Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.
Selama ini kita banyak melihat perempuan yang diberikan label sebagai perempuan baik versus perempuan buruk.
Lihat saja, misalnya ketika ngomongin soal pengasuhan anak dan peran sebagai ibu, wacana yang berkembang di publik sering kali berujung pada dikotomi atas peran ibu.
Yang berkembang selama ini, ada terminologi ibu yang baik vs ibu yang buruk, ibu rumah tangga vs ibu pekerja. Lalu ibu ASI vs ibu sufor, ibu pervaginam vs ibu seksio sesarea, dan seterusnya. Kalau mau dilanjutkan, daftarnya bisa panjang dan nggak ada habisnya.
Contohnya di media sosial beberapa waktu lalu, beredar meme tentang dua orang perempuan yang tengah hamil. Perempuan yang satu tampak memegang ponsel dan janin dalam kandungannya juga digambarkan memegang ponsel. Sedang perempuan yang lain terlihat memegang buku, begitu juga dengan janin dalam kandungannya. Keterangan meme tersebut berbunyi, “Ajari anakmu sejak dini.”
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Male Gaze? Objektifikasi Perempuan di Media untuk Penuhi Hasrat Laki-Laki
Meme tersebut juga menampilkan sosok kedua perempuan secara kontradiktif. Perempuan yang memegang ponsel mengenakan baju tanpa lengan dengan rambut tergerai. Sedang perempuan yang memegang buku memakai jilbab panjang dan cadar.
Dikotomi semacam ini jamak kita temui. Sebuah upaya mereproduksi stereotipe patriarki tentang peran ibu. Tak jarang konten seperti ini memantik pro kontra dan perdebatan panjang selama beberapa hari antar sesama warganet.
Sering kali meme sejenis muncul kembali di momen-momen tertentu atau ketika ada peristiwa yang bisa dihubungkan dengan isu tersebut. Biasanya perdebatan serupa kembali terjadi sehingga seakan-akan menjadi perseteruan abadi yang membelah perempuan dalam dua kubu.
Labelisasi dan Pemikiran Biner Patriarki
Pelabelan perempuan dalam dua kutub yang berseberangan seperti dipaparkan di atas berakar pada gagasan oposisi biner. Sebuah konsep penting dalam aliran pemikiran strukturalisme. Oposisi biner adalah sepasang konsep terkait yang maknanya saling berlawanan.
Setiap pasangan gagasan hanya dapat benar-benar dipahami dalam hubungannya satu sama lain. Konsep “terang” misalnya, kata ini sendiri tidak cukup bermakna karena kita perlu memahami kebalikannya, yakni “gelap”, agar kata tersebut punya makna yang utuh.
Mengacu pada Toril Moi (1985), penulis cum filsuf Hélène Cixous menguraikan analisisnya tentang pemikiran biner patriarki. Ia mengajukan pertanyaan, “dimana perempuan?” dengan menyusun daftar oposisi biner berikut:
Aktivitas/Kepasifan
Matahari/Bulan
Budaya/Alam
Siang/Malam
Ayah/Ibu
Nalar/Emosi
Dapat dimengerti/Mudah tersinggung
Logos/Pathos
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya
Daftar oposisi biner ini sama halnya dengan oposisi biner yang mendasar, yakni laki-laki/perempuan, sangat tertanam dalam sistem nilai patriarki. Setiap oposisi dapat dianalisis sebagai sebuah hierarki dengan sisi “feminin” selalu dipandang sebagai yang negatif dan tak berdaya. Dalam hal ini kepasifan, bulan, alam, dst, ada dalam tingkatan hierarki di bawah dan mewakili aspek feminin.
Bagi Cixous, yang meminjam gagasan Jacques Derrida, filsafat dan pemikiran sastra Barat selalu terjebak dalam rangkaian oposisi biner hierarkis yang tidak ada habisnya. Dan pada akhirnya selalu kembali ke “pasangan” fundamental laki-laki/perempuan.
