Maria Machado, Peraih Nobel Perdamaian Yang Tuai Kontroversi Pro Israel Hingga Fasisme

Machado disebut memiliki rekam jejak pro-Israel yang melakukan genosida di Gaza hingga pendukung fasisme. Dia bukan satu-satunya peraih Nobel Perdamaian yang menuai kontroversi, sebelumnya ada Abiy Ahmed, Kissinger, hingga Barack Obama.

Kecaman mengiringi pemberian Nobel Perdamaian 2025. Kritik berdatangan menyoroti pemenangan Maria Corina Machado, periah Nobel pejuang demokrasi asal Venezuela.

Penghargaan ini dianggap paradoks karena rekam jejaknya yang bertolak belakang karena dukungannya ke Israel yang dipimpin Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Organisasi masyarakat Islam di Amerika Serikat, Dewan Hubungan Amerika-Islam (The Council on American-Islamic Relations/CAIR), mengecam pemberian Nobel Perdamaian ini

CAIR tegas mengatakan, keputusan komite Nobel untuk memenangkan Machado, meskipun ia mendukung gerakan rasis, anti-Muslim, dan fasis merupakan “penghinaan” bagi banyak calon penerima penghargaan di seluruh dunia. Termasuk, mereka yang memperjuangkan keadilan bagi semua orang, termasuk para jurnalis, aktivis, dan politisi yang telah mengambil risiko besar untuk menentang genosida di Gaza.

Dalam sebuah pernyataan, CAIR yang berbasis di Washington, D.C, mengatakan:

“Hadiah Nobel Perdamaian seharusnya diberikan kepada individu yang telah menunjukkan konsistensi moral dengan berani memperjuangkan keadilan bagi semua orang, bukan kepada politisi yang menuntut demokrasi di negaranya sendiri sementara mendukung rasisme, kefanatikan, dan fasisme di luar negeri. Kami sangat tidak setuju dengan keputusan komite Hadiah Nobel untuk memberikan hadiah perdamaian tahun ini kepada Maria Corina Machado, seorang pendukung Partai Likud Israel yang rasis.”

Serupa, kedekatan Machado dengan Israel juga pernah disoroti oleh Al Jazeera. Machado telah beberapa kali menyuarakan dukungan terhadap Israel secara terang-terangan. Usai serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, Machado menyebut tindakan kelompok Palestina tersebut sebagai “serangan teroris”. 

Ia juga mengatakan bahwa terorisme “harus dikalahkan dengan segala cara, apa pun bentuknya”. Sejak serangan itu saja, genosida Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 67 ribu warga Palestina. Mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak. 

Nobel Perdamaian diberikan sejak awal abad ke-19. Sederet perempuan yang pernah menerima Nobel Perdamaian dari masa ke masa seperti Bertha von Suttner (1905), Laura Jane Adams (1931), Bunda Teresa (1979), Wangari Muta Maatahai (2004), Malala Yousafzai (2014), Maria Ressa (2021), hingga Narges Mohammadi (2023). 

Dalam pengumuman resminya, Komite Nobel Swedia resmi menganugerahkan Nobel Perdamaian tahun 2025 ini pada Maria Machado. 

“Seorang perempuan yang menjaga api demokrasi tetap menyala di tengah kegelapan yang semakin pekat,” begitulah Komite membuka kalimatnya.  

Mereka menilai, Machado sudah bekerja keras dan tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-hak demokrasi bagi rakyat Venezuela. Machado juga berjuang mencapai transisi yang adil dan damai dari kediktatoran menuju demokrasi.

Sebagai pemimpin gerakan demokrasi di Venezuela, Machado disebut-sebut sebagai salah satu contoh keberanian warga sipil yang paling luar biasa di Amerika Latin belakangan ini.

“Machado telah menjadi tokoh kunci dan pemersatu dalam oposisi politik yang dulunya sangat terpecah belah, sebuah oposisi yang menemukan titik temu dalam tuntutan pemilihan umum yang bebas dan pemerintahan yang representatif,” ucap mereka.  

