Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual.
Hidup dengan trauma, membuat A, mudah drop kondisi fisiknya.
Rabu siang di pekan terakhir bulan Maret 2024, A mendatangi unit PPA Polres Manggarai Barat ditemani adik perempuannya. Ia mau menanyakan kelanjutan penanganan kasus perkosaan yang dilaporkannya pada 14 Juni 2020 silam.
Sekitar awal Juni 2020, A diperkosa oleh SF dan NL di rumah kosnya pada 12 Juni 2020 saat ia pergi berlibur ke Labuan Bajo, Komodo, NTT. Sebelumnya, HB, teman pelaku, telah mengatur pertemuan dengan E, SF, NL, KD dan AP untuk datang ke rumah A. E adalah teman perempuan A yang tinggal satu kos di Labuan Bajo. Beberapa dari laki-laki tersebut bekerja sebagai tour guide untuk membawa tamu ke Taman Nasional Komodo. Salah satu dari mereka adalah seorang influencer. A dan E telah mengenal mereka berlima sebelumnya saat berkunjung ke pulau sekitar Labuan Bajo pada awal Juni 2020. Dalam pertemuan tersebut, A tiba-tiba diberikan minuman dan tak sadarkan diri. Dalam kondisi tersebut, ia kemudian diperkosa secara bergantian.
Pengacara A, Siti Sapurah, yang biasa disapa Ipung curiga, minuman yang diberikan pada A mengandung obat tertentu
A kemudian melaporkan kejadian itu ke Polres Manggarai Barat (Mabar) dengan nomor LP/68/VI/2020/NTT/Res Mabar. A diminta melakukan visum. Ia sempat minta tes urine, tapi ditolak penyidik. Setelah berargumen, akhirnya A diperbolehkan melakukan tes urine dengan membayar sendiri.
Baca Juga: Wisatawan Diperkosa di Labuan Bajo, Polisi Bias Gender dan Hentikan Kasus
Setelah proses itu, A dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dan dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). Para terduga pelaku juga dipanggil untuk diperiksa.
Namun pada 1 Februari 2021, Polres Manggarai Barat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dengan Nomor: SPP.LIDIK/11/II/RES 1.24/2021/SAT RESKRIM. Polisi beralasan penghentian penyelidikan dikarenakan kurang alat bukti.
Keputusan itu diambil setelah penyidik melakukan pemeriksaan terhadap korban, saksi-saksi, para pelaku dan hasil visum et repertum terhadap korban.
Di unit PPA Polres Manggarai Barat, A dan adiknya ditemui Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak/ PPA Nikolaus Nikson Bunganaen dan penyidik Putu Lia Ardania. A (pelapor) menanyakan surat yang dikirim oleh pengacaranya sekira 2 minggu sebelumnya.
“Sudah terima surat dari pengacara saya? Terus gimana tanggapannya?,” tanya A.
Putu Lia—penyidik unit PPA yang menangani kasus ini sejak awal meski kanit PPA sudah berganti beberapa kali—menanggapi dengan bertanya balik.
“Ibu sudah terima surat dari kami yang kami titipkan di pengacara ibu yang pertama tahun 2020? Di situ kan sudah dijelaskan kalau kasusnya dihentikan, tapi kalau ada bukti baru, bisa dibuka kembali,” kata Putu.
“Jadi belum ada perubahan?,” A minta penjelasan.
“Belum,” jawab Putu.
Baca Juga: Di Balik Gegap Gempita KTT Asean 2023: Ini Bukan Forum Kongkow, Ada Perampasan Lahan dan Intimidasi
Pengacara A, Siti Sapurah (Ipung) mengirim surat pengaduan kedua kepada Kapolres Manggarai Barat pada 15 Maret 2024. Dalam surat tersebut pengacara pelapor melampirkan hasil pemeriksaan psikologi korban oleh psikolog yang dirujuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pengacara pelapor minta Kapolres melalui penyidik menindaklanjuti pengaduan dengan memanggil dan meminta keterangan psikolog yang memeriksa korban. Harapannya penyelidikan kasus dapat dilanjutkan kembali sehingga korban bisa mendapat keadilan.
“Hasil tes (pemeriksaan) psikologi itu nggak bisa dipertimbangkan untuk membuka kasus?,” A kembali bertanya.
“Hasil (tes) psikologi yang mana ya bu?,” balas Putu
“Kan sudah dikirim pengacara saya dua minggu yang lalu. Berarti belum diterima suratnya?,” kejar A.
