Liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme data Konde.co
Apakah kamu termasuk yang merasa situasi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, makin gak baik-baik saja?
Sejak awal tahun ini, kita memang disuguhkan oleh banyak kabar ‘tragis’ situasi tenaga kerja. Mulai dari maraknya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ricuh sesama angkatan kerja saat job fair, hingga realitas sehari-hari yang kita temui bahwa banyak anak muda yang kini bekerja dengan situasi rentan di pusaran gig economy.
Tak sedikit dari mereka adalah angkatan kerja muda, yang digadang-gadang sebagai ‘Generasi Emas’ di masa depan itu, justru kini diselimuti cemas. Surplus angkatan kerja tak sebanding dengan kesempatan kerja yang tersedia. Sementara, aturan tenaga kerja dan sistem kerja saat ini tak berpihak pada kesejahteraan dan jaminan perlindungan bagi mereka.
Potret suram ketenagakerjaan ini memang bukan sekadar omon-omon. Berdasarkan pemetaan Konde.co melalui data dan reportase, memvalidasi ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran sejak kampanye lalu menggaungkan janji besar dengan menciptakan 19 juta lapangan kerja baru. Berturut dengan janji tersebut, rezim membumbuinya dengan retorika pembangunan yang mengagungkan revolusi industri hijau, digitalisasi, otomatisasi, dan penguatan daya saing industri manufaktur nasional.
Narasi bonus demografi ini, berdampingan dengan narasi generasi emas yang dimasak sebagai tuas optimisme untuk mendongkrak produktivitas nasional, memperluas basis industri, sekaligus membuka lapangan kerja bagi jutaan warga usia produktif.
Presiden Prabowo bahkan sesumbar, bila semua berjalan sesuai skenario, Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada 2045.
Janji pertumbuhan lapangan kerja baru memang secara politis menjual. Namun, 2025 kita nyatanya memasuki masa krisis ketenagakerjaan struktural, mayoritas lapangan kerja baru kini justru bersifat fleksibel, informal, rentan, berupah rendah, bahkan tak jarang tanpa kontrak kerja formal.
Baca Juga: Ini Realita Pekerja Gig Ekonomi, Nasib Tak Pasti dan Minim Perlindungan
Sejak diterbitkannya Surat Edaran (SE) Menaker pada akhir Mei 2025, perhatian publik langsung tertuju pada larangan diskriminasi usia, status pernikahan, penampilan fisik, dan aspek personal lainnya dalam iklan lowongan kerja.
Edaran ini dinilai belum efektif karena sifatnya bersifat imbauan, bukan regulasi mengikat. Mereka mendesak pembentukan aturan lebih kuat untuk memberi perlindungan hukum konkret kepada tenaga kerja . Tanpa sanksi nyata dan mekanisme pengawasan, perusahaan cenderung hanya mengganti bahasa di lowongan tanpa mengubah praktik rekrutmen di balik layar.
Leigh McKiernon, konsultan dari StratEx, menggambarkan SE ini sebagai sinyal simbolis: “Removing age limits from job ads is a start, but real progress demands confronting the systems that quietly preserve bias behind the scenes,” tulisnya dalam kolom di StratEx.
Ia mengingatkan bahwa diskriminasi usia lebih banyak terjadi dalam proses seleksi internal, misalnya penyaringan CV berdasarkan tahun lahir atau pertanyaan tidak langsung dalam wawancara yang tidak tersentuh oleh SE ini.
Secara luas, diskriminasi di lowongan kerja hanya satu dari segudang masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Oleh sebab itu, penting menelaah secara kritis pemetaan kondisi ketenagakerjaan Indonesia 2025, tak sekadar melihat angka pengangguran yang diklaim menurun lantas berpikir baik-baik saja, tapi turut memahami struktur pekerjaan yang mendasarinya. Apakah Indonesia tengah menikmati bonus demografi atau justru sedang berjalan menuju krisis demografi dengan generasi pekerja muda yang kian rentan?
Pemetaan Isu Ketenagakerjaan Awal Rezim Prabowo
Jeratan Prekariat Muda
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 153,05 juta orang, naik signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pun dari 153 juta angkatan kerja itu, sebanyak 7,28 juta orang tercatat sebagai penganggur. Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka (TPT) resmi turun menjadi 4,76%. Pemerintah kerap menggunakan penurunan angka pengangguran ini sebagai indikator keberhasilan. Namun penurunan angka pengangguran terbuka justru menyembunyikan persoalan yang buram, yakni transformasi pekerjaan ke arah fleksibilitas yang merugikan.
Penurunan pengangguran justru dibarengi lonjakan pekerja setengah menganggur atau underemployed. Tercatat 11,67 juta orang bekerja paruh waktu secara involunter. Artinya, mereka sesungguhnya ingin bekerja penuh waktu, tetapi tidak ada lapangan kerja yang mampu menyediakan jam kerja optimal. Hal ini memperlihatkan bahwa di balik penurunan angka pengangguran, Indonesia sesungguhnya sedang mengalami pergeseran komposisi pekerjaan dari pekerjaan penuh waktu (full-time employment) ke pekerjaan fleksibel, paruh waktu, atau kontrak jangka pendek.
Proporsi pekerja penuh waktu sendiri kini hanya 65,6% dari total pekerja, angka terendah pasca-pandemi. Sebagian besar dari mereka yang bekerja sesungguhnya hidup dalam kondisi rentan, berpenghasilan rendah, dan minim perlindungan sosial. Kelompok pekerja ini juga disebut sebagai kelompok prekariat.
Baca Juga: Di Balik Bisnis Platform dan Gig Economy Anak Muda: Ada Potensi Bubble dan Eksploitasi
Bonus demografi yang digembar-gemborkan selama ini ternyata membawa konsekuensi ganda. Di satu sisi, memang tersedia banyak tenaga kerja produktif. Tetapi di sisi lain, tanpa industrialisasi yang berkualitas dan perencanaan tenaga kerja jangka panjang, bonus ini justru menciptakan surplus pekerja murah yang mudah dieksploitasi oleh pasar tenaga kerja fleksibel.
Salah satu wujud paling mencolok dari fleksibilisasi pasar kerja Indonesia adalah ledakan ekonomi gig berbasis platform digital. Pengemudi ojek daring, kurir logistik, pengemudi pengiriman makanan, hingga freelance konten digital kini memenuhi wajah baru ketenagakerjaan Indonesia. Secara kasat mata, platform digital memang membuka peluang kerja baru.
Melihat relasi kerjanya, mayoritas pekerja gig digital ditempatkan dalam status hukum sebagai “mitra usaha”. Artinya, mereka bukan karyawan formal, tetapi bukan pula pengusaha sepenuhnya. Status yang ambigu ini menguntungkan perusahaan platform karena membebaskan mereka dari kewajiban membayar BPJS, pesangon, jaminan kecelakaan kerja, tunjangan kesehatan, atau hak normatif buruh lainnya.
Bekerja di sektor gig economy sering berarti jam kerja sangat panjang, tanpa cuti, tanpa kepastian pendapatan harian, serta dengan risiko pekerjaan yang cukup tinggi. Pengemudi ojek online, misalnya, bisa bekerja 12-14 jam per hari demi mengejar penghasilan yang juga tidak seberapa, sambil tetap harus menanggung risiko kecelakaan, beban operasional kendaraan, dan tekanan target aplikasi.
Negara hingga hari ini gagal menghadirkan regulasi yang melindungi hak-hak pekerja gig. Hubungan industrial yang berkembang dalam platform digital sepenuhnya bergantung pada kekuasaan algoritma. Pekerja bekerja di bawah logika perhitungan aplikasi yang ditentukan sepihak oleh perusahaan, dengan sistem penilaian kinerja yang sangat opresif.
Baca Juga: “Negara Harus Hadir” Ribuan Ojol Demo Tuntut Kesejahteraan Sampai Hapus Skema Diskriminatif
Dengan sistem kerja seperti ini, platform digital justru memperluas pasar tenaga kerja fleksibel yang rapuh. Alih-alih menyelesaikan pengangguran, ekonomi gig menciptakan zona baru kerja informal berkedok digitalisasi.
Krisis Informalisasi Pekerja
Masalah fleksibilisasi kerja tidak hanya muncul dalam gig economy. Secara keseluruhan, struktur ketenagakerjaan Indonesia memang cenderung didominasi sektor informal. Data BPS menunjukkan, pada 2025, sebanyak 59,4% pekerja Indonesia bekerja di sektor informal. Jika menghitung usaha mikro ultra kecil, angkanya mendekati 97% unit usaha nasional.