Baca Juga: Aktivis Perempuan Iran Narges Mohammadi Raih Nobel Perdamaian 2023

Inti dari demokrasi, kata Komite Nobel, tak lepas dari kesediaan bersama untuk mempertahankan prinsip-prinsip pemerintahan rakyat, meskipun berbeda pendapat. “Di saat demokrasi terancam, mempertahankan titik temu ini menjadi lebih penting dari sebelumnya.” 

Disebutkan, Venezuela telah berevolusi dari negara yang relatif demokratis dan makmur menjadi negara otoriter yang brutal. Hingga kini menderita krisis kemanusiaan dan ekonomi. Sebagian besar rakyat Venezuela hidup dalam kemiskinan yang parah, bahkan ketika segelintir orang di puncak memperkaya diri. 

Mesin kekerasan negara diarahkan terhadap warga negaranya sendiri. Hampir 8 juta orang telah meninggalkan negara itu. Oposisi telah ditindas secara sistematis melalui kecurangan pemilu, penuntutan hukum, dan pemenjaraan. Rezim otoriter Venezuela membuat kerja politik menjadi sangat sulit. 

“Sebagai pendiri Súmate, sebuah organisasi yang berdedikasi pada pembangunan demokrasi, Machado memperjuangkan pemilu yang bebas dan adil lebih dari 20 tahun yang lalu,” kata mereka.  

Mereka mengutip pernyataan Machado “Itu adalah pilihan antara surat suara dan peluru.” 

Baca Juga: Shirin Ebadi, Pencetus Hari Tanpa Kekerasan Internasional 2 Oktober

Dalam jabatan politik dan pengabdiannya kepada berbagai organisasi sejak saat itu, Machado dinilai telah menyuarakan kemerdekaan peradilan, hak asasi manusia, dan representasi rakyat. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun berjuang untuk kebebasan rakyat Venezuela.

Menjelang pemilu 2024, Machado merupakan calon presiden dari oposisi, tetapi rezim memblokir pencalonannya. Ia kemudian mendukung perwakilan dari partai lain, Edmundo Gonzalez Urrutia, dalam pemilu tersebut. Ratusan ribu relawan dimobilisasi lintas partai politik. Mereka dilatih sebagai pemantau pemilu untuk memastikan pemilu yang transparan dan adil. 

Meskipun berisiko mengalami pelecehan, penangkapan, dan penyiksaan, warga di seluruh negeri tetap mengawasi tempat pemungutan suara. Mereka memastikan penghitungan akhir didokumentasikan sebelum rezim dapat menghancurkan surat suara dan berbohong tentang hasilnya.

“Upaya oposisi kolektif, baik sebelum maupun selama pemilu, inovatif dan berani, damai, dan demokratis,” klaim Komite. 

Oposisi dikatakan, menerima dukungan internasional ketika para pemimpinnya mempublikasikan hasil penghitungan suara yang telah dikumpulkan dari distrik-distrik pemilihan negara, yang menunjukkan bahwa oposisi telah menang dengan selisih suara yang jelas. Namun, rezim menolak menerima hasil pemilu, dan tetap berkuasa.

Baca Juga: Maria Ressa, Perempuan Jurnalis Peraih Nobel Perdamaian 2021

Setahun terakhir, Machado terpaksa hidup dalam persembunyian. Meskipun menghadapi ancaman serius terhadap nyawanya, ia tetap tinggal di negara itu, sebuah pilihan yang dianggap telah “menginspirasi” jutaan orang.

Cengkeraman kekuasaan yang kaku dan represif rezim Venezuela terhadap rakyat sebenarnya terjadi juga di berbagai belahan dunia. Tren yang sama secara global: supremasi hukum disalahgunakan oleh mereka yang berkuasa, media bebas dibungkam, kritikus dipenjara, dan masyarakat didorong ke arah pemerintahan otoriter dan militerisasi. 

Maria Corina Machado dinilai Komite Nobel, memenuhi ketiga kriteria yang tercantum dalam wasiat Alfred Nobel untuk pemilihan penerima Hadiah Perdamaian. Machado bisa menyatukan oposisi di negaranya. Ia tak pernah goyah dalam melawan militerisasi masyarakat Venezuela. Ia teguh dalam mendukung transisi damai menuju demokrasi.