“Saya cari dulu ya bu,” jawab Putu.
Putu memeriksa berkas dan menemukan surat yang dimaksud pelapor. Ia mengaku Polres Manggarai Barat baru menerima surat tersebut pada 25 Maret 2024. Putu kembali menegaskan kasus yang dilaporkan A sudah dihentikan penyelidikannya dan penyidik sudah mengirimkan surat pemberhentian kasus kepada pengacara pelapor terdahulu.
Sementara untuk membuka kembali kasus tersebut Putu mengatakan harus dilakukan gelar perkara terlebih dahulu. A menanggapi dengan memastikan apakah dirinya dan pengacaranya bisa hadir dalam gelar perkara tersebut. Tapi Putu menegaskan gelar perkara tersebut bersifat internal polri.
Saat A menanyakan kapan gelar perkara itu akan dilaksanakan, Putu beralasan dengan mengatakan penyidik baru menerima surat tersebut dua hari yang lalu. A kembali menanyakan estimasi pelaksanaan gelar perkara. Putu kembali berkelit bahwa Kapolres sebagai pimpinannya sedang tidak ada dan suratnya baru diterima kemarin lusa.
Baca Juga: Ayah di Aceh Perkosa Anaknya Hingga Melahirkan, Korban Kesana Kemari Cari Keadilan
Kanit PPA, Nikolaus Bunganaen ikut menanggapi soal bukti baru yang diajukan oleh pengacara pelapor.
“Ini akan kami pelajari apakah bisa menjadi bukti baru untuk kami melakukan penyelidikan lanjutan,” ujarnya.
Adik pelapor lalu bertanya alasan kasus dihentikan penyelidikannya.
“Pak, (kasusnya) kok ditutup itu kenapa sebenarnya?.”
“Mau tahu? Ya karena kami tidak punya cukup bukti,” jawab Niko. Masalahnya apa?,” lanjutnya.
“Masalahnya saya nggak terima kasus ini dihentikan,” kata A.
“Bagaimana kami harus memaksakan orang yang tidak bersalah untuk mengaku?,” balas Niko.
“Lho mereka sudah ngaku loh sama saya, ada chat-nya,” ujar A.
Niko berargumen, penyidik bekerja berdasarkan asas praduga tidak bersalah. Karena itu mereka tidak bisa memaksakan kemauan korban maupun para pelaku. Ia menambahkan penyidik juga bekerja berdasarkan fakta, dan fakta yang mereka temukan tidak menunjukkan adanya tindak pidana.
“Ketika kami memaksakan (penyelidikan) dan sampai di persidangan tidak sesuai dengan fakta, bukan ibu yang disalahkan. Kami sebagai penyidik yang disalahkan,” kata Niko.
Baca Juga: Kisah Korban Penyekapan di Myanmar: Perdagangan Orang Ada Di Sekitar Kita
“Kami tidak serta-merta menjelaskan bahwa ini sudah terjadi kasus pidana. Kalau unsurnya tidak terpenuhi, kami tidak bisa memaksakan itu. Jadi harus kami hentikan,” lanjutnya.
A menanyakan sejumlah bukti yang menurutnya bisa menjadi petunjuk dan sudah diserahkan kepada penyidik sebelum penyelidikan dihentikan. Seperti percakapan melalui aplikasi WhatsApp antara korban dengan terduga pelaku dan rekaman pembicaraan antara korban dengan saksi.
Niko menegaskan, penyidik belum bisa membuktikan adanya pemerkosaan. Menurutnya pengakuan pelaku atau tersangka tidak serta-merta membuktikan bahwa dia bersalah.
“Bagaimana dengan pelaku yang mengaku memperkosa di saat saya tidak sadar?,” tanya A.
“Saya yang BAP ibu. Ibu dalam kondisi sadar ketika melakukan itu karena setelah itu ibu ngobrol dengan pelaku. Itu tandanya ibu dalam keadaan sadar,” kata Putu.
A mengatakan, saat itu ia dalam kondisi linglung. Ia juga mempertanyakan kinerja penyidik yang tidak memeriksa kemungkinan pelaku mencampurkan sesuatu ke dalam minuman sehingga korban tidak sadarkan diri. Namun Putu tetap bersikukuh korban dalam keadaan sadar saat kejadian karena masih bisa ngobrol dengan pelaku.