Alam/Sejarah
Alam/Seni
Alam/Pikiran
Gairah/Aksi
Contoh ini menunjukkan bahwa tidak jadi masalah “pasangan” konsepnya seperti apa. Karena pada dasarnya paradigma yang mendasari adalah pertentangan tersembunyi antara laki-laki/perempuan dengan penilaian positif/negatif yang tak terhindarkan.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Surrogate Mother atau Ibu Pengganti
Cixous kemudian menemukan kematian yang bekerja dalam pemikiran semacam ini. Menurutnya agar salah satu istilah punya makna, maka istilah yang lain harus dihancurkan. “Pasangan” ini tidak bisa dibiarkan utuh: ia menjadi sebuah medan perang yang di sana perjuangan untuk menandakan supremasi selalu terulang kembali.
Pada akhirnya, kemenangan disamakan dengan aktivitas dan kekalahan dengan kepasifan. Dalam sistem patriarki, laki-laki selalu menjadi pemenang. Cixous mengkritik penyamaan feminitas dengan kepasifan dan kematian karena tidak memberikan ruang positif bagi perempuan, “Perempuan itu pasif atau dia tidak ada.”
Karena itu keseluruhan proyek teoretis Cixous merupakan upaya untuk menghapus ideologi logosentrisme. Untuk menyatakan perempuan sebagai sumber kehidupan, kekuatan dan energi. Dan menyambut datangnya bahasa baru yang feminin yang tak henti-hentinya menumbangkan skema biner patriarki. Dalam skema ini logosentrisme bersatu dengan phallosentrisme untuk menindas dan membungkam perempuan.
Cixous merujuk Derrida yang memberi label arus utama pemikiran Barat sebagai logosentris. Ini lantaran konsistensinya mengistimewakan Logos, kebenaran transendental sebagai kehadiran metafisik.
Phallosentrisme menunjukkan suatu sistem yang mengistimewakan penis sebagai simbol atau sumber kekuasaan. Kombinasi antara logosentrisme dan phallosentrisme sering disebut phallogosentrisme.
Pengabaian atas Pengalaman Para Ibu
Kembali pada kontradiksi terkait peran ibu, subjek yang dipertentangkan dalam konteks ini memang sama-sama perempuan. Namun logika yang mendasarinya—sebagaimana diuraikan Cixous—berasal dari pertentangan tersembunyi antara laki-laki/perempuan.
Konsep ibu yang baik dan ibu yang buruk didasarkan pada ukuran, standar dan nilai laki-laki. Baik dan buruk di sini dilihat menurut sudut pandang laki-laki atau dalam kerangka ideal menurut masyarakat patriarki.
Jadi ibu yang baik adalah yang sesuai dengan nilai dan ukuran laki-laki. Sedang ibu yang buruk merupakan deviasi dari standar laki-laki.
Ibu yang merawat dan mengasuh sendiri anaknya dipandang lebih baik karena dengan begitu dia menjalankan nilai-nilai yang dipegang masyarakat patriarki. Sementara ibu yang bekerja—yang pengasuhan anaknya dilakukan orang lain—dipandang tidak sempurna karena mengabaikan hal yang disebut masyarakat sebagai kewajiban seorang ibu.
Pertentangan ini diperburuk dengan adanya label negatif dan stigma terhadap para ibu yang dianggap tidak sesuai dengan perannya. Ibu yang memberi susu formula pada bayinya biasanya akan mendapat tudingan mementingkan diri sendiri, malas, egois dan lain sebagainya. Begitu juga dengan ibu yang melahirkan lewat bedah sesar. Tuduhan serupa akan diarahkan pada mereka. Atau pada situasi-situasi lain yang serupa.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Femisida? Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian
Stigma tersebut kerap membuat ibu yang tidak mampu menyusui atau yang tidak bisa melahirkan secara pervaginam jadi merasa bersalah. Bahkan membuat mereka merasa gagal menjadi ibu. Padahal ada banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu memberi susu formula pada bayinya atau menjalani operasi caesar saat bersalin.