“Maria Corina Machado telah menunjukkan bahwa perangkat demokrasi juga merupakan perangkat perdamaian. Ia mewujudkan harapan akan masa depan yang berbeda, di mana hak-hak dasar warga negara dilindungi, dan suara mereka didengar. Di masa depan ini, rakyat akhirnya akan bebas hidup dalam damai,” kata mereka. 

Merespons pemenangannya, Machado mengatakan ini merupakan pengakuan yang luar biasa atas perjuangan seluruh rakyat Venezuela. Dia juga sempat menyebutkan nama Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menurutnya punya peran dukungan bagi pihaknya selama ini.

“Kita berada di ambang kemenangan hari ini, lebih
dari sebelumnya, kita mengandalkan Presiden Trump, rakyat Amerika Serikat, rakyat Amerika Latin, dan negara-negara demokrasi di dunia sebagai sekutu utama kita untuk mencapai kebebasan dan demokrasi,” ujar Machado dalam sebuah unggahan di media sosial X.

Kecaman Akibat Pro Israel Hingga Fasisme

Para kritikus pemenangan Nobel Perdamaian 2025, mempertanyakan rekam jejak Machado yang menuai kontroversi bahkan kecaman.

Salah satu yang paling lantang bersuara adalah 0rganisasi advokasi dan hak-hak sipil muslim terbesar di Amerika Serikat bernama Council on American-Islamic Relations (CAIR)

Baca Juga: ‘No Other Land’ Masih Terkungkung Hegemoni Kolonialisme

CAIR juga menyebut, Machado telah menjadi pendukung kuat pemerintah Israel, khususnya Partai Likud yang berhaluan kanan ekstrem, anti-Muslim, dan rasis yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu. Machado secara pribadi menandatangani “aliansi” formal antara partai politik Venezuela-nya dan Partai Likud pada tahun 2020. Ia juga menyatakan, “Perjuangan Venezuela adalah perjuangan Israel.”

(Sumber: TRT World)

Machado juga mengatakan bahwa ia akan memindahkan Kedutaan Besar Venezuela di Israel ke Yerusalem sebagai bentuk pengakuan atas pendudukan ilegal Israel di seluruh kota tersebut.

Baca Juga: Dua Tahun Genosida di Palestina: Pidato Prabowo Absurd, Hanya Tawarkan Perdamaian Dan Kutuk Bencana

Times of India pernah membuat laporan soal rekam jejak di media sosial Machado yang pro-Israel. Dia pernah menuliskan di akun Twitternya (sekarang X) pada tahun 2021, bahwa semua orang yang membela nilai-nilai Barat berdiri bersama negara Israel, sekutu sejati kebebasan.

Kedekatan Machado dengan Netanyahu misalnya tergambar dalam cuitannya pada tahun 2018. Dalam upayanya membubarkan rezim Venezuela terkait perdagangan narkoba dan terorisme, dia meminta bantuan termasuk kepada Netanyahu. 

Baca Juga: Feminisme di Persimpangan Jalan: Perempuan Palestina dan Persaudaraan Selektif

Berbagai hal itu, semakin menguatkan kedekatan Machado dengan Israel. Dia dilekatkan dengan pro-Israel yang selama ini melakukan genosida yang kejam di Gaza. 

Genosida merupakan kejahatan internasional yang didefinisikan dalam Konvensi Genosida 1948 sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.

Baca Juga: Google PHK Pekerja Pro-Palestina, AJI Jakarta Serukan Boikot  Project Google

Tindakan-tindakan yang merupakan genosida terbagi dalam lima kategori yaitu, membunuh anggota kelompok, menyebabkan cedera fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok, dengan sengaja memaksakan suatu kelompok pada kondisi kehidupan yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok tersebut secara fisik, baik secara keseluruhan maupun sebagian, menerapkan tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut dan memindahkan secara paksa anak-anak suatu kelompok ke kelompok lain.

Sebagaimana yang dikatakan CAIR, Machado juga pernah menyuarakan dukungannya terhadap pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia mengatakan bahwa, jika terpilih menjadi Presiden Venezuela, akan memindahkan kedutaan Venezuela dari Tel Aviv ke Yerusalem. 

“Komitmen ini selaras dengan sikap Washington dan menandakan pergeseran dari dukungan historis Venezuela terhadap perjuangan Palestina. Partai politik Machado, Vente Venezuela, juga menandatangani perjanjian kerja sama dengan Partai Likud milik Netanyahu,” tulis Al Jazeera. 

