Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menyatakan dalam peringatan Hari Lansia Nasional, jika panti jompo tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Ia khawatir adanya panti jompo justru menjadi alasan pembenaran bagi para anak untuk menolak merawat lansia di keluarganya.
Padahal sejumlah aktivis menyatakan bahwa panti jompo bisa menjadi alternatif rumah atau tempat tinggal bagi para lansia.
Peneliti dari The Prakarsa, Herni Ramdlaningrum, seperti dikutip dari Tempo.co, mengkritik pernyataan Tri Rismaharini. The Prakarsa menilai, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Mensos Risma kurang memahami dinamika perubahan demografi serta struktur sosial ekonomi masyarakat Indonesia sekarang ini. Herni mengatakan, bahwa kehadiran panti jompo atau panti lansia justru penting di tengah fenomena meningkatnya populasi lansia dan generasi sandwich.
Fenomena sandwich generation ini didukung dengan hasil penelitian The Prakarsa pada 2021, yang menunjukkan 66,3 persen kelompok usia produktif tinggal di rumah tangga tiga generasi. Herni mengatakan, bahwa ketiadaan panti jompo juga berpotensi menciptakan kesenjangan pada tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan. Sebab, menurut dia, umumnya peran merawat orang tua lansia dilakukan oleh anak perempuan. Hal itu menyebabkan partisipasi perempuan cukup rendah di pasar kerja. Data Badan Pusat Statistik 2023 menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 60,18 persen, sementara laki-laki mencapai 86,97 persen.
Baca Juga: Ceritaku Berkunjung ke Biennale Jogja 2023, Musik Bisa Jadi Seni Terapi Bagi Lansia
Riset yang dilakukan LBH APIK juga menemukan, sejumlah perempuan lansia punya banyak persoalan di masa tua, salah satunya adalah hidup sendirian.
“Kalau tidak menikah dan punya anak, siapa yang mengurus kami di masa tua?.”
Diperingati setiap tanggal 29 Mei, Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) juga disebut sebagai Hari Lansia Nasional. Hari itu adalah hari sebagai upaya untuk menghargai peran penting para lanjut usia (lansia) di Indonesia.
Dampak stigma perempuan hanya untuk urusan dapur, sumur dan kasur sehingga tidak perlu sekolah tinggi, kemudian sangat dirasakan oleh para perempuan ketika tua.
Banyak lansia perempuan yang tidak bisa menulis dan membaca. Hal ini menyebabkan, selain peluang kerja yang sempit di masa tua, kondisi ini juga mengakibatkan mereka sering dikesampingkan atau dibohongi keluarganya.
Bagi beberapa yang tidak menikah dan tidak memiliki anak, mungkin pernah diberi pertanyaan tentang: bagaimana menjalani masa tua tanpa ada yang merawat?. Stigma ini didorong oleh anggapan, bahwa anak adalah satu-satunya penjamin perawatan di masa tua.
Lansia, terutama perempuan Lansia di Indonesia di tahun 2019-2020 menurut catatan LBH APIK, mengalami banyak persoalan. Seperti sebanyak 9,38% Lansia selama ini hidup sendiri, mayoritas perempuan Lansia tidak punya asuransi dan 5,75% mengalami kerentanan ekonomi. LBH APIK juga mendata para Lansia mendapatkan kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan kekerasan seksual.
Baca Juga: Hapus Stigma Pada Kakek dan Nenekmu Yang Lansia, Mereka Harus Hidup Bahagia
Banyak Lansia yang kemudian tinggal di panti jompo atau panti werdha sebagai alternatif untuk menjalani masa tua.
Panti jompo tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai lingkungan yang menyediakan berbagai aktivitas sosial dan rekreasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup para penghuninya. Selain itu, panti jompo juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi para lansia, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi kesehatan tertentu yang memerlukan perhatian khusus.
Namun informasi yang tidak cukup tentang panti jompo nampaknya membuat sebagian orang ragu menghabiskan masa tua di panti jompo. Konde.co berkesempatan mengunjungi panti jompo Hargo Dedali di Surabaya (25/5/2024).
Baca Juga: ‘Diarak dan Dibuka Jilbab Secara Paksa’ Pemulung Tua Jadi Korban Kekerasan di Yogyakarta

Saat memasuki panti, terlihat panti sangat sejuk dan bersih. Berupa bangunan rumah yang cukup luas, terlihat beberapa oma sedang bersantai di halaman depan. Hargo Dedali adalah sebuah yayasan yang resmi menjadi badan hukum pada tahun 2014. Sebelumnya, yayasan ini adalah perkumpulan dari para pejuang perempuan dan janda para veteran yang mendirikan sebuah panti jompo.
