Di banyak film, perempuan digambarkan harus mengubah penampilan lebih “menarik” supaya bisa memikat perhatian orang yang ditaksir. Ada juga yang mesti rela mati-matian jadi “cantik” sebagai pembuktian atas sakit hati.
Penggiringan tubuh perempuan dengan standar kecantikan tunggal ini terus dilanggengkan. Bahwa perempuan disebut “cantik” jika dia langsing, putih, bahkan tampak sensual dari kacamata laki-laki (male gaze).
Film YOLO yang berasal dari China ini, seolah menjadi anomali dari semua itu.
Istilah YOLO, yang berarti ‘You Only Live Once’ (Kamu Hanya Hidup Sekali), menunjukkan soal proses seorang perempuan mencintai diri dan menghidupkan mimpi. ‘Menang, setidaknya sekali dalam hidup’
Cerita diawali dari sorotan kamera terhadap sosok perempuan 30 tahunan, Le Ying (Ling Jia). Dia tampak sedang tidur sepanjang hari, dengan makanan dan minuman instan berserakan.
Gaya hidup yang tak sehat dan kurang gerak, menjadikan Le Ying mengalami obesitas. Dia sering kesulitan gerak dan tak punya gairah menjalani hidup. Ia tak bekerja dan menetap bersama orang tua dan adik perempuannya di sebuah rumah yang punya bisnis toko kelontong.
Baca Juga: Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’: Perjuangan Perempuan Terbentur, Terbentuk, dan Bebas dari Belenggu KDRT
Sepupu Le Ying, Dou Dou (Yang Zi), yang tengah masa percobaan bekerja di sebuah stasiun TV sempat menawari Le Ying masuk ke reality show. Acaranya adalah meliput kehidupan sehari-hari Le Ying sebagai pengangguran dan mempromosikannya agar dapat kerja.
Tapi berkali-kali, Le Ying menolak. Dia tak punya gairah, apalagi mimpi. Ia nyaman menjalani hari-harinya rebahan di sofa dan terlelap tidur dari pagi ke malam. Makan masakan ibunya tanpa harus membereskan rumah.
Hingga suatu kejadian, membuat Le Ying akhirnya angkat kaki dari rumah orang tuanya. Membawa sebuah koper berisi baju-baju dan sepasang sepatu yang Ia kenakan.
Pacar Le Ying ternyata berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Sahabatnya bahkan sudah hamil dan mereka berencana menikah. Di hari yang sama, Le Ying juga bertengkar dengan adik perempuannya yang berujung perkelahian fisik.
Le Ying dengan kondisi badannya yang obesitas limbung. Seperti halnya pikirannya yang tengah kalut meskipun wajahnya berekspresi datar. Dia mengalah dari adik perempuannya, dan memutuskan untuk pergi dari rumah.
Baca Juga: ‘Home Sweet Loan’: Semua Orang Butuh Bahu Untuk Bersandar
Itu jadi momen Le Ying untuk pertama kalinya lagi hidup sendiri. Dia menyewa sebuah kontrakkan kelas pekerja dari uang yang awalnya Ia tolak dari ibunya.
Ia berkeliling mencari pekerjaan, sampai dapatlah sebuah kedai yang mau menerimanya. Meski gajinya terbilang kecil yaitu 2.500 yen (China), sementara sewa kontrakkannya saja sudah 2.000 yen per bulan. Tapi paling tidak, Le Ying bisa mendapatkan makan gratis selama di sana.
Saat Ia bekerja sebagai pramusaji itu, dia bertemu dengan Hao Kun (Lei Jia Yin). Insiden ‘lampu mobil’ meninggalkan sarung tinju Hao Kun, yang ternyata akan merubah banyak hal pada hidup Le Ying di kemudian hari.
Kecintaan pada Tinju dan Hidupnya Mimpi
Hao Kun adalah pelatih tinju di sebuah club fitness. Diam-diam Le Ying menaruh perasaan padanya, sampai akhirnya dia bergabung sebagai murid olahraga tinju.
Pada awalnya, Hao Kun digambarkan sebagai sosok yang dingin, canggung dan punya idealisme. Darinya lah, Le Ying, mengenal tentang kerja keras berlatih tinju sampai ‘menang paling tidak sekali’ (YOLO).
Namun di perjalanan, Hao Kun ternyata menyerah dengan idealismenya. Dia menerima suap dari petinju yang ingin namanya naik daun karena menang. Hao Kun mengalahkan pertandingan dan juga mimpinya.
Tapi ternyata, Le Ying di lubuk hatinya begitu memegang mimpi tentang ‘Menang sekali’ itu.
Usai menerima suap, Hao Kun pensiun dan menghilang dari dunia tinju. Tapi tidak dengan Le Ying. Ia justru merasa menemukan dirinya dari olahraga yang awalnya dia ikuti karena menyukai Hao Kun itu.
Memang ada suatu momen yang membuat Le Ying berada di titik terendahnya. Tubuhnya terjatuh dari lantai cukup tinggi, tapi anehnya dia tak merasakan sakit. Beda halnya, saat bertubi-tubi masalah datang padanya: perselingkuhan pacar dan teman, kekerasan dari saudara (sibling abuse), sampai cinta semu dan pengkhianatan mimpi yang Ia percaya.
Baca Juga: Sibling Abuse, Sering Disembunyikan dan Diabaikan dalam Keluarga
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Le Ying merasakan gairah hidup dan mimpi. Bukan untuk menyenangkan orang lain seperti yang seringkali ia lakukan selama ini. Juga bukan untuk membuktikan cinta pada siapapun. Tapi, gairah yang muncul karena dia mencintai proses hidupnya dan juga mencintai tinju.
