Jelang lebaran, Konde.co menerbitkan tiga (3) serial edisi khusus dalam serial #MenagihTransumAman yang tayang tanggal 24, 25 dan 26 Maret 2025. Artikel hari ini merupakan serial perdana yang menampilkan hasil riset Konde.co
Setiap kali langkah mereka menuju halte atau stasiun, ada rasa was-was yang tak bisa diabaikan perempuan dan kelompok rentan.
Di dalam kendaraan yang seharusnya membawa mereka dengan aman, justru pengalaman tak menyenangkan menghantui—tatapan mengganggu, sentuhan tak diinginkan, atau bahkan kata-kata kasar yang mengintai kapan saja.
Bagi sejumlah responden perempuan dan minoritas gender yang disurvei oleh Konde.co, pengalaman seperti ini menimbulkan ketidaknyamanan yang terus membayangi. Setiap kali harus menggunakan transportasi umum, mereka menjadi lebih waspada, berusaha menghindari situasi serupa agar dapat keluar terminus dengan lega.
Pada momen tidak menyenangkan itu, beberapa penumpang memutuskan untuk diam dan tidak melapor, karena takut hanya akan sia-sia hasilnya, ada pula yang melawan untuk mematahkan argumentasi, bahwa perempuan tak bisa dilecehkan di transportasi umum karena pakaiannya.
Orang dengan disabilitas juga mesti berhadapan dengan lift yang acap kali rusak dan petugas yang tak siap membantu mereka. Sistem transportasi mestinya dirancang dengan perspektif gender dan inklusivitas. Perencanaan kota dan transportasi selama ini masih cenderung abai pada kebutuhan minoritas.

Survei inklusivitas pada transportasi publik bagi perempuan dan minoritas gender ini dilakukan Konde.co selama dua pekan sepanjang Februari-Maret 2025 dan diisi oleh 87 responden. Setelah dilakukan pembersihan data, diambil 83 data valid dari 87 responden yang masuk.
Mayoritas pengguna transportasi umum dalam survei ini adalah perempuan yang berasal dari kota-kota di Indonesia, berusia 18-25 tahun, tinggal di perkotaan, dan lebih memilih menggunakan bus sebagai moda transportasi utama dengan jumlah disabilitas dan orang tua/wali yang membawa anak sebesar 12,5% dari total responden.
Baca Juga: Tren Anak Muda Beli Mobil Listrik, Cinta Lingkungan dan Pertemanan
Berdasarkan data tersebut, moda transportasi yang paling sering digunakan adalah bus dengan persentase sebesar 31,25%. Moda lainnya yang juga cukup banyak digunakan adalah Kereta Rel Listrik atau KRL (22,12%), Mass Rapid Transit atau MRT (13,94%), angkot (12,98%), serta kereta jarak jauh dan kereta lokal masing-masing sebesar 7,69% dan 6,73%. Sementara itu, Light Rail Transit atau LRT menjadi moda transportasi yang paling sedikit digunakan dengan persentase 5,29%.
Transportasi publik adalah urat nadi mobilitas masyarakat. Namun, bagi perempuan, minoritas gender, orang dengan disabilitas, dan kelompok rentan lainnya, perjalanan dengan transportasi umum bukan hanya tentang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa sampai dengan selamat, aman, nyaman, dan tanpa hambatan. Sayangnya, data menunjukkan bahwa sistem transportasi publik masih jauh dari kata inklusif dan aman bagi semua.
Konde.co memetakan ancaman di ruang publik pada sektor transportasi umum dan sarana penunjangnya ke dalam bagian-bagian yang dirinci sebagai berikut.
1.Ancaman Pelecehan Seksual di Transportasi Publik
Bagi perempuan, naik transportasi umum sering kali berarti harus bersiap menghadapi risiko pelecehan seksual.
Dari data yang dianalisis, bus menjadi moda transportasi dengan kasus pelecehan tertinggi (22,4%), disusul oleh KRL (20,8%), angkot (10,4%), dan halte atau stasiun (13-16%). Moda transportasi yang padat dan minim pengawasan menjadi area rawan bagi perempuan.
Bentuk pelecehan yang dialami pun beragam. Pelecehan verbal seperti catcalling dan komentar tidak pantas terjadi dalam 23 kasus, menjadikannya bentuk pelecehan yang paling sering terjadi. Pelecehan fisik seperti sentuhan tanpa izin tercatat dalam 19 kasus, sementara pelecehan visual seperti tatapan mengintimidasi atau pemotretan tanpa izin muncul dalam 14 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi pemantauan seperti CCTV mulai diterapkan di beberapa moda transportasi, masih banyak celah yang membuat perempuan tetap dalam kondisi tidak aman.

Teresa (bukan nama sebenarnya), salah satu responden survei yang diwawancarai Konde.co berbagi pengalamannya saat terminal Bungurasih menjadi ruang yang berisi ancaman di segala sisi. Sebagai mahasiswa yang sering bolak-balik dari Surabaya ke Jember, bus adalah moda transportasi yang dulu paling sering ia pilih. Namun, perjalanan yang seharusnya sederhana itu berubah menjadi jejak yang sama sekali tidak menyenangkan.
Baca Juga: Akses Sepeda Yang Baik Bisa Berdayakan Perempuan Di Daerah Miskin
“Kan mesti jalan dulu dari penurunan penumpang sampai ke bus yang mau dari Surabaya ke Jember. Sering banget di-catcalling, apalagi aku selalu sendiri kalau balik ke kampus,” katanya.
