Edisi Khusus Konde.co kali ini menyajikan bagaimana feminisme melihat gelombang penangkapan mahasiswi oleh aparat ketika melakukan demonstrasi.
Peringatan pemicu: isi dari artikel ini mengandung kekerasan verbal dan dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas kekerasan seksual.
Salah satu mahasiswi yang ditangkap, J kemudian diteriaki.
“Lonte, pukimak, perek, telanjangi, telanjangi”
Seksisme terjadi dalam penangkapan, karena mereka perempuan.
Waktu itu, jam menunjukkan pukul 16.02 WIB, saat J tiba di posko medis yang berada di bawah flyover Senayan Park, Jakarta.
Spanduk bertuliskan ‘Posko Medis’ terpampang jelas hingga memudahkan siapapun yang lewat untuk membacanya. Area tersebut juga beberapa kali dipakai sebagai lokasi posko medis pada sejumlah aksi sebelumnya.
Hari itu Kamis, 1 Mei 2025 adalah Hari Buruh Sedunia atau May Day. Sejak siang ribuan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR Jakarta.
Sebelumnya, pada pagi hari massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) lebih dulu menggelar aksi lalu mereka bergabung dengan Gebrak.

J ikut dalam aksi May Day sebagai paralegal bagi tim medis lantaran, ia adalah mahasiswi Pascasarjana Ilmu Hukum UGM. Paralegal tim medis ini bertugas untuk melakukan negosiasi jika diperlukan dengan aparat penegak hukum atau pihak lain.
Setelah setengah jam di posko, J memutuskan berjalan ke arah Gedung DPR/MPR untuk berkoordinasi dengan tim medis lapangan. Saat itu di depan Gedung DPR/MPR polisi sudah membubarkan massa aksi dengan menyemprotkan meriam air (water cannon). Suasana jadi kacau, sebagian massa aksi membubarkan diri dan mundur. Padahal Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008 menyebutkan pembubaran massa aksi harus dilakukan dengan hati-hati dan mengikuti prosedur yang benar.
Bersama tim medis lapangan, J lalu melakukan penyisiran, mereka berjalan di sepanjang trotoar kalau-kalau ada peserta aksi yang membutuhkan bantuan medis.
Waktu mereka sampai di posko medis, mereka kaget karena ternyata posko medis sudah jadi tempat polisi menangkap-nangkapi massa aksi. Salah satu tim medis, K sampai lebih dulu di posko. Saat itu tiba-tiba K ditarik dan ikut dipukuli. J berusaha menghentikan tindakan aparat.
“Pak, pak, pak, ini medis, jangan dipukuli,” teriaknya.
Upayanya untuk meredam tindakan polisi dan melakukan dialog ternyata tak digubris. Orang-orang berteriak dan lebih cepat menggunakan tangan dibandingkan telinga. Ia pun berusaha melindungi K dengan memeluknya untuk membuat benteng pertahanan satu sama lain. Saat itu ada tim medis perempuan yang juga berusaha melindungi dan membuat benteng pertahanan, tapi ikut mendapat kekerasan. Dia kena tendang dadanya hingga harus dibawa ke IGD (instalasi gawat darurat).

Baca juga: Mengapa 1 Mei Diperingati Sebagai Hari Buruh Sedunia?
Dengan posisi melindungi K, J jadi ikut kena tonjokan dan pukulan, hingga mereka berdua jatuh dan diseret. Posisi K saat itu di atas, jadi dia kena banyak tonjokan, hingga terjatuh dan ganti J yang berada di atas.
Saat itu dia melihat seseorang dengan perawakan besar diduga kuat aparat kepolisian dalam posisi berdiri berusaha menghujam leher K dengan lututnya. Sontak J menangkis hingga aparat tersebut jatuh terkapar. Ia tidak tahu darimana ia dapat kekuatan, yang ia pahami saat itu ia ada dalam posisi fight or flight (melawan atau lari).
Setelah itu K muntah-muntah, keluar cairan kuning. Salah satu aparat yang memukul berkata pada rekan-rekannya untuk menyudahi.
“Udah, udah, udah,” kata aparat.
J lalu menggunakan kesempatan itu buat menegaskan kembali posisi mereka sebagai paramedis.
“Ini medis! ini medis! Kalian tuh kenapa sih, astaga. Ini medis!” teriaknya.

Ia pun berkata kepada aparat kalau dirinya adalah paralegal dan menunjukkan surat tugas yang ia bawa. Orang-orang yang ada di sekitar mereka langsung berusaha mengambil foto. J tidak terima surat itu difoto-foto tanpa persetujuannya, jadi ia ambil kembali surat itu.
Sempat ada cekcok dengan aparat, tapi J menegaskan akan memberikan surat itu, asalkan tidak difoto. Akhirnya aparat mengiyakan dan orang-orang yang tadinya mau memotret pun pergi.
“Mana KTP-nya?” tanya aparat setelah menerima surat tugas dan hendak mencocokkan datanya.
J menunjukkan KTP-nya kepada aparat. Setelah itu situasinya melunak. K kemudian bisa berdiri dan duduk setelah mengalami penyiksaan.
