Ilustrasi pledoi Amat Rhang Manyang dan konflik antara ibu dan anak perempuan

‘Pledoi’ Amat Rhang Manyang, Ini Kisahku Jalani Hubungan Toksik Anak Perempuan dengan Ibu

Apakah aku Amat Rhang Manyang, anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh sang ibu dalam hikayat Aceh? Ini pledoiku dan hubungan toksik seorang anak perempuan dengan ibu yang ‘keras’ terhadap anak perempuannya.

Jika budaya Minang mengenal kisah Malin Kundang yang durhaka, kami di Aceh punya legenda serupa tentang pemuda bernama Amat Rhang Manyang. Hikayat Amat Rhang Manyang berlatar di sekitar Krueng (Sungai) Peusangan dan sangat populer di kalangan masyarakat Aceh. Alkisah, Amat Rhang Manyang hidup bersama ibunya, Mak Minah, yang berstatus janda. Ia dikutuk menjadi batu karang karena durhaka dan menolak ibunya. Hikayat lengkapnya bisa dibaca di ‘Beberapa Legende Sastra Nusantara yang Bertema Sama dengan Legende Malin Kundang: Sastra Daerah di Sumatra dan Kalimantan’ karya Yeni Mulyani S. dan Nikmah Sunaryo, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994).

Tapi saya tidak bicara tentang sosok Amat Rhang Manyang yang dilegendakan tersebut. Ini kisah saya, anak perempuan yang mengalami tsunami Aceh di tahun 2004 yang menjadi salah satu tragedi bencana alam terbesar di Indonesia. Tsunami 2004 tidak hanya memporak-porandakan saya, tapi juga hubungan saya dengan keluarga batih (inti). Kondisi ini ditambah ketidakmengertian saya: mengapa tidak satu buah pun foto saya terpajang di ruko yang kami tempati sejak sehabis tsunami ini? Sementara foto nikah kakak dan abang saya serta foto Mama dan cucunya dipajang. 

Dengan bangganya Mama ‘melenyapkan’ saya dari memorabilia selama 20 tahun ini. Saya menjadi anak-hilang-dan-anak-durhaka dengan narasi-narasi bahwa Mama dan keluarga saya senantiasa menjadi korban dalam situasi apapun (playing victim).

Baca Juga: ‘Anak Perempuan Main Bola, Anak Laki Bantu Memasak’ Pengasuhan Mestinya Bikin Peran Gender Bisa Dipertukarkan

Kisah ini saya buka dengan ingatan merayakan Idul Fitri pada Oktober 2006/Syawal 1426 H. Idul Fitri pertama setelah berada di perantauan untuk menempuh kuliah S1 tersebut adalah peristiwa yang saya ingat dengan rasa muak. Dalam satu kesempatan, Mama meminta saya menghidangkan teh manis hangat yang dibuatnya untuk dua tamu laki-laki yang berkunjung. Saya tidak berprasangka apapun saat itu. Hanya rasa gerah karena keduanya mengamati saya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki berulang-ulang. Setelahnya, saya memutuskan untuk kembali ke kamar, merasa tidak perlu untuk ikut bercengkrama. 

Usai keduanya pulang, saya dipanggil Mama dan abang. Keduanya menjelaskan bahwa salah satu di antara dua laki-laki itu adalah teman Papa. Setelah tsunami, ia berinisiatif mencari Papa karena mengetahui bahwa tempat tinggal Papa yang berada di dekat pantai, kemungkinan tersapu gelombang tsunami di Desember 2004 lalu. Awalnya ia pergi ke Gampong Jawa. Ketika menyadari rumah Papa hanya menyisakan puing-puing yang tak layak huni, ia bertanya kepada siapa pun yang mungkin mengetahui keberadaan Papa dan/atau keluarganya. Pencariannya membawa ia dan putranya ke Kelurahan Peunayong, ke sebuah ruko berlantai dua yang menjadi tempat tinggal kami setelah tsunami.

Mengetahui bahwa Papa hilang dalam musibah tsunami, ia menyampaikan keinginannya untuk menikahkan anak lelakinya dengan anak perempuan Papa. Setelah mendengarkan mukaddimah ini, saya menemukan alasan kedua lelaki itu memberikan pandangan seperti sedang ‘menaksir barang’ ketika saya menyuguhkan teh. Kemudian, abang mengambil alih percakapan. Dia menyebutkan bahwa dia dan Mama setuju jika saya menikah dengan anak lelaki teman Papa tersebut yang sudah bekerja sebagai dosen di IAIN (sekarang UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Saya serta-merta menolak. Saya bilang tidak ingin menikahinya. 