“Aku suka tinju, karena setelah kita babak belur kita akan bisa kembali berpelukan” Begitulah pemaknaan Le Ying soal tinju yang membuatnya menyadari arti hidup.
Le Ying lalu bekerja keras dan tekun berlatih tinju. Pagi siang malam dia habiskan waktu untuk melatih otot-ototnya dan teknik tinju. Hari demi hari, dia juga memulai gaya hidup sehat. Hingga bobot tubuhnya yang sempat obesitas sampai hampir 100 kg, kini berkurang setengahnya.
Tekadnya untuk terus bermain tinju dan “Menang Sekali” dirinya rawat. Meskipun pada bagian akhir film ditunjukkan, Le Ying mengalami kekalahan saat bertanding dengan atlet profesional yang menjadi juara bertahan. Meski begitu, Le Ying yang sudah memar penuh luka, tidak bergeming dan menyerah begitu saja sampai lonceng pertandingan selesai.
Nyatanya, “Menang Sekali” itu bagi Le Ying bukan sekadar mendapat gelar atau trofi dalam pertandingan. Tapi, “Menang Sekali” dalam hidupnya bahwa Ia tidak menyerah dan gigih berjuang. Sampai titik penghabisan.
Normalisasi Sibling Abuse dan Pelecehan Seksual
Selain soal perjuangan menemukan diri dan mimpi, YOLO juga menggambarkan persoalan kekerasan termasuk pada perempuan yang seringkali dinormalisasi.
Le Ying adalah korban sibling abuse dari adiknya. Dia seringkali mendapatkan bully bahkan kekerasan fisik darinya.
Satu momen juga yang membuat Le Ying akhirnya memilih pergi dari rumah orang tuanya adalah usai adiknya meminta (paksa secara halus) agar Le Ying menyerahkan aset warisan bagiannya. Alasannya, untuk membiayai sekolah keponakan Le Ying, yang adalah anak adiknya.
Saat selesai tanda tangan penyerahan aset, karakter adiknya berubah tak lagi ramah. Dia tersinggung saat Le Ying bilang, adiknya tak akan ditinggalkan dan tak dinafkahi mantan suaminya kalau dia tidak berselingkuh. Adiknya yang marah, kemudian menarik dan memukul Le Ying.
Tak hanya dari adik kandungnya, Le Ying juga menjadi korban kekerasan psikis dari sepupunya (Dou Dou). Dia dimanipulasi untuk menjadi “bintang” di reality show-nya demi mendapat kenaikan jabatan. Le Ying dipermalukan dan menjadi korban penyebaran berita bohong.
Baca Juga: ‘The Secret of Us’, Kisah Lesbian di Tengah Homofobia dan Kesenjangan Sosial
Tak seperti Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pasangan suami istri, kekerasan saudara (sibling abuse) begini seringkali tak dideteksi sebagai kekerasan. Sebab dianggap sebagai pertengkaran yang “lazim” dan dinormalisasi. Padahal, ini sama bahayanya.
Orang tua yang cenderung apatis dengan adanya sibling abuse ini, bisa berdampak berkepanjangan. Mulai dari terganggunya kesehatan mental sampai trauma berat.
Hal lainnya yang ada dalam film YOLO adalah soal normalisasi pelecehan seksual yang dialami perempuan. Paling tampak adalah adegan pemilik kedai tempat Le Ying bekerja (Xu Jun Cong) kepada para karyawan perempuannya.
Teman kerja Le Ying, Xizi, menjadi korban pelecehan dengan ucapan dan tindakan bernada sensual. Seperti saat dia tiba-tiba memegangi tangan Xizi dan ingin menyentuh tanda nama di dada Xizi.
“Biar ku benarkan namamu yang ada di dada,” ujar Xu Jun Cong dengan nada dan tatapan genit.
“Kami biasa begini, agar suasana kerjanya baik,” imbuhnya. Hal ini semakin menguatkan normalisasi pelecehan seksual yang dilakukan Xu Jun Cong, dengan dalih mencairkan suasana. Padahal, Xizi sudah tampak tak nyaman dan menunjukkan penolakan.
Baca Juga: ‘Love in The Big City’: Persahabatan Dua Orang Kesepian di Kota Besar
Tak hanya Xizi, Le Ying pun juga mendapat pelecehan seksual dengan perkataan “Aku bantu ganti bajumu.”
Suasana kerja yang menormalisasi pelecehan seksual itu, diperparah dengan kondisi kerja yang kurang layak. Gaji para pekerja begitu minim dengan beban kerja yang seringkali overwork.
Disutradarai sendiri oleh pemain utamanya (Ling Jia), film YOLO ini sukses meraih box office di bioskop Negeri Tirai Bambu dengan total pendapatan USD 440 juta. Film ini merupakan remake dari film indie Jepang berjudul ‘100 Yen Love’ karya Masaharu Take.
Selain aktris ternama Ling Jia sebagai Du Le Ying, film ini diisi oleh pemain film China seperti Lei Jia Yin (Hao Kun), Zhang Xiaofei (Du Le Dan), Yang Zi (Dou Dou), sampai Sha Yi (Lao Liang).
Film YOLO ini cukup menarik bagi kamu yang juga tengah berproses untuk mencintai diri dan menghidupkan mimpimu. Juga mengkritisi berbagai stereotip dan diskriminasi yang masih menimpa perempuan hingga kini.
Kamu bisa menonton kelanjutan film ini di platform Netflix. Tunggu apalagi?