Saat pelapor menanyakan rekaman percakapan dengan saksi E yang menurut pelapor menunjukkan kondisi korban, penyidik terus mengelak. Mulai dari tidak terima rekamannya, mempertanyakan kenapa rekaman itu dikirim setelah pemeriksaan hingga tidak bisa membuka tautan dropbox rekaman tersebut.
Ketika pelapor mau mengirim kembali rekaman tersebut ke penyidik hari itu, mereka menolak.
Baca Juga: Dead Press Society: Gerilya Media Indie Bersekutu Menjaga Demokrasi
“Kalau ibu Putu Lia tidak menerima rekaman itu, saya lampirkan sekarang,” kata A.
“Dengar ibu, tunggu dulu, jangan emosi, tenang ya,” balas Niko.
“Ya karena saya merasa semua bukti yang saya kasih ternyata nggak dibaca. Bahkan Ibu Putu Lia nggak ngerti kalau ada surat (pemeriksaan) psikologi. Setelah hari ini dicek, baru tahu ternyata ada. Saya mau lampirkan rekaman pembicaraan saya dengan E hari ini,” jelas A.
“Kalau ibu mau lampirkan sebagai petunjuk baru, silakan itu hak ibu,” kata Niko.
Namun ketika A menanyakan kalau-kalau penyidik mengabaikan rekaman tersebut seperti sebelumnya, Niko berkilah. Ia mengatakan penyidik akan meneliti isi rekaman tersebut terlebih dahulu. Karena itu ia belum bisa memastikan rekaman itu bisa membuktikan tindak pidana yang dilaporkan benar terjadi atau tidak.
Baik Putu maupun Niko menolak menerima rekaman percakapan yang akan dikirim A. Niko menyuruh A untuk mengirimkan petunjuk baru tersebut secara tertulis melalui surat dan ditujukan kepada Kapolres. Ia beralasan dengan dikirim secara resmi maka penyidik bisa mempertanggungjawabkannya secara resmi juga.
Percakapan soal pengiriman bukti petunjuk tersebut sempat diwarnai ketegangan. Kanit PPA beberapa kali bicara dengan suara kencang.
Baca Juga: Dan Korban Kekerasan Seksual Terus Bertambah
Saat A mempertanyakan soal pembuktian yang seakan-akan dibebankan kepada korban, alih-alih penyidik yang mencari, Niko maupun Putu menolak tudingan tersebut. Niko menuding balik A terlalu baper (terbawa perasaan) atau berlebihan dalam menanggapi suatu hal.
Ketegangan kembali terjadi saat A mempersoalkan kinerja penyidik.
“Saya nggak paham sama polisi yang kerja di sini,” kata A.
“Saya juga nggak paham dengan cara pikir ibu,” balas Putu.
“Iya, saya juga nggak paham kenapa bisa ada polisi perempuan yang nggak punya empati sama perempuan,” seru A.
“Saya awalnya punya empati sama ibu, saya sendiri yang BAP Ibu,” ujar Putu.
“Dengan BAP kedua, ibu menjebak saya dengan bertanya tentang history seksual saya,” kata A sambil menangis.
“Saya tidak menjebak ibu, itu juga merupakan bukti, kesaksian ibu. Kenapa kamu baru bilang sekarang? Makanya mikir, mikir, mikir. Kamu berhubungan seksual dengan dua orang dengan sukarela,” kata Putu sambil menunjuk kepala pelapor.
“Perempuan yang kerja di unit PPA kok bicara seperti itu,” ujar adik korban.
“Suruh adikmu jaga mulutnya,” bentak Putu. “Kamu jangan asal menuduh saya. Kamu bilang saya menjebak kamu, apa urusan saya dengan kamu?,” kata Putu dengan nada tinggi.
“Ya karena kamu dibayar sama pelaku,” ujar A.
Baca Juga: Putri Komodo, Kisah Perempuan Korban Kekerasan di NTT
“Saya tidak pernah dibayar sama pelaku. Apa buktinya saya dibayar? Saya bisa tuntut kamu ya,” teriak Putu.
Saat Putu bicara dengan berteriak-teriak, beberapa anggota polisi ikut bersuara. Ada yang menyuruh pelapor untuk pulang, “Pulang, pulang, kak.” Ada juga yang bilang, “Mati kau.”
“Saya cuma coba bantu kamu,” kata Putu.
“Bantu bagaimana? Empat tahun tidak pernah dibuka kasusnya,” gugat A.
“Saya BAP kamu itu artinya saya bantu kamu,” sahut Putu.
“Itu tugas ibu sebagai polisi. Saya membuat laporan, saya warga negara,” balas A.
