Baterai Kendaraan Listrik
Lebih jauh, produksi kendaraan listrik juga tidak lepas dari pengelolaan sumber daya yang tidak etis. Khususnya dalam penambangan nikel yang menjadi bahan utama bagi baterai kendaraan listrik.
Kepala Divisi Penelitian dan Advokasi Publish What You Pay, Mouna Wasef menjelaskan produksi nikel benar merupakan energi terbarukan. Namun belum bisa dikatakan transisi yang hijau atau berkelanjutan walaupun kebijakan pemerintah mencerminkan ambisi besar ini.
Melalui larangan ekspor bijih nikel sejak 2020, Indonesia memaksa industri global untuk berinvestasi dalam hilirisasi nikel dan membangun pabrik pengolahan (smelter) di dalam negeri. Tujuannya adalah agar Indonesia tidak sekadar mengekspor bahan mentah, tetapi juga mengembangkan industri baterai EV yang bernilai tambah tinggi.
Kebijakan ini juga sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadi hub/penghubung manufaktur kendaraan listrik di Asia Tenggara, menarik investasi dari perusahaan global seperti Tesla, LG, dan CATL (Contemporary Amperex Technology Co. Limited) yang berencana membangun fasilitas produksi di Indonesia.
Berdasarkan laporan Climate Rights International, Indonesia memasok 48% kebutuhan nikel global pada tahun 2022. Permintaan nikel juga diperkirakan meningkat 60% pada tahun 2040 karena pertumbuhan industri kendaraan listrik.
Baca Juga: Seri Ketiga Bloody Nickel, “Republik Rente”: Menyingkap Aktor Pemburu Rente Hilirisasi Nikel
Dalam laporan ini, Industri nikel di Indonesia, khususnya Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, telah memberikan dampak serius bagi lingkungan dan masyarakat lokal. Bagi nelayan seperti Max Sigoro, polusi air laut akibat limbah industri dan air panas dari PLTU telah merusak ekosistem perairan, menyebabkan hasil tangkapan ikan anjlok dan memaksa mereka melaut lebih jauh dengan risiko dan biaya yang lebih besar.
Tidak hanya itu, masyarakat adat dan petani juga mengalami perampasan lahan tanpa kompensasi yang layak. Mereka juga banyak yang menghadapi intimidasi dari aparat saat menolak perampasan ruang hidup mereka.
Selain itu, deforestasi besar-besaran telah menghilangkan lebih dari 5.331 hektar hutan tropis. Sementara emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang menopang industri ini mencapai 3,78 gigawatt per tahun, menjadikan konsumsi batu bara di kawasan ini lebih besar dibandingkan Spanyol atau Brasil.
Alih-alih menciptakan sistem transportasi yang inklusif dan adil, kendaraan listrik justru berpotensi memperkuat ketimpangan sosial jika proses produksinya mengabaikan prinsip keberlanjutan dan hak asasi manusia. Jika transisi energi benar-benar ingin disebut berkeadilan, maka aksesibilitas dan etika produksi harus menjadi bagian dari perhitungannya, bukan hanya sekadar pengurangan emisi.
Bahkan, menurut Mouna Wasef dampak industri nikel tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk kondisi perempuan, terutama di pedesaan berdasarkan penelitian PWYP di Morowali, Sulawesi Tengah.
Di Morowali Utara, industri nikel berkembang pesat, menarik ribuan pekerja, tetapi hanya sedikit dari mereka adalah perempuan. Data dari laporan PWYP menunjukkan, dari 22.187 perempuan pekerja, hanya 1.090 atau 4,9% yang bekerja di pertambangan. Itupun, kebanyakan ditempatkan di bagian administrasi, bukan di lapangan. Sementara itu, perempuan yang bergantung pada pertanian dan perikanan menghadapi tantangan berat akibat ekspansi tambang yang menggerus lahan mereka. Lumpur hasil tambang tidak hanya merusak ekosistem air tetapi juga menutupi ladang, menyebabkan gagal panen.
Baca Juga: Tenaga Diperas, Penyakit Akibat Kerja Diabaikan: Derita Buruh Industri Nikel di Morowali
Tidak hanya itu, dampak nyata lainnya adalah krisis air bersih, yang sangat berpengaruh pada perempuan karena mereka bertanggung jawab atas kebutuhan air dalam rumah tangga. “Perempuan di desa pasti mencari sumber air untuk masak dan kebutuhan lainnya. Tapi karena air sudah tercemar, diminum oleh ibu hamil, banyak kasus stunting di desa itu,” jelas Mouna.
Selain itu, perampasan lahan tanpa kompensasi yang adil juga memperburuk kondisi ekonomi rumah tangga, yang sering kali berujung pada peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
“Banyak kasus tanah diserobot paksa, tidak dibayar ganti ruginya, atau nilainya sangat rendah,” ungkapnya.
Kondisi ini semakin memperparah ketimpangan gender dalam rumah tangga, di mana perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap kekerasan ekonomi dan domestik. “Kita tahu dalam rumah tangga, posisi perempuan masih subordinal, jadi sering kali jadi korban,” tambahnya.