Namun, baginya yang lebih parah terjadi di dalam bus. Teresa bercerita tentang bagaimana pedagang asongan dengan seenaknya menaruh barang dagangan di dadanya.
“Aku diam saja, masih memproses. Aku pegang saja dagangannya. Kadang karena capek, aku kayak, “Ya sudah, terserah lu,” terus aku pura-pura tidur karena takut, meskipun ramai. Kalau naik bus, sering banget begitu,” ceritanya.
Ketakutan itu membuatnya semakin defensif dalam berpakaian. Ia berusaha menyembunyikan dirinya dari perhatian, memakai baju longgar, jaket, masker, dan topi. Tapi itu semua tidak pernah benar-benar cukup.
“Padahal, aku pakai baju biasa, cuma baju longgar dan celana, namanya juga orang traveling,” paparnya heran.
Ketika infrastruktur terminal mulai berbenah, Teresa tidak bisa lantas optimis. Ia meyakini bahwa bukan hanya infrastruktur yang perlu berubah, tetapi juga sistem serta mentalitas orang-orang di dalamnya.
“Meskipun terminal katanya sudah bagus, kalau orang-orangnya masih sama, percuma,” keluh Teresa.
Baca Juga: Kenapa Papan Informasi di Transportasi Umum Penting? Ini Aksesibel dan Inklusif
Sementara di Jakarta, Salsa (bukan nama sebenarnya) juga punya pengalaman yang tidak mengenakkan di dalam bus. Saat itu di Transjakarta, Salsa berpenampilan hampir serupa dengan Teresa. Ia diraba di bagian paha oleh laki-laki tidak dikenal.
“Aku di situ posisinya lagi pakai celana kulit hitam, panjang, sama sweater hitam panjang begitu. Pokoknya semuanya ketutup, lah. Bapak-bapak itu akhirnya entah pengin ngapain, tangannya ke depan. Awalnya aku enggak merhatiin banget karena sambil melihat ke mana-mana. Nah, lama-lama nih aku bisa ngerasain tangannya gitu ke paha aku,” ceritanya.
Saat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya menegang. Ia panik, tapi tidak bisa langsung bereaksi.
“Ngapain sih ini bapak-bapak? Dia benar-benar kayak ngeraba gitu, loh, kayak bener-bener kayak ngeraba begitu,” kata Salsa hingga mengulang dua kali saking tidak percaya.
“Nyebelin banget. Padahal kita tuh pengin pulang doang. Padahal kan di busway (Transjakarta) juga ada setiap beberapa menit gitu ada voice over bilang (himbauan untuk tidak melecehkan). Tapi kenapa masih ada saja gitu yang melakukan itu? Aneh banget,” ceritanya jijik.
Baca Juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian
Di belahan lain Jakarta, RK berhadapan dengan teror yang sama. Transportasi publik yang digadang-gadang sebagai solusi kemacetan, bagi RK justru menjadi medan ketakutan yang berulang. Sejak pertama kali mengalami pelecehan seksual di Commuter Line (KRL), ia mulai memahami pola yang tak diinginkan: ketika pelecehan pertama terjadi, pelecehan kedua menyusul, lalu yang ketiga, yang keempat, hingga akhirnya lima kali.
“Yang saya alami berbeda-beda, mulai dari catcall, usapan, sampai diikuti dan ditatap dari stasiun awal sampai stasiun akhir. Bahkan dikuntit sampai pelaku pindah tempat duduk untuk mendekati saya meskipun gerbong sepi,” katanya.

Kejadian keempat di sarana KRL dan kelima di transportasi publik dialaminya di awal tahun 2025. Saat itu, RK sedang transit di stasiun Tanah Abang guna menuju stasiun Sudirman. Di tangga perpindahan peron, dirinya diraba oleh orang tidak dikenal. Kejadian di stasiun Tanah Abang sudah terjadi dua kali dalam pengalaman RK.
“Pengalaman terakhir di awal tahun 2025, saya turun di stasiun Tanah Abang (dari jalur Rangkas), mau pindah (transit) peron ke jalur Cikarang. Posisinya lagi penuh banget. Ada dua tangga (naik dan turun) yang karena penuh jadi dua jalur naik. Saya ke atas, terus ada satu bapak-bapak ke bawah, cuma dia doang. Saat dia ke bawah, dia pegang belakang paha saya,”
“Di saat itu, saya juga sudah kebawa arus ke atas. Saya nengok ke belakang, (pelaku) sudah hilang. Sepertinya orang yang di belakang saya melihat kejadian itu. Soalnya saat saya noleh ke belakang, dia juga noleh ke belakang, seolah mencari atau memang tahu siapa yang melakukan,” ceritanya.
Kendati kereta jarak jauh menjadi salah satu moda dengan kasus pelecehan seksual yang tidak terlalu banyak dalam survei, tidak lantas membuatnya menjadi aman. Sekar (bukan nama sebenarnya) masih mengingat perjalanannya dari Surabaya ke Bekasi dengan jelas. Sendirian di kereta api malam, ia mendapati dirinya diamati oleh seorang laki-laki yang duduk di seberang bangkunya.
“Jadi aku naik kereta api sendiri. Sebelahku juga kosong. Di seberang bangku ada cowok barusan duduk, kayak bapak-bapak gitu lah, bapak-bapak sekitar 40 tahunan,” kenangnya.
Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita
Awalnya, ia berusaha mengabaikan. Tidak ada sentuhan, tidak ada perkataan kasar, tapi sorot mata laki-laki itu membuatnya merasa tidak nyaman.
“Setiap aku ngapa-ngapain kayak berasa diliatin terus gitu, jadi kayak kurang nyaman.”
Rasa takut itu bukan hal baru baginya. Jauh sebelum perjalanan malam itu, ia mengalami kejadian yang lebih mengerikan saat masih kecil. Sekar bersama teman-temannya melihat perilaku ekshibisionisme saat berjalan di ruang publik.
“Waktu itu aku masih SD kelas 6, terus aku pulang sekolah sama teman-temanku. Kebetulan ada dua orang cewek. Terus waktu kita jalan itu, enggak sengaja lihat bapak-bapak lagi begitu sedang onani,” jelasnya.
Sekar tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Ia dan teman-temannya hanya memilih diam dan menyimpan ketakutan itu sendiri.
“Karena yang ngelihat itu enggak cuma aku sendiri, aku sama teman-teman. Kami kaget, sih. Terus memilih untuk menyimpannya sendiri bertiga. Karena enggak tahu ya harus gimana begitu,” lanjutnya.
2.Jadi Bystander Alih-Alih Stand Up untuk Penyintas
Respons dari masyarakat terhadap kejadian pelecehan seksual cenderung masih pasif.
Sebanyak 59,1% saksi mata mengaku tidak menyadari insiden tersebut terjadi, sedangkan 29,5% melihat tetapi memilih untuk tidak bertindak. Hanya 4,5% yang berani membantu korban atau menegur pelaku.
Data ini setidaknya menunjukkan masih adanya normalisasi pelecehan di ruang publik serta kurangnya keberanian masyarakat untuk melakukan intervensi.
Salsa misalnya, setelah turun dari bus tempat ia mendapati pelecehan, kemarahan dan ketidakpercayaan diri bertabrakan di dalam benaknya.
“Gue baru dilecehin, kayaknya gue baru dilecehin deh,” cerita Salsa ke teman-temannya saat masih memproses apa yang terjadi.
Namun, alih-alih mendapatkan simpati, Salsa justru mendapat respons yang paling tidak ingin ia dengar.
“Ya enggak apa-apa, tapi enak kan?,” ujar salah satu teman perempuannya.
“Enak kepala lu!” kata Salsa sambil lantas keluar dari obrolan grup tersebut.
Baca Juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman
RK juga merasa demikian. Dari lima pengalaman pelecehan seksual yang dialami, ketiadaan respons dari sekitar kendati ramai cukup mengecewakannya. Kendati begitu, RK masih beranggapan bahwa mereka yang melihat bisa saja menunjukkan empati tetapi bingung untuk bertindak, sebagaimana ia sebagai korban.
“Maksudnya, yang melihat juga, ya sudah, menoleh doang. Mungkin ada sedikit empati, sedikit kasihan, atau sedikit aware, tapi ya sudah, cuma itu saja,” jelasnya.
Berdiri untuk penyintas sebenarnya tidak melulu harus melapor. Saat terjadi pelecehan yang menimpa Salsa, terdapat perempuan lain yang melihat, menyadari, dan membantu untuk menjauhkannya dari pelaku. Bagi Salsa, tindakan tersebut juga sudah cukup membantunya meskipun tidak melapor.
“Mungkin dia (perempuan yang membantu) sadar juga, dia melihat yang bapak-bapak itu lakukan walaupun itu ramai banget. Terus mbak-mbaknya nggak ngomong apa-apa juga Dia menarik aku, terus kasih tempat aku untuk pindah,” cerita Salsa.
3.Ketakutan dan Menghindar: Dampak Penyintas Pelecehan Seksual di Transportasi Publik
Dampak dari pelecehan tersebut dirasa sangat nyata bagi korban.
Sebanyak 27% korban mengalami trauma dan ketakutan, sedangkan 21,6% merasa tidak aman saat menggunakan transportasi umum. Sebagian bahkan memilih untuk menghindari transportasi publik sama sekali (13,5%).

Ketakutan itu dialami oleh Teresa, ia kini memilih untuk menggunakan kereta api ketimbang menggunakan bus, kendati terkadang harus transit di kota tertentu.
“Sekarang aku lebih pilih naik kereta karena rutenya sudah banyak ke daerah timur, walaupun kadang ada yang harus transit di Malang,” ceritanya.
Sementara RK pada pelecehan terakhir yang dialaminya sampai harus izin untuk bekerja dari rumah selama seminggu guna menghindari KRL. RK bersyukur sebab kantor tempat ia bekerja memahami apa yang ia alami.
“Aku izin seminggu waktu itu buat WFH (work from home). Atasanku juga syukurnya baik sih, langsung mengerti begitu, awalnya aku enggak mau cerita tapi kondisiku nampak enggak baik-baik saja di kantor jadi ditanya dan akhirnya keluar (cerita),” kenangnya.
Baca Juga: Taksi Perempuan di Uganda: Atasi Kekerasan Perempuan di Transportasi Publik
Setelah sepekan, karena tidak ada opsi transportasi publik lain selain KRL, kini RK masih menggunakan moda transportasi yang sama hampir setiap hari. Rasa was-was dan terkadang cemas jelas diakuinya tetap tinggal. Selain itu, hingga kini ia masih merasa menyesal tidak langsung mencegat pelaku setelah ia mengalami pelecehan yang terakhir.