Abang mulai marah. Dengan intonasi yang tinggi dia berkata, “Tak tahu diuntung! Apa profesinya sebagai dosen tidak cukup baik untuk menanggung hidup kamu?” 

Baca Juga: Anak Perempuan di Persimpangan Hukum: Keadilan Restoratif Terlunta, Korban Dibiar Nestapa

Jawab saya sengit, “Saya punya otak! Saya punya pekerjaan yang baik saat ini, saya tidak perlu hidup ditanggung suami. Saya bisa bertanggung jawab secara finansial terhadap hidup saya!”

Setelahnya, percakapan mengenai ini tidak pernah muncul lagi. Saya pun berpikir keduanya selesai dengan keinginan untuk membuat saya menikah. Tidak disangka, di Maret atau April 2009, Mama meminta saya agar bersedia diperkenalkan dengan saudara jauh yang datang dari Jakarta untuk mencari istri. Saudara jauh tersebut, meskipun sudah tinggal lama di Jakarta, menginginkan istri orang Aceh. Saya tidak tahu; apakah karena ada keinginan untuk mempertahankan kemurnian etnis Acehnya untuk anak-anaknya nanti? 

Mama menyampaikan bahwa lelaki tersebut berusia 40 tahun dan menjabat sebagai manajer di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta. Saya yang berusia 26 tahun saat itu langsung menolak dengan alasan bahwa beda usia kami terlalu jauh: 14 tahun. Saya melihat ini sebagai gap generasi yang memiliki upbringing, cara pandang, nilai, serta pengalaman berbeda yang berpotensi menjadi konflik.

Namun, Mama justru membantah dan menyebutkan, “Saya dan Papamu terpaut 11 tahun. Menurut saya, itu perbedaan yang ideal karena laki-laki yang lebih dewasa bisa mengayomi sang perempuan.” 

Akhirnya, saya terpaksa memberitahu Mama berita tak terduga. “Mama, saya akan berangkat ke Amerika Serikat di akhir Mei 2009 untuk kuliah S2. Saya mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Amerika Serikat. Jadi, tentu saja saya tidak ingin menikah sekarang, agar bisa fokus pada pendidikan S2.” Ternyata, di kemudian hari, baru saya tahu bahwa berita itu tidak menyenangkan buat Mama.

Baca Juga: Dear Orangtua, Baca ‘Girl Stuff’ untuk Stop Tabu pada Tubuh Anak Perempuan

Itu hanya dua dari pengalaman serupa yang berulang. Mama tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan agar saya menikah. Meskipun para lelaki itu seringkali orang yang tidak saya kenal. Saya pikir konyol sekali menikahi pasangan yang dipilihkan Mama. Lalu saya membela diri, “Kalau Mama menikah dengan Papa karena cinta, kenapa saya tidak boleh menikah karena cinta? Dan harus menerima siapa pun yang ‘meminta saya’?”

Pembelaan-pembelaan saya sesungguhnya hanya kedok dari alasan yang tidak bisa saya sebutkan. Sebabnya, Mama selalu melihat saya sebagai perpanjangan dirinya. Jika dia memilih menjadi ibu rumah tangga untuk mengurus Papa dan keenam anaknya, maka saya pun dituntut untuk memilih jalan itu. Padahal, sejak berusia 14 tahun, saya menolak menjadi bagian dari pengkondisian masyarakat yang merayakan perempuan-perempuan yang menikah dan mempunyai anak, tapi mempermalukan perempuan yang tidak menginginkan hal-hal tersebut. Saya ingin menjalani hidup tanpa anak, jika memungkinkan, dengan lelaki yang memiliki visi sama. Namun, jika tidak menemukan lelaki seperti itu, saya siap menjalani hidup tanpa pasangan. Saya tidak ingin hidup “dipekerjakan untuk membangun mimpi-mimpi orang lain”. Membangun keluarga, menjadi kakek dan nenek, dan sebagainya, yang bertumpu pada aspek reproduksi. Karena itu bukan mimpi saya!