J melihat sekitar dan mendapati seorang teman medis yang lain, ia segera menghampiri dan bertanya keadaannya. Kondisinya sama dengan dirinya, remuk habis digebuki. Ia tidak tahu kejadian yang dialami temannya karena saat itu posisinya juga sedang mempertahankan diri.
Baca juga: Baca juga: Okupasi Ruang Lewat Aksi Piknik Melawan, Demo Damai yang Tetap Bikin Pemerintah Gerah
Ternyata teman tersebut sudah digeledah oleh aparat. Bajunya sudah dilepas dan tasnya sudah digeledah semua. Namun aparat hanya menemukan oksigen portable, panadol, hansaplas, kain kasa, dan sejenisnya.
‘Ini dasarnya apa penggeledahan ini?” kata J.
Ia memperlihatkan isi tas selempangnya, yang berisi lipstick dan dua buah liptint, tempat soflens, dan kacamata gaya. Sampai penggeledahan selesai, aparat tidak menemukan barang-barang yang membahayakan.
Tiba-tiba seorang aparat berkata, “Angkut semuanya!”
J bingung, kenapa mereka harus diangkut sementara aparat tidak menemukan sesuatu yang membahayakan saat penggeledahan. Karena itu ketika akan diangkut, mereka bertahan di posisinya. J memeluk dua temannya agar mereka tidak ditangkap oleh aparat.

Sebagai paralegal, J merasa bertanggung jawab agar rekan paramedisnya tidak ditangkap polisi. Saat itu tangan dan kakinya sudah ditarik-tarik. J berusaha melawan.
“Heh, jangan pegang-pegang! Saya perempuan ya,” teriaknya.
Saat itu dia mendengar orang-orang beramai-ramai mengatainya dengan berbagai umpatan.
“Lonte!” “Pukimak!” “Perek!”
“Telanjangi, telanjangi”
Dengan cepat, J diangkut ke mobil polisi oleh para polisi laki-laki (polki). Tak ada satupun polisi wanita (polwan). Diantara sejumlah aparat yang menarik dan membawanya, ada satu orang yang mencengkeram tangannya dengan sangat kuat hingga meninggalkan bekas lebam. Mereka dinaikkan ke mobil tahanan dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Saat di mobil tahanan, K kembali muntah-muntah.
Tiba di Polda Metro Jaya, mereka dikumpulkan di lobi. Ada 11 orang yang ditangkap, yakni 4 tim medis dan 7 peserta aksi.
J dan teman-teman medisnya lalu bergerak cepat mengobati massa aksi yang sama-sama menjadi tahanan dan kondisinya luka-luka. Ada yang bocor kepalanya, ada yang bibirnya berdarah-darah. Mereka sigap memberikan pertolongan pertama. Termasuk K yang kondisinya sebenarnya babak belur, begitu juga dengan tim medis yang lain. Tetapi mereka seolah lupa kalau saat itu mereka juga butuh dirawat.
Baca juga: Baca juga: Kekerasan Saat Aksi, Respon Pemerintah Nirempati: Dear Penguasa, Kami Dipukuli Polisi, Kalian Malah ‘Party’
Seorang aparat kemudian membagikan formulir dan memaksa kesebelas orang tahanan tersebut untuk mengisinya. J memperhatikan formulir tersebut dan membaca judul di bagian atas yang berbunyi, ‘Identitas Pelaku Tindak Pidana’.
“Lho pak, ini kok tulisannya pelaku ya? Emang kita pelaku apa?” tanyanya.
“Ini cuma buat pendataan,” kata aparat.
Tetapi J kukuh bertanya, dan sempat terjadi perdebatan. Ia tidak mau mengisi formulir tersebut karena itikad aparat itu sudah tidak baik, lantaran bisa jadi semacam pengakuan dari pengisi formulir bahwa dirinya pelaku. J lalu berkata kepada sesama teman yang ditahan untuk tidak mengisi formulir tersebut.
Aparat tersebut akhirnya menarik kembali formulir yang sudah dibagikan. Namun ada 2 atau 3 orang yang tetap mengisinya. J tak menyangkal bahwa kemungkinan mereka dalam kondisi tertekan.
Pada akhirnya J merasa perlu tetap dalam kondisi jeli dan sadar agar tidak masuk atau terjebak dalam manuver yang dilakukan aparat. Ke-11 orang ini lalu menjalani pemeriksaan oleh penyidik.
Kasus mereka ditangani oleh Subdirektorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) Polda Metro Jaya. Karena J perempuan, ia menjalani pemeriksaan di Unit Renakta (Remaja, Anak dan Wanita) Polda Metro Jaya oleh dua penyidik perempuan. Ia menjalani Berita Acara interview (BAI) sekitar pukul 22.00 dengan didampingi oleh pendamping hukum dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD).
Sebelumnya mereka sempat dipaksa untuk segera menjalani pemeriksaan.
“Ayo dong, mana ini pendampingnya?” kata aparat.