Panti jomponya sendiri telah berdiri sejak 1987. Awalnya, panti ini didirikan khusus untuk menampung lansia perempuan, namun seiring waktu panti ini menerima lansia laki-laki. Panti inipun juga terbuka untuk semua keyakinan agama. Kini yayasan sekaligus panti jompo ini dikelola oleh putri salah satu veteran, Endang Sinar Gianti.
Saat Konde.co meliput, panti ini merawat 30 lansia dan memiliki sekitar 20 karyawan.
“Salah satu pimpinan perkumpulan dulu adalah pejuang bagian dapur, kebetulan ibu-ibu pejuang ini pada waktu itu butuh tempat tinggal di masa tuanya. Sering waktu tahun 2015 para pejuang sudah tidak ada semua, jadi sekarang isinya untuk lansia umum,” jelas Endang.
Baca Juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Endang menjelaskan, meskipun panti ini kini dibuka untuk umum, namun kebanyakan penghuninya masih perempuan. Banyak di antara mereka yang merupakan mantan pekerja ataupun orang yang karirnya sangat bagus semasa hidupnya. Banyak dari para penghuni di sini adalah perempuan single yang tidak menikah.
Dalam kasus seperti ini biasanya pihak keluarga yang bertanggungjawab adalah keponakan atau pihak keluarga kandung. Ada juga pekerja rumah tangga yang ditanggungjawabi mantan bosnya yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan mereka.
“Kebetulan panti kami ini banyak oma-oma yang tidak menikah. Kalau seperti itu yang bertanggung jawab untuk menitipkan di panti ini adalah keponakan atau keluarganya yang dulunya disekolahkan atau dirawat. Ada juga pekerja rumah tangga yang lama ikut orang, sudah rawat anaknya bahkan sampai cucunya, biasanya keluarga bosnya akan menanggungjawabi.”
Biaya Bulanan Yang Harus Dipenuhi Lansia
Syarat untuk menghuni panti ini antara lain adalah lansia berusia di atas 60 tahun. Kemudian memiliki persetujuan atau pertanggungjawaban dari 2 orang anggota keluarga. Selain itu penghuni panti ini juga perlu membayar biaya hunian bulanan sekitar 4 juta rupiah. Namun biaya tersebut bervariasi tergantung dari kondisi lansia.
Umumnya biaya tersebut digunakan untuk kebutuhan makan harian hingga kebutuhan personal seperti popok dewasa atau obat-obatan penyakit umum lansia. Namun, beberapa lansia memerlukan perawatan lebih, sehingga kebutuhan biaya hidupnya juga membengkak. Dan yang paling penting adalah konsensual.
Lansia yang tinggal disini juga harus atas kesadaran atau keinginan sendiri, tidak mendapat paksaan atau atas kehendak orang lain.
“Tiap lansia dipegang 2 perawat pagi sama sore. Kalau lansianya sakit misal stroke ringan kita terima tapi ada biaya lagi. Jika berobat di rumah sakit biasanya tanggung jawab keluarga, tapi kalau ada minta bantuan dari kita ya bisa. Kalau ada pasien baru kita tanyakan apakah keinginan sendiri atau dipaksa, tidak boleh ada paksaan,” terang Endang.
Layanan yang diberikan panti ini pun juga terbilang sangat lengkap. Dari kehidupan sehari-hari lansia hingga lansia tutup usia. Bagi penghuni yang menutup usia di tempat ini, panti Hargo Dedali menyiapkan layanan khusus sesuai keyakinan masing-masing. Panti ini bekerja sama dengan salah satu rumah duka yang ada di Surabaya untuk umat Kristen atau Buddha dan pemakaman Islam.
Panti juga akan mengurus jenazah dari mulai memandikan hingga menuju ke pemakaman. Pihak keluarga hanya perlu berkoordinasi jika ada hal-hal tertentu yang dibutuhkan terkait proses pemakaman.
Baca Juga: ‘The New Grey’, Gerakan Lansia untuk Tampil Fashionable dan Gaya

Dalam keseharian, panti ini memiliki kegiatan yang beragam. Mulai dari kegiatan hiburan, kesehatan hingga keagamaan. Panti ini mengadakan senam lansia setiap jam 8 pagi dan ada juga acara yoga yang diinisiasi oleh pihak eksternal pada hari Selasa. Panti ini juga mengadakan kebaktian untuk umat Kristen setiap hari Rabu dan Minggu serta pengajian untuk umat Islam setiap hari Kamis hingga Sabtu.