Baca Juga: Catatan Anak Perempuan Ketika Kehilangan Ibu

Ada dua omongan Mama yang cukup melukai saya. Mama pernah mengucapkan bahwa karier saya bersifat temporer. Setelah menikah kelak, saya akan dengan sukarela menjadi ibu dan mengurus rumah tangga. Mungkin, Mama tidak berhasil menemukan role model akan peran perempuan dalam peradaban. Sebab nenek saya hanya lulusan Sekolah Rakyat, hamil sebanyak 17 kali, mengalami keguguran empat kali, melahirkan sebanyak 13 kali, serta mengurus rumah tangga sepanjang hayatnya. Atau, Mama yang kelahiran 1958 dan seumur hidupnya hanya berkutat di Dharma Wanita kantor Papa dan sebagai anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah ‘anak kandung ibuisme negara yang dipraktikkan oleh Orde Baru’. 

Mereka inilah perwujudan nyata dari sosok ibu sempurna yang mengutamakan pekerjaan rumah tangga. Juga pengabdian kepada suami di atas kepentingan pribadinya. Namun, tetap saja ini internalized misogyny (internalisasi misogini) yang keterlaluan jika Mama menginginkan generasi setelahnya pun hanya mengurus rumah tangga. Bayangkan: dalam keluarga kami, tiga generasi menjadi ibu rumah tangga, di saat ada banyak kesempatan bagi perempuan untuk menghancurkan glass ceiling

Kembali pada berita saya yang tak terduga mengenai beasiswa Fulbright Tsunami Relief Initiative untuk menempuh Magister Ilmu Politik. Setelah kabar itu, Mama dengan sedih menyebutkan bahwa tidak ada laki-laki yang mau menikahi saya karena saya terlalu pintar sekarang. Saat itu, saya baru menyadari bahwa menurut Mama, syarat utama sebagai wife material adalah bodoh.

Baca Juga: Kami Beragama Kristen, Tapi Sekolah Wajibkan Anak Perempuanku Berjilbab

Tsunami Aceh meninggalkan banyak kehilangan. Saya berduka karena kehilangan seorang ayah, kakak, dan dua adik laki-laki dalam bencana yang memporak-porandakan daerah kelahiran saya pada pukul 08.53 WIB di sebuah Minggu pagi tahun 2004 lalu. Kehilangan luar biasa yang mengubah orientasi hidup saya. Pada saat itu, saya terpuruk dalam pikiran suicidal (bunuh diri) hingga dua kali. Dalam kondisi seperti ini pula, saya berkali-kali harus menghadapi Mama. Ia selalu berkata bahwa kehilangan saya tak seberapa dibandingkan beliau yang kehilangan seorang suami dan tiga orang anak. Itu caranya ‘one-upping myself’ dalam rangka ‘mengungguli’ saya.

Saya baru tahu bahwa kehilangan ternyata memiliki ‘peringkat’? Di kepala saya, muncul berbagai pertanyaan. Dengan kehilangan sebagai sesuatu yang memiliki efek perubahan, apakah kemudian ada ambang batas mengenai level of pain (peringkat rasa sakit) dan level of lost (peringkat kehilangan)? Apakah kehilangan yang dirasakan seorang Ibu berbeda dengan yang dirasakan seorang anak? Lantas, hanya ketika berada di peringkat yang sama, baru mereka berhak untuk berduka (mourning)? 

Bagi saya, kehilangan tersebut terjadi menjelang ujian akhir semester 5. Saya gagal berkonsentrasi untuk menghadapi ujian 7 mata kuliah. Setiap saat, pikiran saya tertuju pada nasib Papa, kakak, dan 2 adik laki-laki yang hingga saat itu keberadaannya belum diketahui dan/atau jenazahnya belum ditemukan. Dalam sekejap, saya mengalami kebangkrutan finansial, kehilangan tempat tinggal, serta terancam putus kuliah karena ketiadaan biaya.

Baca Juga: Hari Anak Perempuan, Menjadi Pemimpin Anak dalam Sehari

Kehilangan tersebut begitu sulit saya cerna. Bahkan hingga kini, 20 tahun kemudian karena saya tersandera oleh gangguan stres pascatrauma (PTSD). Fase terberat dalam hidup saya adalah 1,5 tahun setelah peristiwa tsunami 2004. Saya harus memotivasi diri untuk bertahan hidup setiap hari karena keinginan untuk mengakhiri hidup begitu kuat. Setiap hal, baik ingatan, tempat, rasa, apapun, bisa memicu reaksi putus asa dan sakit yang tak tertahankan. Seperti ada batu besar yang menghimpit dada sehingga saya kesulitan bernafas. Belum lagi, mimpi-mimpi yang memungkinkan saya bertemu dengan anggota keluarga yang hilang, namun selalu terputus ketika saya menanyakan keberadaan mereka. Getting triggered is genuinely terrifying. Dan saya harus hidup tanpa coping skill yang mumpuni selama 17 tahun.

