Kekerasan seksual di tempat wisata Labuan Bajo

Wisatawan Diperkosa di Labuan Bajo, Polisi Bias Gender dan Hentikan Kasus

Selama tiga tahun, A perempuan wisatawan, berjuang tuntaskan kasus atas perkosaan yang dialaminya. Hidup dengan trauma, kondisi fisiknya mudah drop. Polisi justru menghentikan penyelidikan.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. 

A, perempuan berusia 30 tahun merasakan lelah fisik dan mental yang amat sangat. Tiga tahun terakhir ia harus menghadapi trauma akibat perkosaan yang dialaminya. Masih ditambah, ia mesti berurusan dengan aparat kepolisian yang tidak profesional dalam menangani kasusnya.

“Saya lelah bu. Kenapa begini ya di Indonesia? Kok sulit sekali perempuan kayak saya dapat keadilan, padahal saya diperkosa,” tutur A sambil menangis seperti disampaikan pengacaranya kepada Konde.co. 

A diperkosa oleh SF dan NL di rumah kosnya pada 12 Juni 2020 saat ia pergi berlibur ke Labuan Bajo, Komodo, NTT. 

Sebelumnya, HB telah mengatur pertemuan dengan E, SF, NL, KD dan AP untuk datang ke rumah A. E adalah teman perempuan A yang tinggal satu kos di Labuan Bajo.

Baca Juga: Aktivis Perempuan: Stop Kekerasan Berulang Pada Korban Perkosaan, Jangan Bungkam Media!

Beberapa dari laki-laki tersebut bekerja sebagai tour guide untuk membawa tamu ke Taman Nasional Komodo. Salah satu dari mereka adalah seorang influencer. A dan E telah mengenal mereka berlima sebelumnya saat berkunjung ke pulau sekitar Labuan Bajo pada awal Juni 2020. 

Dalam pertemuan tersebut, A tiba-tiba diberikan minuman dan tak sadarkan diri. Dalam kondisi tersebut, ia kemudian diperkosa secara bergantian. Pengacara A, Siti Sapurah, yang biasa disapa Ipung curiga, minuman yang diberikan pada A mengandung obat tertentu.

“Korban ini dihipnotis, itu satu mbak dan kedua dibuat tidak berdaya dengan diberikan minuman keras yang berbentuk soju. Mungkin ada obat lain di dalamnya. Saya curiga kemungkinan ini ada. Namun penyidik tidak melakukan (penyidikan) itu. Padahal korban dari awal minta dilakukan tes urine,” kata Ipung pada Konde.co Kamis (5/10/23).

Ketika terbangun, A dalam kondisi tak berpakaian. Tubuhnya penuh luka memar dan sesak di bagian dada. Keterangan E mengonfirmasi jika A adalah korban yang diperkosa SF dan NL. 

Polisi Hentikan Proses Penyelidikan

A kemudian melaporkan perkosaan tersebut ke Polres Manggarai Barat pada 14 Juni 2020. Laporan diterima dengan nomor LP/68/VI/2020/NTT/Res Mabar. A lalu diminta melakukan visum dengan diantar petugas. 

Permintaan korban atas tes urine bersamaan dengan proses visum, sempat ditolak. A akhirnya diperbolehkan melakukan tes urine tapi tidak mendapatkan hasilnya.

A lalu dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dan dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). Para pelaku kemudian dipanggil untuk diperiksa. A juga melaporkan perkosaan yang dialaminya ke Komnas Perempuan yang kemudian berkirim surat kepada Kapolres Manggarai Barat pada 13 Oktober 2020. 

Dalam suratnya, Komnas Perempuan mendukung Polres Manggarai Barat melakukan penyidikan. Komnas Perempuan juga menyatakan berdasarkan fakta hukum dan kronologi yang disampaikan pelapor, Komnas Perempuan berpendapat jika A telah menjadi korban perkosaan yang terencana.

Menurut Komnas Perempuan, perkosaan juga dilakukan dengan kekerasan dan memanfaatkan kondisi korban yang tidak sadarkan diri. Karena itu perbuatan pelaku sudah memenuhi unsur seperti yang diatur dalam pasal 285 KUHP.