Artinya, mayoritas angkatan kerja Indonesia hidup tanpa kontrak kerja formal, tanpa jaminan sosial negara, tanpa jaminan pensiun, dan tanpa perlindungan hukum ketenagakerjaan yang memadai. Ekonomi informal memang menyediakan penghidupan, tetapi ia bukan solusi stabilitas ekonomi jangka panjang.
Struktur ekonomi informal ini menjadi ciri khas ekonomi dunia ketiga yang gagal membangun basis industrialisasi kuat. Ketika negara-negara maju bertransformasi ke sektor industri berteknologi tinggi, Indonesia justru stagnan dalam jebakan ekonomi subsisten: usaha kecil keluarga, buruh informal urban, hingga pedagang mikro yang rapuh menghadapi krisis.
Model industrialisasi Indonesia yang terlalu bergantung pada investasi asing dan tenaga kerja murah membuat ekspansi sektor formal berjalan lambat. Setiap krisis global layaknya pandemi, inflasi energi, fluktuasi harga pangan, dengan mudah memukul jutaan pekerja informal yang nyaris tak memiliki bantalan pengaman sosial.
Hantaman Gelombang PHK di Tengah Bolong-Bolong Jaring Pengaman
Putusan hubungan kerja (PHK) menjadi momok paling nyata bagi kelas pekerja Indonesia sejak awal 2025. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada periode Januari hingga Mei, sekitar 26.455 orang kena PHK. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan data dari APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang memasukan angka 73.992 pekerja kena PHK hingga Maret 2025. Selaras dengan APINDO, Koalisi Serikat Pekerja yang mencatat hingga 70.000 orang terdampak PHK sepanjang awal tahun.
Perbedaan ini mencerminkan bahwa data PHK yang ada merupakan angka “gunung es” sehingga belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem pelaporan resmi pemerintah.
Sementara itu, jumlah klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menunjukkan lonjakan dramatis. Sepanjang Januari–April 2025, lebih dari 52.850 klaim diajukan atau rata-rata hampir 13.210 klaim per bulan, meningkat tajam dari cuma 844 klaim per bulan di 2022 dan 4.816 di 2024. Lonjakan ini memperlihatkan tekanan nyata yang dialami pekerja terdampak PHK, sekaligus menunjang peran penting JKP sebagai jaring pengaman.
Respons Pemerintah paling dekat terkait isu ini adalah penerbitan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2025 yang resmi mengubah skema JKP dengan menaikkan manfaat tunai menjadi 60 % dari upah selama enam bulan, serta memperluas durasi klaim hingga enam bulan setelah kehilangan pekerjaan. Iuran pekerja pun ditetapkan sebesar 0,36% dari upah, dengan sebagian ditanggung APBN, sebagai insentif bagi perusahaan agar lebih mendukung perlindungan sosial pekerja.
Namun demikian, keberlanjutan sistem JKP turut dipertanyakan. PP No 6/2025 dinilai Trade Union Rights Centre (TURC) membatasi akses JKP hanya bagi pekerja PKWT yang resmi terdampak PHK sebelum masa kontrak berakhir, sementara mereka yang kontrak selesai secara wajar tidak berhak atas manfaat ini.
Baca Juga: I Hate Monday: 5 Hal Yang Ancam Perempuan Dalam Perppu Cipta Kerja
Catatan BPJS Watch, menegaskan arah kebijakan ini masih cenderung bias terhadap pekerja formal dan mereka dengan kontrak jangka panjang. Selain itu, masih banyaknya perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja mereka ke BPJS menambah angka pekerja yang tidak terlindungi dalam kasus PHK ini.
Sementara itu, meski dana BPJS Ketenagakerjaan masih terbilang sehat dengan dana kelolaan Rp 801,32 triliun rupiah atau tumbuh 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sistem administrasi yang berbelit dan kebutuhan verifikasi mediasi memperlambat pencairan manfaat. Hal ini justru membuat klaim JKP belum berfungsi secara optimal sebagai perlindungan transisi penghasilan bagi pekerja terdampak PHK massal.
Secara keseluruhan, sistem JKP yang meski sudah mengalami pembaruan substansial, masih menghadapi celah struktural serius. Untuk mewujudkan JKP sebagai jaring pengaman nasional yang inklusif dan adil, perlu ada pelonggaran kriteria akses, simplifikasi prosedur administratif, dan pengawasan lebih ketat terhadap pelaksanaan regulasi.
Upah yang Stagnan, Buruh yang Terjebak Kemiskinan
Krisis ketenagakerjaan semakin pelik karena upah buruh Indonesia stagnan di level rendah. Data CELIOS (2024) memperlihatkan bahwa 84% pekerja Indonesia digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Bahkan rata-rata upah buruh hanya mencapai Rp 3,09 juta per bulan.
Kenaikan upah yang minimal tidak pernah mampu mengejar inflasi biaya hidup. Kebutuhan pokok seperti pangan, transportasi, pendidikan, hingga kesehatan meningkat jauh lebih cepat dibanding pertumbuhan upah riil. Akibatnya, mayoritas pekerja Indonesia hidup dalam jebakan working poor atau bekerja keras namun tetap miskin.
Pelanggaran pembayaran upah minimum pun berlangsung secara masif, terutama di sektor informal, usaha mikro, bahkan perusahaan menengah sekalipun. Dalam kondisi demikian, upah buruh Indonesia praktis dikorbankan sebagai insentif murah bagi investor.
Model pertumbuhan ekonomi berbasis upah murah ini secara sistemik memperluas ketimpangan sosial dan memperkuat kekuasaan modal atas tenaga kerja.
UMKM, Motor Ekonomi yang Ringkih di Tengah Gelombang Disrupsi
Pemerintah selama bertahun-tahun memposisikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai “tulang punggung” perekonomian nasional. Dengan penuh kebanggaan, data yang sering dikutip pejabat menunjukkan bahwa sekitar 97% unit usaha di Indonesia merupakan UMKM, dan mereka menyerap lebih dari 96% tenaga kerja nasional. Narasi ini dibangun seolah-olah UMKM adalah solusi stabilitas sosial dan penopang utama ekonomi rakyat.
Namun, bila ditelisik lebih dalam, UMKM umumnya tidak memiliki akses permodalan besar, bergantung pada tabungan pribadi atau pinjaman informal. Skala usahanya terlalu kecil untuk masuk ke pasar yang lebih kompetitif atau mendapatkan dukungan insentif industri secara penuh.
Di tengah gelombang konsolidasi digital global, UMKM Indonesia justru berpotensi menjadi korban liberalisasi pasar digital tanpa proteksi negara yang memadai. Sebagian besar dari mereka tetap terjebak di pinggiran ekonomi formal, menjadi pemoles pada data statistik pemerintah yang seolah “indah”, namun tetap rentan terhempas dalam pusaran krisis ekonomi global.
Mismatch, Sarjana dan Lulusan SMK Banyak Menganggur
Satu ironi yang paling menyakitkan dalam krisis ketenagakerjaan Indonesia terletak pada ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Fenomena ini kerap disebut sebagai mismatch pendidikan dan keterampilan. Meskipun sistem pendidikan nasional terus mencetak lulusan baru setiap tahun, banyak di antaranya justru gagal masuk ke sektor industri yang relevan.
Populix (2024) menemukan bahwa dari 100 responden, terdapat 41% responden merasa pengalaman kerja jadi kualifikasi yang sering tidak cocok antara pemberi kerja dan pelamar. Keterampilan teknis (33%) dan tingkat pendidikan (32%) juga menjadi sumber ketidakcocokan. Ini terjadi karena banyak pelamar terpaksa melamar pekerjaan yang tak sesuai dengan latar pendidikan atau keahlian mereka. Kualifikasi lain yang sering tidak cocok adalah batas usia (31%), domisili (31%), soft skill (30%), jurusan (26%), keterampilan bahasa (18%), sertifikasi (12%), dan reputasi sekolah (8%).
Ironisnya, SMK yang didesain sebagai ujung tombak penyiapan tenaga kerja siap pakai malah justru menyumbang angka pengangguran terdidik terbesar. Kurikulum SMK banyak yang tidak mengikuti perkembangan teknologi industri terkini. Fasilitas laboratorium praktik yang minim, keterbatasan guru berkualitas, dan lemahnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia industri menjadikan lulusan SMK tidak kompetitif.
