Waktu aku berusia 12 tahun, ibu tiba-tiba mengeluh dengan wajah sedih.
“Papamu nggak romantis.”
Ayahku memang orangnya serius, jarang bercanda di rumah. Sementara ibu, penuh ide dan suka humor. Ibu sering cerita tentang masa mudanya yang seru.
Ibu lahir dan besar di kota besar, aktif di kelas dansa, punya grup musik, dan sering traveling. Sedangkan ayah menghabiskan masa mudanya di sawah, bekerja membantu orang tua untuk menghasilkan uang. Jadi standar mereka memandang kebahagiaan sangatlah berbeda.
Saat ibu mengeluh ke aku, kami saat itu baru pindah ke kota kecil. Ibu berhenti dari pekerjaannya agar kami bisa tinggal bersama dengan ayah.
Tidak mudah merantau ke daerah lain, dan harus tinggal di rumah tanpa sahabat-sahabat yang biasa menemani ibu. Waktu itu aku masih kecil dan nggak ngerti soal ini. Setelah dewasa, aku baru paham kalau ibu mungkin kangen dengan sosok “suami”-nya. Sementara ayah hanya berperan sebagai sosok “ayah” yang mencukupi kebutuhan ibu di rumah, namun jarang mengajaknya bercanda atau bercerita
Ibu juga pernah bilang, bahwa sepertinya ia menganggap ayah bukan seperti suami, tapi sebagai abang atau kakak saja. Mungkin karena usia pernikahan yang juga sudah lama, sudah merasa saling mengenal dan percaya.
Baca Juga: Alasan Orang Berselingkuh dan Cara Menghadapinya
Ibu yang dulunya aktif dan mandiri, harus menyesuaikan diri dengan peran domestik yang membatasi. Dia nggak cuma kehilangan pekerjaan, tapi juga jaringan sosial dan aktivitas yang bikin dia bahagia. Sering kali, perempuan mengorbankan karir, hobi, dan kehidupan sosial mereka demi keluarga. Pekerjaan domestik adalah pekerjaan yang tak kasat mata, tidak diakui, dan tidak dibayar. Arlene Daniels menyebutnya invisible labour yaitu kegiatan pemeliharaan rumah tangga dan mengasuh anak, yang mana perempuan, terutama yang berada dalam hubungan heteroseksual dan cisgender, menjadi pihak yang paling terkena dampaknya.
Dampak emosional dari kerja domestik yang tak kasat mata ini adalah kehampaan. Sebuah studi dari Oklahoma dan Arizona State University menemukan bahwa 90 persen responden melaporkan bahwa mereka mengambil tanggung jawab paling banyak untuk tugas-tugas rumah tangga. Ketika perempuan harus menangani emosi dan kesejahteraan anak sendirian, mereka merasakan kehampaan. Mereka juga menemukan bahwa hal ini ada hubungannya dengan rendahnya kepuasan hidup dan pasangan, seperti bagaimana mereka memandang keintiman dengan pasangannya dan apakah mereka merasa diterima tanpa syarat.
Tiap Orang Memiliki Standar dan Harapan yang Berbeda
Ayah mungkin merasa sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan keluarga. Atau barangkali ayah tidak tahu bagaimana menjadi romantis yang sesuai dengan standar ibu. Ditambah harus fokus pada tanggung jawab finansial anak-anaknya.
Sebagai anak, aku melihat ketegangan mereka tanpa benar-benar mengerti. Aku pernah mendapati ibu mendiamkan ayah berhari-hari. Setelah dewasa, aku mulai paham kalau yang ibu rasakan adalah kehilangan keintiman karena sedang mengalami hubungan yang stagnan sebagai suami istri. Hal yang mungkin terlihat seperti mencari-cari masalah, padahal keadaan ekonomi keluarga sangat baik, dan seperti tidak ada masalah yang berat.
Aku pun memahami ada fase di mana hubungan asmara menjadi redup atau stagnan seiring bertambah lamanya sebuah hubungan. Tidak ada lagi rasa deg-degan atau istilahnya butterfly effect seperti di awal hubungan. Penyebabnya bisa macam-macam: sibuk kerja, kekurangan topik pembicaraan, atau merasa hanya satu pihak saja yang selalu memikirkan ide agar hubungan tetap hangat. Apalagi setelah menikah dan bertemu setiap hari, rasa bosan bisa muncul. Aku dan pasangan pernah mencoba liburan berdua, tapi kami malah sibuk dengan handphone masing-masing, karena tidak tahu harus ngobrol apa lagi.
Bagiku sendiri, standar hubungan yang ideal adalah memiliki pasangan yang suka berdiskusi tentang banyak hal, mempelajari hal baru bersama, dan memiliki aktivitas yang keduanya bisa terlibat, misalnya jadwal rutin berolahraga atau belanja kebutuhan sehari-hari. Tapi tentu saja, bisa memahami standar hubungan yang ideal alias tahu apa yang kita mau dalam hubungan, pasti berbeda-beda di setiap orang.