“Saat naik tangga itu, saya melihat tangan itu. Itu yang saya rasa sampai saat ini ada rasa kurang puas dengan tindakan saya. Merasa seharusnya di saat itu bisa langsung jerit atau megang tangannya langsung ditahan, karena sudah parah banget.”
“Buat saya setelah itu naik kereta jadi lebih was-was, lebih sering takut, dan coba untuk menghindari kerumunan,” papar RK.
Satu pekan tanpa transportasi publik adalah pengalaman yang juga dirasakan Salsa. Saat ia menceritakan pengalaman buruk itu ke orang terdekatnya, Salsa sempat enggan dan bahkan tidak diperbolehkan menggunakan transportasi publik.
“Aku waktu itu sempat sih memang enggak mau dan enggak dibolehin naik transportasi publik lagi untuk beberapa hari, hampir seminggu waktu itu,” kenangnya.
Baca Juga: Takut dan Tak Bisa Teriak: Pengalaman Pelecehan di Transportasi Umum
Pulih dan tumbuh melawan menjadi idiom yang tepat untuk Salsa. Setelah dirinya dilecehkan meski dengan pakaian tertutup dan mendapat komentar nirempati dari temannya sendiri, selepas sepekan Salsa merasa lebih berdaya dan bangkit dari ketakutannya.
Salsa kini bahkan mencoba untuk mengenakan pakaian yang dinilai lebih terbuka untuk mematahkan argumentasi perempuan dilecehkan karena pakaiannya.
“Ah, bodo amat gue mau coba naik lagi. Kalau gue pake baju ketutup, gue digituin (dilecehkan), berarti sekarang gue pakai bajunya kebuka saja,” batin Salsa.
4.Mekanisme Pelaporan yang Jauh Panggang Dari Api
Dalam hal pelaporan, masih banyak hambatan yang membuat korban enggan bersuara.
Sebanyak 40,6% korban tidak melapor karena masih memproses kejadian yang mereka alami, sementara 37,5% merasa laporan tidak akan ditindaklanjuti. Ada juga yang merasa malu atau bersalah (9,4%) serta takut mendapatkan ancaman dari pelaku (6,3%). Angka ini menunjukkan perlunya sistem pelaporan yang lebih ramah korban serta edukasi publik yang mendorong mereka untuk melaporkan kasus pelecehan tanpa rasa takut.
Sekar sendiri pernah menyaksikan pelecehan seksual di dalam bus. Seperti yang terjadi pada Teresa, seorang pedagang asongan tak dikenal menggunakan dagangannya sebagai dalih untuk menyentuh paha temannya. Mereka marah besar saat itu, tapi memutuskan untuk tidak melapor.
“Waktu itu ada kayak pedagang asongan jual tahu ditaruh di kursi bus, temanku nggak mau beli. Terus karena ditolak, dia langsung megang paha temanku. Gimmick-nya sih ngambil tahunya. Tapi harusnya nggak sampai megang paha gitu.”
“Mas, enggak usah kayak gitu mas,” tegurnya dengan amarah.
“Terus dia (pelaku) ya enggak tahu ya karena di situ ramai juga kan. Terus akhirnya dia memutuskan untuk pergi,” imbuhnya.
Ketika ditanya mengapa ia tidak melaporkan kejadian itu ke pihak bus, Sekar hanya menghela napas.
“Kalau aku sendiri memutuskan untuk tidak melaporkan soalnya aku mikirnya nanti tanggapan yang aku laporin kayak gimana begitu (tidak dihargai). Sejauh ini yang aku lihat di kehidupan sehari-hari, kalau misalnya aku lapor kena pelecehan enggak ada kayak tindak lanjutnya.”
“Jadi aku merasa kayak sedikit malas. Malas buat ngelapor. Soalnya ya enggak ada tindak lanjut,” jelasnya.
Berbeda dengan Sekar yang memilih langsung menegur pelaku, Salsa pernah melaporkan pelecehan seksual yang ia lihat di Transjakarta ke petugas perempuan. Saat itu, Salsa mengakui petugas menunjukkan respons yang gesit atas laporannya.
Pelaku langsung diturunkan di halte berikutnya lekas setelah petugas tersebut menghubungi rekannya di pemberhentian berikutnya di halte BPJS Jamsostek.
“(setelah melihat kejadian) Aku turun dulu terus aku lapor (ke petugas), terus habis itu aku bilang kan ciri-ciri mbak-mbaknya (korban) kayak gimana dan orangnya (pelaku) kayak gimana. Terus habis itu di-follow up lagi dibilang sama petugasnya, sudah diturunkan, yang ini bukan orangnya?difoto begitu terus di tunjukin ke aku.”
“Mereka saling terintegrasi sih, cepat juga (penanganannya), dan untungnya juga itu orang (pelaku) nggak tau siapa yang melapor. Jadi mereka (petugas-petugas TJ) nggak ngasih tau kalau misalnya dilaporin sama aku. Kalau pelakunya tahu siapa yang ngelaporin itu bisa-bisa (aku) dikejar,” kenangnya.

Kendati demikian, Salsa juga merasa bahwa proses pelaporan di transportasi publik masih jauh dari kata efektif. Dari pengalamannya melapor, pelaku mendapat teguran dari petugas dan masih diperkenankan untuk naik Transjakarta di kemudian hari.