“Jaga mulut kamu, kamu bilang saya dibayar. Saya bisa tuntut kamu. Mana buktinya kalau saya dibayar? Kasih saya bukti, kasih saya sekarang,” kata Putu dengan nada tinggi.
Beberapa anggota polisi yang lain kembali ikut bicara. Ada yang bertanya soal bukti atas pernyataan pelapor, “Kasih, kak.” Yang lain menimpali, “Mana buktinya? Mana buktinya Ibu Putu dibayar?” Ada juga yang menyoraki pelapor, “Ahhhhhhhh.”
“Saya tidak tahu, saya di sini merasa seperti orang-orang tidak punya empati dengan saya. Saya akan laporkan ini,” kata A.
Baca Juga: Stalking Itu Kekerasan, Bukan Kasih Sayang: Melihat Kasus Stalking AP Ke N
“Lapor sana ke presiden,” sahut Putu.
“Ya, itu mungkin akan saya lakukan,” kata A.
Korban pun menangis.
“Diam bu. Ibu tidak tahu posisi kami seperti apa. Kami bekerja berdasarkan undang-undang kalau undang-undang mengatakan tidak cukup bukti kami bisa apa bu,” kata Putu.
Pelapor mengatakan kalau dirinya sudah memberikan bukti seperti rekaman percakapan dengan saksi kunci, tapi oleh penyidik tidak pernah dibuka. Putu beralasan bukti tersebut tidak cukup. Ia menambahkan dirinya juga tidak bisa membuka tautan rekaman yang dikirim pelapor. A menanyakan kenapa penyidik tidak konfirmasi ke dirinya hingga 4 tahun kasus mandek.
Niko minta A untuk tenang. Ia mengatakan penyidik tidak kekurangan uang sampai harus minta bayaran dari pelaku. Ia mengatakan tidak seharusnya pelapor menuduh penyidik seperti itu. A mengungkapkan ia juga merasa dituduh sudah melakukan hubungan seksual secara sadar dan sukarela.
Tapi Putu bersikeras itu bukan tuduhan melainkan berdasarkan keterangan pelapor saat BAP. Niko menambahkan yang ditulis dalam laporan pemeriksaan adalah keterangan yang diberikan korban/ pelapor. A menanyakan pengakuan terduga pelaku. Pasalnya dari percakapan via chat dan rekaman, pembicaraan sesuai dengan keterangan yang disampaikan pelapor.
Niko menjelaskan polisi tidak bisa langsung memercayai pengakuan seseorang, harus ada bukti yang menguatkan. A menyampaikan pernyataan Komnas Perempuan dalam surat rekomendasi kepada Kapolres Manggarai Barat bahwa A adalah korban perkosaan terencana. Ia juga menanyakan alasan Polres Mabar tidak pernah membalas surat dari Komnas Perempuan.
Niko lalu menjelaskan mekanisme surat-menyurat di institusinya, bahwa surat yang ditujukan ke pihak luar ditandatangani oleh kapolres. Ia menambahkan pihak pertama yang penting bagi penyidik adalah pelapor atau orang yang dirugikan dalam laporan yang dibuat. Karena itu mereka mengirim surat terkait perkembangan kasus kepada pelapor.
Baca Juga: Dugaan Kekerasan Seksual SM, Pendiri Kelas Isolasi, Korban Diajak Pacaran Hingga Hubungan Seksual
A juga menanyakan mengapa bukti baru yang sudah dikirim tidak dipertimbangkan untuk membuka kembali penyelidikan kasusnya? Niko kembali mengatakan penyidik perlu meneliti bukti baru yang diberikan pelapor untuk menentukan penyelidikan bisa berlanjut atau tidak.
Pelapor kembali bertanya apa bukti yang diperlukan agar kasus bisa dilanjutkan. Niko menjelaskan dari proses penyelidikan yang sudah dilakukan, penyidik tidak menemukan cukup bukti adanya tindak pidana.
“Walaupun mungkin ibu secara pribadi merasa bahwa ibu sudah disetubuhi, atau ibu sudah diperkosa, dan sebagainya. Setiap orang yang merasa menjadi korban ya berpikiran seperti itu. Tapi tugas kami sebagai polisi adalah membuktikan benar atau tidak berdasarkan semua keterangan saksi dan alat bukti yang lain. Dalam pelaksanaannya penyidik belum bisa menemukan itu,” papar Niko.
Ia menambahkan kondisinya akan berbeda jika kasusnya terjadi setelah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan.