Meski begitu, kasus A setelah itu mandeg. A merasa tidak ada kejelasan atas kasus perkosaan yang dilaporkannya. Para pelaku SF dan NL juga masih bebas. Sementara saksi HB yang mengatur pertemuan dan saksi AP yang berada di lokasi, tidak dipanggil dan diperiksa.

Kanit PPA Polres Manggarai Barat, Ipda Karina Viktoria Anam kepada Floresa.co mengatakan saat ini tidak ada alasan untuk menindaklanjuti kasus tersebut. 

Baca Juga: Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku

“[Proses hukum] kasus ini sudah diberhentikan,” katanya.

Dari pemeriksaan yang mereka lakukan terhadap dua pelaku, penyidik menyimpulkan kejadian tersebut bukan pemerkosaan. Pasalnya menurut keterangan pelaku hubungan seksual terjadi atas keinginan korban yang memaksa pelaku. 

Ipung menganggap terdapat pelanggaran prosedur dalam proses penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Manggarai Barat. Menurutnya penyidik juga tidak punya empati terhadap korban dan tidak mumpuni untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Dugaan Pelanggaran Prosedur dalam Penyelidikan Kasus 

Pada 1 Februari 2021 Polres Manggarai Barat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dengan Nomor: SPP.LIDIK/11/II/RES 1.24/2021/SAT RESKRIM. Surat yang memerintahkan penyidik untuk menghentikan penyelidikan tersebut ditandatangani Kasat Reskrim selaku penyidik.

Alasan penghentian penyelidikan karena polisi menganggap kurangnya alat bukti yang ditemukan setelah melakukan pemeriksaan terhadap korban, saksi-saksi, para pelaku dan hasil visum et repertum terhadap korban.

Prosedur penyelidikan yang merupakan bagian dari penyidikan diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pasal 9 ayat 1 Perkap 6/2019 menyebutkan, “hasil penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana.”

Kalau hasil gelar perkara memutuskan peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dilakukan penghentian penyelidikan. Namun soal gelar perkara ini sama sekali tidak disinggung dalam Surat Perintah Penghentian Penyelidikan yang terbit 1 Februari 2021 tersebut.

Konde.co menanyakan ada tidaknya gelar perkara sebelum penghentian penyelidikan dengan menghubungi Kanit PPA Polres Manggarai Barat pada Selasa (10/10/24), tapi tidak ada tanggapan. Pesan yang dikirim Konde.co ke nomor Kanit PPA, Ipda Karina tidak dibalas, begitu juga dengan sambungan telepon. 

Baca Juga: Setelah 3 Tahun Korban Kekerasan Seksual di Kementerian Berjuang, Akhirnya Kasus Dibuka Kembali, Menteri Buat Tim Independen

Mengutip advokat Frans Hendra Winarta, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Kedua pihak harus hadir langsung, tak boleh diwakilkan pihak lain. Kalau tidak menghadirkan pelapor dan terlapor, gelar perkara yang dilakukan bisa dikatakan cacat hukum. 

Senada dengan pendapat Frans, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan korban/pelapor atau kuasa hukumnya bisa ikut hadir dalam gelar perkara. Korban juga bisa minta untuk dihadirkan atau diperkuat oleh keterangan saksi ahli. Dalam gelar perkara ini bahkan korban dapat memberikan informasi baru.

Pada kasus yang agak sulit, gelar perkara dimungkinkan untuk dilakukan lebih dari sekali. Singkatnya menurut Siti Aminah, suatu perkara tidak bisa tiba-tiba dihentikan tanpa ada upaya maksimal yang dilakukan sebelumnya.

Baca Juga: Praperadilan Ditolak, Korban Perkosaan di Kemenkop UKM Buat Laporan Baru

“Walaupun memang problemnya di situ, upaya maksimalnya sudah dilakukan atau tidak?,” kata Siti Aminah pada Konde.co Sabtu (7/10/23).

Korban tidak tahu-menahu soal gelar perkara. Pengacara korban juga menyampaikan korban tidak pernah menerima surat pemberitahuan soal penghentian kasusnya.

Ipung menjelaskan dirinya ditunjuk sebagai kuasa hukum korban pada 26 April 2023. Setelah itu ia berkirim surat ke Kapolres Manggarai Barat u.p. Kasat Reskrim pada minggu pertama Mei 2023. Dalam suratnya Ipung minta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang merupakan hak korban. Namun suratnya tidak ditanggapi. 

