Perpustakaan jalanan menyediakan lapak buku bacaan dalam aksi Tolak Gelar Pahlawan Soeharto di Jakarta, Kamis (26/6/2025). (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Buku Kiri Tak Berbahaya, yang Bahaya Itu Negara yang Sita Buku dan Tak Berpengetahuan

Polisi kembali menyita buku-buku, padahal buku tak berbahaya. Yang berbahaya itu bom, terorisme dan negara yang tak berpengetahuan.

Dina (23), seorang mahasiswi di Yogyakarta, pernah dirazia polisi saat membawa buku berjudul Sejarah Gerakan Buruh

Polisi yang memeriksa tasnya berkomentar sinis: “Hati-hati ya, baca buku ini bisa bikin kamu salah jalan.”

Setelah itu, Dina jadi parno kalau membawa buku di ruang publik.

“Sejak itu saya jadi parno bawa buku di angkutan umum. Seolah membaca hal ‘kiri’ bisa bikin saya kriminal,” ujarnya.

Sari (28), aktivis literasi, mengalami hal serupa. Saat membaca Emma Goldman di kafe, ia dilirik seakan ia merupakan kelompok ekstremis. 

“Padahal saya membaca sejarah feminisme, bukan belajar bikin bom.”

Baru-baru ini, Kapolda Jabar juga melakukan perilaku serupa ketika ada demo di Bandung pada 29 Agustus hingga 3 September 2025. Selain menetapkan tersangka, polisi juga menyita puluhan buku yang dianggap sebagai bahan bacaan rujukan ideologi anarkisme. Polisi memajang buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Anarkisme karya Emma Goldman, hingga Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno. Buku-buku itu diperlakukan sama dengan batu, botol, dan barang sitaan lain seolah bacaan adalah senjata. Alasannya polisi ingin membangun konstruksi perkara dan memahami latar belakang perbuatan para tersangka. Tapi pertanyaannya sederhana: sejak kapan membaca buku bisa menjadi tindak pidana?

Baca Juga: Tidak Melulu Gadget, Gen Z Juga Sering Membaca Buku Fisik

“Bisa dilihat, ada buku-buku berpaham anarkisme, kata Kapolda Jawa Barat sambil menunjuk tumpukan bacaan di meja konferensi pers.

Cerita-cerita ini memperlihatkan bagaimana ketakutan selalu diciptakan. Membaca jadi hal yang mencurigakan, apalagi bagi perempuan. Padahal sejak Kartini hingga S.K. Trimurti, literasi selalu menjadi jalan pembebasan bagi perempuan.

Pertanyaan ini sederhana tetapi penting: apa yang sebenarnya ditakuti negara dari buku? Apakah mereka takut rakyat menjadi kritis setelah membaca sejarah kelam 1965, yang selama puluhan tahun ditutupi dengan propaganda resmi? Atau mereka takut pada feminisme, yang mengajarkan perempuan untuk mempertanyakan relasi kuasa di rumah, di tempat kerja, dan di ruang politik? Apakah mereka takut buruh memahami teori Marx dan menuntut keadilan dalam relasi produksi yang timpang? Atau takut mahasiswa membaca Emma Goldman dan berani menolak kekuasaan yang sewenang-wenang?

Yang ditakuti negara selama ini bukan kertas dan tinta, melainkan keberanian rakyat memahami ketidakadilan, karena pemahaman adalah langkah pertama menuju perlawanan. Buku membuat rakyat tahu bahwa penderitaan mereka bukan takdir, melainkan hasil dari sistem politik dan ekonomi yang bisa diubah.

Sejarah menunjukkan hal ini berulang. Dari waktu ke waktu, penyitaan buku dilakukan bukan karena isi buku itu benar-benar membahayakan, melainkan karena pengetahuan yang lahir darinya bisa menggerakkan perlawanan.

Baca Juga: Affan Kurniawan Dibunuh Polisi, Ingatlah Namanya Sebagai Pejuang

Dari perspektif feminis, ketakutan negara terhadap buku juga bisa dibaca sebagai ketakutan patriarki terhadap imajinasi alternatif. Feminisme, misalnya menantang ide tentang perempuan yang dikonstruksikan hanya pantas berada di dapur atau di ranjang. Ia menawarkan imajinasi masyarakat yang setara, di mana tubuh dan pikiran perempuan tidak dikontrol oleh negara, suami, atau lembaga agama. Bacaan feminis membongkar kodrat sebagai konstruksi, dan ini membuat negara serta institusi patriarkal panik: bila perempuan berani menolak penindasan, maka struktur kuasa akan runtuh dari dalam.

Silvia Federici, feminis materialis asal Italia, pernah menulis bahwa kontrol atas tubuh perempuan selalu berkaitan dengan kontrol atas tenaga kerja dan produksi sosial. Jika tubuh perempuan bisa diatur, maka seluruh tatanan masyarakat bisa dijaga tetap patuh. Dengan logika yang sama, bila pikiran rakyat bisa dikontrol melalui penyitaan bacaan, maka status quo bisa bertahan lebih lama.