Situasi seperti ini mengabaikan kompleksitas persoalan yang dihadapi para ibu. Alih-alih mendorong lingkungan atau ekosistem yang ramah bagi para ibu, pertentangan semacam ini justru mengaburkan permasalahan riil yang dihadapi para ibu.
Ibu yang baik sering kali digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban, altruistik, penuh kasih, dan seterusnya. Gambaran ideal semacam ini justru merugikan perempuan karena menciptakan citra yang mustahil.
Idealisasi semacam ini mengabaikan realitas yang plural dan beragam dari sosok perempuan sebagai ibu. Karena pada dasarnya perempuan bukanlah identitas yang tunggal. Ada berlapis identitas yang melekat pada diri seorang perempuan.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Personal is Political? Betapa Politisnya Pilihan Perempuan
Kita perlu memahami perempuan atau kelompok perempuan—dalam hal ini ibu—dengan kompleksitas mereka secara lebih utuh. Apa suku atau rasnya, latar belakang sosial ekonominya, kondisi tubuhnya, usianya, tempat tinggal atau asalnya, jumlah uang di dompetnya, dll.
Fakta atas hal-hal tersebut akan memberikan sebagian penjelasan atas status subordinat dan situasi ketertindasan atau diskriminasi yang dialami perempuan.
Menjadi Ibu yang Tak Patuh
Sorotan terhadap diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan akibat konstruksi masyarakat patriarki atas peran ibu disuarakan salah satunya oleh Esther Vivas. Seorang jurnalis sekaligus sosiolog Spanyol yang menggagas komunitas Madres desobedientes, ibu-ibu yang tidak patuh.
Berawal dari menerbitkan buku Mamá desobediente. Una mirada feminista a la maternidad (Ibu yang Tidak Patuh: Perspektif Feminis tentang Peran sebagai Ibu) pada 2019, Vivas mempromosikan komunitas Madres Desobedientes. Saat ini anggota komunitasnya berjumlah lebih dari tujuh ribu perempuan dari seluruh dunia.
Dalam wawancara dengan sejumlah media Vivas menjelaskan bukunya merupakan refleksi atas peran sebagai ibu dari sudut pandang feminis dan ekologi. Dengan menyoroti kekerasan dan diskriminasi yang dialami sebagai ibu.
Vivas mengkritik masyarakat patriarki yang mengecilkan dan memandang rendah peran ibu dalam pengasuhan dan perawatan. Di saat yang sama masyarakat patriarki memaksakan model keibuan yang ideal.
Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Pandangan Feminisme Terhadap Aborsi Aman Bagi Korban Perkosaan?
Menurutnya masyarakat patriarki di mana kita hidup mereduksi sosok perempuan menjadi sosok ibu, dan terutama menjadi model ibu tertentu.
Karena itu bagi Vivas penting untuk mengeklaim perspektif yang berasal dari pengalaman nyata para ibu. Ini bertujuan membuka pintu perlawanan dan mewaspadai konflik yang berkembang dalam pengalaman sebagai ibu. Perspektif ini juga penting untuk mendamaikan perempuan dengan makna sebenarnya menjadi seorang ibu, yang merasa lelah dan tak sanggup lagi menjalaninya.
Vivas juga menekankan pentingnya menyuarakan bahwa peran sebagai ibu (motherhood) adalah isu feminis. Karena itu dari sudut pandang feminisme penting untuk mengeklaim peran keibuan yang bertentangan dengan peran keibuan patriarki yang dibebankan pada perempuan. Ini dimaksudkan untuk mengakhiri tuntutan menjadi seorang ibu dan menjadi model ibu tertentu yang tak punya kehidupannya sendiri.