“Membalas (surat) itu saja tidak ada sampai sekarang, sampai akhirnya saya memutuskan (bersurat) ke Mabes. Harusnya kan balas itu SP2HP. Kalau memang benar di-SP3 kirim ke saya. Kok nggak berani kirim? Malah ngomong sama LPSK, sama Kompolnas, sudah di SP3,” papar Ipung.

Sementara berdasarkan Surat Kapolda NTT Nomor B/1705/VIII/WAS.2.4./2021/Itwasda tertanggal 10 Agustus 2021 kasus dugaan perkosaan yang dilaporkan A masih dalam tahap penyelidikan. Surat ini merupakan tanggapan atas surat pengaduan A kepada Kapolda NTT pada 28 Juni 2021.

Surat yang ditandatangani Irwasda Polda NTT itu menyebutkan terkait pengaduan A, sudah dilakukan klarifikasi. Hasilnya pertama, sampai saat ini kasusnya masih dalam tahap penyelidikan oleh Satreskrim Polres Manggarai Barat dengan mengumpulkan barang bukti, mengambil keterangan terlapor, pelapor dan saksi-saksi.

Kedua, dari hasil penyelidikan hingga saat ini belum ditemukan cukup bukti yang menunjukkan suatu peristiwa yang diduga adanya tindak pidana pemerkosaan. Ketiga, setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan Satreskrim Polres Manggarai Barat akan melaksanakan gelar kasus untuk menentukan dapat atau tidaknya kasus ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Baca Juga: Putri Komodo, Kisah Perempuan Korban Kekerasan di NTT

Keempat, hasil visum telah dikeluarkan RSUD Labuan Bajo sesuai surat nomor RSUD.K/VER/1165/VI/2020 tanggal 15 Juni 2020. Kelima, setiap perkembangan penanganan kasus akan disampaikan kepada pelapor secara tertulis lewat SP2HP maupun secara lisan oleh penyidik.

Dari kedua surat tersebut terlihat adanya ketidaksesuaian. Polres Manggarai Barat menghentikan penyelidikan kasus pada 1 Februari 2021 dengan alasan kurangnya alat bukti. Sementara dalam klarifikasinya Polda NTT menyebutkan pada 10 Agustus 2021 kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. 

Konde.co menanyakan hal ini ke Kapolda NTT, Johni Asadoma pada Jumat (6/10/23) melalui nomor handphone-nya, tapi hingga sekarang belum ada tanggapan.

Setelah surat yang dikirim ke Kapolres Manggarai Barat tidak ditanggapi, Ipung berkirim surat dan mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada 6 Juni 2023. Surat pengaduan juga dikirim ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tentang ketidakprofesionalan penyidik.

Baca Juga: Selesai Memperkosaku, Ia Menyuruhku Melupakan Semuanya: Kisah Korban Kekerasan Seksual

Menanggapi aduan tersebut Divisi Propam Mabes Polri mengirim Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) nomor B/2926-b/VI/WAS.2.4/2023/Divpropam tertanggal 26 Juni 2023. Isinya menginformasikan Bagian Pelayanan dan Pengaduan Divpropam Polri sudah menindaklanjuti dengan melimpahkannya ke Biro Pengawasan dan Penyelidikan Bareskrim Polri.

Konde.co menghubungi nomor WA Bagian Pelayanan dan Pengaduan Divpropam Polri dan menanyakan hasil penanganan pengaduan kasus A pada Jumat (6/10/23). Admin membalas dengan mengarahkan ke nomor call center atau mengunduh aplikasi jika akan membuat laporan pelanggaran anggota polri. 

Pada 3 Juli Bareskrim Polri menanggapi pengaduan pengacara korban dengan menerbitkan SP3D nomor B/7669/VII/RES.7.5./2023/Bareskrim yang menjelaskan tahapan penanganan pengaduan masyarakat.

Sudah 3 bulan sejak keluarnya SP3D dari Bareskrim Polri, tapi pengacara korban belum menerima informasi perkembangan penanganan kasusnya. Karena itu Ipung berencana mendatangi langsung instansi tersebut.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Pejabat Negara: Bupati Maluku Tenggara Perkosa Pegawai Kafenya

“Cuma sampai sekarang saya belum dapat balasan lagi. Makanya saya ada rencana berangkat ke Jakarta lagi nemuin Kadivpropam, Karowassidik sama Kabareskrim,” ujar Ipung.