Sementara tim pendamping hukum sudah berada di Polda dari sekitar jam 20.00-an karena J menghubungi mereka sejak di mobil tahanan. Tetapi tim pendamping hukum sempat ditahan-tahan untuk masuk dan memberikan pendampingan. Saat masuk ke ruang pemeriksaan di unit Renakta, ada satu polisi yang tiba-tiba membentaknya.
“Apa kamu, lihat-lihat apa kamu? Matanya itu lihat-lihat apa!” bentaknya.
Baca juga: Diskusi Diintimidasi, Aksi Direpresi: Apakah Kita Kembali ke Era Orde Baru?
J merasa tindakannya biasa saja, tidak ada upaya mengejek atau semacamnya terhadap aparat. Jadi ia menanggapinya dengan tetap tenang dan tidak terprovokasi. Saat BAI sempat ada permintaan untuk melakukan tes urine, tetapi J menolak karena tidak ada urgensinya.
Saat itu penyidik juga belum menetapkan pasal atas tuduhan yang disangkakan. Penyidik hanya menuliskan ‘dugaan tindak pidana perkumpulan untuk melakukan kejahatan’. Ketika pendamping hukumnya bertanya, penyidik bahkan tidak tahu tuduhan tersebut termasuk pasal berapa.
“Itu pasal berapa mbak?’ tanya pendamping hukum.
“Nggak tahu nih, soalnya kita dapat dari atas” jawab penyidik.
Proses penyidikan berlangsung hingga pukul 01.00 dini hari tanggal 2 Mei 2025. Sekitar pukul 02.00 WIB, J bertemu dengan ibunya yang sudah datang beberapa jam sebelumnya. J lalu masuk ke dalam ruangan kembali untuk beristirahat, tetapi hanya tidur-tiduran saja.
Di dalam ruangan ia ditemani satu polwan dan satu polki. Sekitar pukul 06.00 pagi J baru bisa memejamkan mata. Itupun hanya sebentar, karena sekitar pukul 09.00 J terbangun oleh suara berisik dari beberapa polisi selain juga karena kedinginan. Saat itu sempat ada polki yang tampak menunjukkan sikap baik, membelikan kopi, menemani merokok dan mengajak ngobrol. Tetapi J merasa ini seperti upaya penyidik untuk mendapatkan informasi. Polisi tersebut juga sempat memuji-muji dan menepuk-nepuk bahu, dengkul dan pahanya. Tetapi J mengelak karena dia tidak nyaman kalau ada orang yang menyentuh badannya.
Setelah itu J kembali melakukan BAI dengan didampingi pendamping hukum. Ia tidak tahu persis pukul berapa proses itu berlangsung karena tidak ada jam di ruangan. Ada sekitar 5 hingga 7 pertanyaan tambahan dari BAI yang dilakukan sebelumnya.
Baca juga: Baca juga: Baca juga: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali
Setelah proses BAI selesai, lalu BAI seketika naik menjadi tahap pemeriksaan BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Sore harinya penyidik dari Subdit Kamneg melakukan penyitaan. Tadinya HP (handphone), powerbank milik teman yang ia pinjam dan korek api akan disita. Sementara rokok dan lipstiknya tidak ikut disita. Proses ini berjalan dengan alot dan dilakukan saat tidak ada pendamping hukum.
“Ini harus saya sita sekarang,” kata penyidik.
“Saya nggak mau kalau nggak ada pendamping hukum,” tegas J.
J bersikukuh dan beradu argumen. Penyidik sempat mengatakan teman-temannya sudah keluar dan proses penahanannya bisa lebih lama kalau ia menunda-nunda. Tetapi J bertahan akan menunggu pendamping hukum. Akhirnya penyidik tersebut keluar ruangan. Ia datang lagi sekali dan masih mencoba melakukan penyitaan, tetapi J bertahan dengan posisinya untuk menunggu pendamping hukum.
Akhirnya pendamping hukum datang dan mengupayakan agar HP-nya tidak disita karena ia masih kuliah dan menyelesaikan tesis jadi membutuhkan HP. Barang yang disita adalah surat keterangan paralegal dan tas selempang.
Setelah BAI lanjutan, J masih ditahan di Polda dan baru dilepas pukul 21.00 pada Jumat (2/5/25). Meski sudah tidak ditahan, tetapi proses hukumnya masih berjalan.
Pada 2 Mei 2025 penyidik mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang baru ia terima pada Selasa (6/5/25). Dua hari kemudian pada Kamis (8/5/25), penyidik mengeluarkan penetapan J sebagai tersangka.
J kemudian mempertanyakan ini semua karena tidak ada mekanisme yang jelas bagi aparat yang dilengkapi berbagai persenjataan ketika melakukan penangkapan. Di sisi lain, aksi demonstrasi dijamin undang-undang dan dilindungi konstitusi. Di situ ada hak-hak warga sipil untuk menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh konstitusi. Selain itu lokasi tersebut merupakan ruang publik. Bisa jadi orang yang tidak ikut aksi tapi memakai baju hitam dan kebetulan melintas ikut digebuk dan ditangkap. Situasi ini menunjukkan adanya ketimpangan kekuatan antara warga sipil dan aparat negara.