Baca Juga: Fans K-pop Indonesia Pecah Rekor ‘Paling Sat Set’ Galang Donasi Palestina

Kerja sama ini berisi komitmen untuk memperkuat hubungan antara rakyat Israel dan Venezuela. Vente Venezuela menyebutnya sebagai “langkah bersejarah dan sangat penting”. Mereka juga mengumumkan bahwa kerja sama akan mencakup masalah politik, ideologi, dan sosial, serta memajukan isu-isu terkait strategi, geopolitik, dan keamanan, sehingga kedekatan ini menjadi sebuah kemitraan.

Dalam postingan resminya di medsos X, Vente Venezuela mengatakan “Kami bangga mengumumkan bahwa kami telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan @Likud_Party Israel untuk memajukan isu-isu strategi, geopolitik, dan keamanan. Sebuah langkah bersejarah yang kita ambil sebagai sebuah partai dan dalam membela nilai-nilai Barat: kebebasan, supremasi hukum, dan pasar bebas,” cuit mereka pada 24 Juli 2020. 

Baca Juga: Ribuan Nama Rakyat Palestina Korban Genosida Tertulis dalam Poster Aktivis

Terbaru pada awal tahun ini, Machado diketahui menyampaikan pidato virtual di konferensi ‘Patriots of Europe’ di Madrid, Spanyol. Konferensi tersebut dihadiri oleh pembicara yang termasuk ekstremis anti-Muslim, seperti Geert Wilders, Marie Le Pen, dan Viktor Orban. Mereka secara terbuka menyerukan “Reconquista”. Ini merujuk pada pembersihan etnis Muslim dan Yahudi Spanyol pada tahun 1500-an.

(Aksi menyerukan Reconquista. Sumber Gambar via The New Arab)

Simón Rodríguez Porras, seorang Sosialis dan penulis asal Venezuela dalam Reconquista Christian Far Right Joins Zionism Neo-Crusade menyoroti para ekstrem kanan di Eropa yang kembali,  dan memobilisasi massa  seolah-olah kembali ke tahun 1492 Masehi. Berkumpul di bawah panji “Patriot untuk Eropa”, mereka berbaris di bawah bendera ultra-nasionalisme, xenofobia, Islamofobia, antisemitisme, dan neo-fasisme. Mereka datang dari perwakilan dari Prancis, Italia, Portugal, Republik Ceko, Austria, Estonia, Yunani, dan Polandia diselenggarakan oleh Santiago Abascal dari Vox Spanyol pada tanggal 8 Februari.

Baca Juga: Refleksi Gerakan Feminis Soal Penolakan JILF: “Dengan Siapa Kita Bekerja?” 

Selain slogan yang sering diulang “Make Europe Great Again,” slogan menonjol lainnya dari pertemuan puncak tersebut adalah “Reconquista,” atau “menaklukkan kembali”. Sebuah istilah bermuatan ideologis yang merujuk pada upaya militer dan budaya Eropa untuk mengusir pengaruh Islam, yang berpuncak pada akhir abad ke-15. Slogan tersebut digunakan oleh kaum ultra-kanan Eropa yang terobsesi untuk merebut kembali masa lalu kolonialisnya dan mengusir dari Eropa. 

Dengan semua kontroversi itu, CAIR menyerukan kepada Machado untuk mencabut dukungannya terhadap Partai Likud dan fasisme anti-Muslim di Eropa. 

“Jika beliau menolak, Komite Hadiah Nobel harus mempertimbangkan kembali keputusannya, yang telah merusak reputasinya sendiri. Seorang fanatik anti-Muslim dan pendukung fasisme Eropa tidak pantas disebut bersama orang-orang seperti Dr. Martin Luther King, Jr., dan para peraih Nobel Perdamaian lainnya yang layak,” katanya.

Perempuan Dukung Perempuan (Yang Tertindas)

Saat mengangkat sosok Machado, barangkali akan muncul pertanyaan: Kenapa hanya Machado yang disorot sebagai sosok kontroversial? Kenapa tidak memunculkan pula sosok-sosok kontrovesial pemenang Nobel Perdamaian yang lebih dulu kontroversial? 

