Deurbanisasi, atau perpindahan penduduk dari kota ke desa, kini menjadi upaya yang semakin menonjol di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan perubahan paradigma masyarakat dalam memandang desa, bukan lagi sebagai tempat yang tertinggal, tetapi sebagai pusat identitas budaya yang autentik. Desa merupakan akar budaya Indonesia yang menawarkan kehidupan yang lebih tenang dan harmonis dengan alam.
Pada masa Orde Baru, urbanisasi dianggap sebagai jalan utama untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemerintah saat itu mendorong perpindahan penduduk ke kota-kota besar melalui berbagai program pembangunan industri dan infrastruktur yang terkonsentrasi di perkotaan. Kota dipercaya menawarkan lebih banyak peluang kerja dan fasilitas modern yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan ini membawa dampak negatif yang signifikan.
Urbanisasi yang masif menyebabkan berbagai masalah sosial dan lingkungan di perkotaan, seperti kemacetan, polusi, dan tingginya tingkat stres. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung mengalami tekanan yang luar biasa pada infrastruktur dan sumber daya alam. Hal ini memunculkan berbagai masalah kesehatan dan menurunkan kualitas hidup warganya. Realitas ini mendorong banyak orang untuk kembali ke desa, mencari ketenangan dan keseimbangan hidup yang seringkali hilang di kota besar.
Baca Juga: Kisah Para Perempuan Penjaga Hutan Merawat Peradaban Pengetahuan di Dayak Kualan
Sejak lama desa terus menjadi urat nadi kebudayaan yang di dalamnya mengalir adat istiadat, seni tradisional, hingga tutur krama. Deurbanisasi membuka kesempatan bagi masyarakat untuk kembali merasakan dan menghargai warisan ini.
Perempuan desa memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan deurbanisasi dan revitalisasi kehidupan pedesaan. Secara sosial dan budaya, perempuan desa adalah penjaga tradisi dan adat istiadat. Mereka memainkan peran kunci dalam pelestarian dan pengajaran seni tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Selain itu, perempuan desa juga menjadi agen perubahan yang mendorong pendidikan dan kesehatan bagi keluarga dan komunitasnya.
Dengan demikian, dalam proses deurbanisasi, perempuan desa adalah subjek yang menjadi aktor utama dalam mempengaruhi dinamika dan keberlanjutan hidup di desa. Peran mereka yang multidimensional menempatkan perempuan sebagai pilar penting dalam pembangunan desa yang berkelanjutan dan inklusif.
Perempuan-Perempuan Datah Dian
Perwujudan titik krusial perempuan terlihat dari pengalaman desa Datah Dian, Kalimantan Barat. Di desa ini, perempuan tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi desa melalui berbagai kegiatan budaya.
Salah satu tradisi yang dijaga oleh perempuan di desa ini adalah upacara adat Dange Kampung. Upacara ini merupakan bentuk syukur atas panen, di upacara tersebut warga akan berkumpul dan berdoa untuk panen berikutnya. Dulu, upacara ini dilakukan selama delapan hari di rumah panjang, namun kini dilakukan lebih singkat dan sederhana.
Revitalisasi tradisi Dange diprakarsai oleh Pastor Ding dan Kristina Tipung Nyipa’ (Ku Tipung Jawe’). Mereka berdua berperan penting dalam menggali dan melaksanakan kembali tradisi Dange. Tradisi ini kini dipadukan dengan liturgi gereja, memungkinkan perempuan Kayaan untuk berperan aktif dalam upacara adat.
Baca Juga: Melalui Pembelajaran Kontekstual, Ignatia Rini Purwati Mengajar tentang Menstruasi dan Mimpi Basah Tanpa Bayang-Bayang Tabu
Pengakuan terhadap kedudukan perempuan dan dukungan sosial sangat penting dalam menjaga tradisi ini. Perempuan Kayaan sering memimpin upacara adat seperti Dange, tolak bala, dan pernikahan, Mereka diakui serta didukung oleh masyarakat dalam peran-peran ini.
Stratifikasi sosial yang melemah juga memberi peluang bagi perempuan dari golongan non-hipi untuk mempelajari dan memimpin acara adat. Dahulu, kepemimpinan adat terbatas pada golongan hipi (raja/bangsawan), tetapi kini status sosial berdasarkan kapasitas individu, sehingga semua perempuan memiliki kesempatan yang sama.
Minat dan kecintaan perempuan terhadap tradisi juga menjadi faktor penting. Tokoh-tokoh seperti Fronika Buaa’, Faustina Hasung, dan Martha Haran menunjukkan keteguhan dalam mempelajari dan melestarikan tradisi adat. Mereka aktif mengajarkan tradisi ini kepada generasi muda, memastikan pewarisan budaya tetap berlangsung.
Baca Juga: Perempuan di Balik Layar Perak: Mengukuhkan Representasi, Resistensi, dan Suar Suara Inklusi
Tersedianya sarana yang mempermudah proses belajar juga sangat membantu. Buku Alaan Telaang Julaan, misalnya, berisi panduan syair doa dan lagu dalam bahasa Kayaan serta tata cara upacara adat. Alat perekam juga mempermudah pembelajaran tradisi lisan seperti dayung dan talimaa’, yang sebelumnya hanya dipelajari secara otodidak dan mengandalkan ingatan.
Perempuan Kayaan juga berperan sebagai pelopor penghidupan kembali tradisi. Ku Tipung Jawe’ dan Fronika Buaa’ adalah contoh tokoh perempuan yang memimpin upacara adat dan menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah. Mereka berkolaborasi dengan pihak gereja untuk mengadakan Dange inkulturasi yang menggabungkan adat dan ajaran Katolik.