Audre Lorde, penyair dan aktivis kulit hitam, juga mengingatkan: “Your silence will not protect you.” Diam, atau tidak membaca, tidak akan melindungi siapa pun dari represi. Justru dengan membaca dan bersuara, kita bisa menemukan kekuatan untuk melawan. Inilah alasan utama negara takut pada buku: karena buku mengajarkan warga untuk tidak diam.

Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Pemberedelan Sukatani dan Karya Seni Kritis, Alarm Bahaya dari Rezim Antikritik

Begitu pula bell hooks, feminis kulit hitam asal Amerika yang menulis bahwa “reading gave me a way to think about the world, a way to imagine a life beyond the boundaries of race and class.” 

Membaca adalah jendela untuk membayangkan dunia di luar batas-batas penindasan. Dan imajinasi seperti inilah yang dianggap berbahaya oleh negara, karena ia memberi rakyat keberanian untuk menuntut keadilan yang lebih besar.

Namun justru di situlah kelemahan negara terlihat. Negara yang takut pada buku adalah negara yang tidak percaya pada warganya sendiri. Alih-alih membangun masyarakat kritis, negara memilih melanggengkan ketidaktahuan. Alih-alih mengajak berdialog, negara lebih suka membungkam.

Padahal, sejarah dunia menunjukkan hal sebaliknya: semakin keras ide ditekan, semakin kuat ia bertahan. Buku yang dilarang justru lebih dicari. Bacaan yang disita justru lebih digemari. 

Baca Juga: Polisi Jadi Kreator Konten: Perbaiki Kinerjamu, Kelompok Rentan Bukan Objekmu

Di era digital, sensor negara bahkan semakin absurd, karena teks bisa menyebar dengan cepat, melintasi batas yang tidak bisa dikawal polisi atau tentara.

Maka, yang ditakuti negara sesungguhnya adalah sesuatu yang tak bisa mereka kuasai: pikiran rakyat yang berani melawan.

Dalam konteks penyitaan buku, KUHAP jelas menyebut hanya ada lima alat bukti sah dalam perkara pidana: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Buku bacaan umum tidak termasuk. Menjadikan buku sebagai barang bukti hanya menunjukkan paranoia negara terhadap pengetahuan.

Fatia Maulidiyanti dari KontraS menyebut penyitaan buku merupakan bentuk ketakutan negara.

“Polisi masih ketakutan terhadap buku dan ide-ide. Padahal yang seharusnya diusut adalah tindak kekerasan aparat dan kerusuhan itu sendiri, bukan rak buku orang.”

Ketakutan ini bukan hal baru. Dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, negara berulang kali menyita dan melarang buku: literatur Marxis, karya-karya Pramoedya, hingga buku sejarah 1965. Sejarawan Asvi Warman Adam mengingatkan, “Negara yang takut pada buku adalah negara yang tidak percaya pada rakyatnya sendiri.”

Baca Juga: Kekerasan Saat Aksi, Respon Pemerintah Nirempati: Dear Penguasa, Kami Dipukuli Polisi, Kalian Malah ‘Party’

Penyitaan buku bukan sekadar prosedur hukum, namun ia merupakan bagian dari pola kontrol negara. Bila tubuh perempuan diatur lewat undang-undang moralitas, bila ruang publik diawasi dengan kekerasan aparat, maka pikiran pun coba dibatasi lewat kriminalisasi bacaan.

Buku dijadikan “alat bukti” agar warga takut membaca, takut berpikir kritis, takut bertanya. Padahal membaca adalah hak dasar, dijamin konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.

Eko Prasetyo, aktivis literasi, pernah menyindir, “Kalau buku bisa dijadikan barang bukti, maka perpustakaan adalah TKP terbesar.”

Dalam retorika aparat, anarkisme selalu dipadankan dengan kekerasan seperti melempar molotov, membakar pos polisi, rusuh di jalan. Padahal tradisi anarkisme jauh lebih luas, mencakup tentang solidaritas, demokrasi langsung, dan kritik terhadap kekuasaan yang otoriter.

Menyamakan anarkisme dengan kriminalitas bukan hanya disinformasi, tapi juga upaya meredam ruang belajar alternatif. 

Anak muda yang membaca Emma Goldman atau Kropotkin tidak otomatis jadi perusuh. Sama halnya orang yang membaca Che Guevara tidak serta-merta menjadi gerilyawan. Negara takut pada ruang belajar independen yang bisa melahirkan keberanian.

Baca Juga: Kamus Feminis: Anarkisme dan Anarko-Feminisme (Tidak) Sama Dengan Kekacauan

Ketakutan negara terhadap bacaan bukanlah cerita baru, melainkan tradisi panjang yang diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya. 

Pada masa Orde Lama, literatur Marxis dilarang keras karena dianggap mengancam stabilitas negara muda. Di era Orde Baru, karya-karya Pramoedya Ananta Toer dicap berbahaya. Buku-buku yang mencoba mengisahkan ulang tragedi 1965 pun ditarik dari peredaran. Masuk ke masa Reformasi, ketika kita berharap lebih banyak ruang kebebasan, pola yang sama tetap berulang: buku-buku tentang Papua, Aceh, hingga wacana gerakan kiri, semuanya dicurigai dan sebagian bahkan disita.