Akibat mismatch kronis ini, banyak lulusan muda yang akhirnya kembali terserap ke sektor informal, masuk ke gig economy, atau bahkan menganggur. Ini bukan semata soal pengangguran, tetapi kegagalan sistem pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang relevan dengan kebutuhan ekonomi masa depan.
Ketimpangan Gender dan Wilayah
Struktur ketenagakerjaan Indonesia juga sarat ketimpangan gender. Data BPS 2025 memperlihatkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya 56,7%, jauh tertinggal dari laki-laki yang mencapai 84,3%. Ketimpangan ini bukan sekadar soal kemampuan perempuan, melainkan soal hambatan sistemik yang membatasi perempuan berpartisipasi dalam dunia kerja.
Beban pengasuhan yang nyaris sepenuhnya dibebankan pada perempuan, minimnya fasilitas penitipan anak yang terjangkau, serta norma sosial patriarkis membuat banyak perempuan memilih keluar dari angkatan kerja. Bahkan ketika bekerja, sebagian besar perempuan terjebak pada sektor informal, usaha mikro rumahan, atau pekerjaan bergaji rendah tanpa proteksi sosial.
Selain itu, ketimpangan wilayah memperparah eksklusi ketenagakerjaan. Program industrialisasi, digitalisasi, serta pelatihan vokasi masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara kawasan luar Jawa, terutama Indonesia Timur, nyaris tak tersentuh program upskilling digital skala besar.
Infrastruktur pendidikan, koneksi internet, fasilitas pelatihan, hingga insentif investasi di luar Jawa masih sangat minim. Akibatnya, terjadi kesenjangan digital yang memperlebar jurang produktivitas antara pusat dan pinggiran. Generasi muda di luar Jawa, khususnya perempuan muda, menghadapi beban berlapis: eksklusi akses pendidikan berkualitas, keterbatasan lapangan kerja formal, serta tekanan ekonomi rumah tangga.
Solusi Pemerintah: Resep Lama untuk Penyakit Struktural
Menghadapi kompleksitas ketenagakerjaan ini, pemerintah meluncurkan berbagai program yang diklaim sebagai solusi: mulai dari Omnibus Law Cipta Kerja, Job Fair massal, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), digitalisasi UMKM, hingga program padat karya berbasis insentif pajak.
Ketika Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, narasi resmi pemerintah menekankan pada kecepatan dan kemudahan investasi. Namun, di lapangan, banyak pengamat dan serikat pekerja menyuarakan kekhawatiran mendalam. Mereka melihat regulasi ini sebagai pintu bagi fleksibilitas kerja ekstrem, mulai dari batasan kontrak jangka pendek lenyap, proses PHK diperlonggar, dan pesangon dipangkas drastis. Semua dilakukan demi menarik modal asing, namun dengan biaya sosial yang tinggi.
Secara konkret, menurut KSPI, pasal-pasal dalam Omnibus Law menghapus jaminan pekerja kontrak hingga pensiun, membolehkan outsourcing tanpa batas jenis pekerjaan, dan memperkecil pesangon dari yang sejatinya dapat mencapai 32 kali upah jadi 19 kali (19 bulan dari perusahaan + 6 bulan dari JKP).
Baca Juga: 5 Hal yang Mengancam Perempuan dalam UU Cipta Kerja
Program Job Fair juga dikritik sebab realisasinya yang seakan sebatas ritual. Menurut CELIOS, banyak perusahaan ikut hanya untuk “lengkapi kuota”, sementara lowongan sejati tetap minim dan tak sesuai kualifikasi pelamar.
Di sisi lain, program digitalisasi UMKM saat ini pula tampak gagap merespons perkembangan. Meski ada ambisi besar untuk membawa jutaan UMKM masuk ke platform digital, nyatanya kekurangan modal, teknologi produksi, bahkan dukungan pemasaran membuat produk lokal tetap kalah bersaing dengan barang impor murah.
Patut diperhatikan pula insentif fiskal, seperti pembebasan pajak penghasilan (PPh) untuk padat karya mikro. Idealnya ini membantu pekerja mikro dengan penghasilan di bawah ambang pajak. Namun faktanya, mayoritas penerima justru tidak merasa efeknya, karena struktur pajaknya sudah sangat ringan bahkan tanpa insentif tambahan.
Kebijakan ketenagakerjaan dirancang dengan tujuan meningkatkan investasi dan efisiensi, tetapi konsekuensinya jelas, bargaining power buruh melemah, sementara perlindungan sosial masih jauh dari ideal. Job Fair dan digitalisasi UMKM terlihat lebih sebagai ajang demonstrasi, bukan solusi struktural. Sementara itu, insentif fiskal berpindah kaum buruh mikro, tetapi tidak sampai menyentuh mereka secara nyata.
Untuk mengembalikan keseimbangan, diperlukan perbaikan pada JKP, penguatan sistem jaminan sosial, dan evaluasi menyeluruh terhadap Omnibus Law agar tidak jadi alat memuluskan investasi tanpa memikirkan masa depan pekerja dan UMKM di Indonesia.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Dunia Medis Marak: Ada Sistem Kerja yang Langgengkan Kekerasan
Selain itu, respons komunikasi publik pemerintah dalam menghadapi kondisi ketenagakerjaan saat ini juga patut dikritisi. Retorika yang selama ini muncul terkadang mencerminkan upaya menjaga–kalau bukan memaksa– keseimbangan antara pengakuan atas realitas pahit dan penyampaian narasi optimisme.
Di satu sisi, beberapa pejabat mengakui adanya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Namun di sisi lain, pernyataan-pernyataan seperti “akan ada 67.000 lapangan pekerjaan baru” atau “ada PHK, ada penyerapan tenaga kerja” tampak berusaha meredam kekhawatiran publik tanpa menjelaskan langkah konkret yang menyertainya.
Pemerintah juga sering menggunakan pendekatan normatif dan teknokratis dalam merespons isu-isu mendesak, seperti pengupahan, bantuan subsidi upah (BSU), dan kualitas tenaga kerja. Pernyataan seperti “UMP 6,5% adalah batas bawah” atau pembatasan BSU hanya untuk peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan memperlihatkan fokus pada kepatuhan administratif ketimbang keadilan sosial. Ini memunculkan kesan bahwa kebijakan ketenagakerjaan lebih diarahkan pada efisiensi birokrasi ketimbang perlindungan menyeluruh bagi pekerja formal maupun informal.
Selain itu, munculnya retorika “kufur nikmat” dari Bahlil Lahadalia yang memperlihatkan kecenderungan melempar tanggung jawab ke individu, alih-alih mengakui kelemahan sistem ketenagakerjaan secara menyeluruh yang menjadi tanggung jawab negara. Penolakan terhadap label “deindustrialisasi” oleh Menteri Perindustrian juga menunjukkan ketidaksiapan menerima kritik sebagai bahan koreksi kebijakan.
Keseluruhan retorika ini membentuk citra bahwa pemerintah lebih berusaha mengelola persepsi publik daripada menangani akar persoalan secara substansial. Narasi positif yang tidak dibarengi dengan perbaikan sistemik justru berpotensi meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kapasitas negara dalam menjamin hak dan masa depan pekerja.
Cerita Para Generasi Emas yang Dilanda Cemas
Orang muda Indonesia atau karib disebut “Gen Z” kini menghadapi tantangan semakin kompleks saat mencari pekerjaan layak. Sebagai negara dengan kisaran Gen Z sebanyak 74,93 juta jiwa atau sekitar 27,94% dari total populasi, frasa “bonus demografi” tak ayal jadi hal paling memungkinkan didengar pada pidato pejabat.
Generasi ini digadang-gadang menjadi pelaku utama pembangunan menuju Generasi Emas 2045; produktif, berdaya saing global, dan berpendidikan tinggi. Namun, tunas belum tentu jadi pohon rindang. Tahun-tahun yang memanen tunas atas nama Gen Z di Indonesia justru kerap terjebak dalam pukat kondisi ketenagakerjaan yang berujung kesulitan menghidupi diri sendiri. Banyak masih tergantung pada keluarga, bahkan menanggung beban keluarga, sementara jaring pengaman ekonomi-sosial masih rapuh.
Orang muda Indonesia menghadapi realitas yang jauh dari optimisme jargon Generasi Emas. Mereka dihadapkan pada kesulitan berlapis dalam mencari pekerjaan: persaingan ketat, peluang kerja yang timpang antarwilayah, dan sistem rekrutmen yang diskriminatif.