Baca Juga: Bukan Sekadar Lucu, Ini Tips Menggunakan Humor dalam Percintaan
Standar hubungan romantis tiap orang berbeda-beda, film bisa jadi salah satu yang memengaruhinya. Lihat saja tokoh-tokoh pasangan di film-film atau drama Korea, jalan cerita di film, kadang menyenangkan dan penuh kejutan, seperti tiba-tiba ada karakter pasangan yang datang membawa bunga. Walaupun hidup pasti tak semulus itu, setiap orang menyimpan standar idealnya masing-masing dan bisa menjadi sebuah kekecewaan apabila ekspektasinya tidak terwujud. Nonton dan berkomunikasi bisa jadi salah satu jalan untuk melihat perspektif standar kebahagiaan yang berbeda.
Perasaan stagnan dalam hubungan juga tidak hanya dirasakan karena faktor-faktor dari luar seperti sibuk bekerja atau durasi hubungan yang sudah lama. Terkadang, stagnasi hubungan terjadi secara tiba-tiba karena kita merasa tidak lagi dicintai. Setiap orang memiliki standar hubungan yang beda-beda. Ada orang yang ingin mendapatkan ekspresi kasih sayang dengan bentuk yang ekspresif, namun tidak semua orang memiliki anggapan yang sama. Ketidaksamaan ini juga sering membuat hubungan menjadi stagnan, padahal tidak ada masalah yang berarti dan hubungan sedang berjalan baik-baik saja.
Tentu akan menyakitkan jika terang-terangan menyebut kata “bosan” kepada pasangan.
Pada tahap ini, biasanya kamu tahu dalam hati bahwa ada sesuatu yang salah dalam hubungan, meskipun merasa tidak ada masalah yang besar. Menurut Dr. Jennifer Jacobsen, PhD, seorang psikolog dan terapis pernikahan, kebanyakan hubungan berubah seiring waktu, namun, dalam hubungan yang stagnan, semua chemistry tampaknya hilang, sampai-sampai kamu merasa bahwa pasanganmu hanya seperti teman serumah.
Baca Juga: Jika Pasangan Selingkuh, Kita Harus Bertahan atau Pergi
Jennifer berkata, mempertahankan hubungan dari waktu ke waktu membutuhkan usaha, terutama ketika kamu dihadapkan pada pemicu stres dalam hidup, seperti masalah kesehatan, masalah pengasuhan anak, dan tantangan keuangan. Beberapa di antaranya normal dan hanya bagian dari menjalani naik turunnya kehidupan dengan pasangan jangka panjang; Namun, jika hubunganmu sangat buruk hingga stagnan, inilah saatnya untuk mengambil tindakan.
Menghadapi hubungan stagnan tentu tidak sama dengan ketika suatu hubungan berhadapan dengan permasalahan lainnya.
Stagnasi bisa timbul tanpa sebab bahkan ketika hubungan sehat. Beberapa hal yang bisa kamu lakukan antara lain adalah memahami gaya komunikasi dan ekspresi kasih sayang dari pasanganmu. Martin Graff pernah menuliskan dalam The Conversation soal 5 love language. Teori love language ini berasal dari sebuah buku berjudul The Five Love Languages, yang diterbitkan pada 1992 dan ditulis oleh penulis dan pendeta Amerika Serikat (AS), Gary Chapman. Chapman mulai memperhatikan tren pada pasangan yang ia bimbing, dan merasa bahwa mereka salah memahami kebutuhan satu sama lain.
Lima love language yang kemudian dia usulkan adalah words of affirmation (kata-kata afirmasi), quality time (menghabiskan waktu bersama), physical touch (sentuhan fisik), acts of service (tindakan melayani), dan receiving gifts (menerima hadiah). Preferensi untuk mengekspresikan dan menerima cinta dengan salah satu cara dibandingkan yang lain akan menjadi indikasi love language utama seseorang.
Selain itu pasangan juga bisa menentukan ekspektasi yang realistis yang mungkin dicapai. Hal ini berguna jika kamu ingin mencapai tujuan tertentu bersama-sama.
Baca Juga: ‘Dianggap Suka Gonta-Ganti Pasangan?’ Stop Stigma Penderita Kanker Serviks
Kamu juga bisa mengikuti contoh atau role model pasangan yang sudah melewati masa stagnasi yang mungkin kamu kenal. Berbagi cerita dengan mereka dan mendapatkan tips bagaimana mereka melewati fase ini. Melakukan hal baru juga bisa menjadi penyegar dalam hubungan, rutinitas yang monoton setiap hari tentu membuat kamu dan pasanganmu bosan.
Dalam tahap tertentu, kamu juga bisa mencari tenaga ahli atau konselor yang profesional untuk mengatasi permasalahan stagnasi hubunganmu.