“Selanjutnya kalau misalnya naik Tije lagi jangan diulangi lagi,” kata Salsa meniru ungkapan teguran petugas yang disampaikannya saat itu.
“Aku juga gak begitu follow up karena aku memang pengin langsung pulang. Pokoknya aku dikasih tahu petugasnya kalau mereka sudah ngingetin pelakunya buat gak melakukan itu lagi,” paparnya.
Ia berharap ada sistem yang lebih jelas dan responsif. Dari pengalamannya menjadi korban, sistem dan mekanisme yang ada saat ini masih belum cukup untuk membuat korban berani melapor.
“Menurut aku sih belum (baik) ya, karena kalau misalnya di Transjakarta di dalam busnya itu (terkadang) enggak ada yang bisa kita hubungi, cuma ada supir,”
“Pokoknya buat melapor ke mana, kalaupun emang dikasih nomor telepon gitu kan, kayak hubungi ke sini. Menurut aku juga sebenarnya itu kurang efektif karena kan belum tentu tuh admin yang di nomor telepon itu bisa langsung jawab,” tukasnya.
Sejatinya, memang tidak pernah mudah bagi penyintas kekerasan seksual untuk bisa melapor. RK yang meski sudah lima kali mengalami pelecehan tetap merasa ragu, takut dianggap berlebihan, dan lebih dari itu, tidak yakin ada tindakan yang bisa diambil.
“Saya merasa enggak ada bukti yang kuat untuk melaporkan. Misalnya, kalau ada penumpang yang pegang tangan atau kaki saya, saya enggak bisa melaporkan langsung karena enggak ada bukti,” keluhnya.
Ketika pelecehan terjadi, ia sering kali membeku. Ketidakpercayaan pada sistem pelaporan di transportasi publik membuatnya memilih diam.
“Saya pikir, ‘petugas bakal ngapain kalau saya lapor?’ Paling cuma ditegur atau dikasih peringatan. Saya juga merasa, seberapa parah kekerasan seksual itu harus terjadi dulu sampai ada tindakan yang lebih serius?,” tanyanya bimbang.
Meski begitu, bukan berarti tidak melapor sama dengan membiarkan kejadian tersebut terjadi begitu saja. RK mengaku sebenarnya sudah muak dan tidak ingin kejadian buruk menimpanya lagi.
“Saya juga muak dengan penumpang yang mencurigakan. Saya enggak mau kejadian-kejadian ini terulang lagi,” pungkasnya.
5.Moda Khusus bagi Orang dengan Disabilitas
Selain ancaman pelecehan bagi perempuan, tantangan lain dalam inklusivitas transportasi publik adalah aksesibilitas bagi orang dengan disabilitas, ibu hamil, lansia, dan kelompok prioritas lainnya.
Masalah ini bukan hanya tentang bagaimana mereka bisa naik ke dalam kendaraan, tetapi juga bagaimana perjalanan mereka dapat dilakukan dengan aman dan nyaman.
Dari hasil analisis data, 31,3% responden menilai aksesibilitas transportasi publik sangat buruk, sementara 27,7% menilainya buruk. Hanya 9,6% yang mengatakan aksesibilitasnya baik, dan 4,8% menilainya sangat baik. Ini berarti mayoritas pengguna merasa bahwa fasilitas transportasi publik belum cukup ramah bagi kelompok dengan kebutuhan khusus.
Airin, perempuan dengan disabilitas fisik pindah ke Jakarta pada 2006, ia membayangkan hidup yang lebih dinamis. Namun, kenyataan berbicara lain. Mobilitasnya terbatas bukan hanya karena cedera tulang belakang yang membuatnya harus menggunakan kursi roda, tetapi juga karena kota ini tidak dirancang untuknya.
Bertahun-tahun ia hanya bisa menyaksikan dari kejauhan bagaimana orang lain dengan mudah naik turun bus atau berlari mengejar kereta. Bagi Airin, perjalanan adalah rangkaian tantangan yang melelahkan.
“Kalau mau keluar, harus ada yang gendong. Bukan sekali-dua kali, tapi setiap saat,” jelasnya.
Ketika layanan Trans Care mulai beroperasi, secercah harapan muncul. Kini ia bisa bepergian tanpa perlu dipindahkan berkali-kali dari kursi roda ke kursi penumpang. Rasa nyaman yang selama ini hanya angan-angan akhirnya menjadi nyata.
Namun, harapan itu tidak sepenuhnya terpenuhi. Trans Care hanya beroperasi di Jakarta, sementara Airin kesulitan untuk berpindah ke perbatasan kota.
“Kalau mau ke Bekasi atau Tangerang, saya harus turun di batas kota dan cari kendaraan lain. Kenapa tidak diperpanjang ke Jabodetabek?,” tanyanya kecewa.
Masalah lain datang dari sistem pemesanan yang masih manual. Keterlambatan, pembatalan mendadak, hingga ketidakpastian perjalanan menjadi bagian dari kesehariannya.
“Kadang sudah daftar H-1, tapi tiba-tiba dibatalkan. Saya jadi bingung harus cari transportasi apa lagi,” katanya.
Selain itu, pengalaman tidak menyenangkan dengan petugas layanan membuatnya semakin skeptis terhadap sistem yang ada. Pernah suatu kali ia diminta membayar e-toll secara mendadak saat tiba di mall, sesuatu yang tidak diinformasikan sebelumnya oleh operator Trans Care.