“Kalau kita lihat dari perspektif keadilan gender, bagaimana mekanismenya ketika ada pelanggaran kekerasan seksual saat melakukan pengamanan?” tanya J.
S, Bikin Meme Satir Lalu Ditangkap
Selain J, di bulan Mei 2025 ini juga ada perempuan lain yang mengalami tindakan represif dari aparat negara karena vokal menyuarakan kritik.
Mahasiswi ini bernama S, mahasiswi ITB yang membuat dan membagikan meme satir yang menampilkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto tengah berciuman. Meme tersebut merupakan hasil modifikasi menggunakan kecerdasan buatan (AI).

Polisi kemudian menangkap S dengan tuduhan melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang kesusilaan. Saat ini, S berstatus penangguhan penahanan. Namun, identitas lengkap dan foto dirinya disebarluaskan di media sosial (doksing).
Kritik yang dilontarkan perempuan sering dibalas dengan serangan yang bersifat seksis, body shaming, bahkan doksing yang menyasar privasi, keluarga, atau sampai identitas gendernya. Bagi perempuan, yang sering kali memanfaatkan ruang digital sebagai saluran untuk menyuarakan kritik, ancaman UU ITE adalah bentuk kekerasan struktural dan pembungkaman berbasis gender.
Seksisme dalam Penangkapan Perempuan
Judith Butler dalam bukunya Bodies That Matter meminjam konsep dari Althusser tentang interpelasi (interpellation) menjelaskan penggunaan istilah atau panggilan tertentu dipakai untuk menciptakan dan menguatkan norma-norma gender atas tubuh.
Interpelasi adalah proses memanggil atau menyebut individu dan membentuk mereka menjadi subjek yang tunduk pada tatanan yang ada.
Butler mencontohkan, ketika ada seorang warga yang dipanggil polisi, “Hei, kamu!”, maka ini otomatis memiliki efek hukum.
Sama halnya ketika J disebut “lonte! pukimak! perek! telanjangi saja!” oleh polisi.
Lewat interpelasi, polisi membuat individu merasa seolah-olah mereka memilih menjadi seperti itu. Padahal sebenarnya si individu sudah dimasukkan ke dalam posisi yang dikehendaki sistem kekuasaan. Interpelasi tidak hanya menindas atau mengendalikan subjek, tetapi membentuk bagian penting dari pembentukan yuridis dan sosial dari subjek. Panggilan itu membentuk, karena menginisiasi individu ke dalam status yang tertekan dari subjek. Proses ini membuat J jadi subjek yang sudah dalam posisi rendah, dihukum, dipermalukan, diposisikan sebagai yang ‘salah’.
Biasanya kita berpikir teguran atau panggilan dari polisi, aparat, atau institusi hanya untuk mengendalikan atau menakut-nakuti. Namun menurut Butler (dan Althusser), teguran itu tidak hanya mengendalikan, tapi juga membentuk identitas seseorang sebagai subjek di dalam tatanan sosial dan hukum. Ketika polisi mempermalukan J (seorang perempuan) secara seksual, artinya mereka juga mengintimidasi semua perempuan agar tunduk.
Kasus S dan J menunjukkan pola serupa. Perempuan yang bersuara kritis justru menjadi sasaran represi negara. Padahal, di ruang publik banyak kritik yang dilontarkan oleh laki-laki, tetapi tidak direspons dengan pelaporan atau kekerasan serupa.
Fakta ini menampilkan bagaimana tubuh dan suara perempuan kerap dipandang lebih “mengganggu” saat menantang kekuasaan, sehingga dibungkam dengan cara-cara yang represif. Kritik yang berasal dari perempuan tidak hanya dianggap sebagai perlawanan, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap norma-norma kepatuhan gender.
Baca juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan
Maria Eriksson Baaz and Maria Stern dalam buku Sexual Violence as a Weapon of War? Menjelaskan kenapa perempuan lebih sering jadi sasaran kekerasan seksual dan penangkapan. Perempuan sering dianggap sebagai penjaga moral, kehormatan, dan identitas bangsa (Yuval-Davis). Ketika perempuan melawan atau menjadi aktivis politik, negara menganggap mereka melanggar peran ideal sebagai “ibu bangsa.”

Akibatnya, negara menggunakan kekerasan seksual untuk “menghukum” perempuan yang menantang konstruksi gender tersebut. Dengan menarget perempuan, negara sekaligus mengontrol perempuan sebagai simbol tubuh biologis yang diasosiasikan dengan reproduksi, kehormatan, dan stabilitas sosial.
Represi terhadap perempuan sering mengandung dimensi seksual, moral, dan simbolik yang tidak dialami laki-laki dengan cara yang sama. Pola ini tidak dialami laki-laki, karena tubuh laki-laki tidak memikul beban simbolik nasionalisme, moralitas, dan kehormatan komunitas sebagaimana yang dilekatkan pada perempuan.
Efek jera yang dihasilkan terhadap perempuan cenderung lebih kuat, karena tekanan sosial dan ancaman kekerasan berbasis gender di ruang digital memperparah rasa takut perempuan untuk bersuara kembali.