Konde.co menghubungi nomor WA akun Birowassidik Bareskrim Polri pada Jumat (6/10/23) siang tapi hanya centang satu. Konde.co kembali menghubungi pada Selasa (9/10/23), admin membalas, “Mohon berkenan menunggu, kami akan segera melakukan pengecekan terhadap pengaduan Bapak/Ibu.” Namun hingga berita ini tayang tidak ada tanggapan lebih lanjut.

Pengacara korban juga melihat adanya kejanggalan terkait terbitnya status DPO pelaku. Dari informasi yang diperoleh, pelaku sempat masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), artinya proses penanganan kasus sudah sampai tahap penyidikan.

Namun surat hasil klarifikasi pengaduan dari Kapolda NTT tertanggal 10 Agustus 2021 menyebutkan kasus masih dalam tahap penyelidikan. Artinya ada ketidaksesuaian. Daftar DPO tersebut dikabarkan bocor dan pelaku mengetahuinya. Hingga akhirnya status DPO itu menghilang.

Hasil Klarifikasi Polda NTT ke Kompolnas

Saat Ipung berada di Jakarta pada 6 Juni 2023, ia dihubungi seorang komisioner Kompolnas. Dalam percakapan itu komisioner tersebut mengatakan akan menindaklanjuti surat pengaduan yang dikirim Ipung. Ia juga menyampaikan akan berangkat ke Kupang untuk bertemu Kapolda NTT. 

Pada 27 Juni 2023 dalam surat bernomor B-881B/Kompolnas/6/2023, Kompolnas menginfokan sudah mengirimkan surat permohonan klarifikasi kepada Kapolda NTT tanggal 27 Juni 2023.

Sekitar 20 Juli 2023 Ipung kembali dihubungi komisioner Kompolnas yang pernah meneleponnya. Ia meminta Ipung bersama kliennya datang ke Jakarta untuk dipertemukan dengan Kapolda NTT. Ipung menanyakan maksud dari pertemuan tersebut.

“Kapolda NTT mau ketemu,” kata Komisioner Kompolnas seperti disampaikan Ipung.

Ipung menolak secara halus dengan mengatakan ia mesti konfirmasi dengan korban. Ipung menghubungi A dan menyarankan jika A akan datang sebaiknya tidak sendirian dan merekam percakapannya. Pertemuan itu sedianya diadakan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat. A akhirnya urung datang.

Konde.co mengonfirmasi soal rencana pertemuan ini ke Kapolda NTT pada Jumat (6/10/23), tapi pesan yang dikirim tidak ditanggapi.

Ipung kembali menerima surat dari Kompolnas dengan nomor B-881D/Kompolnas/8/2023 pada 25 Agustus 2023. Surat menginformasikan Kompolnas sudah menerima hasil klarifikasi dari Polda NTT. Dikatakan hingga saat ini laporan dugaan pemerkosaan tersebut belum ada penyelesaiannya. Dan pengadu mendapatkan dua SP2HP yang diterima tanggal 24 Juni 2020 dan 1 Juli 2020.

Baca Juga: Perkosaan dan Pemaksaan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS, Pemerintah Janji Perjuangkan Masuk RKUHP

Hasil klarifikasi menyebutkan penyelidik unit PPA Polres Manggarai Barat sudah melakukan serangkaian proses penyelidikan. Dari hasil penyelidikan, baik keterangan saksi-saksi maupun bukti-bukti, penyelidik menyatakan belum menemukan fakta hukum terkait unsur-unsur terjadinya dugaan tindak pidana pemerkosaan. 

Penyelidik menyatakan sudah melakukan gelar perkara dengan hasil kasus ini belum dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan karena belum cukup bukti. 

Selanjutnya kasus ini sudah dihentikan proses penyelidikannya pada 1 Februari 2021.

Hasil klarifikasi juga menyebutkan penyelidik sudah menyampaikan perkembangan hasil penyelidikan pada pelapor dengan surat nomor SP2HP/13/11/2021/Satreskrim tanggal 4 Februari 2021.