Di daerah-daerah luar Jawa, akses ke lapangan kerja jauh lebih terbatas. Di banyak kabupaten, industri besar nyaris tak hadir. Mereka yang tinggal di desa atau wilayah pelosok kerap dipaksa migrasi ke kota-kota besar, hanya untuk bersaing dalam pasar kerja yang sudah jenuh.
Baca Juga: Tren #KaburAjaDulu: Pemerintah Harus Berbenah Sebelum Kehilangan Generasi Berkualitas
Perempuan muda menghadapi tantangan yang lebih rumit. Proses rekrutmen seringkali masih memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang melanggar privasi; soal rencana menikah, hamil, hingga komitmen mengurus keluarga. Banyak perusahaan yang secara tak tertulis menetapkan usia maksimal pelamar. Bagi yang sudah menikah atau memiliki anak, stigma sebagai pekerja “tidak fleksibel” masih melekat kuat. Belum lagi beban kerja domestik yang nyaris seluruhnya ditanggung perempuan, membuat mereka harus menanggung beban ganda.
Tekanan sosial untuk segera mapan, rasa cemas menunggu panggilan, hingga kelelahan mental akibat tak terbalasnya ratusan lamaran menjadi bagian dari keseharian. Situasi yang membuat banyak orang muda Indonesia hari ini terjebak dalam situasi tanpa kepastian sambil terus disebut-sebut sebagai aktor pemajuan.
Baca Juga: Stereotip Bikin Gen Z Dianggap Gak Layak Jadi Manajer di Kantor
Empat perempuan dari latar belakang berbeda berikut adalah representasi dari sekelompok orang yang kini menjadi mayoritas di dunia pencari kerja. Satu orang muda lain juga jadi representasi ketidakberpihakan pemberi kerja atas hak-hak pekerja.
Mereka adalah generasi yang pada iklan layanan masyarakat disebut-sebut “siap kerja.” Namun kata “siap” menjadi nihil nilai ketika iklan lowongan yang ditujukan untuk entry-level justru mewajibkan syarat yang tinggi seperti pengalaman bertahun-tahun, batasan usia, gender, dan bias lainnya.
Afra dan Ratusan Lamaran Kerja
Mengecek surel bagi Afra (24) layaknya hobi baru delapan bulan terakhir ini sambil diiringi doa dari tiap notifikasi yang muncul di bagian atas layar 6 inchi. Kadang hanya setumpuk pesan dari Lina Jobstreet, rekomendasi koneksi LinkedIn, atau surel penolakan yang pahit. Jika beruntung, pesan berisi agenda wawancara kerja sebagai jawaban atas doa yang Afra langitkan.
Hari-hari Afra pelan tapi dipaksa cepat, diwarnai dengan membuka aplikasi lowongan kerja, menyusun ulang CV, lalu lebih banyak menunggu.
“Saya sudah aktif apply selama 7 bulan. Saya sudah apply lebih dari 100 kali di beberapa platform seperti LinkedIn, Glints, dan beberapa job fair,” katanya.
Afra merupakan lulusan S1 Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara tahun 2024. Pengalamannya membantah komentar semacam “orang muda terlalu pilih-pilih pekerjaan sehingga sulit cari kerja” Afra membuka peluang lebih lebar dari latar belakang pendidikan serta keahliannya. Meski begitu, pekerjaan juga urung datang lebih dari 7 bulan lamanya.
“Saya tidak hanya fokus di bidang Hubungan Internasional saja. Saya juga apply pekerjaan di bank, media, dan juga di bidang yang berhubungan dengan media sosial,” paparnya.
Fleksibilitas Afra memperluas bidang yang dilamar tetap belum membuahkan hasil. Bahkan, di banyak proses rekrutmen, ia menemukan syarat-syarat yang absurd. Salah satunya adalah pembatasan usia.
Baca Juga: Pekerjaan Rumah Tangga Dianggap Bukan Kerja, Ini Asal Mula Penindasan Dalam Rumah
Syarat usia, yang kerap dianggap sebagai bentuk penyaringan alami, justru kian menyudutkan banyak perempuan muda. Di usia produktifnya, mereka sudah harus berlomba dengan waktu, dengan ketakutan kehilangan peluang hanya karena melewati angka 24 atau 25.
“Saya pernah melihat lowongan untuk content creator di sebuah tempat personal color analysis yang membatasi usia maksimal 24 tahun. Rasanya agak tidak adil, karena kompetensi seharusnya tidak dibatasi oleh usia saja.”
Pola diskriminasi juga semakin meluas dengan fenomena campus favoritism yang diam-diam menjadi kasta baru dalam perekrutan tenaga kerja. Padahal, dalam semangat kesetaraan kesempatan, semestinya yang diuji adalah kapasitas dan potensi individu, bukan almamaternya.
“Saya melihat beberapa lowongan mencantumkan kampus tertentu sebagai prioritas, yang kadang bisa menyulitkan pelamar dari universitas lain meski punya kemampuan yang sama.”
Afra tidak menutupi betapa proses pencarian kerja melelahkan secara mental. Rasa minder yang terus berulang menjadi beban tambahan di samping angka-angka pengangguran yang terus menghantui. Negara boleh merilis data penyerapan tenaga kerja, tetapi bagi Afra dan mereka yang terjebak di fase menunggu, angka hanyalah angka.
“Saya merasa cukup kesulitan di tahap wawancara. Saya sering kali merasa minder dan tidak bisa menjawab pertanyaan secara maksimal,” katanya.
Baca Juga: Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Panas Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (1)
Kisah Afra adalah cerita umum dari generasi muda Indonesia, terutama perempuan, yang menanggung beban berlapis dalam proses pencarian kerja dari bias gender, syarat usia yang diskriminatif, hingga ketimpangan akses yang jarang dibicarakan secara serius.
Tak sekali dua kali ia menerima pertanyaan yang seolah mengandung muatan gender. Salah satunya saat pewawancara menanyakan soal rencana lima tahun ke depan, yang perlahan mengarah pada rencana pernikahan.
“Rasanya memang cukup pribadi, tapi saya berusaha menjawab dengan profesional,” kenang Afra.
Pertanyaan semacam itu, yang secara implisit menakar kestabilan hidup domestik perempuan, memperlihatkan bagaimana norma patriarki masih menyusup di ruang-ruang profesionalisme kerja. Perempuan kerap dipandang sebagai pekerja ‘sementara’, yang karirnya diprediksi akan berhenti usai pernikahan atau melahirkan.
Di tengah kemandekan ini, Afra memutuskan untuk terus belajar. Ia sedang belajar bahasa mandarin secara otodidak sebagai upaya daya tawar dirinya di bursa kerja.
“Selain mencari kerja, saya sedang belajar bahasa Mandarin secara otodidak. Saya menyadari bahwa penguasaan bahasa asing, terutama Mandarin, menjadi nilai tambah di dunia kerja saat ini, apalagi untuk bidang seperti media dan digital marketing yang sering berhubungan dengan pasar global,” kata Afra.
Pada situasi ekonomi hari ini, bekerja secepatnya sebagai fresh graduate bagi Afra adalah kebutuhan mendesak. Afra merasa sudah saatnya membantu beban ibunya sebagai tulang punggung keluarga.
Meski sempat merasakan tekanan dari orang tua, Afra kini merasa lebih banyak dukungan moral dari ibunya yang mengerti situasi dunia kerja saat ini.
“Saya ingin bekerja secepatnya untuk bisa membantu ibu saya yang jadi tulang punggung keluarga,” tutupnya.
Gita Terpental Syarat Kerja Tak Masuk Akal
Gita (23) adalah wajah perempuan selain Afra yang Konde.co temui di agenda Job Fair Jakarta Barat awal Juni lalu. Pagi Gita diisi dengan stretching dan olahraga ringan untuk menjaga kewarasan sebelum membuka laman lowongan pekerjaan atau memperdalam wawasannya dengan menonton video edukasi kesehatan hingga membaca buku.
Gita lulus sebagai sarjana S1 Kebidanan dari STIK Budi Kemuliaan pada 2024. Sejak 8 bulan kelulusannya, Gita sudah mencoba mengirimkan lebih dari sepuluh lamaran ke rumah sakit dan klinik, kebanyakan untuk posisi bidan yang sesuai dengan bidangnya.
“Saya sudah mencoba apply beberapa lowongan. Kebanyakan untuk posisi bidan di rumah sakit dan klinik,” katanya.
Meski begitu, Gita juga bersedia untuk bekerja di sektor kesehatan dengan profesi dan layanan yang tidak terbatas pada gelar bidan.