“Saya kaget, dong, kok enggak dikasih tahu dari awal oleh operator Trans Care saat bilang bisa mengantarkan saya ke mall tersebut?” keluhnya.
Lebih parah lagi, ada petugas Trans Care yang pernah menghubunginya setelah tidak lagi bekerja di sana, menggunakan nomor kontaknya untuk kepentingan pribadi.
“Itu berarti nomor kontak saya masih ada di dia, kan? Nah, ternyata dia sudah resign, tapi menghubungi saya dengan niat personal, bukan terkait layanan Trans Care. Dia menawarkan barang atau sesuatu, gitu lah.”
“Saya khawatir kalau di masa depan kejadian seperti ini bisa mengarah ke hal yang lebih serius, seperti pelecehan. Sebelumnya, sebelum saya kecelakaan, saya pernah mengalami pelecehan, jadi hal seperti ini cukup membuat saya khawatir,” tambahnya.
Tanpa sistem yang jelas untuk melaporkan kejadian ini, Airin hanya bisa diam. Ia khawatir, jika tidak ada perlindungan privasi yang lebih baik, suatu saat bisa terjadi hal yang lebih buruk.
“Saya enggak tahu harus lapor ke mana. Kalau ini terus terjadi, bagaimana kalau di masa depan sampai terjadi pelecehan?” katanya mengingat pengalaman pahitnya.
Airin juga menyoroti aspek keamanan di Trans Care yang belum sepenuhnya aman bagi orang dengan disabilitas. Dari pengalaman Airin, ramp dan alat untuk stabilisasi pengguna kursi roda masih memiliki keterbatasan. Kondisi ini membuat Airin acap kali tidak bisa menggunakan fasilitas publik ini untuk mobilitas pulang dan pergi.
“Untuk Trans Care sendiri, aspek keamanannya masih kurang. Misalnya, di bagian ramp belakang, alat-alat untuk menstabilkan kursi roda itu masih kurang. Begitu naik ke ramp dan duduk di dalam kendaraan, kursi roda kami belum sepenuhnya stabil karena alat penahan atau penguncinya tidak cukup kuat.”
“Selain itu, karena keterbatasan jumlah mobil Trans Care yang memiliki ramp, saya sering harus memilih antara pergi atau pulang—tidak bisa dua-duanya. Harapan saya ke depan, armada ini diperbanyak supaya bisa melayani pulang-pergi,” keluh Airin.
Kendati demikian, Airin mengakui bahwa Trans Care merupakan kebijakan baik yang harus terus dievaluasi dan diperluas ke kota-kota lain.
Di kota tetangga Jakarta seperti Depok, Kirana, perempuan dengan disabilitas kursi roda mengeluhkan akses transportasi menjadi tantangan besar. Ia tetap harus menjangkau MRT dengan mobil untuk first mile (perjalanan dari tempat asal menuju tempat transit transportasi massal) karena tidak ada angkutan khusus untuk orang dengan disabilitas.
“MRT cukup ramah disabilitas, ada lift dan jalur khusus. Tapi untuk sampai ke sana? Saya tetap harus naik mobil,” keluhnya.
6.Minim Fasilitas Penunjang yang Aman untuk Pengguna Prioritas
Hambatan utama lain yang sering ditemukan adalah ketiadaan jalur khusus atau lift yang memadai, yang membuat pengguna kursi roda kesulitan untuk mengakses peron atau masuk ke dalam kendaraan.

Keterbatasan kursi prioritas juga menjadi keluhan utama, terutama karena pengguna umum sering kali tidak mematuhi aturan untuk memberikan tempat duduk bagi yang membutuhkan. Selain itu, desain kendaraan dan halte yang tidak ramah bagi orang dengan disabilitas masih menjadi masalah utama, terutama bagi pengguna alat bantu jalan atau disabilitas netra yang memerlukan guiding block.
Meski Kirana merasa MRT cukup aksesibel baginya, ia tetap khawatir karena lift acap kali rusak dan tidak ada solusi lain.
“Kalau liftnya rusak, solusinya apa? Harus digotong? Itu berisiko tinggi bagi kami,” katanya.

Bahkan saat lift berfungsi pun, antrean menjadi tantangan lain bagi orang dengan disabilitas.
“Jarang sekali ada yang mengutamakan kami. Saya harus antre seperti biasa dan sering juga diserobot,” tuturnya.
Ia membayangkan sebuah sistem informasi real-time yang bisa memberi tahu kondisi fasilitas di setiap stasiun. Sehingga, mereka yang membutuhkan bisa menghindari stasiun dengan fasilitas yang bermasalah.
Lain hal dengan Kirana, Brian tumbuh di Pekanbaru dengan kaki yang mengalami deformitas. Sejak SD, ia terbiasa naik angkot untuk ke sekolah, tetapi perjalanan itu tidak pernah mudah.
“Jarak dari rumah ke tempat angkot lewat lumayan jauh, dan saya harus jalan kaki. Itu melelahkan,” ceritanya.
Saat pindah ke Jakarta untuk SMA, ia berharap fasilitas lebih baik. Namun, kenyataan di ibu kota justru memberinya tantangan lain.
“Di halte Transjakarta, liftnya sering mati. Kalau ada ramp, sering kali terlalu curam untuk digunakan sendiri,” keluhnya.
Tantangan serupa Brian temui saat kembali ke Pekanbaru dan mencoba naik Trans Metro.