Surat tersebut juga menyatakan kalau ada hal yang tidak sesuai dengan fakta-fakta atau bukti-bukti yang dimiliki, pengadu dapat menempuh sejumlah upaya. Seperti melalui mekanisme hukum, atau lewat pengawasan internal polri atau melaporkan kembali ke Kompolnas.

Baca Juga: Nikahkan Korban Dengan Pemerkosa: Restorative Justice Yang Begitu Merugikan

Menanggapi surat Kompolnas, Pung sebgai pengacara korban lalu menghubungi komisioner Kompolnas dan menyoroti sikap lembaga tersebut.

“Saya bilang, seharusnya kan Kompolnas menjadi pengawasnya polisi. Kok seolah-olah Kompolnas menjadi alat perpanjangan lidahnya kepolisian kepada saya? Bukannya membantu saya. Di mana empatinya terhadap korban?,” kata Ipung.

Komisioner tersebut menanggapi Ipung dengan mengatakan langkah Kompolnas mengacu pada kewenangannya dan lembaga tersebut tidak bisa melakukan investigasi. Ia juga meneruskan pesan Kabidkum Polda NTT yang menyarankan kalau korban tidak puas bisa lapor ke Irwasda atau Kabagwassidik Polda NTT.

Ipung mengatakan kasus tersebut tidak jalan di Polda, jadi ia merasa tidak perlu menggunakan mekanisme pelaporan internal di Polda. Karena itu ia sudah melapor ke Kadivpropam Polri. Menurut Ipung seharusnya Kabidkum Polda NTT memeriksa kinerja penyidiknya.

“Harusnya Kabidkum Polda NTT memeriksa kinerja penyidiknya. Kenapa kasus yang segampang ini tidak bisa diselesaikan?” ujarnya.

Alasan Alat Bukti Kurang Dipertanyakan

Ipung menilai, alasan yang dipakai penyidik bahwa alat bukti kurang, justru menunjukkan ketidakmampuan penyidik menangani kasus kekerasan seksual. 

Ipung menjelaskan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak atau perempuan cuma dibutuhkan dua alat bukti.

“Alat bukti pertama itu apa? Keterangan saksi korban. Siapa saksi korban? Ya korban itu sendiri. Dan yang kedua alat bukti lain. Alat bukti lainnya itu apa? Bisa visum et repertum, bisa visum et repertum psikiatrikum,” paparnya.

Ipung berpendapat penyidik Polres Manggarai Barat masih berkutat dengan pandangan satu saksi bukan saksi. Akibatnya mereka berjibaku dengan kesaksian dari para terduga pelaku. Ketika pelaku membantah dugaan tindakan perkosaan yang dituduhkan kepada dirinya, penyidik bukannya memanggil kembali korban/pelapor tapi malah menghentikan penyelidikan. Bagi Ipung ini janggal. 

Menurutnya seorang pelaku jelas akan berkelit, ia tidak akan mengakui perbuatannya. Tugas penyidik lah untuk membuktikan dugaan tindakan pidana tersebut.

Setelah memeriksa dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP) pelapor, penyidik mengklarifikasi kepada terduga pelaku. Kalau pelaku menolak, membantah atau membela diri, penyidik mestinya memanggil kembali si pelapor. 

Setelah itu penyidik mensinkronkan temuannya dengan hasil visum, hasil laboratorium, dan dengan apa yang ada di tubuh korban. Dan juga mengambil hasil sperma yang ada di kasurnya.

Alih-alih melanjutkan penyelidikan, penyidik justru menghentikannya. Karena itu Ipung menganggap penyidik tidak paham tentang unsur-unsur kejahatan seksual terhadap perempuan dan UU terkait kekerasan seksual. Ia merasa kecewa dengan kinerja penyidik yaitu Unit PPA Polres Mabar. 

Baca Juga: Korban Perkosaan di Kemenkop UKM Ajukan Praperadilan Setelah Proses Hukum Dihentikan Polisi

Alasan tidak cukup bukti yang menjadi dasar penghentian penyelidikan juga dipertanyakan oleh Komisioner Komnas Perempuan. Siti Aminah mengatakan pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah sudah benar-benar maksimal dilakukan upaya-upaya pengumpulan bukti?

Merujuk pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Terkait sistem pembuktian ini, UU TPKS yang disahkan April 2022 menambah dua alat bukti, yaitu dokumen elektronik dan barang bukti.