Ironisnya, perempuan yang paling terdampak justru minim dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam laporan PWYP, sebanyak 90% perempuan adat tidak pernah diajak berbicara dalam proses pembangunan yang berlangsung di sekitar mereka. Program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pun tidak transparan, hanya diberikan Rp60 juta per tahun ke desa, tanpa kejelasan mekanisme dan tanpa melibatkan perempuan dalam penggunaannya.
Di antara kelompok perempuan yang paling rentan, perempuan penyandang disabilitas menghadapi tantangan berlapis. Mereka tidak hanya kehilangan akses terhadap sumber daya alam, tetapi juga mengalami keterbatasan dalam mobilitas dan partisipasi ekonomi. Tidak ada data resmi mengenai berapa banyak perempuan disabilitas yang terdampak tambang, apakah mereka memiliki kesempatan kerja, atau justru semakin tersisih.
Inisiatif Perempuan dengan Disabilitas
Di tengah pergeseran menuju energi bersih dan transportasi berkelanjutan, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) terus berjuang agar penyandang disabilitas, khususnya perempuan, tidak tertinggal dalam perubahan ini. Sayangnya, banyak dari mereka masih belum memahami bahwa transisi energi juga berdampak pada kehidupan mereka, mulai dari aksesibilitas kendaraan listrik hingga kebijakan transportasi umum berbasis energi terbarukan.
Ketika mereka tidak menyadari hak mereka dalam perubahan ini, mereka pun semakin sulit untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang sebenarnya juga menyangkut mereka. HWDI secara aktif melakukan pelatihan dan lobi ke berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya untuk meningkatkan pemahaman penyandang disabilitas, tetapi juga untuk mendorong sensitivitas terhadap kebutuhan mereka dalam perancangan kebijakan transportasi dan energi bersih. Meskipun ada upaya untuk memberikan ruang partisipasi bagi perempuan dengan disabilitas, masih banyak hambatan yang mereka hadapi.
“Edukasi yang tidak merata membuat banyak teman-teman takut untuk berbicara, jadi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bersuara,” ujar Rina. Akibatnya, suara perempuan disabilitas dalam forum-forum kebijakan sering kali tidak terdengar, meskipun mereka adalah kelompok yang paling terdampak.
Baca Juga: Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam
Saat ini upaya HWDI adalah membuka diskusi dan membuat narasi khususnya ke stakeholder, tentang bagaimana penyandang disabilitas bisa menjadi aktor, bukan hanya objek dari perubahan ini.
“Transisi energi itu bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi juga perubahan pola pikir,” ujar Rina. Sayangnya, hingga kini belum ada mekanisme konkret yang memastikan penyandang disabilitas tetap dapat memiliki kendaraan dengan standar polusi rendah atau mendapatkan dukungan dalam menghadapi dampak transisi energi. “Dengan dinaikkannya harga bensin saja, teman-teman disabilitas sudah kesulitan. Tapi tidak pernah ada subsidi bahan bakar khusus untuk mereka,” tambahnya.
Bahkan, alih-alih menjadi bagian dari solusi, penyandang disabilitas justru masih sering diposisikan sebagai “tamu” dalam forum-forum kebijakan. “Masalahnya, kita selalu jadi proyek. Jadi tamu aja, yang penting datang,” ujar HWDI dengan nada kritis.
Padahal, transisi energi yang berkeadilan bukan hanya tentang memperhitungkan kelompok rentan sebagai target, tetapi juga mengakui mereka sebagai aktor yang dapat memberikan masukan bagi pembangunan yang adil. Jika transisi energi benar-benar ingin inklusif, maka pemerintah harus mulai melihat penyandang disabilitas sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar undangan dalam rapat-rapat kebijakan.
Dari Pendekatan Amal ke Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia
Selama ini, penyandang disabilitas masih sering dipandang melalui pendekatan berbasis amal (charity-based approach), di mana mereka dianggap sebagai kelompok yang membutuhkan belas kasihan dan bantuan semata. Padahal, pendekatan ini justru menghambat mereka untuk mendapatkan hak yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk transportasi dan akses energi.
HWDI dan berbagai organisasi disabilitas lainnya terus mendorong pergeseran ke pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (human rights-based approach), di mana penyandang disabilitas tidak hanya dilihat sebagai penerima manfaat, tetapi juga pemangku kepentingan yang memiliki hak yang sama dalam menentukan kebijakan. Termasuk dalam hal transportasi yang ramah disabilitas, kebijakan kendaraan listrik yang inklusif, serta akses terhadap infrastruktur yang mendukung mobilitas mereka.
Tanpa keterlibatan perempuan disabilitas dalam pengambilan keputusan, transisi energi dan transportasi inklusif hanya akan menjadi slogan tanpa realisasi nyata. Perubahan tidak cukup hanya datang dari regulasi yang ada, tetapi juga dari kesadaran kolektif bahwa disabilitas bukanlah masalah individu yang butuh belas kasihan, melainkan bagian dari keberagaman masyarakat yang harus diperhitungkan dalam setiap kebijakan yang dibuat.