“Mirip Transjakarta, tapi halte-haltenya tidak ramah disabilitas. Ramp-nya terlalu curam, licin, dan tidak ada pegangan tangan. Bahkan orang yang bisa berjalan biasa pun susah,” katanya.
Namun, baginya acap kali yang lebih menyakitkan adalah sikap sesama penumpang. Brian kerap tidak mendapat kursi prioritas kecuali ia memintanya terlebih dahulu.
“Saya sering naik bus dengan ibu. Meskipun saya jelas-jelas pakai tongkat, orang jarang mau kasih kursi prioritas. Kalau saya dapat tempat duduk, itu karena saya yang minta dulu,” ungkapnya.
Selain hambatan fisik, minimnya petugas atau pendamping yang dapat membantu pengguna dengan disabilitas juga menjadi keluhan utama. Ketika orang dengan disabilitas atau lansia membutuhkan bantuan, tidak selalu ada petugas yang siap sedia, yang pada akhirnya membuat mereka harus mengandalkan kebaikan sesama penumpang. Hal ini menunjukkan bahwa sistem transportasi belum benar-benar siap untuk melayani semua kalangan dengan setara.
“Undang-undang sudah ada, tapi implementasi dan keberlanjutannya yang masih sangat kurang. Maintenance fasilitas sering diabaikan, dan SDM yang bertugas belum cukup terlatih untuk menangani berbagai permasalahan yang dihadapi komunitas disabilitas dan kelompok marginal lainnya,” pungkas Brian.
Sementara itu, di Semarang, Patricia, perempuan bukan disabilitas yang kini sedang menempuh pendidikan tinggi memiliki pengalaman berbeda dalam menggunakan transportasi publik. Sejak berusia anak, ia terbiasa menggunakan bus Trans Semarang untuk mobilitasnya.
Namun, pilihan transportasi yang aman dan nyaman tetap sulit didapat. Salah satunya adalah fasilitas halte yang tidak aman. Saudaranya yang sudah sepuh pernah terjatuh di antara celah halte dan bus hingga menyebabkan kakinya retak.
“Aku merasa, bayangin saja orang tua yang jatuh, pasti sakit banget. Dan itu sempat kejadian sama saudara aku, Mbah aku, yang sudah sepuh. Beliau jatuh (dari halte) sampai kakinya agak retak,” papar Patricia.
Bahkan Patricia sendiri mengalami kejadian serupa saat hujan. Meskipun terdapat beberapa orang dan personel petugas, tidak ada satupun uluran tangan untuk membantu Patricia.
“Aku pernah jatuh dari halte dan satu pun orang enggak ada yang nolongin. Jadi benar-benar hujan-hujan, jatuh, enggak ada yang nolongin sama sekali,” kesalnya.
Bukan hanya masalah fisik halte yang tinggi, tetapi juga fasilitas dalam bus yang kurang ramah bagi kelompok prioritas. Patricia menyoroti masalah yang bukan hanya menyulitkan bagi orang disabilitas atau lansia, tetapi juga anak, bahkan anak usia remaja.
“Busnya di dalam terlalu tinggi untuk anak-anak. Jadi, anak-anak sering banget jatuh. Waktu aku SMP juga sempat jatuh di dalam bus karena pegangannya terlalu tinggi dan tangan aku enggak sampai,” kenangnya.
7.Pemerataan Infrastruktur dan Sistem yang Menjamin Keamanan
Keamanan dan infrastruktur menjadi dua aspek yang paling mendesak untuk diperbaiki dalam sistem transportasi publik.
Dari data yang diperoleh, 30,1% responden menganggap keamanan sebagai aspek yang paling perlu ditingkatkan, diikuti oleh kenyamanan (19,3%) dan infrastruktur halte atau stasiun (28,9%).
Selain itu, salah satu masalah terbesar dalam infrastruktur adalah pemerataan transportasi publik di tiap daerah.
Di Lampung misalnya, tantangan yang dihadapi Septi berbeda. Ia tidak harus khawatir soal lift atau kursi prioritas, karena transportasi publik yang layak hampir tidak ada.
“Lampung itu kalau transportasi publik yang bisa saya pakai kalau di dalam kota enggak ada sama sekali,” katanya. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Jalannya saja sampai sekarang, kalau lihat berita-berita tentang Lampung, jalannya jelek. Ya memang jelek, sampai sekarang juga di sekitar tempat saya mau ke kampus, ke tempat kerja saya saja jelek,” sambungnya.
Septi tinggal di pinggiran kota, kendaraan pribadi adalah pilihan utama bagi kebanyakan orang. Septi harus beradaptasi dengan kenyataan ini dan mencari alternatif terbaik untuk perjalanan yang sering kali melelahkan.
“Sebenarnya di kampus saya ada bus kampus, tapi sudah nggak beroperasi lagi. Karena ya, mindset di sini lebih ke kendaraan pribadi. Mereka (pemangku kebijakan) enggak punya pola pikir untuk menyediakan transportasi publik minimal untuk tempat kerja. Sayang banget, padahal potensinya besar.”
“Lalu, kalau keluar kota, misalkan saya mau ke Jakarta, harus menggunakan bus ketengan. Jadi saya naik dari tol ke Kota Baru, ke Bakauheni. Mungkin bisa dibilang hanya itu transportasi publiknya. Terus saya lanjut naik kapal feri. Hanya itu yang saya manfaatkan selama di Lampung. Itu satu-satunya transportasi publik yang saya pakai,” cerita Septi.