Aktivis perempuan menjadi sasaran yang lebih brutal karena mereka menantang dua tatanan sekaligus: kekuasaan negara dan patriarki. Tubuh perempuan yang direpresi menjadi medan pertempuran politik dan gender. Kekerasan seksual menjadi bahasa yang digunakan negara untuk menegaskan kekuasaan sekaligus mempermalukan perempuan yang menolak tunduk.
Organisasi SAFEnet juga menyoroti risiko berlapis yang dihadapi perempuan ketika bersuara di ruang publik dan digital. Perempuan sering kali tidak hanya dikritik atas pendapatnya, tetapi juga diserang secara personal dengan standar moralitas yang seksis.
“Risiko berlapis terhadap perempuan yang vokal di ruang publik umum terjadi. Bahwa pendapat atau opini perempuan kerap kali dikesampingkan, malah diserang dengan tuntutan standar moralitas masyarakat terhadap perempuan. Tujuannya menyerang pengkritik perempuan atas dirinya, misalnya perempuan itu tidak boleh begini, begitu,” jelas Wida, pengurus SAFEnet.
Baca juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Pemberedelan Sukatani dan Karya Seni Kritis, Alarm Bahaya dari Rezim Antikritik
Kritik terhadap perempuan di ruang publik atau digital dan serangan yang muncul biasanya tidak hanya membantah pendapatnya. Melainkan justru mengobjektifikasi, mempermalukan, atau mengancam tubuhnya.
“Seperti kasus Sukatani, personil perempuannya yang justru lebih banyak disorot, dilihat kehidupan pribadinya dan sebagainya. Kerentanan ini tidak terjadi pada laki-laki,” tambah Wida.
Maternal Activism, Aktivisme Ibu Sebagai Pembela Perjuangan Anak
Herlina, ibunda dari J, kemudian mengungkap luka mendalam atas kekerasan aparat yang dialami putrinya, J melalui diskusi yang disebarkan di media sosial.
Mengutip akun X @barengwarga, Herlina mengecam keras tindakan aparat yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menginjak-injak martabat seorang perempuan yang sedang berjuang.
“Saya ingin mengajarkan anak saya untuk mencintai Indonesia. Mungkin orang berpikir kok mama-mama ini anaknya perempuan boleh aja jadi ini, diginiin orang. Anak saya dikatain lonte, pukimak, telanjangi saja. Gimana rasanya saya sebagai ibu? Anak saya, saya ajari berjuang, bukan untuk dilecehkan seperti itu.”

Herlina juga menunjukkan dukungan dan kedekatannya dengan J. “Saya kenal anak saya, saya kenal teman-teman anak saya, karena saya terbuka.” Ia juga mengungkapkan kekecewaan atas perlakuan yang diterima anaknya sebagai hasil dari perjuangannya mencintai negeri ini. “Bukan negeri ini yang tidak mencintai kita, tapi orang-orang yang ditunjuk sebagai penguasa yang begini caranya.”
Kalimat “Saya ingin anak saya mencintai Indonesia” dari Herlina bukan sekadar pembelaan emosional. Itu adalah serangan balik terhadap narasi konservatif yang membatasi ruang gerak perempuan, seperti kata-orang-orang kepadanya, “Kok anaknya perempuan boleh aja jadi ini?”
Baca juga: Suara Ibu Indonesia: Batalkan UU TNI, Kami Tak Rela Aparat Lakukan Kekerasan Pada Anak Kami
Herlina bukan satu-satunya ibu yang bersuara lantang membela anaknya yang menjadi korban kekerasan negara. Di banyak ruang perlawanan, kehadiran ibu-ibu menjadi wajah lain dari keberanian. Indah Ariani, adalah salah satu ibu yang anaknya juga ditangkap ketika melakukan demonstrasi, Ananta Aulia Althaaf.
Pagi 21 Mei 20205, Ananta pamit akan ikut aksi memperingati tragedi Trisakti, dimana ia berkuliah disana. Ia bersama mahasiswa lain yang tergabung dalam gerakan mahasiswa di Universitas Trisakti akan menyampaikan tuntutan pada Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, agar 4 korban penembakan Trisakti di masa reformasi dinobatkan menjadi pahlawan. Aksi ini sekaligus ingin memprotes wacana mantan Presiden Soeharto yang akan dijadikan pahlawan, karena Soeharto lah yang menyebabkan banyak mahasiswa Trisakti meninggal. Namun setelah aksi, Indah tiba-tiba dikabari jika anaknya ditangkap.

Saat itu juga Indah langsung pergi ke Polda Metro Jaya setelah mendapat informasi dari alumni Trisakti bahwa semua mahasiswa, lebih dari 90 orang, dibawa kesana. Indah baru tahu jika aksi di depan Balaikota Jakarta itu sempat chaos dengan aparat polisi, padahal dari video yang beredar, Ananta justru melerai agar tidak terjadi pemukulan oleh polisi.
“Justru dia sedang melerai, tapi malah ditangkap,” kata Indah tercekat.