Bagi Vivas menjadi ibu harus melibatkan kemampuan untuk mengambil keputusan atas tubuhnya, kehamilannya, persalinannya, pemberian asi, dan pengasuhan anak. Ia juga menegaskan peran sebagai ibu bukan hanya tanggung jawab ibu, melainkan juga pasangan, jika ada, sekaligus tanggung jawab kolektif.
Pengasuhan/Perawatan Kolektif
Sampai di sini kita bisa melihat bahwa perawatan dan pengasuhan adalah kerja-kerja yang muskil dilakukan satu orang/pihak saja. Seperti dipaparkan Esther Vivas di atas. Pendapat senada disampaikan Veronica Gago, akademisi sekaligus aktivis Argentina, yang juga anggota kolektif/gerakan Ni Una Menos (Tidak Berkurang Satu Orang pun).
Gago berpendapat tidak ada perempuan yang bisa melakukan pengasuhan seorang diri. Ini hanya akan membuat siapapun yang melakukannya bisa menjadi gila. Pasalnya ada tekanan masyarakat agar perempuan menjadi ibu yang rela berkorban. Sementara keberadaan fasilitas umum penitipan anak minim dan kurang layak. Di sisi lain terjadi perubahan struktur keluarga secara radikal.
Karena itu menurut Gago, gerakan feminis perlu melihat peran sebagai ibu (motherhood) dari perspektif komunitas dan saling ketergantungan. Ini lantaran solusi terhadap pengasuhan anak tidak dapat diselesaikan secara personal atau dengan mengandalkan uang.
Artinya perlu ada solusi kolektif. Alih-alih membiarkan perempuan berjibaku dengan urusan pengasuhan anak seorang diri di rumah mereka masing-masing. Atau dengan membayar perempuan lain untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak dapat diselesaikannya.
Merujuk pada Vivas, perlu langkah “de-individualisasi peran sebagai ibu”. Tanggung jawab atas pengasuhan anak yang selama ini hanya dipikul perempuan harus dibongkar. Pengasuhan anak perlu dilakukan secara kolektif dan laki-laki juga perlu lebih terlibat, ikut serta memikul tanggung jawab pengasuhan anak.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Misogini Atau Kebencian terhadap Perempuan
Meskipun secara umum bisa dibilang sudah ada sejumlah perubahan dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan, tapi perempuan masih tetap lebih banyak berperan. Di Indonesia misalnya masih ada pandangan bias yang menganggap pengasuhan lebih cocok dilakukan perempuan karena sifat-sifat yang dilekatkan pada perempuan.
Upaya melibatkan laki-laki dalam pengasuhan dan perawatan di sejumlah negara dilakukan dengan menerapkan cuti ayah. Yakni hak cuti yang dapat diambil pekerja laki-laki ketika istrinya melahirkan.
Indonesia juga menerapkan kebijakan serupa. Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disahkan Selasa (4/6/24) lalu mengatur cuti pendampingan istri.
Terkait hal ini, feminis Silvia Federici berpendapat tanggung jawab bersama dalam pengasuhan tidak dapat dijamin hanya dengan undang-undang. Ini terjadi bahkan di negara-negara Nordik sekalipun. Dengan kata lain pendekatan hukum semata tidaklah cukup, harus ada perubahan atas struktur ekonomi masyarakat.
Federici menjelaskan laki-laki dan perempuan tidak setara dalam hal kehamilan. Ada yang bisa hamil dan menyusui, ada yang tidak. Menurutnya feminisme tidak boleh menolak fakta tersebut, tetapi menghargai kerja yang dilakukan perempuan dan yang disembunyikan patriarki kapitalis.
Karena itu menurutnya feminisme harus anti kapitalis, karena masyarakat patriarki kapitalis tidak berkelanjutan, ia hanya mampu mempertahankan diri lewat kekerasan dan penjarahan.