Tantangan infrastruktur lain yang dihadapinya tidak hanya soal minimnya pilihan, tetapi juga kurangnya informasi.
“Kalau soal informasi, terutama bagaimana, sih, akses naik busnya, dari mana naiknya, itu bisa dibilang kurang,” ungkapnya.
Meskipun ada terminal, sistemnya jauh dari standar kota-kota lain. Ia harus mencari tahu sendiri, bertanya kepada orang-orang, tanpa adanya petunjuk yang jelas dari sistem yang terorganisir.
“Paling ada seperti semacam kios-kios yang menjual beberapa tiket. Nah nanti di situ baru busnya ngetem. Jadi saya merasa seperti di hutan rimba begitu, cari informasi itu harus tanya ke orang, bukan lewat informasi yang sudah terstruktur dalam sistem IT, misalnya website khusus transportasi publik, itu kurang terakses,” keluhnya.
Septi juga menyoroti pengalaman membayar tiket kapal feri yang menyulitkan dan menurutnya tidak inklusif. Bahkan pengguna harus mengakses calo sebagai satu-satunya jalan keluar ketika sistem pembelian tiket terdapat gangguan.
“Kalau enggak tahu aplikasinya agak susah. Karena bayarnya itu harus lewat Indomaret atau online, tapi enggak ada sistem dari ferinya sendiri. Jadi kalau ada darurat atau gangguan m-banking, kita harus beli lewat calo. Itu juga menyulitkan,” cerita Septi.
Di daerah yang tidak mementingkan sarana transportasi publik, situasi kian sulit bagi perempuan dalam hal keamanan. Banyak lokasi yang menjadi rawan kejahatan karena kurangnya penerangan, terutama di malam hari.
“Selama perjalanan, kalau untuk perempuan, malam hari itu agak berisiko. Karena selama ini kalau malam itu paling rentan. Nah ini yang kadang-kadang agak kesulitan, terutama kalau penerangan kurang, jadi keamanannya juga sedikit kurang terfasilitasi.”
“Saya deg-degan banget kalau sampai malam,” terang Septi.
Bagi Septi, kelemahan utama ada pada sektor kebijakan. Ia melihat kurangnya political will dari pemerintah untuk menekan kebijakan inklusif di sektor ruang publik, khususnya transportasi publik.
“Yang harus dibenahi itu sebenarnya menyeluruh. Kelemahan utama di kita ada di kebijakan,” tukas Septi.
Hal ini juga ditekankan oleh Brian. Menurutnya, akuntabilitas pemerintah menjadi tanda tanya besar terutama melihat perhatiannya pada disabilitas. Pemangkasan anggaran signifikan yang dilakukan kepada Komisi Nasional Disabilitas membuat Brian semakin pesimis dengan perbaikan sektor fasilitas publik yang lebih inklusif bagi disabilitas.
“Yang juga perlu dibenahi adalah akuntabilitas. Dari perspektif saya sebagai penyandang disabilitas, fasilitas yang ada sekarang seperti dibuat hanya untuk sekedar ada, bukan benar-benar dirawat atau ditingkatkan.”
“Misalnya, Komisi Nasional Disabilitas yang awalnya memiliki anggaran Rp5 miliar, dipotong jadi hanya Rp500 juta. Ini menunjukkan bahwa concern terhadap disabilitas masih kurang serius,” keluhnya menutup percakapan.
8.Merangkum Solusi dari Pengguna
Melihat berbagai tantangan ini, ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil untuk menjadikan transportasi publik lebih inklusif dan aman.
Pertama, peningkatan jumlah petugas keamanan di halte, stasiun, dan dalam kendaraan harus menjadi prioritas. Keberadaan petugas tidak hanya akan meningkatkan rasa aman bagi pengguna, tetapi juga dapat menjadi langkah preventif untuk mengurangi kasus pelecehan seksual.
Kedua, kampanye kesadaran publik tentang pelecehan seksual harus lebih masif dilakukan. Saat ini, masih banyak masyarakat yang tidak memahami bahwa pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang serius. Edukasi tentang bagaimana merespons dan melaporkan kasus pelecehan juga harus ditingkatkan agar korban merasa lebih percaya diri untuk melaporkan insiden yang mereka alami.
Ketiga, aksesibilitas bagi orang dengan disabilitas dan lansia harus diperbaiki, mulai dari penyediaan jalur khusus, lift yang berfungsi dengan baik, hingga ketersediaan petugas yang siap membantu. Tanpa perbaikan ini, kelompok rentan akan terus mengalami hambatan dalam menggunakan transportasi publik.
Terakhir, sistem transportasi harus dirancang dengan perspektif gender dan inklusivitas. Perencanaan kota dan transportasi selama ini masih cenderung berbasis pada kebutuhan mayoritas tanpa mempertimbangkan kelompok dengan mobilitas terbatas. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, transportasi publik dapat benar-benar menjadi sarana mobilitas yang dapat diakses dan digunakan oleh semua orang tanpa kecuali.
Transportasi publik yang inklusif bukan hanya tentang menyediakan kendaraan yang murah dan cepat, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, dapat menggunakannya dengan aman, nyaman, dan tanpa rasa takut.
Sudah saatnya kebijakan transportasi diarahkan untuk melayani semua orang, bukan hanya sebagian.
Tim Konde.co
Koordinator: Nurul Nur Azizah
Grafis: Ardiles
Riset dan Data: Luthfi Maulana dan Laras Ciptaning Kinasih
Editor: Luviana Ariyanti