Selain sebagai pelopor, perempuan juga menjadi pemimpin pelaksanaan tradisi. Mereka bertugas sebagai dayung, pemimpin upacara dengan mengenakan pakaian adat dan melantunkan doa-doa dalam bahasa dalam. Fronika Buaa’ dan Faustina Hasung aktif dalam liturgi gereja dan tradisi Dange.
Sebagai guru atau sumber pengetahuan, perempuan Kayaan mengajarkan tradisi kepada generasi muda. Di Dusun Ma’ Suling, misalnya, dayung diajarkan dengan latihan intensif sebelum pelaksanaan Dange. Penyusunan buku oleh Ku Tipung Jawe’ dan Pastor Ding juga membantu proses belajar.
Baca Juga: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema
Perempuan Kayaan juga berperan dalam melestarikan bahasa melalui tradisi lisan. Mereka sering menemukan kesalahan dalam penggunaan bahasa dalam tradisi lisan dan berusaha memperbaikinya. Tradisi lisan seperti talimaa’ dan dayung sering ditampilkan di acara-acara adat dan gereja, serta festival budaya.
Tokoh perempuan seperti Susana Hiroh berusaha menghidupkan kembali tarian Kayaan yang mulai jarang ditampilkan. Dengan berbagai cara dan kegiatan, perempuan Kayaan Mendalam berperan penting dalam menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi mereka.
Upaya Membangun Desa Mandiri Berkebudayaan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung pembangunan desa mandiri. Salah satunya adalah Program Pemajuan Kebudayaan Desa yang bertujuan untuk mengelola dan memanfaatkan aset budaya desa secara optimal.
Program Pemajuan Kebudayaan Desa diluncurkan pada 2021 sebagai respons terhadap kebutuhan akan pengembangan budaya lokal. Melalui program ini, desa-desa diberi pelatihan, pendampingan, dan fasilitas untuk mengelola aset budaya mereka.
“Saat inilah waktunya bagi masyarakat desa untuk dapat bergerak dan berkembang sesuai dengan imaji mereka tentang masa depan desanya. Desa bukan lagi sebagai objek pembangunan, tetapi desa merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri,” ungkap Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek.
Program Pemajuan Kebudayaan Desa juga mencakup aspek pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, dalam mengelola dan mempromosikan kebudayaan lokal. Dengan melibatkan perempuan, program ini tidak hanya meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka, tetapi juga mengakui peran penting mereka dalam menjaga dan melestarikan budaya desa.
Baca Juga: Peran Ibu dalam Pelestarian Anyaman Bambu
Upaya lain yang dilakukan oleh Kemendikbudristek adalah memberikan fasilitasi untuk revitalisasi tradisi dan adat istiadat yang hampir punah. Melalui program ini, berbagai tradisi yang sebelumnya terlupakan kini mulai dihidupkan kembali dengan bantuan teknologi dan inovasi, sehingga generasi muda pun bisa ikut serta dalam pelestarian budaya.
Selain itu, program ini juga mendorong kerjasama antara pemerintah desa, komunitas lokal, dan para ahli budaya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan budaya desa. Kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan strategi yang efektif dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi budaya desa.
Dengan adanya Program Pemajuan Kebudayaan Desa, diharapkan desa-desa di Indonesia dapat menjadi pusat kebudayaan yang mandiri dan inovatif. Program ini tidak hanya berfokus pada pelestarian budaya, tetapi juga pada terciptanya peraturan desa yang berpihak kepada masyarakat desa dan kelompok terpinggirkan.
“Diharapkan program ini dapat menemukan rekomendasi umum pembangunan desa, mendorong munculnya peraturan desa yang berpihak pada masyarakat desa serta dapat membangun rasa bangga terhadap jati diri budaya masyarakat desa,” ungkap Hilmar.
Baca Juga: Upaya Mahima Merajut Warisan dan Masa Depan Lewat Singaraja Literary Festival
Kendati pengembangannya dilakukan dengan pendekatan lokalitas, program ini turut memberdayakan aspek modern dengan pengembangan Portal Desa Budaya. Portal ini menyediakan berbagai cerita budaya dan kegiatan yang mendukung pengembangan kebudayaan di desa-desa Indonesia.
Platform ini diharapakan dapat memudahkan desa dalam mengakses informasi dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan mempromosikan kebudayaan lokal.
Pentingnya Keberlanjutan Pemajuan Desa
Kementerian Kebudayaan sebagai suatu lembaga mandiri memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan program-program pemajuan desa. Dengan adanya sistem yang mengedepankan meritokrasi dan implementasi konkret, program-program ini dapat berjalan dengan efektif serta memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi masyarakat desa.
Program pemajuan desa juga membantu dalam mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa. Melalui berbagai pelatihan dan pendampingan, masyarakat desa dapat meningkatkan keterampilan mereka, memanfaatkan aset budaya lokal, dan mengembangkan ekonomi desa.
Baca Juga: Putri Merdekawati Memerdekakan Batik dari Pencemaran Lingkungan
Dengan adanya program pemajuan desa, diharapkan masyarakat desa dapat menjadi lebih mandiri dan berdaya. Desa-desa yang kuat dan mandiri sebagai subjek akan menjadi fondasi bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan, menjaga keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan pelestarian budaya.
“Harapan kami, desa dapat menjadi ujung tombak pusat-pusat pertumbuhan. Selama ini, basis pertumbuhan di kota saja, sekarang kita ingin meratakan itu sampai di desa-desa,” tutup Dirjen Hilmar Farid.
(foto: misterpangalayo)
(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)