Menerima Diri, Menerima Tuhan, Menerima Kasih: Cerita Perjalanan Spiritual Transpuan

Enam tahun Yara Shahrazad merasa kehilangan Tuhan. Selama satu lustrum lebih satu tahun itu ia terus berkompromi dengan kehidupan yang silang selimpat; melela identitas gender sebagai transpuan dan memilih agama yang berbeda dengan keluarganya hingga diusir dua kali. Sampai akhirnya ia berlabuh pada komunitas gereja yang menerimanya, rumah yang memberinya kesempatan menerima diri, memberinya kekuatan untuk bernapas lebih panjang.

Saat mendewasa dan masuk kuliah, Yara Shahrazad mengaku sebagai seorang nihilis, tenggelam dalam pemikiran bahwa hidup tidak memiliki makna atau tujuan. Dalam kekosongan spiritualnya, ia merasa dunia ini hampa, tanpa ada sesuatu yang benar-benar penting. Kecintaannya pada sastra-sastra Perancis membawanya pada karya Albert Camus dan konsep absurdisme.

Enam tahun dilalui Yara dengan hal yang disebutnya sebagai pencarian spiritual. Selama itu juga, ia mengidentifikasi diri sebagai ateis. Sebelumnya, ia dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat. Namun, seiring waktu ketika duduk di bangku kuliah, Yara merasakan ketiadaan Tuhan. Ia merasa terasing dari Tuhan.

“Kalau iman, ini ceritanya agak rumit. Aku sebenarnya enam tahun jadi ateis sejak tahun 2016; aku latar belakangnya Muslim, keluargaku Muslim. Terus tahun 2016 pas aku kuliah, begitu, aku merasa ketiadaan Tuhan. Aku jadi ateis,” cerita Yara saat diwawancarai Konde.co di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (5/6/2024).

Setelah perjalanan spiritual panjangnya, Yara kini beralih mendaku absurdist. Ia memahami pencarian makna hidup sebagaimana dijelaskan oleh Albert Camus dalam bukunya, The Myth of Sisyphus. Bagi Yara, makna hidup adalah sesuatu yang harus terus dicari, meskipun sering kali terasa sia-sia. Seperti perjuangan Sisyphus yang abadi.

BACA JUGA: Pameran ‘Ruang Rasa’, Transpuan Memaknai Trauma dan Keberanian

Dalam absurdisme, manusia dihadapkan pada kontradiksi antara pencarian makna dan kenyataan bahwa hidup tidak memiliki makna yang melekat. Bagi Yara, ketidakpastian dan perjuangan ini adalah bagian dari eksistensi sehari-hari. Pemahaman yang otomatis menjadi pelarian dan inspirasi bagi Yara, membantu dia menemukan jalan dalam pencarian maknanya.

Pada awal 2023, Yara menemukan maknanya sendiri dengan melela identitas gender sebagai transpuan. Keputusan ini menyebabkan Yara diusir dari rumah oleh keluarganya yang tidak bisa menerima identitas barunya.

“Aku memutuskan untuk transisi. Ketika orang tuaku mengetahui hal ini, aku diusir dari rumah,” ujarnya dengan mata menerawang.

Mujur tak bisa diraih, bala tak mampu ditolak. Sebagai transgender, Yara juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Ia terusir dari keluarganya serta mesti putar otak bagaimana ia bisa bernapas setidaknya sedikit lebih lama.

“Aku sempat mendaftar sebagai penulis naskah. Tetapi kemudian ditolak dengan respons yang berubah dan prosedur wawancara yang mendadak diubah,” cerita Yara.

Di tengah keputusasaan dan ketidaksengajaan, ia menemukan Komunitas Gereja yang menerimanya.  Perkumpulan gereja yang tidak hanya menawarkan tempat ibadah, tetapi juga rumah bagi mereka yang terpinggirkan. Menjadi tempat Yara menemukan kasih manusia yang mendukung dan memahami perjuangannya.

“Setelah pencarian sebagai ateis, aku bertemu dengan Persekutuan Kristen Menteng yang adalah komunitas spiritual dan beragama, dan menerima aku. Jadi merasa terpanggil saja, sih. Kemudian aku ikut katekisasi waktu itu,” cerita Yara.

Sejuk Hangat Kasih Tuhan

Ketika pertama kali tiba di rumah singgah komunitas, Yara merasakan kehangatan yang lama hilang dari hidupnya. Rumah singgah itu niscaya menjadi tempat Yara berlindung dari dunia yang penuh prasangka, sekaligus ruang di mana ia bisa mulai merajut kembali kepercayaannya yang pernah tercerai-berai. Yara menemukan tempat yang menerima dan mendukungnya tanpa syarat.

“Mulanya aku hanya membantu di acara-acara kecil, menjadi MC atau moderator talkshow,” ceritanya.

Namun, seiring berjalannya waktu, keterlibatannya di komunitas makin mendalam. Setiap tugas yang diembannya membawa makna baru dalam hidupnya. Setiap pertemuan dengan jemaat menguatkan keyakinannya bahwa ia telah menemukan tempat yang tepat.

Kehadirannya yang semula hanya sebagai sukarelawan kini berkembang menjadi peran yang lebih signifikan dalam gereja. Yara mulai melayani jemaat setiap hari Minggu, membawa suara dan semangat baru dalam ibadah mereka.