“Saya menyadari bahwa menjadi bidan bukan hanya soal membantu persalinan, tetapi juga memberikan edukasi, pelayanan antenatal, postnatal, imunisasi, hingga konseling kesehatan reproduksi.”
“Selain bekerja sebagai bidan di klinik atau rumah sakit, saya juga siap untuk menjalankan tugas-tugas lain seperti asisten medis, petugas administrasi di fasilitas kesehatan, pendamping program kesehatan masyarakat, atau bahkan menjadi tenaga kesehatan di daerah terpencil.”
Baca Juga: Cerita 3 Ojol Perempuan: Ditolak Penumpang Laki-laki karena Bukan Muhrimnya Sampai Bias Algoritma
“Saya juga bersedia bekerja dalam program-program pemerintah seperti Posyandu atau pelayanan kesehatan ibu dan anak. Saya ingin terus mengembangkan kemampuan saya di dunia kesehatan, dan saya percaya bahwa dengan fleksibilitas dan semangat belajar, saya bisa berkontribusi di mana pun saya ditempatkan,” jelasnya mantap.
Hingga artikel ini terbit, nama Gita belum terpampang di jadwal rumah sakit, klinik, atau pusat layanan kesehatan lainnya. Penolakan menurut Gita didasari pada persyaratan yang membuat dahi berkernyit bagi lulusan baru atau fresh graduate.
Praktik klinik yang menjadi bagian wajib di perkuliahan belum cukup untuk meresmikan dirinya sebagai tenaga kesehatan yang diakui. Dunia kesehatan, yang ironisnya selalu kekurangan tenaga, justru memagari kesempatan bagi mereka yang dianggap masih mentah.
“Banyak fasilitas kesehatan lebih memilih kandidat (entry-level) yang sudah berpengalaman kerja minimal satu atau dua tahun, sementara saya masih tergolong fresh graduate dengan pengalaman dari praktik klinik dan magang,” jawabnya.
Selain rutin menonton video edukasi di sela melamar pekerjaan secara daring, Gita mengisi waktunya dengan membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan ringan. Ia hanya ingin ilmunya semasa kuliah dapat berguna.
“Saya membantu kegiatan rumah tangga dan terkadang membantu tetangga atau keluarga yang membutuhkan informasi atau pertolongan ringan seputar kesehatan,” pungkas Gita.
Pua dan Jalan Pelarian Bisnis Kecil Merajut
Keseharian Pua (24) adalah membuka gawai dengan dominasi warna oranye dari toko online miliknya. Deretan angka penjualan, bintang review, dan grafik penghasilan kini menjadi bagian dari rutinitas harian. Sekian bulan sebelumnya, ia masih berkutat dengan rasa cemas karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan formal setelah lulus.
Perjalanan karir Pua dimulai pada November 2023, saat ia resmi lulus dari bangku kuliah. Namun, sama seperti banyak lulusan baru lainnya, gelar sarjana tak otomatis membukakan pintu ke dunia kerja.
“Aku sempat nganggur lumayan lama setelah lulus. Dari November 2023 sampai Juli tahun depannya baru mulai ada aktivitas lagi. Saat itu rasanya kayak wasting time banget,” kenangnya.
Waktu terus berjalan, lamaran kerja terus dikirimkan. Beberapa panggilan wawancara datang, tetapi sebagian besar berakhir tanpa hasil. Bahkan, pertanyaan klasik yang kerap muncul di wawancara menjadi beban mental tersendiri.
“Selama ini ngapain saja?”
Pertanyaan itu yang akhirnya membuat Pua merasa perlu melakukan sesuatu yang produktif. Tanpa rencana besar, ia mulai mencoba belajar crochet (merajut benang menjadi karya-karya kreatif).
“Awalnya cuma buat hobi, iseng-iseng ngisi waktu saja. Tapi ternyata teman-teman kasih feedback positif, malah mereka yang nyaranin buat coba dijadiin bisnis,” ceritanya.
Baca Juga: Kisah PKL Malioboro: Digusur Dua Kali, Diimpikan ‘Naik Kelas’, Lapak Malah Sepi
Sejak Juli 2024, hobi itu perlahan berubah menjadi usaha kecil yang ia beri nama Tangle Thingo. Perjalanan wirausaha skala ultra-mikro itu berjalan beriringan dengan upaya Pua mencari pekerjaan formal. Suatu waktu, setiap harinya ia menargetkan mengirimkan lamaran hingga sepuluh kali per hari.
“Memang enggak selalu bisa sepuluh, kadang capek juga, kadang Sabtu-Minggu aku anggap kayak jadwal kerja orang kantoran saja, jadi libur,” katanya.
Selama hampir setahun, Pua sudah mengikuti 4-5 proses wawancara. Beberapa tawaran kerja datang mulai dari posisi full-time, management trainee (MT), hingga magang. Tidak semuanya mujur.
Dalam kondisi serba terbatas itu, Pua mendapat kesempatan magang dua bulan sebagai social media intern di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Meski hanya magang dan penghasilannya jauh dari upah layak—sekitar 3,1 juta rupiah per bulan setelah potongan, pengalaman itu menjadi celah kecil memasuki dunia kerja profesional baginya.
Namun begitu magang berakhir, Pua kembali ke titik awal dengan mencari pekerjaan tetap. Sambil menekuni usaha mikro crochet-nya yang semula jadi selingan.
Selama mencari kerja, Pua tidak sepenuhnya lepas dari pengalaman menghadapi pertanyaan diskriminatif. Dalam salah satu wawancara management trainee, ia pernah ditanya apakah bersedia untuk tidak menikah selama masa kontrak dua tahun.
“Itu sih yang aku ingat banget. Rasanya kayak, kok kehidupan pribadi sampai harus jadi syarat kerja,” kisahnya.
Meskipun tidak pernah secara eksplisit ditolak karena faktor gender atau status pernikahan, pertanyaan seperti itu mencerminkan bagaimana perusahaan masih membawa asumsi-asumsi patriarki ke dalam proses rekrutmen.
Baca Juga: ‘Perempuan Dimiskinkan, Dibunuh, Dikriminalkan’: Refleksi Hari Perempuan Internasional 8 Maret
Masalah usia pun mulai menjadi kecemasan tersendiri. Meskipun secara legal ia masih tergolong muda, Pua menyadari banyak lowongan yang membatasi usia maksimal 24 atau 25 tahun.
“Sekarang aku sudah 24 (tahun), jadi mulai kepikiran juga. Apalagi lihat adik-adik tingkat yang dari semester 3 sudah mulai magang, jadi mereka lebih dulu dapat pengalaman.”
Di tengah ketatnya persaingan, koneksi dan relasi internal perusahaan kerap menjadi faktor pembeda yang sulit disaingi.
“Aku pernah ikut rekrutmen BUMN, cuma ada tiga kandidat. Ternyata salah satunya anak dari petinggi di situ, yang juga kenal sama HR. Dia sudah tahu semua informasi jobdesk, gaji, bahkan langsung nyerahin CV ke temannya yang kerja di situ. Akhirnya, ya, yang diterima dia.”
Fenomena orang dalam atau referral bukan sekadar gosip murahan, melainkan realitas pahit yang mempersempit kesempatan bagi pencari kerja yang datang dari latar belakang keluarga biasa. Sistem rekrutmen yang semestinya terbuka dan berbasis meritokrasi justru membiarkan praktik relasi kuasa berkembang subur.
Bagi Pua, ironi terbesar lain dalam proses pencarian kerja saat ini adalah bagaimana posisi entry-level sekalipun kini meminta pengalaman kerja minimal dua hingga tiga tahun.
“Padahal harusnya itu udah masuknya associate atau mid-level. Fresh graduate kan justru butuh bimbingan. Tapi ekspektasi sekarang tinggi banget, kayak sudah harus kerja dari kuliah,” curahnya.
Di tengah proses pencarian kerja formal yang berjalan lambat, Pua semakin serius mengembangkan bisnis crochets kecilnya secara daring, terutama lewat platform Shopee.
“Di Shopee itu kayak jadi portofolio juga. Kan kelihatan jumlah barang terjual, review, dan rating toko.”
Namun membangun reputasi toko online tidak semudah yang dibayangkan iklan-iklan e-commerce. Pua butuh waktu hampir setahun untuk bisa mendapatkan status star seller.
“Dulu lama banget sebelum akhirnya jadi star seller. Setelah star, katanya algoritma Shopee akan sering rekomendasiin toko kita di pencarian.”