Mereka juga mengadakan pemeriksaan kesehatan pada hari-hari tertentu ataupun pada event-event khusus jika ada pihak yang mengadakan. Selain itu, banyak juga acara yang mereka gelar jika terdapat pihak yang bekerjasama dengan mereka. Seperti acara salon gratis hingga acara hiburan nonton bioskop sampai karaoke.
“Kebetulan panti kami sering diajak kerjasama dari mahasiswa maupun perusahaan. Dari mulai diajak nonton bareng di bioskop, buka bersama di beberapa hotel, sampai bawa electone buat karaoke nyanyi bareng. Ada juga dari mahasiswi yang kerja sama dengan luar negeri untuk cek Kesehatan. Event-event lain sangat banyak seperti salon gratis dan kegiatan lain dari orang-orang yang peduli dengan panti” tutur Endang.

Endang menjelaskan tidak ada kendala berarti dalam menjalankan kehidupan panti. Hanya saja terkadang para oma pernah berselisih paham akan hal-hal kecil. Salah satu yang pernah dicontohkan adalah saat para pekerja membagikan roti kukus. Pembagian roti kukus kepada penghuni membuat beberapa lansia berselisih paham.
Baca Juga: 29 Mei Hari Lansia Nasional: Pentingnya Perhatikan Kebutuhan Ayah dan Ibumu
“Tidak ada kendala berarti, paling ya cuma selisih paham. Misalkan pada waktu itu karyawan kita ada yang baru, kemarin kita dapat roti kukus kan macem-macem, ada yang coklat strawberry, vanilla, pandan. Itu diberi ke oma pilih yang mana, padahal kan pilihannya ngga banyak. Jadinya ada yang ngambek karena tidak dapat roti pilihannya. Lalu kita kasih tau ke staf, lain kali kalau misal ada kue langsung saja dibagikan.”
Kapasitas panti ini sebenarnya adalah 100 orang, namun Endang menginginkan penghuni memiliki ruang yang lebih luas sehingga kapasitas panti tidak dipenuhi 100%. Hal ini untuk menghindari adanya konflik atau kesalahpahaman antar penghuni. Endang juga menjelaskan jika terjadi gesekan antar penghuni biasanya mereka dipisah dulu untuk beberapa waktu hingga keadaan membaik.
“Kapasitas kita kan 100 orang mbak, tapi ndak kita lebihi, paling banyak ya 65. Salah satunya nanti oma-oma bertengkar, selisih paham nah itu kita pindah. Nanti kalau sudah melerai kita gabung lagi. Sekarang penghuninya 32 orang.”
Tetap Enjoy dan Tidak Merasa Kesepian
Kekhawatiran sebagian orang bahwa tinggal di panti akan kesepian dan jauh dari keluarga ternyata tidak selalu benar. Endang menjelaskan bahwasanya penghuni panti di sini sangat enjoy dan menikmati kehidupan panti. Mereka jarang merindukan keluarganya karena banyak kegiatan yang digelar di panti.
“Oma-oma di sini walaupun banyak yang tidak menikah tapi sangat enjoy. Bahkan pandemi covid yang lalu mereka ndak sering menanyakan keluarga, yang ditanya cuma kenapa kok jarang ada tamu. Karena oma-oma ini tidak tahu kalau ada pandemi di luar. Itu kita jelaskan kenapa kok sehari-hari sepi. Pada waktu itu kita biasanya nobar, jadi kita di aula saya matikan lampu terus ya udah kita nonton film pilihan mereka.”

Adanya panti Hargo Dedali menjadi pelengkap bagi rumah jompo di Surabaya. Beberapa panti jompo di Surabaya umumnya dimiliki oleh lembaga keagamaan saja. Sementara itu pemerintah kota sendiri hanya memiliki 1 rumah lansia yang memiliki persyaratan bagi mereka yang mau menghuninya.
“Panti lansia memang kebanyakan dimiliki oleh lembaga keagamaan. Kalau kita untuk umum jadi penghuninya macam-macam dari semua agama. Kalau punya pemerintah itu hanya ada 1 itupun persyaratannya masuk situ ketat, benar-benar ditelusuri sampai kelurahan apakah lansianya benar-benar tidak memiliki keluarga. Bagi yang tidak KTP Surabaya ya ditempatkan di Liponsos.”
Panti jompo mungkin bukan akhir cerita, melainkan babak baru dalam kehidupan lansia. Dengan menghilangkan stigma dan membangun sistem yang mendukung, panti jompo dapat menjadi tempat yang aman, nyaman, dan penuh makna bagi para lansia untuk menikmati masa tua mereka dengan penuh kebahagiaan.