Namun karena perkosaan tersebut terjadi pada 2020 dan dilaporkan di tahun 2020 juga maka pembuktiannya mengacu ke pasal 184 KUHAP.

Siti Aminah mengajak untuk mengecek bersama soal alat bukti tersebut, pertama keterangan saksi. Saksi di sini meliputi korban itu sendiri yang mengalami, mengetahui dan melihat. Selain itu juga ada teman kosnya (E) dan tiga orang yang ikut datang ke rumah tersebut.

Mereka adalah saksi yang mengetahui bahwa ada peristiwa. Mungkin mereka tidak melihat pemerkosaannya tapi tahu bahwa korban ada bersama para pelaku di saat itu. Jadi keterangan saksi cukup.

Baca Juga: UU TPKS Disahkan: Pekerjaan Rumah Selanjutnya Memastikan Peraturan Pelaksana UU

Kemudian ditambah satu alat bukti lainnya. Ini bisa berupa visum dan hasil tes urine.

“Yang jadi masalah kenapa hasil tes urine tidak dilampirkan?,” tanya Aminah. Tes urine ini posisinya sama seperti visum, ia merupakan alat bukti surat.

Siti Aminah menjelaskan bahwa tes urine ini untuk menunjukkan apakah di dalam tubuh korban betul mengandung alkohol seperti pernyataannya bahwa dia diberi minum. Kalau hasil tes urine menunjukkan ada kandungan zat kimia tertentu, maka keterangan korban valid.

“Keterangan korban tersebut bisa didukung dengan keterangan saksi lain. Misalnya, iya kami minum soju, jumlahnya sekian. Bisa digali siapa yang dominan dalam distribusi minuman tersebut. Misalnya si A, maka artinya memang ada peristiwa memanipulasi atau memaksa korban untuk minum.”

Baca Juga: Di Balik Gegap Gempita KTT Asean 2023: Ini Bukan Forum Kongkow, Ada Perampasan Lahan dan Intimidasi

Perlu diperhatikan juga bahwa pelaku memanfaatkan kerentanan korban. Jadi menurut Siti Aminah kekerasan yang disebut dalam pasal 285 KUHP tidak hanya berupa kekerasan fisik.

“Jadi kekerasan dalam pasal 285 itu tidak hanya dimaknai dengan fisik tapi termasuk membuat seseorang tidak berdaya. Salah satunya dengan cara dipaksa minum, itu sama dengan kekerasan,” terang Aminah.

Jika alat bukti surat dalam hal ini visum dan hasil tes urine dirasa belum cukup kuat, bisa dilakukan visum et repertum psikiatrikum. Visum et repertum psikiatrikum (VeRP) adalah keterangan dokter spesialis kedokteran jiwa yang berbentuk surat sebagai hasil pemeriksaan kesehatan jiwa seseorang. VeRP ini bisa dipakai untuk melihat dampak psikologis dari kekerasan seksual yang dialami korban.

Siti Aminah menjelaskan terkait pasal 285 KUHP, unsur yang harus dibuktikan adalah terjadinya persetubuhan dan terjadinya kekerasan. Persetubuhan ditunjukkan dengan adanya penetrasi yang dapat dibuktikan dengan visum et repertum, misalnya ada luka di vagina. Hal ini dibenarkan oleh pengacara korban.

“Visum et repertum sudah jelas mengatakan ada robekan di alat vitalnya korban sedalam 2 cm. Dan ada luka lebam dan lecet dari areal dada sampai leher,” kata Ipung.

Baca Juga: Ingat Kasus Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM? Penyidik Polresta Bogor Kena Sanksi Demosi

Sedangkan untuk pembuktian kekerasan, dalam kasus ini berupa paksaan atau manipulasi untuk minum minuman keras. 

Terkait memar di bagian dada dan lehernya, korban memeriksakan diri di salah satu rumah sakit swasta di Labuan Bajo. Hasil pemeriksaan menyebutkan korban mengalami cedera otot di bagian payudara kanan.

Aminah menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan korban secara mandiri disebut dengan rekam medik. Rekam medik ini berbeda dengan visum yang dilakukan berdasarkan rujukan kepolisian. Rekam medik ini dimungkinkan untuk diajukan korban atau kuasa hukumnya ke kepolisian sebagai bagian dari alat bukti.