Baca Juga: Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Janji Manis Inklusivitas, Masih Bolong Sana-Sini (2)
Sistem algoritma Shopee memberlakukan seleksi ketat berbasis performa penjualan, rating, jumlah transaksi, hingga followers toko. Bagi penjual pemula, mendapatkan orderan pertama saja bisa makan waktu berbulan-bulan.
Di sisi lain, potongan komisi platform juga menjadi beban tersendiri.
“Potongannya 8% dari harga jual. Jadi misalnya jual Rp 20.000, yang aku terima cuma Rp 18.000. Itu belum termasuk admin, ongkir, sama promosi berbayar,” ceritanya.
Untuk bisa menutupi biaya produksi, Pua menerapkan sistem subsidi silang antara produk dengan margin keuntungan berbeda. Selain bahan baku yang sebagian besar impor, waktu pengerjaan crochet yang memakan waktu panjang seringkali kurang dihargai oleh pembeli.
“Kadang orang mikir harga produk handmade mahal, padahal mereka lupa kalau itu juga bayar skill, waktu, sama kualitas bahan,” sesalnya.
Di samping usaha crochet-nya yang masih harus berkembang lebih jauh, Pua masih menempatkan pekerjaan korporat sebagai pilihan utama.
“Aku sadar aku bukan dari keluarga yang privilege banget. Kalau nggak kerja, aku nggak bisa mandiri. Korporat masih jadi opsi paling realistis buat gaji stabil, supaya aku juga bisa nabung buat kembangin si Tangle Thingo,” katanya.
Rafaela Lama Menunggu di Sangatta
Kota Sangatta terlalu kecil untuk sibuk dengan hiruk pikuk aktivitas tambangnya. Tanahnya banyak dikeruk tapi tidak lantas menjadikannya kota yang kota. Singkatnya demikian Sangatta dalam kepala Lala (24).
Perempuan yang baru lulus hampir genap setahun ini juga menghadapi masalah yang mirip dengan pencari kerja lain di metropolitan. Hanya saja, tinggal di area non-metropolitan dirasa menjadi tantangan lain baginya.
Perjalanan Lala dalam mencari pekerjaan dimulai bahkan sebelum ia resmi menyandang gelar sarjana. Ia merasa sebagai lulusan baru di kondisi ekonomi hari ini, pengalaman praktis adalah kunci.
Lala tak muluk-muluk, fokus utamanya hanya posisi magang, sebuah jembatan yang diharapkan bisa mengantarkannya ke dunia profesional.
“Aku sebenarnya tuh dari habis sidang udah nyari-nyari magang. Karena aku merasa kayaknya pengalamanku tidak cukup untuk mencari full-time job,” akunya.
Sejak September tahun lalu, ia gencar melamar. Awalnya, ia sangat optimis dan disiplin, mengalokasikan waktu setiap hari untuk menelusuri dan mengirimkan lamaran demi lamaran.
“Awal-awalnya aku masih aktif banget. Tiap hari aku akan apply sekitar 3 atau 5 magang yang sesuai dengan kriteria” katanya.
Baca Juga: Apakah Transportasi Umum Berperspektif Gender dan Inklusi: Sopir Ngebut Tak Sesuai Trayek, Penumpang Takut Negur(3)
Secara kritis, ekspektasi pasar kerja tampaknya jauh dari kenyataan bagi fresh graduate seperti Lala. Ia sering menemukan persyaratan pengalaman yang terasa tidak masuk akal, bahkan untuk posisi entry-level. Permintaan untuk memiliki pengalaman kerja bertahun-tahun seolah menempatkan lulusan baru dalam posisi yang serba salah.
“Aku kuliah 4 tahun terus kamu suruh aku punya pengalaman 3 tahun itu gimana caranya?” keluhnya.
Suaranya menunjukkan frustasi yang mendalam terhadap standar ganda yang seringkali diterapkan. Pengalaman organisasi semasa kuliah dan dua kali magang singkat, yang ia kira akan menjadi bekal berharga, ternyata tak cukup untuk memenuhi ekspektasi pasar kerja yang kini terlalu tinggi.
“Ternyata magangku yang cuma tiga bulan-tiga bulan itu, I don’t think that adds up,” kata Lala, mengevaluasi kembali nilai pengalaman singkatnya.
Ia merasa, persyaratan yang menjulang ini menciptakan jurang pemisah yang dalam antara kualifikasi yang ia miliki dan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Hal ini tak ayal menimbulkan perasaan minder.
“Agak menyedihkan sih requirements-nya kalo kayak gitu. Jadi aku, iya sih, jadi agak minder juga,” ucap Lala, mencerminkan dampak psikologis dari tuntutan yang tidak realistis.
Baca Juga: Kuliah Sambil Kerja, Uang Menipis, Gen Z Tak Bisa Liburan Dan Pulang Kampung
Namun, semangat membara itu mulai luntur ketika ia kembali ke Sangatta pada April. Realitas kota asalnya yang berbeda jauh dari hiruk pikuk Semarang, ditambah dengan minimnya aktivitas di luar pencarian kerja, perlahan mengikis motivasinya.
“Tapi pas sudah dari April, pas aku sudah pulang tuh aku jadi males sejujurnya. Jadi sekarang aku gak ngapa-ngapain sih, selain membantu domestik pekerjaan di rumah,” ungkap Lala.
Kepulangan Lala ke Sangatta bukan semata pilihan, melainkan sebuah keharusan yang didasari oleh situasi di Semarang.
“Oh, sebenarnya tuh aku balik karena emang di Semarang kan sudah tidak ada apa-apa untuk bertahan,” jelasnya, mengindikasikan bahwa ia tidak memiliki alasan logistik untuk tetap tinggal di kota perantauan.
Namun, kota kecil ini, dengan segala keterbatasannya, menawarkan tantangan baru. Salah satu keluhan utama Lala adalah aksesibilitas yang minim, terutama dalam hal fasilitas dan layanan urban yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern.
Baca Juga: Upah Tak Cukup, 76 Persen Buruh Terjerat Hutang Rentenir Modern
Ia bahkan merasa kesulitan bersosialisasi dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya karena minimnya pilihan tempat berkumpul.
“Dan temenku yang udah kerja pun kalau kita main terus kita kayak ya udah kita mau kemana habis makan kayak gak kemana-mana. Jadi aku sedih,” ungkap Lala, menggambarkan betapa terbatasnya opsi untuk aktivitas sosial.
Pilihan Lala untuk tidak mencari kerja di Sangatta juga didasari alasan personal dan ekonomi. Selain ingin mandiri dari keluarga, ia menyadari bahwa peluang di Jawa, terutama di kota-kota besar, lebih beragam dan sesuai dengan aspirasinya.
“Jujur sebenarnya aku pengin balik ke Semarang,” akunya, sembari menjelaskan bahwa ia ingin lebih mandiri dari keluarganya.
Biaya hidup di Sangatta yang relatif tinggi dibanding Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi pertimbangan serius baginya. Meski terdapat banyak tambang, UMP di sana ternyata tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Jawa Tengah.
“Soalnya kalau di Sangatta, aku kira karena di sini ada tambang, banyak resource vault, terus aku kira UMR di sini agak tinggi kan. Tapi ternyata UMR-nya itu sama saja, sama kayak di Jateng, masih 3 jutaan gitu,” papar Lala.
Baca Juga: Diputus Kontrak, Dijanjikan Kerja Lagi Usai Lebaran: Akal-akalan Perusahaan Hindari THR Buruh
Namun, di balik semua kesulitan ekonomi dan aksesibilitas, ada “tangan tak terlihat” yang membuat peluang kerja di Sangata terasa makin sempit: nepotisme. Fenomena ini, yang Lala rasakan sangat kental di kota asalnya, menciptakan sistem yang tidak transparan dan tidak adil.
“Jujur, rata-rata temenku yang kerja di Sangatta itu agak nepo-nepo gitu,” Lala berterus terang, menyoroti praktik yang ia amati di lingkungannya.
Hal ini, menurutnya, telah menjadi hal yang normal di kota kecil tersebut, di mana jaringan pribadi memainkan peran lebih besar daripada meritokrasi.
“Aku gak tau ini karena ini kota kecil apa gimana. Jadi emang orang-orangnya itu-itu aja. Dan emang. Rata-rata temen-temenku juga. Kerjanya di perusahaan itu. Which is perusahaan bapak kita semua,” simpul Lala.
Kondisi ini semakin membatasi pilihan Lala yang tak ingin bergantung pada jalur koneksi semacam itu, dan justru mencari kesempatan yang lebih merata di luar.