Saya pikir, kehilangan akibat tsunami 2004 tersebut tidak lazim dikompetisikan. Karena kehilangan Papa, seorang kakak, dan dua adik laki-laki tersebut telah membuat saya dan kehidupan saya tidak pernah sama lagi, selamanya.

Hubungan ‘Toksik’ Ibu dan Anak Perempuan Juga Bagian dari Patriarki

Budaya patriarki menciptakan mitos yang beracun dan merendahkan martabat manusia. Seperti bahwa semua ibu selalu penuh kasih sayang (all mothers are loving all the time). Juga bahwa semua anak perempuan harus bersyukur, apapun dinamika yang terjadi dalam hubungan tersebut. 

Tsunami Aceh 2004 tidak hanya membekaskan luka fisik. Ternyata, saya menderita PTSD akibat tsunami, yang baru terdiagnosa di Februari 2021 dan mendapatkan pertolongan profesional sejak Juli 2021. Dalam proses konseling tersebut saya tersadarkan bahwa hubungan saya dan Mama bersifat toksik. Sedari kecil, saya tumbuh dalam lingkaran kekerasan fisik dan verbal yang paling sering ditujukan Mama ke saya. Pasalnya, saya dianggap sebagai anak yang suka melawan orang tua dan paling susah diatur.

Memori saya mencoba mengumpulkan pangkal dari kebengisan Mama yang luar biasa terhadap saya, namun gagal. Saya hanya mengingat beberapa yang sangat traumatis, seperti percakapan antara Mama dan kakak yang saya dengar sewaktu duduk di bangku SMA.

Saat itu, Mama mengutarakan kekecewaannya karena sejak awal kehamilannya yang keempat, beliau sangat yakin bahwa yang dikandungnya adalah bayi laki-laki. Teknologi Ultrasonografi (USG) mulai digunakan di Indonesia pada akhir 1970an hingga awal 1980-an, namun hanya di rumah sakit besar. Meskipun tinggal di Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh, rumah sakit yang ada di sana saat itu tidak dapat dikategorikan sebagai rumah sakit besar. Ini menjelaskan ketiadaan teknologi untuk membantu diagnosis kehamilan. Sehingga, prediksi terhadap jenis kelamin bayi dilakukan berdasarkan pengalaman kehamilan sebelumnya (Mama melahirkan anak pertama laki-laki dan dua anak perempuan setelahnya). Perasaan kecewa yang luar biasa muncul ketika yang lahir adalah saya, berjenis kelamin perempuan.

Baca Juga: Andai ‘Orpa’ Didengar, Kisah Anak Perempuan Papua

Kedua, saya mewarisi alergi dari kedua orang tua yang manifestasinya cukup serius. Tidak saja saya alergi obat golongan NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs) yang digunakan untuk meredakan nyeri, demam, dan peradangan. Namun juga alergi kulit serta menderita asma. Dunia saya berubah ketika di usia 14 tahun saya resmi mengidap asma bronkial, setelah bertahun-tahun terus batuk dan sesak. Pengobatan selama enam bulan yang diharapkan mampu mencegah asma bronkial dan mengobati gejala rhinitis alergi dengan tablet Astifen 1 mg gagal.

Sejak itu, dimulai penderitaan panjang ketika serangan datang. Ketidakmampuan untuk tidur nyenyak di malam hari, kesulitan bernafas yang sangat menyakitkan dada dan kadang membuat hampir pingsan karena suplai oksigen ke otak berkurang banyak. Serta hari-hari izin sakit dari sekolah. Saya menderita sangat lama, dengan hanya mengandalkan obat minum untuk meredakan saat serangan terjadi. Pasalnya, Mama menolak penggunaan inhaler yang mengandung Salbutamol karena mitos adiksi/kecanduan.

Saya baru berhasil keluar dari perangkap sakit yang membuat trauma ini di 23 Juli 2006, setelah sembilan tahun hidup dengan berbagai episode serangan asma. Ini pun setelah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Alhasil, saya bisa membuat keputusan-keputusan yang lebih otonom untuk kesejahteraan saya. Inhaler pertama saya adalah Combivent (jenis reliever inhaler) yang saya kantongi ke mana-mana. Saya menemukan kelegaan luar biasa ketika serangan asma hanya sempat singgah selama beberapa menit, bukan berjam-jam atau bahkan berhari-hari.