Rezim boleh berganti, tetapi kebiasaan mengontrol pengetahuan tak pernah hilang. Buku selalu jadi korban dari ketakutan negara terhadap rakyat yang terlalu tahu, terlalu kritis, terlalu berani.

Kekerasan tidak selalu hadir dalam bentuk pentungan, gas air mata, atau penangkapan di jalan. Ada bentuk kekerasan yang lebih halus, tak selalu terlihat, tetapi dampaknya jauh lebih panjang, yaitu kontrol atas pikiran.

Ketika menyita buku, negara mengirim pesan kepada rakyatnya bahwa berpikir dan membaca itu berbahaya. 

Pesan ini selain menunjukkan strategi kekuasaan yang bekerja lewat rasa takut, juga menunjukkan logika patriarki yang khas: mengatur tubuh sekaligus pikiran. Tubuh perempuan dikontrol agar tidak menyimpang, pikiran publik diawasi agar tidak membangkang.

Bagi perempuan, beban ini berlipat ganda. Membaca buku feminis atau radikal membuat mereka distigma, dianggap tidak sopan, terlalu kritis, bahkan tidak tahu tempatnya. Bacaan feminis dipandang berbahaya karena mengguncang dua struktur sekaligus: negara yang otoriter dan keluarga yang patriarkal.

Baca Juga: Penangkapan di Ujung Hari: Lagi Nongkrong Ditangkap, Ada Dugaan Pelecehan Seksual

Kontrol pikiran adalah kekerasan yang tidak selalu kasatmata, tetapi nyata: ia memenjarakan imajinasi, merampas keberanian untuk bertanya, dan membuat warga kehilangan daya kritis. Dan seperti semua bentuk kekerasan berbasis patriarki, yang paling menderita adalah kelompok rentan: perempuan, mahasiswa, kaum miskin kota, dan komunitas yang suaranya dianggap mengganggu status quo.

Menyita buku sama dengan melangkah mundur ke masa gelap. Demokrasi tidak bisa bertahan tanpa kebebasan membaca dan berpikir, karena demokrasi sejatinya lahir dari keberanian rakyat mempertanyakan kekuasaan. Bila membaca dianggap ancaman, maka apa arti suara rakyat di kotak Pemilu?

Sejarah Indonesia sendiri sudah berulang kali membuktikan bahwa demokrasi yang menolak buku adalah demokrasi yang rapuh. Pada masa Orde Baru, negara melarang karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya dianggap berbahaya, padahal yang ia lakukan hanyalah menuliskan sejarah dari sudut pandang rakyat kecil. Bahkan, Pramoedya sendiri dipenjara bertahun-tahun di Pulau Buru tanpa proses pengadilan, demi memastikan pikiran kritisnya tidak menyebar. Namun apa hasilnya? Justru kini karya-karya Pramoedya menjadi bacaan wajib bagi generasi muda yang ingin memahami luka sejarah bangsa.

Contoh lain adalah pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik pada 1994. Pemerintah saat itu ingin membungkam kritik pers. Tetapi tekanan masyarakat sipil justru menguat, dan pembungkaman tersebut menjadi salah satu pemicu lahirnya gerakan reformasi 1998. Dari sini jelas bahwa larangan buku dan bacaan tidak pernah memperkuat negara; ia justru membuka borok kekuasaan dan menumbuhkan perlawanan.

Baca Juga: Dirazia hingga Diancam Aparat, Cerita Warga Yang Kibarkan Bendera One Piece 

Sejarah dalam peristiwa-peristiwa internasional pun memberikan cermin yang sama. Pada 1933, Nazi Jerman membakar ribuan buku karya penulis Yahudi, feminis, dan sosialis. Mereka percaya dengan memusnahkan buku, mereka bisa memusnahkan ide. Tetapi sejarah membuktikan sebaliknya: ide tentang kebebasan, kesetaraan, dan keadilan justru semakin kuat, diwariskan dari generasi ke generasi. Di Amerika Serikat saat ini, muncul kembali gerakan book banning di sekolah-sekolah, terutama menyasar karya feminis dan literatur queer. Hal ini memperlihatkan bahwa bahkan di negara yang mengklaim dirinya demokratis, kontrol atas pikiran masih terus diupayakan.

Penyitaan buku hari ini adalah tanda bahaya. Menyita buku bukan sekadar soal hukum, tetapi juga soal kekerasan simbolik. Pemerintah sedang mengirim pesan bahwa negara lebih nyaman dengan rakyat yang pasif, tidak bertanya, dan hanya menerima doktrin resmi. Padahal demokrasi yang sehat justru membutuhkan rakyat yang cerewet, kritis, bahkan mengganggu.

Buku bukan bom molotov. Membaca bukan kejahatan. Dan yang seharusnya ditakuti rakyat bukanlah pengetahuan, melainkan negara yang terus-menerus takut pada rakyatnya sendiri.

(Editor: Luviana Ariyanti)

(foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Yuli Riswati

penulis yang jatuh cinta pada cara-cara tak terduga gerakan sosial mengekspresikan diri.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!