Lebih dari sekadar kesulitan finansial dan minimnya peluang, status ‘pengangguran’ membawa beban psikologis yang sangat berat bagi Lala. Tekanan dari lingkungan terdekat, terutama keluarga, terasa paling menusuk. Ada kekhawatiran terus-menerus yang disuarakan oleh ibunya mengenai usia dan peluang kerja.
“Terus mamaku tuh. Akan selalu kayak. Kamu. Jangan nganggur lama-lama. Kamu semakin tua, nanti gak ada yang mau nerima. Karena gap-nya terlalu gede,” ceritanya dengan nada lelah.
“It is very stressful about the age thing,” ujarnya, mengakui kegugupannya terhadap batas usia yang seringkali diterapkan dalam lowongan kerja.
Baca Juga: Misoginisme Polisi Dalam Penyelesaian Kasus Sate Sianida
Pertanyaan yang terus-menerus muncul dari kerabat dan teman lama juga memperburuk keadaan, membuat setiap pertemuan sosial terasa seperti interogasi.
“Aku kan selama di Semarang gak pulang-pulang. Jadi tuh kalau ke sini, terus bertemu dengan orang gereja dan teman-teman mamaku. Itu kayak, “Halo Lala, sudah lulus ya? Sudah kerja belum?“
Meskipun orang tuanya secara verbal mencoba menenangkan dengan mengatakan bahwa mencari kerja itu sulit dan mereka akan terus mendukungnya, tindakan mereka seringkali kontradiktif. Perbandingan dengan anak-anak teman mereka yang sudah sukses bekerja, menjadi basa-basi yang menyakitkan.
“Suka bilang kayak. “Eh si anak ini udah kerja. Si anak ini temen mama. Sudah kerja di sini, di sini, di sini.” Kayak katanya enggak apa-apa, tapi masih diomongin gitu,” kata Lala yang menunjukkan adanya disonansi antara ucapan dan perilaku orang tuanya.
Lala bahkan pernah “speak up” untuk menghentikan percakapan tersebut, namun usahanya sia-sia. Fenomena ini menunjukkan bahwa tekanan sosial seringkali lebih kuat dari dukungan verbal.
“Beberapa hari kemudian tetap dibahas kayak, emang ibu-ibu ya, tapi emang mamaku bilang, ya namanya juga ibu-ibu, mereka basa-basi, basa-basi tiap hari. Makanya aku agak males keluar dan tinggal di sini,” ungkap Lala, menjelaskan bagaimana ia akhirnya menarik diri dari interaksi sosial untuk menghindari tekanan.
Peer pressure dari teman-teman yang sudah bekerja dengan posisi “bagus” di Jawa juga menambah berat pundaknya, menciptakan standar tak tertulis yang seolah harus ia penuhi.
Baca Juga: Buka Usaha Makanan Hingga kurangi Jatah Makan, Yang Dilakukan PRT Saat Corona
Meski ratusan lamaran telah ia kirimkan secara daring, mulai dari platform seperti Glints, Jobstreet, Kalibree, hingga LinkedIn, panggilan wawancara hanya datang segelintir. Pengalaman ini menunjukkan betapa ketatnya persaingan di pasar kerja, terutama untuk fresh graduate.
“Dari ratusan lamaran yang aku apply, itu tuh yang ada panggilan cuma berapa ya? Kayaknya aku cuma tiga atau empat kali gitu,” ungkapnya.
Lala mengeluhkan sedikitnya panggilan wawancara dari ratusan lamaran yang sebagian besar berasal dari perusahaan untuk posisi magang, bukan full-time job. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang nilai pengalaman yang ia miliki dan bagaimana itu dipersepsikan oleh rekruter.
“Bahkan internship saja harus banyak pengalaman, bagaimana kalau aku harus full time. It’s like very confusing,” kata Lala, mengungkapkan kebingungannya akan persyaratan yang tinggi bahkan untuk posisi magang.
Lala sempat menerima tawaran event organizer yang membutuhkan pengalaman lapangan, namun kendala muncul karena sebagian besar pengalamannya selama kuliah hanya berkutat di acara daring. Pandemi COVID-19 memang mengubah banyak hal, termasuk cara mahasiswa berorganisasi dan mendapatkan pengalaman.
“Semua pengalamanku online. Terus waktu aku bilang sama interviewer-nya “Rata-rata pengalaman aku online, Kak,” Nah, sementara mereka butuhnya yang punya pengalaman event production offline begitu,” tukas Lala.
Baca Juga: Apakah Transportasi Publik Kita Sudah Berperspektif Gender dan Inklusi?: Zine Konde Fellas
Kisah Lala adalah cerminan dari banyak fresh graduate di Indonesia, terutama yang berasal dari luar Jawa. Mereka berhadapan dengan sistem rekrutmen yang tidak fleksibel, kesenjangan akses dan informasi, serta kuatnya cengkeraman praktik nepotisme.
Ketika Aksi Protes Berujung Surat Peringatan
Suatu babak baru dalam hidup sedang dialami oleh Nara (bukan nama sebenarnya) yang kini berusia 24 tahun. Ia tak menyangka bahwa aktivitas sosial di luar pekerjaannya akan menjadi alasan dirinya merasa tak lagi aman untuk bekerja. Nara menghabiskan waktu selama satu setengah tahun sebagai teknisi engineering lift di salah satu perusahaan pengundak berskala besar. Semua hal berjalan wajar hingga akhirnya keikutsertaan Nara dalam aksi-aksi protes dipermasalahkan secara diam-diam oleh beberapa rekan kerja di kantornya sendiri.
“Di perusahaan aku sendiri sih, untuk hak-hak pekerja itu terpenuhi. Tapi aku mulai dapat surat peringatan yang gak wajar, semenjak aku ketahuan ikut aksi Tolak RUU TNI di tanggal 20 dan 27 Maret,” ujarnya.
Posisi pekerjaannya sebagai teknisi engineering lift sangat terjadwal. Pengecekan lift hanya dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu. Di luar jadwal tersebut, dapat dipastikan tidak ada pemeriksaan lift kecuali jika lift tersebut memang bermasalah, sehingga di luar jadwal pemeriksaannya, Nara kerap kali mengisi waktu luangnya untuk mengikuti aksi protes yang berlangsung.
“Karena biasanya di lift itu maintenance-nya selalu sesuai jadwal. Kalau misalnya nggak sesuai jadwal, berarti ada ‘permainan’ di situ. Tapi pas aku lagi aksi, tiba-tiba ada maintenance dadakan yang ngebuat aku seolah-olah mangkir. Padahal, sebelum berangkat aksi aku juga selalu mengecek bahwa semuanya baik-baik saja,” jelasnya.
Baca Juga: Kenapa Papan Informasi di Transportasi Umum Penting? Ini Aksesibel dan Inklusif
Kejadian ini tidak terjadi sekali, namun berulang hingga membentuk pola yang membuat Nara mempertanyakan hal ini. Ia menerima surat peringatan (SP) pertama, yang tak lama disusul oleh SP kedua pasca aksi berlangsung, dengan alasan yang menurut Nara sama sekali tidak masuk akal. “Aku pikir ini alasannya nggak jelas karena polanya berulang seperti saat SP pertama keluar, jadi aku pikir, aku resign saja sekalian daripada dibatasi mengikuti aksi,” tutur Nara.
Usia keluar dari pekerjaannya yang lama, Nara bertahan hidup dengan mengandalkan pekerjaan sampingan. Ia menerima beberapa proyek desain dan menjadi penerjemah komik Korea atau manhwa untuk menyambung hidup.
Perjuangannya belum usai. Di usia 24 tahun, ia menghadapi tantangan umum yang banyak dihadapi oleh para pencari kerja, yakni batasan usia. “Sebenarnya waktu aku ngelamar kerjaan baru, kebanyakan batas umurnya tuh 22 tahun, tapi aku ngelamar dengan usia aku yang sudah 24 dan untungnya ada yang dapet dan posisi aku sekarang sebagai tim public relations” ucapnya.
Suatu hal menarik sempat Nara sampaikan, bahwa batasan usia kerja yang cukup muda, seperti 22 tahun, sebenarnya hanya taktik perusahaan agar bisa menggaet fresh graduate sehingga lebih mudah dalam melakukan negosiasi atas upah yang akan diberikan. “Karena aku tahu biasanya kenapa perusahaan mencari fresh graduate atau umurnya di bawah usia matang, karena biar negosiasinya itu nggak ‘alot’ tentang gaji,” ungkapnya.