Nasib Lansia Perempuan
Khotimun dari LBH APIK bersama Koalisi untuk Masyarakat Peduli Usia Lanjut (KuMPUL) pernah mendata baseline survey di 3 Provinsi yaitu Bali, Sumatera Utara (Deli Serdang), dan Yogyakarta tentang persoalan yang menimpa para perempuan Lansia. Data ini dikumpulkan di tahun 2019-2020. Pernyataan Khotimun ini disampaikan dalam sebuah diskusi tentang Lansia yang pernah ditulis Konde.co 2 Desember 2020.
Posisi sosial Lansia ternyata berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat menempatkan Lansia.
Misalnya Lansia sebagai pemimpin Upakara (Pedanda, Jero Mangku), pegawai negeri, atau lansia yang punya kasta yang tinggi, memiliki anak yang dihormati oleh komunitas, atau memiliki harta, umumnya mereka akan lebih dihormati daripada yang tidak.
“Perempuan yang tidak memiliki anak cenderung lebih rentan ditelantarkan, misalnya di Bali dan Deli Serdang, bila tidak memiliki anak laki-laki cenderung lebih rentan terlantar. Anak laki-laki disana sebagai penerus dalam adat, jadi lebih dihormati,” kata Khotimun
Ketidakadilan gender juga mempengaruhi situasi Lansia, terutama Lansia perempuan yang dikonstruksi oleh percampuran antara adat, tradisi dan tafsir agama secara turun-temurun. Lansia juga dianggap sebagai kelompok “tidak berdaya” dan bukan “subjek” dalam pembangunan tidak memiliki perwakilan/ tidak diperhitungkan dalam Musrenbangdes dll, dan sulit mengakses informasi dan pekerjaan.
Ketidakadilan gender dan eksklusi sosial yang dihadapi Lansia kemudian berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap Lansia.
Baca Juga: 6 Hari Penting Perempuan di Bulan Mei: Hari Marsinah sampai Hari Kanker Ovarium
Data tentang Lansia di tahun 2020 juga masih belum memadai seperti data terpilah. Lansia laki-laki dan perempuan yang sering sulit didapatkan di tingkat desa, data kekerasan terhadap Lansia masih minim dan belum memuat terpilah secara lebih komprehensif, serta tidak ada update tahunan.
“Kekerasan terhadap Lansia sering tersembunyi dan disembunyikan karena dianggap memalukan, tabu, dianggap tidak penting lagi, tidak dipercaya sebagai korban, tidak tahu kemana meminta bantuan. Hambatan budaya sekaligus linear dengan akses terhadap hak dasar juga berpengaruh pada Lansia seperti tidak memiliki identitas hukum seperti akta perkawinan, KTP, KK sendiri dan juga hambatan akses pendidikan.”
“Kartu Keluarga Lansia menyatu dengan kartu keluarga anak-anaknya, sehingga Lansia kadang tidak terdata sebagai kelompok yang berhak atas bantuan sosial. Jaminan sosial Lansia juga tidak merata, dan banyak tidak diketahui di tingkat akar rumput terutama desa-desa. Masyarakat banyak yang belum memahami hak-hak Lansia.”
Selama ini menurut hasil survey LBH APIK, Lansia juga sulit menjual hasil bumi, misalnya dibeli murah oleh tengkulak sehingga penghasilan sangat minim,tidak dapat berjualan ke pasar dll. Mereka juga banyak yang tak terdata sebagai kelompok miskin sehingga tidak mendapat bantuan sosial, sedangkan terdampak sangat signifikan karena pandemi dan akses kesehatan yang lebih sulit dan lebih rentan di masa pandemi
Eka Afrina, peneliti dari Prakarsa mengatakan dalam diskusi yang sama, bahwa survey yang pernah dilakukan Prakarsa mendapatkan data bahwa sekitar 80% Lansia kehilangan hak dasar dan sekitar 15% Lansia tidak bisa mengakses air bersih seperti menggunakan air hujan dan sungai untuk kebutuhan sehari-hari
Terbukti, perempuan lansia masih mengalami masalah ketimpangan gender secara akumulatif sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, diskriminasi dan stereotip negatif terkait usia dan gender harus berhenti dilakukan siapa saja.
Hari Lansia Nasional sebaiknya khusus didedikasikan untuk menghormati dan menghargai orang tua di sekitar kita, sekaligus menyoroti masalah yang mereka hadapi , serta menciptakan lingkungan yang ramah bagi orang tua.