“Beda halnya kalau kejadian itu setelah ada undang-undang yang baru. UU TPKS pada saat itu kan belum ada. Undang-undang tidak berlaku surut,” kata Niko.
A lalu menanyakan soal keterangan terduga pelaku SF kepada korban dan kepada penyidik yang berbeda. A juga mempersoalkan memar-memar merah di tubuhnya yang ia tidak tahu siapa yang menyebabkan. Sementara tak satupun dari terduga pelaku yang mengaku. Ia mempertanyakan apakah kejadian yang dialaminya bukan tindak pidana?
Niko menanggapi dengan nada tinggi dan minta A untuk tidak membahas materi perkara.
“Saya jelaskan agar ibu mengerti. Ibu bicara seolah-olah ibu ini seorang penyidik atau siapa yang mau tahu terlalu detail,” katanya.
“Ya iyalah, ini kasus saya pak,” balas A.
Baca Juga: Mau Spill Pelaku Kekerasan Seksual di Media Sosial? Perhatikan “Rambu-Rambu” Berikut!
“Kami hanya akan memberitahukan hasil akhirnya saja ke Ibu. Karena ini merupakan rahasia negara,” jelas Niko.
“Jadi itu bukan tindak pidana?,” A kembali bertanya sambil mengeluarkan ponsel untuk merekam pembicaraan itu.
“Jangan ada rekaman. Kalau ada saya bisa pidana ibu,” kata Niko.
“Kenapa tidak boleh direkam?” tanya A.
“Ibu rekam atas izin siapa?,” balas Niko.
“Saya tidak tahu saya orang awam,” jawab A.
“Ngaku orang awam tapi seolah-olah tahu semua,” balas Putu.
Saat itu beberapa anggota polisi menggeledah ponsel A dan adiknya dan menghapus rekaman suara di ponsel tersebut.
Baca Juga: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?
“Saya ingatkan ya, jangan coba-coba di sini,” kata Niko.
Penyidik bersikukuh penyelidikan dihentikan karena tidak cukup bukti. Menurut Niko fakta yang mereka temukan tidak menunjukkan adanya tindak pidana.
Niko menegaskan kalau pelapor punya petunjuk baru, pelapor bisa mengirimkannya secara resmi dengan bersurat. Surat itu akan menjadi dasar bagi penyidik untuk membuka kembali penyelidikan yang sudah ditutup.
A dan adiknya akhirnya meninggalkan kantor polisi.
Pengacara Kecam Sikap Penyidik
Pengacara pelapor, Ipung Siti Sapurah menerima telepon dari A Rabu (27/3/24). Sambil menangis A menceritakan kejadian yang ia alami saat datang ke Polres Manggarai Barat. Selang beberapa hari kemudian Ipung bertemu dengan A setelah ia kembali dari Labuan Bajo.
Kepada Konde.co, Ipung mengatakan mengecam tindakan reaktif penyidik Polres Manggarai Barat terhadap pelapor (A). Menurutnya penyidik unit PPA mestinya paham psikologi masyarakat sehingga ketika masyarakat awam datang ke kepolisian sepatutnya dilayani dengan baik.
Ipung menyayangkan sikap aparat kepolisian yang terus bertahan dengan narasi-narasi yang tidak beralasan. Setiap ditanya tentang perkembangan kasus pelapor, penyidik selalu berkutat dengan jawaban yang sama sehingga seakan-akan tidak mau mendengar alasan baru.
“Narasinya dengan bahasa pokoknya sudah ditutup, tapi tidak mau mendengar alasan baru. Saya sudah puluhan tahun mendampingi korban-korban kekerasan seksual. Setahu saya dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak cuma dibutuhkan dua alat bukti,” papar Ipung.
Ipung berpendapat penyidik Polres Manggarai Barat masih berkutat dengan pandangan satu saksi bukan saksi. Akibatnya mereka berjibaku dengan kesaksian dari para terduga pelaku. Ketika pelaku membantah dugaan tindakan perkosaan yang dituduhkan kepada dirinya, penyidik bukannya memanggil kembali korban/pelapor tapi malah menghentikan penyelidikan. Bagi Ipung ini janggal.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas
Menurutnya seorang pelaku jelas akan berkelit, ia tidak akan mengakui perbuatannya. Tugas penyidik lah untuk membuktikan dugaan tindakan pidana tersebut.
Setelah memeriksa dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP) pelapor, penyidik mengklarifikasi kepada terduga pelaku. Kalau pelaku menolak, membantah atau membela diri, penyidik mestinya memanggil kembali si pelapor.