Menurut Nara, pengalaman kerja di perusahaannya yang lama menyisakan pelajaran penting. Tentang bagaimana aktivisme bisa dianggap berbahaya oleh perusahaan dan bagaimana hal itu dijadikan tekanan internal untuk secara halus mendorong karyawannya.
Baca Juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian
Nara juga menuturkan bahwa keputusannya untuk resign bukan berarti menyerah, justru sebaliknya. Ia menganggap itu sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang menekan ruang gerak dan suara pekerja. “Ini cara aku bilang kalau aku juga berhak kerja di tempat yang nyaman, dengan lingkungan yang sehat,” tuturnya.
Menurutnya, bekerja bukan hanya tentang menyambung hidup saja, tetapi sebagai ruang untuk tumbuh di tempat yang memberikan kebebasan bersuara. “Kalau satu pintu ketutup, aku yakin masih banyak pintu lain yang nunggu—yang lebih terbuka, lebih manusiawi, dan lebih menghargai cara kita berpikir,” tutup Nara.
Sudahkah Job Fair Jadi Penawar Angka Pengangguran Muda?
Gita dan Afra adalah dua dari pencari kerja yang mengikuti agenda Job Fair di Gelanggang Olahraga Tanjung Duren, Jakarta Barat, 4 Juni 2025 lalu. Dari pantauan Konde.co, setidaknya terdapat 23 booth yang tidak seluruhnya merupakan lowongan kerja, beberapa di antaranya menawarkan pelatihan.
Meski diakui Gita cukup beragam, ia nyaris pulang dengan tangan kosong sebab tidak ada lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakangnya di bidang kebidanan atau kesehatan.
“Tidak ada perusahaan yang sesuai dengan minat dan jurusan saya,” keluh Gita.
Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita
Kendati begitu, Gita yang mengetahui agenda ini dari teman kuliahnya mengaku mendapati kesan yang tidak buruk dari pengalaman perdana ikut Job Fair ini. Meski aksesibilitas menjadi catatan yang menurutnya patut dievaluasi.
“Secara umum informasi lowongan di job fair ini sudah cukup membantu, tersedia secara terbuka dan bisa langsung ditanyakan ke pihak rekruter. Akan lebih baik jika semua informasi ditampilkan dengan cara yang mudah diakses,” terangnya.
“Penataan booth yang terkadang kurang rapi sehingga membuat pelamar bingung mencari informasi yang diinginkan. Selain itu, informasi tentang lowongan terkadang masih kurang lengkap atau tidak konsisten antara yang tertulis dan yang disampaikan oleh petugas,”
“Saya berharap ke depannya Job Fair bisa menyediakan lebih banyak sesi workshop atau pelatihan singkat tentang cara melamar dan wawancara yang efektif. Ini akan sangat membantu pelamar, terutama yang baru pertama kali ikut Job Fair seperti saya,” harap Gita.
“Tidak bisa menutup mata bahwa masih ada beberapa lowongan yang mencantumkan batasan usia, tinggi badan, atau bahkan penampilan fisik. Meskipun tidak disampaikan secara kasar, hal seperti itu bisa membuat sebagian pencari kerja merasa tersisih, apalagi bagi teman-teman yang memiliki disabilitas atau berasal dari latar belakang berbeda,” jelasnya.
Baca Juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman
Menurut Gita, syarat yang meskipun tidak terpampang pada iklan lowongan itu seharusnya tidak dilakukan. Agenda job fair semestinya menjadi ruang yang ramah bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Menurut saya, job fair seharusnya menjadi ruang yang inklusif untuk semua orang, tanpa memandang penampilan, gender, usia, atau kondisi fisik. Karena kemampuan dan semangat kerja itu tidak bisa diukur dari hal-hal luar saja,” saran Gita.
Tak jauh berbeda, Afra hadir setelah melihat pengumumannya di Instagram. Meski sudah pernah menghadiri campus hiring Binus, ini adalah job fair umum pertamanya. Ia datang dengan tujuan untuk melihat secara langsung peluang kerja, budaya perusahaan, serta memperluas jaringan
Ia berhasil melamar beberapa posisi di acara ini, baik yang sesuai latar belakang maupun yang tidak setelah berbincang langsung dengan pihak pemberi kerja di booth.
“Saya sudah melamar ke beberapa perusahaan yang menurut saya relevan dengan latar belakang dan minat saya, terutama di bidang kreatif dan digital. Sebagian memang sesuai dengan yang saya targetkan, meskipun ada juga beberapa yang saya coba eksplorasi di luar target awal saya,” cerita Afra.
Meski berhasil melamar ke lebih dari satu perusahaan, job fair bagi lulusan baru seperti Afra bukannya tanpa hambatan, beberapa lowongan di job fair diakuinya tidak membuka pintu untuk titel fresh graduate kendati cocok dengan kualifikasinya.
“Beberapa perusahaan tidak membuka lowongan untuk fresh graduate, sehingga saya harus lebih selektif dalam memilih mana yang bisa saya lamar,” keluh Afra.
Baca Juga: Taksi Perempuan di Uganda: Atasi Kekerasan Perempuan di Transportasi Publik
Meski menurutnya informasi yang diberikan dalam job fair cukup jelas, perlu ada penjelasan yang detail dari pihak pemberi kerja agar tidak membuat pencari kerja kebingungan.
“Sebagian besar informasi lowongan disampaikan dengan cukup jelas, baik melalui pamflet maupun penjelasan langsung dari pihak perusahaan. Namun, akan lebih baik jika detail seperti syarat khusus atau kualifikasi kandidat bisa disampaikan sejak awal secara tertulis agar pengunjung tidak kebingungan atau bolak-balik bertanya,” sarannya.
Untuk solusi jangka pendek, keluhan masalah dan rekomendasi dari pengalaman peserta job fair tertera dalam tabel berikut:
Beberapa lembaga seperti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengkritik realitas job fair yang selama ini dinilai lebih banyak formalitas birokratis ketimbang solusi konkret untuk mengurangi pengangguran.
Baca Juga: Takut dan Tak Bisa Teriak: Pengalaman Pelecehan di Transportasi Umum
Dalam praktiknya, banyak perusahaan yang terlibat dalam job fair ternyata hadir bukan karena kebutuhan riil tenaga kerja, melainkan karena dorongan dari pemerintah daerah. Akibatnya, job fair hanya menjadi ajang simbolis yang minim rekrutmen sesungguhnya.
Pemerintah memang tidak mewajibkan secara hukum partisipasi perusahaan dalam job fair. Namun, Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2023 menetapkan kewajiban perusahaan untuk melaporkan lowongan pekerjaan ke dalam sistem digital SIAPkerja. Di sinilah muncul ketidaksinkronan antara norma regulasi dan implementasi di lapangan. Alih-alih memanfaatkan kanal digital yang disediakan pemerintah, banyak daerah justru masih menggelar job fair fisik dengan efektivitas yang dipertanyakan.
Masalah lain yang disoroti adalah minimnya proses seleksi riil dalam job fair tersebut. CELIOS menilai proses rekrutmen yang esensial sama sekali tidak terjadi di arena job fair. Ini membuat proses pencarian kerja menjadi semakin panjang dan penuh ketidakpastian bagi para pencari kerja.
Lebih jauh, CELIOS menyoroti persoalan mendasar, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti oleh penciptaan lapangan kerja berkualitas. Meski Indonesia mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, tingkat serapan tenaga kerja tetap stagnan. Hal ini menandakan adanya mismatch antara pertumbuhan makroekonomi dengan realitas di pasar kerja.
Dalam situasi semacam ini, job fair seharusnya berperan sebagai penghubung strategis, mempertemukan kebutuhan riil perusahaan dengan kualifikasi para pencari kerja. Namun ketika agenda tersebut justru diwarnai oleh praktik administratif yang dangkal, efektivitasnya dalam menekan angka pengangguran pun diragukan.
Masalah job fair sesungguhnya mencerminkan masalah yang jauh lebih dalam dalam manajemen ketenagakerjaan nasional. CELIOS menekankan pentingnya reformasi menyeluruh, bahwa penyelenggaraan job fair harus berbasis pemetaan kebutuhan industri yang akurat, sesi wawancara langsung yang terjadwal, serta pemanfaatan platform digital secara optimal.
Tanpa reformasi struktural, job fair hanya akan menjadi siklus rutin yang menyerap anggaran, namun gagal menjawab akar persoalan pengangguran di Indonesia.