Namun perlu diperhatikan apakah ada jeda yang cukup jauh antara visum yang dilakukan untuk kepentingan hukum dengan rekam mediknya? Kepolisian bisa meminta dokter yang memeriksa untuk memberikan keterangan tentang pemeriksaannya itu. Maka dokter tersebut menjadi ahli atau bisa juga menjadi petunjuk. 

Siti Aminah menegaskan pada kasus kekerasan seksual upaya pengumpulan bukti harus dilakukan dengan maksimal.

Ipung melihat ada beberapa situasi yang tidak didalami oleh penyidik. Ketika A tidak sadarkan diri dan dibawa ke kamar oleh SF dan diperkosa, pintu kamar dikunci dari dalam. Petunjuk ini sayangnya tidak dikembangkan oleh penyidik.

“Kalau seseorang dimasukin ke kamar dalam kondisi tidak berdaya dan apalagi dikunci berarti ada penyekapan. Ini nggak dikembangkan sama polisi, disinilah kesalahan penyidik, mbak,” kata Ipung.

Baca Juga: Kisah Korban Penyekapan di Myanmar: Perdagangan Orang Ada Di Sekitar Kita

Begitu juga ketika posisi SF digantikan NL yang memperkosanya dan berada di kamar selama 4 jam hingga pagi. Petunjuk ini juga tidak dikembangkan oleh penyidik.

Ipung juga mencurigai dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan E dengan memperjualbelikan temannya untuk mendapat keuntungan pribadi dari pelaku. Karena itu ia berharap polisi mengusut hal ini dengan menyita semua HP para terduga pelaku.

Kuatnya Stigma dan Stereotipe Gender di Kalangan Aparat Kepolisian

Penghentian penyelidikan oleh penyidik Polres Manggarai Barat punya makna bahwa dugaan tindak pemerkosaan yang dilaporkan korban belum dianggap sebagai tindak pidana. Situasi ini menurut Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah terkait erat dengan kuatnya stigma dan stereotipe gender di kalangan aparat kepolisian. 

Pada kasus yang melibatkan perempuan dengan kondisi tidak sadarkan diri atau dibuat mabuk, stigma dan stereotipe gender terhadap korban sangat kuat. Karena minuman keras dianggap hal yang buruk, maka ketika perempuan mabuk, ia akan dianggap sebagai perempuan tidak baik.

Stigma dan stereotipe ini yang kemudian mempengaruhi cara pandang aparat kepolisian. Stigma ini jadi pembenaran atas tindakan perkosaan yang terjadi karena dianggap sebagai hubungan seksual dan bukan bentuk kekerasan serta pemaksaan. Pada akhirnya ini jadi alasan untuk tidak melakukan penyelidikan atau memaksimalkan berbagai upaya pengumpulan bukti.

“Perempuan yang minum minuman keras, baik dia minum maupun dipaksa untuk minum, itu stigmanya sangat tebal. Dan mengikis stigma ini kan memang pekerjaan yang luar biasa,” papar Siti Aminah.

Siti Aminah menambahkan ketika seseorang tidak sadarkan diri, tidak berdaya karena dibuat mabuk, dia tidak bisa memberikan persetujuan atau consent.

“Misalnya dia dipaksa minum, mau dia kemudian ‘menggoda’, kemudian merespons gitu ya, itu nggak bisa dibilang suka sama suka. Karena persetujuan yang dia berikan adalah dalam kondisi dia tidak memiliki kesadaran penuh, itu bukan consent,” jelasnya. 

Baca Juga: Dead Press Society: Gerilya Media Indie Bersekutu Menjaga Demokrasi

Pemahaman kita atas stereotipe gender dan konsensual memengaruhi cara pandang kita atas kasus perkosaan yang melibatkan minuman keras. Sayangnya di masyarakat stereotipe gender masih kuat terutama terhadap perempuan. Stigma dengan mudah dilekatkan pada perempuan atau korban. Menurut Siti Aminah, biasanya karakteristik kasus-kasus yang melibatkan alkohol seperti itu.

Hal lain menurut Siti Aminah yang harus dipahami adalah tingkat kesulitan dalam kasus perkosaan dengan memanipulasi atau memaksa perempuan minum minuman keras. Pasalnya para pelaku memanfaatkan kondisi korban yang tidak sadarkan diri. 