Setelah itu penyidik mensinkronkan temuannya dengan hasil visum, hasil laboratorium, dan dengan apa yang ada di tubuh korban. Dan juga mengambil hasil sperma yang ada di kasurnya.
Alih-alih melanjutkan penyelidikan, penyidik justru menghentikannya. Karena itu Ipung menganggap penyidik tidak paham tentang unsur-unsur kejahatan seksual terhadap perempuan dan UU terkait kekerasan seksual. Ia merasa kecewa dengan kinerja penyidik yaitu Unit PPA Polres Mabar.
Yang pertama adalah keterangan korban atau saksi korban. Ipung menjelaskan saksi korban adalah korban (A) yang sudah menjalani BAP. Alat bukti kedua berupa visum et repertum. Menurut Ipung, hasil visum et repertum korban menyebutkan ada luka robek di kedalaman 2 cm sehingga sudah cukup menjelaskan. Karena itu menurutnya bukti yang ada sudah cukup.
Ipung menambahkan apalagi penyidik sudah mengambil seprai, kain alas tempat tidur yang dipakai ketika peristiwa itu terjadi. Korban juga sudah menyerahkan botol-botol bekas minuman. Ada juga chat percakapan antara korban dengan saksi kunci (E). Itu semua bisa dijadikan alat bukti petunjuk atau alat bukti lain.
Baca Juga: Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas
Ia melanjutkan kalaupun misalnya visum et repertum dianggap tidak menguatkan, bisa dipakai visum et repertum psikiatrikum. Ipung menjelaskan ia sudah mengirimkan visum psikiatrikum korban berupa hasil pemeriksaan psikologi yang terlampir di surat pengaduan tanggal 15 Maret 2024.
“Kenapa ini tidak ditindaklanjuti? Bahkan surat saya hanya ditaruh saja di dalam map, tidak dijawab sampai sekarang,” ujarnya.
Ia mengatakan mestinya ahli yang memberikan asesmen terhadap korban dimintai keterangan. Sayangnya tindakan itu tidak dilakukan penyidik. Karena itu Ipung melihat penyidik unit PPA Polres Mabar tidak memahami tugasnya.
“Jadi bukan menggeneralisasi, tapi saya melihat penyidik-penyidik unit PPA Polres Mabar tidak paham apa yang harus dilakukan saat menghadapi kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Ipung menjelaskan pemeriksaan psikologi terhadap korban dilakukan psikolog yang dirujuk oleh LPSK. Psikolog tersebut berasal dari lembaga yang selama ini terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Bali.
Dari pemeriksaan yang dilakukan psikolog pada September 2023, korban didiagnosis mengalami PTSD (post traumatic stress disorder). Yakni gangguan mental yang terjadi pada seseorang karena mengalami kejadian traumatis.
Baca Juga: CATAHU 2023: Perempuan Pembela HAM dan Politisi Perempuan Dua Kali Lipat Rentan Jadi Korban Kekerasan
Ipung mengungkapkan korban sulit untuk tidur di malam hari terutama saat hujan turun akibat trauma yang dialaminya. Korban juga sering merasa ketakutan dan jarang bisa tidur dengan lelap. Selama enam bulan terakhir korban mengikuti sesi konseling dengan psikolog secara rutin.
Akhir Maret 2024 kemarin pendampingan psikologis dari LPSK sudah berakhir. Namun LPSK menyarankan korban untuk mengajukan kembali perpanjangan permohonan pendampingan psikologis.
Pengacara korban sudah mengajukan perpanjangan rehabilitasi psikologis pada akhir Maret 2024. Saat ini mereka sedang menunggu persetujuan dari LPSK.
Terkait hasil pemeriksaan psikologi terhadap korban yang diajukan sebagai bukti/petunjuk baru, Komisioner LPSK Sri Nurherwati mengatakan keterangan psikolog bisa digunakan. Ketentuan soal ini diatur dalam pasal 24 UU TPKS yang membahas tentang alat bukti.
Nurherwati menambahkan harus ada pengantar atau penjelasan dari pendamping/pengacara korban bahwa kejadiannya memang sebelum UU TPKS disahkan. Akan tetapi pasal 89 UU TPKS memungkinkan untuk memakai hukum acara yang berlaku saat ini.
Baca Juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?
Selain itu isi dari keterangan psikolog atau hasil pemeriksaan psikologi terhadap korban tersebut memang mendukung untuk dijadikan bukti.