Indah tidur di Polda Metro Jaya selama beberapa hari menunggui Ananta. Ia hanya bisa bertemu Ananta dan teman-temannya ketika mereka sedang ke toilet, karena letak toilet di luar tempat mereka dikurung. Disaat itulah Indah langsung memberikan baju ganti untuk Ananta dan membawakan makanan.
“Yang kuat ya, nak, kamu tidak salah, yang kuat, yang kooperatif kalau ditanya polisi, ya, nak.”
Hanya itu kalimat yang diucapkan Indah sambil memeluk Ananta. Selama seminggu, Indah terus menunggui anaknya di lobi Polda Metro Jaya, sesekali matanya terpejam mencoba tidur di kursi-kursi lobi kantor polisi. Indah merasa lega setelah ada aktivis HAM, Usman Hamid dari Amnesty Internasional, dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) datang dan mendampingi Ananta dan teman-temannya.

Pada 27 Mei 2025 kemarin, Indah bersama para ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Indonesia kemudian datang ke Polda Metro Jaya untuk memberikan surat pada Kapolda Metro Jaya agar anak-anak Trisakti yang ditangkap dilepaskan. Mereka datang sambil membawa papan dukungan. Isi surat tersebut antara lain:
Baca juga: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali
“Kami hadir hari ini, ke hadapan kantor yang anggotanya memiliki semangat “melindungi dan mengayomi”, karena kami yakin pada semboyan Rastra Sewakottama. Semboyan Kepolisian Republik Indonesia yang berarti “pelayan utama bangsa”. Bagi negeri, tanah dan air inilah kita telah menjanjikan bakti, pengabdian, dan jiwa raga. Itu sebab kami prihatin mengetahui sang Rastra Sewakottama menangkap dan menahan anak-anak kami, anak-anak bangsa. Kami sedih dan terluka mengetahui mahasiswa-mahasiswa—di Semarang, Jawa Tengah dan Jakarta—berada di dalam sel kepolisian dan mendapat label baru pada dirinya: tersangka. Predikat ini menyayat perasaan kami. Mereka adalah anak-anak muda yang pada setiap pidato selalu disambung dengan kata: harapan bangsa. Kepada anak-anak muda kita semua menitip masa depan. Tentu saja di antaranya adalah anak-anak muda di tubuh kepolisian. Kami adalah kaum ibu, kaum perempuan, yang tak bisa diam saat masa depan anak-anak kami dibungkam oleh ketakutan.
Ibu-ibu lain juga berdiri kokoh dalam Aksi Kamisan, yang lebih dari 18 tahun setia berdiri di depan Istana Negara dengan pakaian serba hitam dan payung hitam sebagai simbol duka. Ada Maria Catarina Sumarsih ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas ditembak aparat pada Tragedi Semanggi pada 1998. Sumarsih tidak hanya merawat duka kehilangan anaknya, tetapi juga mengubahnya menjadi perjuangan panjang menuntut negara bertanggung jawab. Inilah yang disebut maternal activism.
Feminis memperkenalkan konsep maternal activism atau aktivisme ibu/maternal sebagai kerangka untuk memahami aktivitas perempuan atau sekelompok perempuan yang memakai identitas sebagai ibu untuk menuntut keadilan dan mendorong perubahan sosial dan politik.
Beberapa diantara feminis tersebut adalah Adrienne Rich, Danielle Poe, and Kathleen Gallagher. Adrienne Rich dalam Of Woman Born, Motherhood as Experience and Institution menjelaskan aktivisme ibu sebagai proses penafsiran ulang peran ibu dari ranah privat menuju mobilisasi dan partisipasi politik di ranah publik.
Baca juga: “Anak-Anak Kami Tak Salah, Tapi Dikambinghitamkan,” Kisah Para Ibu Korban Salah Tangkap Polisi
Peran ibu secara historis dikaitkan dengan peran pribadi dan eksklusif sebagai “ibu rumah tangga”. Peran ini membatasi perempuan pada tanggung jawab melahirkan anak dan membuatnya sering dikendalikan oleh figur laki-laki (entah suami, pemimpin agama, atau negara). Hal ini menjadikan peran ibu dipandang sebagai institusi yang menindas.
Sebaliknya, Rich menekankan pengalaman transformatif dalam peran ibu, dengan menyoroti potensi ikatan dengan anak-anak sebagai sumber pemberdayaan. Ikatan ini dapat mendorong ibu ke ranah publik, tempat rasa sakit pribadi mereka menjadi katalisator keterlibatan politik dan advokasi kolektif.
Transisi dari peran personal ke peran politik ini mengubah sifat opresif dari peran ibu tradisional menjadi alat yang ampuh untuk keadilan dan transformasi masyarakat. Dengan begitu, aktivisme ibu merupakan perubahan mendalam atas cara memahami peran ibu.
Sementara Kathleen Gallagher menjelaskan konsep aktivisme ibu bisa dipakai untuk memahami mobilisasi ibu dalam konteks rezim otoriter yang menggunakan narasi konservatif tentang peran ibu untuk kontrol sosial. Gagasan ini dipaparkan Gallagher dalam Mary, Mother of Martyrs: How Motherhood Became Self-Sacrifice in Early Christianity.