Jawabannya, kenapa tidak. 

Sederet tokoh pemenang Nobel Perdamaian yang juga kontroversial itu misalnya Abiy Ahmed, Henry Kissinger, hingga Barack Obama. Jadi, Machado Bukan Satu-Satunya. 

Dari berbagai sumber, Abiy Ahmed, Henry Kissinger, dan Barack Obama melakukan nyaris semua hal yang bertentangan dengan wasiat Alfred Nobel soal perdamaian. 

Di Ethiopia, Ahmed memimpin perang pasukan pemerintah pusat dengan milisi Tigray. Imbas perang saudara itu, menyebabkan pengungsian jutaan orang Tigray. Dia bukan juru damai, namun justru sosok yang menjadi gerbang perang saudara.   

Sementara, ketidaklayakan Obama itu karena terungkapnya persetujuan berbagai serangan AS ke negara lain. Pada 2017, pemerintah AS diketahui memerintahkan lebih dari 500-an serangan udara selama Ia menjadi presiden. Ratusan warga sipil tewas dalam serangkaian serangan itu.  

Obama juga diketahui menyetujui pengerahan tambahan 30 ribu tentara AS ke Afganistan. Sepanjang tahun 2016, AS juga menjatuhkan 26 ribuan bom ke tujuh negara. Setiap jam artinya ada tiga bom yang meluluhlantahkan target serangan. 

Baca Juga: Perang Iran-Israel: Ingatkan Tiap Perang Selalu Perempuan dan Anak Jadi Korban

Henry Kissinger juga dikenal sebagai pendukung diktator AS Selatan. Sebagai menteri Luar Negeri AS, dia banyak dinilai menerapkan standar ganda dalam kebijakan luar negeri AS. 

Kissinger juga diingat sebagai tokoh yang bertanggung jawab atas genosida, pemerkosaan, dan penyiksaan massal di berbagai negara. Berbagai konflik berdarah di dunia yang melibatkan nama Henry Kissinger mulai dari perang vietnam, genosida Kamboja, invasi Indonesia ke Timor Timur, hingga Perang Kemerdekaan Bangladesh yang menyebabkan hilang nyawa 300 ribu hingga 3 juta orang. 

Kontroversi para pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu, mengingatkan kita bahwa pembelaan kita adalah pada mereka yang tertindas. Termasuk perempuan dan anak-anak. 

Feminisme sesungguhnya tidak berdiri semata-mata pada landasan ‘membela perempuan’ ketika ada banyak perempuan lain yang tertindas. Feminisme tidak hanya berfokus pada isu gender, tetapi juga pada isu-isu lain yang memengaruhi kehidupan perempuan. Seperti kemiskinan, rasisme, homofobia, dan akses terhadap layanan kesehatan. Feminisme yang inklusif mengakui bahwa untuk mencapai kesetaraan gender, harus ada keadilan sosial di berbagai bidang kehidupan.

Baca Juga: ‘Momoye, Mereka Memanggilku’: Militerisme dan Perbudakan Seksual di Era Perang Asia Timur Raya

Dalam kacamata Feminisme Interseksional, pengalaman perempuan tidak dapat dipisahkan dari berbagai kelindan identitas yang mereka miliki. Seperti, ras, kelas sosial, orientasi seksual, agama, disabilitas dan lainnya.  

Kimberle Crenshaw (1989) pernah menjelaskan feminisme interseksional ini dalam Time yang menyebutnya sebagai “Prisma untuk melihat jalan ketika berbagai bentuk ketidaksetaraan kerap beroperasi bersama dan memperburuk satu sama lain.”

Interseksionalitas kemudian juga menjadi landasan pemikiran tokoh feminis bell hooks. Menurutnya, interseksionalitas “menantang gagasan bahwa ‘gender’ adalah faktor utama yang menentukan nasib seorang perempuan”. 

Maka pernyataan perempuan dukung perempuan (yang tertindas) juga perlu kita tekankan. Dalam hal ini, ketika bicara soal Machado yang pro-Israel, kita juga perlu melihat jutaan perempuan Gaza yang terdampak dari genosida yang dilakukan Israel itu.  

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!