Selain itu, satu kekerasan verbal dari Mama yang sangat terpatri dalam memori saya adalah cibiran. Atau mungkin lebih tepat makiannya ke saya. “Udah wajah jelek, kelakuan pun jelek. Mau jadi apa kamu?”

Baca Juga: Hari Anak Nasional: Stop Stereotype, Ajarkan Anak Perempuan Jadi Pemimpin

Beberapa ciri ibu narsistik adalah melihat anak sebagai perpanjangan dari dirinya sendiri. Memiliki kebutuhan yang berlebihan untuk mengontrol dan berkuasa. Juga sering menuntut anak untuk membuat orang tuanya bangga, terobsesi dengan citra keluarga, dan tidak bisa dibantah. Mereka juga sangat sensitif terhadap kritik apapun. Serta kerap menganggap kemandirian anak (meskipun sudah dewasa) sebagai ancaman. Selain itu, selalu ingin menjadi pusat perhatian, mengabaikan perasaan anak, menganggap anak sebagai sumber validasi, dan suka membanding-bandingkan anak. Ibu narsistik pun suka mengkritik tapi cemburu dengan pencapaian anak. Serta sering bersikap manipulatif dan eksploitatif, bahkan juga membumbui dengan efek gaslighting.

Saya menyadari kelelahan batin yang luar biasa untuk menghadapi Mama yang narsistik dan manipulatif. Momen itu muncul ketika saya membaca pengingat ini. “Sometimes you don’t realize how terrible you were treated until you are explaining it to someone else. (Terkadang kamu tidak menyadari betapa buruknya perlakuan yang kamu terima sampai kamu menjelaskannya kepada orang lain).”

Namun, saya masih terus kesulitan untuk menavigasi hubungan dengan Mama.

Baca Juga: Mendadak Yatim Piatu: Anak-Anak Perempuan Jadi Korban Pandemi

Dalam proses konseling, saya menemukan banyak luka batin yang terus menerus Mama timbulkan. Saya harus mendaftar sendiri ke SMA Negeri 3 Banda Aceh setelah lulus dari MTsN-I Banda Aceh (sekarang menjadi MTsN Model) karena Mama menginginkan saya untuk melanjutkan ke MAN 1 Banda Aceh. Dus, Mama memboikot pilihan saya.

Di usia remaja tersebut, saya harus menemukenali proses pendaftaran siswa baru ke sekolah pilihan, tanpa bantuan orang tua dan saudara yang lebih tua. Kemudian, saya memutuskan untuk masuk ke kelas unggul yang mengakibatkan waktu sekolah saya lebih panjang. Ketika murid biasa hanya bersekolah hingga pukul 13.45 WIB Senin sampai Kamis, saya harus melanjutkan sekolah mulai dari pukul 16.00 hingga 18.00 WIB, Senin sampai Jumat, serta baru akan pulang pukul 13.45 WIB di saat murid kelas biasa pulang pukul 12.00 WIB di hari Sabtu. Saya memilih program kelas unggul ini setelah gagal di seleksi tahap akhir SMA Modal Bangsa. Ini merupakan mimpi Mama agar ada anaknya yang sekolah di sekolah unggul berasrama tersebut. Harapan saya, pilihan untuk masuk kelas unggul tersebut bisa menyenangkan Mama.

Ketika saya lulus S1 dengan IPK 3,82 (cumlaude), Mama bertanya, mengapa IPK saya tidak bisa 4,00? Ketika saya harus menolak menemani keluarga Mama yang berkunjung ke Banda Aceh dari Medan karena harus menyelesaikan revisi tesis, Mama dengan nada marah berkata. “Apa hebat kali tesismu itu [sampai menolak menemani Uwak dan Ommu bercengkerama]?” Bentakan ini membuat saya speechless karena saya hanya diberikan waktu sepekan untuk melakukan revisi. Jika saya kehilangan momentum itu, kelulusan saya terpaksa ditunda hingga semester depan, yang tentu saja, sangat merugikan saya.

Baca Juga: Surat Untuk Anak Perempuanku yang 18 Tahun

Saya akhirnya menemukan pencerahan mengenai hubungan saya dengan Mama pada 30 April 2024 setelah membaca tulisan berjudul ‘Why are Some Mothers Abusive to Daughters?’

Ada beberapa poin penting yang saya pelajari dari karya Bethany Webster tersebut. Pertama, banyak anak perempuan dewasa yang merasa sulit untuk memiliki rasa iba dengan batasan (to have compassion with boundaries). Sebab ibu yang toksik sering kali menganggap ekspresi kemandirian anak perempuannya tidak dapat ditolerir.