Ia mencontohkan dengan mengangkat kasus Argentina di bawah junta militer pada 1976 hingga 1983. Saat itu Argentina dibawah pimpinan Jorge Rafael Videla menerapkan kebijakan yang membatasi perempuan pada peran tradisional sebagai istri dan ibu.
Perempuan ditugaskan untuk melindungi anak-anak mereka dari ideologi komunis dan subversi sambil mempromosikan nilai-nilai Kristen dan cita-cita Barat. Gallagher berpendapat bahwa berbagai ekspresi aktivisme perempuan kontemporer sering kali memakai peran tradisional ini sebagai esensialisme strategis untuk mendapatkan dukungan dan melindungi diri mereka sendiri.
Ia menganalisis representasi Perawan Maria dalam masyarakat Kristen sebagai pola dasar keibuan untuk berbagai tujuan politik. Dalam tradisi Kristen, Maria diidealkan sebagai pola dasar keibuan yang rela berkorban, yang menanggung penderitaan untuk melahirkan Mesias ke dunia. Dan sekaligus menyaksikan kematiannya yang kejam.
Baca juga: ‘September Hitam’, Cerita Diva Suukyi dan Para Korban: Kami Menunggu Usut Tuntas Kasus Pelanggaran HAM
Penggambaran keibuan sebagai pengorbanan diri, kehilangan, dan kemartiran ini sejalan dengan konsepsi tradisional keibuan di Amerika Latin. Yakni sebuah konstruksi sosial yang secara historis dibentuk sejak masa kolonial Spanyol dan Portugis untuk menindas perempuan. Secara bersamaan, hal ini beresonansi dengan aktivisme reaktif, yang muncul dari penderitaan pribadi, seperti kehilangan seorang anak.
Karena itu, aktivisme yang dilakukan ibu-ibu Plaza de Mayo dapat dilihat sebagai contoh menonjol dari aktivisme keibuan. Para ibu tersebut mulai berkumpul di Plaza de Mayo, alun-alun di pusat kota Buenos Aires, Argentina pada April 1977. Mereka menuntut penjelasan dari rezim militer yang berkuasa saat itu atas penghilangan paksa terhadap anak-anak mereka. Para ibu tersebut, yang tidak punya pengalaman politik sebelumnya, awalnya tidak menyadari bahwa tindakan mereka pada dasarnya bersifat politis.

Ketika aparat memaksa mereka untuk “berputar”, melarang mereka untuk berdiri diam dalam kelompok lebih dari tiga orang, mereka secara tidak sengaja kemudian menggelar pawai politik. Pada Oktober 1977, para ibu memutuskan untuk membuat kehadiran mereka jadi terlihat selama prosesi keagamaan yang diadakan gereja Katolik.
Mereka berinisiatif mengenakan popok kain anak-anak mereka sebagai kerudung, aksi ini membangkitkan simbol Katolik sambil menumbangkannya sebagai bentuk protes mereka. Aksi ini dipilih agar mereka tampak menonjol di antara kerumunan besar acara agama sekaligus memperkuat tuntutan mereka atas kehidupan anak-anak mereka yang hilang.
Dengan menggunakan artefak kehidupan pribadi mereka di ruang publik sebagai simbol perlawanan politik, mereka menumbangkan peran pasif yang dipaksakan pada perempuan oleh rezim.
Para ibu di Plaza de Mayo adalah bukti bahwa bahkan di lingkungan dengan peluang terbatas untuk bertindak, perempuan dapat melawan pelanggaran HAM berat oleh rezim patriarki. Mereka telah mengubah sejarah negaranya sekaligus berkontribusi pada penciptaan dan pengembangan kerangka kerja internasional untuk perlindungan martabat manusia. Aksi ibu-ibu Plaza de Mayo juga menawarkan warisan ketahanan yang melampaui generasi.
Baca juga: ‘Tiap 5 Tahun Kami Dibohongi, Janji Manis Tak Dipenuhi’ 17 Tahun Aksi Kamisan
Sementara Danielle Poe dalam Maternal Activism: Mothers Confronting Injustice memaparkan aktivisme ibu yang dilakukan empat perempuan Amerika yang melawan ketidakadilan. Mereka adalah Molly Rush, Michele Naar-Obed, Cindy Sheehan dan Diane Wilson yang masing-masing punya latar belakang berbeda.
Molly Rush, ibu dari enam anak, yang aktif dalam gerakan hak-hak sipil pada 1963 dan ikut berdemo menentang perang Vietnam. Rush menjadi terpidana ketika ia memukul ujung hulu ledak nuklir untuk menarik perhatian publik atas bahaya senjata nuklir. Michele Naar-Obed, aktif dalam aksi pembangkangan sipil dan seperti Rush, ia juga menghancurkan hulu ledak nuklir satu dekade kemudian.
Kedua perempuan tersebut melakukan aksinya sebagai bagian dari komunitas yang menentang perang nuklir. Tetapi mereka berdua memiliki sistem pendukung yang sangat berbeda untuk anak-anak mereka. Situasi yang mereka hadapi menunjukkan perbedaan keadaan yang dihadapi para ibu ketika mereka memutuskan untuk menentang militerisme.