Konde.co menghubungi Kanit PPA Polres Manggarai Barat Nikolaus Nikson Bunganaen pada Rabu (3/4/24) untuk mengonfirmasi kejadian tersebut. Namun hingga berita ini dipublikasikan Niko tidak menanggapi sejumlah pertanyaan yang diajukan.
Bagaimana UU TPKS Bisa Dipakai dalam Kasus Ini?
Salah satu terobosan hukum bagi penanganan kekerasan seksual adalah disahkannya UU TPKS pada April 2022. Lahirnya UU TPKS ini sendiri merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Ini lantaran peraturan perundang-undangan yang tersedia belum mampu merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Selain itu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan Korban.
Karena itu keberadaan UU TPKS menjadi harapan bagi para korban kekerasan seksual dalam mencari keadilan.
Pada kasus A, perkosaan yang dialami oleh korban terjadi pada 2020. Dengan kata lain peristiwa itu terjadi sebelum UU TPKS disahkan. Artinya UU TPKS tidak bisa dipakai dalam penanganan kasus ini lantaran sebuah undang-undang tidak bisa berlaku surut.
Meski begitu, menurut Nurherwati hukum acara UU TPKS bisa digunakan untuk perkara tindak pidana kekerasan seksual yang masih dalam penyelesaian.
Baca Juga: Sulitnya Akses Aborsi Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual
“Kalau kejadiannya sebelum UU TPKS (disahkan) memang tidak bisa digunakan. Jadi (undang-undang) tidak berlaku surut. Namun kita bisa minta agar hukum acaranya yang digunakan. Nah, hukum acara ini berarti terkait dengan kapasitas penyidiknya, alat buktinya, dan sebagainya,” papar Nurherwati kepada Konde.co.
Ia menjelaskan pendamping korban sebaiknya bersurat atau mengajak Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) selaku leading sector untuk berkoordinasi. Kalau UPTD PPA belum ada, koordiinasi bisa dilakukan dengan Dinas PPA atau Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Koordinasi dimaksudkan untuk melakukan bedah kasus, memeriksa kembali bukti-bukti yang sudah ada, keterangan korban, dan evaluasi terkait kronologi. Dalam proses ini juga dimungkinkan untuk menggali fakta-fakta yang terjadi, menstrukturkan dan mengurutkan peristiwa demi peristiwa. Lalu mengecek apakah sesuai dengan alur kejadian.
Proses selanjutnya adalah mengidentifikasi pelaku, saksi dan bukti-bukti. Dari proses ini mungkin juga bisa diidentifikasi dan ditemukan korban-korban yang lain.
“Kalau temuannya itu sudah menunjukkan fakta peristiwanya, alurnya sudah disampaikan, tapi penyidik tidak tahu bagaimana cara harus membuktikannya, maka rapat koordinasi itu menjadi penting,” jelasnya.
Dengan begitu para pihak bisa memberikan dukungan ke kepolisian. Misalnya pendamping dan korban memberikan tambahan informasi atau bahkan penguatan informasi supaya penyidik melakukan pemeriksaan kembali. Setelah itu bisa mengundang ahli yang mendukung, misalnya ahli forensik.
Baca Juga: Film ‘Women from Rote Island’, Panjangnya Perjuangan Perempuan Adat Lepas Dari Kekerasan Seksual
Nurherwati mencontohkan, sebuah kasus perkosaan yang terjadi di Semarang yang dilakukan seorang notaris pada 2019. Pada kasus tersebut peristiwanya sudah lama dan sulit untuk menentukan apakah benar si X pelakunya. Namun akhirnya pelaku berhasil ditetapkan dan mendapat hukuman.
Menurut Nurherwati ini dikarenakan korban bercerita dengan runtut dan menunjukkan tempat-tempat kejadian. Dari situ bagian forensik bisa melakukan penggeledahan dan menemukan sperma-sperma kering. Temuan sperma kering itu diteliti sehingga bisa dipakai untuk memastikan bahwa pelakunya adalah si X. Keberhasilan ini berkat peran pendamping.
Kalau pendamping sudah menyampaikan masukan ke polisi tapi mereka tidak menanggapi dan mendengar pengalaman korban maka koordinasi dengan para pihak harus dilakukan. Selain itu pendamping korban harusnya juga punya legal opinion.
Kapasitas penyidik juga menjadi aspek penting karena itu UU TPKS menetapkan sejumlah prasyarat bagi penyidik perkara tindak kekerasan seksual. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam pasal 21 UU TPKS.