Kedua, ibu menjadi abusif terhadap anak perempuannya karena perampasan terhadap sesuatu yang dianggap penting bagi kesejahteraan psikologis si ibu semasa kecilnya. Ini diproyeksikan kepada putrinya. Dus, menempatkan putrinya sebagai sumber rasa sakit dan frustrasinya.

Ketiga, anak perempuan merupakan target yang paling potensial sebagai pelampiasan sikap abusif ibu. Sebab lebih mudah menjadikannya sebagai “sasaran tinju” (punching down) dibandingkan melampiaskannya kepada suami atau anak laki-lakinya. Ini karena budaya patriarki yang memposisikan anak perempuan di bawah sang ibu (berada dalam relasi kuasa yang timpang). Agresi perempuan tidak diterima oleh budaya patriarki. Sehingga, sikap abusif ibu ini bisa sangat halus atau terselubung dalam perilaku keibuan yang tampaknya penuh kasih, terutama di depan umum.

Baca Juga: 32 Persen Anak Perempuan Mengalami Kekerasan di Media Sosial

Keempat, mitos bahwa “all mothers are loving all the time” ini membuat si anak perempuan selalu disalahkan dan dipermalukan. Bahkan menjadi outcast di kalangan keluarga, kerabat, dan sanak saudara. Oleh karenanya, akan sangat biasa bagi anak perempuan untuk mendengarkan penghakiman seperti ini dari segala penjuru. “Pasti ada yang salah dengan dirimu sehingga ibumu seperti itu. Kamu harus berubah untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan ibumu. Suatu hari nanti kamu akan melakukannya dengan benar. Kamu hanya harus terus berusaha.”

Saya menuliskan pledoi ini karena ingin menyudahi dampak perilaku toksik, narsistik, dan manipulatif Mama terhadap kesejahteraan mental dan fisik saya. Sebagai perempuan dewasa yang dipaksa memikul tanggung jawab untuk hidup saya sendiri dan mengalami pengabaian finansial dari Mama sejak 26 Desember 2004. Saya tidak bisa mengorbankan diri demi ilusi dan trauma yang belum terselesaikan dari Mama. Pledoi ini adalah ekspresi berduka saya (grieving) karena tiba saatnya untuk saya menyebrangi jembatan rasa sakit menuju kebebasan. Saya membiarkan Mama memandang salah tentang saya dan saya tidak ingin membela diri dari persepsi Mama yang salah tersebut.

Mama dan dua anak kesayangannya mungkin secara tidak sadar berinvestasi untuk tidak memahami saya. Sebab hal itu menimbulkan terlalu banyak ancaman terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh (internalized misogyny dan patriarki). Memahami saya dapat menyebabkan pergeseran seismik—mungkin serupa gempa hebat seperti yang melanda Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004 lalu—pada fondasi yang telah mereka bangun atas identitas dan pandangan mereka akan dunia.

Baca Juga: Untuk Jannah, Fitri dan Anak Perempuan yang Menikah di Pulau Kami

Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan salam perpisahan ini. Mama, kehidupanmu adalah tanggung jawabmu sendiri, sama halnya dengan kehidupan saya yang merupakan milik saya sendiri. Saya menolak menjadi korban dari penderitaan Mama. Saya menolak untuk terjebak dalam “perang” yang Mama hadapi. Meskipun Mama mungkin tidak memahami saya, saya harus menjalani jalan hidupku sendiri. Saya memilih untuk benar-benar hidup. Mulai hari ini, saya akan menjadi lebih berdaya, menetapkan boundaries yang tegas, dan tidak lagi menolerir perlakuan buruk Mama dan dua anak kesayangan Mama.

Akhirnya, saya mungkin harus terus menerus melakukan afirmasi positif bahwa alasan saya mendapatkan perlakuan yang abusive dari Mama tidak ada hubungannya dengan saya. Bukan perilaku, kepribadian, atau pilihan saya yang menyebabkan perilaku abusive tersebut. Satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas perilaku tersebut adalah orang yang memilih untuk melukai saya secara fisik, emosional, maupun psikologis. I won’t look within myself for an explanation of someone else’s choice

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Mirisa Hasfaria

Lulusan S2 Ilmu Politik dari University of Arkansas, Fayetteville, Amerika Serikat. Dia memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap kesetaraan gender. Kisah dalam tulisan ini merupakan pergolakan personal religiusitas keislaman dari penulis berdasarkan teks dan konteks realitas sosial yang melibatkannya secara intensif.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!