Perjalanan itu bukannya tanpa hambatan. Setelah memutuskan untuk berpindah agama menjadi Kristen, Yara yang mulai memperbaiki hubungan dengan keluarga kembali terusir. Dua kali pengusiran ini menggambarkan betapa beratnya perjalanan Yara dalam menemukan dan menjalani identitas serta keyakinannya.

“Setelah beberapa waktu, hubungan dengan keluargaku sempat membaik dan aku kembali ke rumah. Tapi, ketika mereka tahu aku pergi ke gereja dan telah berpindah agama, aku diusir lagi. Aku diusir dari kedua hal (itu): karena aku transgender dan karena aku pindah beragamanya,” kenang Yara.

BACA JUGA: Feby Damayanti: Bagaimana Hidup Transpuan di antara Janji Capres dan Caleg

Kini, rumah singgah itu berubah menjadi asrama. Yara tinggal dengan perasaan penuh bersama tiga kawan gereja lainnya di sana. Di asrama itu, kesalingan tabah biasa terjadi pada setiap jiwa yang datang tanpa memandang latar belakang. Menawarkan pelukan hangat dan rangkulan sejuk, khususnya bagi komunitas queer, penyintas ’65, dan Orang Asli Papua (OAP).

“Gereja itu juga ada rumah singgah untuk orang-orang yang termasuk queer, untuk penyintas ’65, untuk orang Papua juga,” cerita Yara.

Salah satu momen penting dalam hidup Yara di komunitas adalah ketika ia diberi kesempatan untuk berkhotbah.

“Aku juga melayani diri tiap hari Minggu begitu. Kadang penyanyi Mazmur dan bahkan minggu ini mau disuruh berkhotbah juga sebenarnya. Itu pengalaman unik, sih. Soalnya kan, ini gereja queer, gitu, dan kami ingin mendengarkan suara queer dalam khotbah. Jadi para transgender yang ada di komunitas ini juga didorong untuk berkhotbah,” ceritanya antusias.

Yara dan gereja queer-nya juga aktif dalam kegiatan sosial, mengadakan berbagai program edukasi tentang LGBT dan Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristics (SOGIESC). Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang isu-isu yang dihadapi oleh komunitas queer, serta mempromosikan inklusivitas dan penghormatan terhadap keragaman.

BACA JUGA: ‘Salon Rumah Puan’ Bercerita Tentang Hitam Putih Kehidupan Para Transpuan

Dengan setiap langkah kecil, dari komunitas kecil pula, Yara bersama kawan-kawan berusaha mengubah pandangan masyarakat. Mengajak mereka untuk melihat keindahan dalam keberagaman. Memberikan cinta kasih kepada mereka yang sering kali diabaikan dan ditinggalkan. Kesalingan Yara dan teman-temannya selayaknya catu daya yang menyalurkan energi baru, menyiratkan bahwa kasih Tuhan tidak mengenal batas.

Kini hanya 10-15 jemaat aktif, Yara dan kawan-kawan berjuang dengan sumber daya manusia yang terbatas. Keterbatasan ini memaksa mereka untuk memfokuskan pelayanan pada lingkup kecil. Terutama komunitas queer, penyintas ’65, dan Orang Asli Papua.

“Kami ingin melayani lebih luas, tetapi kami masih kekurangan orang,” ungkap Yara.

Meski demikian, semangat komunitas untuk merangkul mereka yang terasing tetap terus subur. Yara bersama ketiga kawannya di asrama tetap menerima kelompok marginal yang terasing dan membutuhkan tempat tinggal untuk bergabung di asrama.

“Dulu informasinya pernah aku naikkan di Twitter, tapi kami tetap terbuka kalau ada yang mau ke asrama, masih ada kamar kosong,” kata Yara.

Bentuk rangkulan itu juga mewujud dari adanya layanan konseling yang bekerja sama dengan Momentizing, organisasi layanan kesehatan mental sebagai support group bagi kelompok queer yang membutuhkan konseling.

“Organisasi Momentizing kita kerja sama begitu dan mereka menyediakan sesi konseling, mereka menyediakan psikolog,” jelas Yara.

BACA JUGA: 15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi

Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia masih menghadapi tantangan besar terkait hak-hak LGBT dan kebebasan beragama. Meskipun Pasal 22 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya,” pelaksanaannya di lapangan sering kali tidak konsisten. Individu-individu seperti Yara sering kali menjadi korban dari sistem yang tidak adil.

Dengan hati yang penuh, komunitas gereja menciptakan ruang aman yang diisi dengan cinta dan penerimaan tanpa syarat. Meski dunia di luar sering kali penuh dengan penolakan dan prasangka, di dalam dinding-dinding asrama sederhana, mereka yang terpinggirkan menemukan tempat di mana mereka dapat menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Di sini, mereka menguatkan ibadah dengan saling mendukung dan menguatkan di tengah dunia yang sering kali tidak adil.

Seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani, Yara pernah merasa terjebak dalam keputusasaan dan absurditas hidup. Namun, seperti Sisyphus pula yang akhirnya menemukan makna dalam keberanian, Yara pun menemukan makna dalam pelayanannya.

Setiap hari, ia mendorong batu keberadaan menuju puncak, menemukan kebahagiaan dan makna yang ia kehendaki dalam tiap prosesnya yang tidak mengenal akhir.

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID))

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!