“Makanya persyaratan-persyaratan penyidik itu harus yang sudah pernah ikut pelatihan, punya integritas, dan punya kapasitas. Itu harus dipenuhi memang,” ujarnya.
Sayangnya pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual belum merata. Selain itu, sistem rotasi di kepolisian juga berlangsung cepat. Akibatnya penyidik unit PPA belum tentu punya perspektif HAM dan korban dan punya kompetensi.
Awal Mula Kasus Hingga Mandek
Kasus ini bermula saat A sedang berwisata di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. A dan teman perempuannya E pergi ke pulau sekitar Labuan Bajo pada awal Juni 2020. Mereka bertemu dan kenal dengan sekelompok laki-laki. Sebagian dari mereka bekerja sebagai tour guide dan salah satunya seorang influencer.
Seminggu kemudian E yang tinggal satu kos dengan A di Labuan Bajo mengajak bertemu dengan sekelompok laki-laki yang mereka kenal sebelumnya. Karena malam itu hujan, A menolak. Tapi E terus mengirim pesan pada HB dan mengatakan HB dan teman-temannya menuju rumah A.
Selain HB, malam itu ada SF, NL, KD, dan AP yang datang ke rumah A. Mereka membawa soju (minuman asal Korea). Saat ngobrol SF memaksa A mendengar ceritanya dan terus menatap matanya.
HB lalu bilang butuh charger ponsel, A pun masuk ke kamar untuk mengambil. Ketika A kembali ke teras taman, NL memberinya minum di gelas kecil. A lalu tak sadarkan diri.
Dalam kondisi pingsan, A diperkosa secara bergantian oleh SF dan NL. Ketika terbangun esok harinya, A dalam kondisi tak berpakaian. Tubuhnya penuh luka memar dan sesak di bagian dada. A pergi ke rumah adiknya yang tak jauh letaknya. Mereka mesti ke rumah sakit untuk tes covid karena besoknya mereka akan pulang ke Jawa.
Baca Juga: Alami Intimidasi Sampai Pelecehan, Gimana Cara Laporkan Kekerasan Pada Perempuan Di Pemilu?
Adiknya melihat luka-luka memar di tubuhnya. Ia pun menyuruh A lapor polisi setelah A menceritakan yang dialaminya semalam, tapi A takut. Sekembalinya ke rumah, A bertanya pada E soal apa yang terjadi saat dirinya tak sadarkan diri.
Keesokan harinya di bandara, A tiba-tiba menangis histeris, ia lalu membatalkan tiketnya dan melaporkan perkosaan yang dialaminya kepada polisi. Laporan diterima dengan nomor LP/68/VI/2020/NTT/Res Mabar. A diminta melakukan visum dengan diantar petugas.
Saat ia minta tes urine karena curiga ada sesuatu yang dimasukkan dalam minumannya hingga membuat tak sadar diri, penyidik menolak. A bersikeras akan melakukan tes urine secara mandiri. Penyidik akhirnya membolehkan.
Setelah tes urine perawat mengatakan ada sedikit masalah dan hasilnya bisa dilihat dalam surat visum. Hampir sebulan kemudian visum keluar dan menurut penyidik menunjukkan hasil negatif. Penyidik mengatakan memar-memar pada tubuh A dan memar di vagina tidak cukup untuk membuktikan adanya pemerkosaan.
A dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dan dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). Para terduga pelaku juga dipanggil untuk diperiksa. Hingga pada 1 Februari 2021 Polres Manggarai Barat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dengan Nomor: SPP.LIDIK/11/II/RES 1.24/2021/SAT RESKRIM.
Alasan penghentian penyelidikan karena kurangnya alat bukti yang ditemukan. Kesimpulan ini didapat setelah penyidik memeriksa korban, saksi-saksi, para pelaku dan hasil visum et repertum terhadap korban.
Baca Juga: Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu
Ipung menilai, alasan yang dipakai penyidik bahwa alat bukti kurang, justru menunjukkan ketidakmampuan penyidik menangani kasus kekerasan seksual. Ipung menjelaskan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak atau perempuan cuma dibutuhkan dua alat bukti.
“Alat bukti pertama itu apa? Keterangan saksi korban. Siapa saksi korban? Ya korban itu sendiri. Dan yang kedua alat bukti lain. Alat bukti lainnya itu apa? Bisa visum et repertum, bisa visum et repertum psikiatrikum,” paparnya.