Sementara korban karena ketaksadaran atau ketakberfungsian yang maksimal maka proses untuk mengingat dan mengenali, membutuhkan waktu. Dan membutuhkan orang-orang yang mampu memahami prosesnya menemukan kembali rangkaian fakta-fakta yang ia alami.

Pentingnya Pemulihan Korban

Ipung kemudian bersurat ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengupayakan perlindungan dan pemulihan bagi korban. 

Sekitar awal Juli 2023 LPSK menanggapi suratnya dengan menghubungi Ipung dan datang ke kantornya untuk melakukan asesmen dengan korban.

“Langsung datang ke Bali dan ketemu korban. Itu korban diajak ngomong dari jam 9 sampai jam 12 malam. Itu nggak henti-hentinya nangis, sampai saya harus menguatkan dia, mengelus-elus pundaknya,” tutur Ipung.

Setelah asesmen korban direkomendasikan ke salah satu psikolog di Bali. Ipung mengantar korban konseling dengan psikolog yang dirujuk. Dari proses konseling diketahui korban mengalami PTSD, gangguan mental yang terjadi pada seseorang setelah mengalami peristiwa traumatis. Korban susah tidur kalau malam hari terutama saat hujan.

Psikolog mengatakan proses pemulihannya tidak bisa dilakukan hanya dengan satu kali pertemuan. Konselingnya harus dilanjutkan. Karena itu Ipung menyarankan A untuk tidak lagi menanggapi pesan-pesan terkait kasusnya dan membiarkan pengacaranya yang menangani.

“Saya bilang, mbak nggak usah nanggapin, ada yang chatting mbak, DM mbak, atau WA mbak, bilang semua diserahkan kepada kuasa hukum. Kasih nomer HP saya mbak, biar saya yang merespons semuanya. Mbak jangan respons lagi, mbak cukup sampai di sini saja. Sekarang biar saya berada di depan mbak. itulah pesan saya tadi malam mbak,” kata Ipung.

Baca Juga: Dan Korban Kekerasan Seksual Terus Bertambah

Menurut Ipung, LPSK sempat menghubunginya kembali, mereka akan melakukan asesmen lagi untuk layanan psikolognya. Jadi nanti kalau kasus tersebut sudah dilanjutkan atau dibuka kembali, dirinya bisa mengajukan kembali permohonan perlindungan untuk korban. 

Pentingnya pemulihan bagi korban juga menjadi perhatian Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi. Menurutnya selain tetap memperjuangkan hak keadilan korban, hal yang harus ditimbang adalah pemulihan korban.

“Jadi misalnya kita bisa mendorong bahwa pemulihan itu bisa diakses di P2TP2A terdekat. Walaupun misalnya kasusnya ini belum berjalan atau belum dibuka kembali,” katanya.

Baca Juga: Perkosaan di Kemenkop UKM: Praperadilan Dikabulkan, Pelaku Perkosaan Tak Lagi Jadi Tersangka

Siti Aminah menambahkan, pada prinsipnya, sebuah kasus itu diadili atau tidak, terbukti atau tidak, setiap orang berhak untuk pulih dari kekerasan yang ia alami. Karena yang bisa mengatakan saya korban adalah korban itu sendiri. 

Terkait kasus ini, ia menegaskan yang tak kalah penting adalah memastikan korban segera mendapatkan layanan pemulihan. Selain tentu saja mendorong agar kasus ini dibuka kembali untuk dikawal bersama keterpenuhan unsur-unsur kekerasan dan persetubuhannya secara transparan. Pemulihan dan penguatan korban ini harus dilakukan oleh pendamping secara intens.

Kamis (12/10/23) pengacara korban menginformasikan jika LPSK telah berkirim surat kepada korban pada 29 September 2023. Surat tersebut menginformasikan permohonan perlindungan korban diterima. LPSK akan memberikan bantuan rehabilitasi psikologis bagi korban. Pelaksanaannya akan dimulai setelah korban menyatakan kesediaannya sebagai terlindung.

Saat ini korban sudah dalam perlindungan LPSK.

Tiga tahun A hidup dengan trauma. Ia lelah. Kondisi fisiknya pun mudah drop. A ingin pulih. Ia berharap para pelaku ditangkap dan dihukum. Dan tak ada lagi korban seperti dirinya.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!