Sementara Cindy Sheehan menjadi aktivis setelah kehilangan putranya Casey yang tewas dalam Perang Irak kedua. Setelah kematian anaknya, Sheehan menuntut pertanggungjawaban presiden atas tujuan Perang Irak dan tujuan kematian putranya.
Transformasi Sheehan menjadi aktivis perdamaian menimbulkan pertanyaan penting tentang cara para ibu berperan dalam membentuk anak-anak mereka untuk menjadi tentara dan mendukung ideologi militer. Serta bagaimana menjadi seorang ibu aktivis mengucilkannya dari beberapa komunitas dan membuatnya bersolidaritas dengan komunitas lain.
Terakhir Diane Wilson, perempuan nelayan satu-satunya di Teluk Calhoun, Texas yang tak kenal lelah melawan perang dan kerusakan lingkungan. Aktivisme ibu empat anak ini dimulai sebagai respons terhadap pencemaran Teluk Calhoun oleh perusahaan.
Baca juga: ‘Cool Mom’ dan Standar ‘Ibu Ideal’, Ini Keren atau Bias Kelas?
Poe menjelaskan dengan membedah fokus masing-masing perempuan tersebut, konteks mereka, dan tindakan mereka memungkinkan kita untuk lebih memahami bahwasanya individu tertentu dapat menanggapi ketidakadilan yang meluas dan militerisasi sistemik dalam masyarakat. Masing-masing ibu dalam buku ini menggunakan strategi retorikal esensialis, mereka menarik perhatian para ibu terhadap anak-anak mereka dan menggunakan emotivisme.
Meskipun begitu, mereka juga mengikis esensialisme dalam setiap kesempatan. Mereka melanggar hukum tanpa kekerasan, rela menjalani hukuman di penjara, dan menantang standar sosial atas penerimaan.
Dengan memahami pengalaman keempat perempuan tersebut dan hubungan yang mereka bentuk untuk mendukung aktivisme mereka, jelas bahwa aktivisme ibu tidak selalu mengarah pada pemahaman esensialis tentang ibu dan perempuan. Mereka berempat berhasil menarik perhatian media, memprovokasi percakapan tentang ketidakadilan struktural, dan memicu perubahan serta menantang prasangka tentang peran ibu.
Gelombang Penangkapan Massal
Sepanjang periode Februari hingga Mei 2025, memang telah terjadi serangkaian gelombang penangkapan massal terhadap warga negara yang terlibat dalam aksi protes di berbagai wilayah Indonesia. Konde.co mencatat dari berbagai sumber bahwa setidaknya 373 orang mengalami penangkapan, baik dalam bentuk penahanan sementara maupun penetapan sebagai tersangka.
Gelombang penangkapan ini menyasar berbagai kelompok masyarakat, mulai dari mahasiswa, buruh, warga adat, hingga warga negara asing yang mendokumentasikan aksi.
Aksi “Indonesia Gelap” pada Februari 2025 menandai awalan dengan penangkapan 16 orang, termasuk satu WNA yang ditahan hanya karena merekam jalannya demonstrasi.
Memasuki Maret, gelombang penolakan terhadap UU TNI disambut dengan peningkatan kasus penangkapan. Dalam rentang 15–28 Maret saja, setidaknya 168 orang ditangkap, dengan penyebaran aksi di sedikitnya empat kota/kabupaten. Banyak di antara mereka ditangkap tanpa prosedur hukum yang memadai, menandakan bentuk penahanan sewenang-wenang oleh aparat keamanan.
Puncak kasus penangkapan terlihat dalam gelombang aksi Mei, terutama pada momentum Hari Buruh dan peringatan Reformasi. Penangkapan terhadap buruh dan mahasiswa terjadi serentak di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Lhokseumawe. Sebanyak 58 orang ditangkap pada 1 Mei saja, sementara pada pertengahan bulan, tindakan keras terhadap mahasiswa Ikatan Mahasiswa Peduli Akan Sosial (IMPAS) dan mahasiswa Trisakti memperparah situasi, dengan lebih dari 100 mahasiswa ditangkap dan 21 di antaranya dijadikan tersangka.
Sementara di Halmahera Timur, warga Maba Sangaji yang menolak aktivitas pertambangan juga menjadi sasaran dengan 27 penangkapan dan 11 penetapan tersangka.

Penangkapan S yang membuat meme ini dikritik keras Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Meila Nurul Fajriah, pengurus YLBHI kepada Konde.co, yang dihubungi Konde.co pada Minggu (18/5/25) mengatakan, pejabat publik sering menggunakan ITE untuk melaporkan warga yang mengkritiknya, maka kepolisian akan bertindak cepat. Sementara pada kasus S, tidak ada proses pemanggilan, tiba-tiba dia diciduk langsung diproses.
“Jika yang melapor adalah pejabat, polisi akan cepat memanggil dan memeriksa tanpa pemberlakuan KUHAP yang baik sesuai dengan aturan yang ada. Pertanyaan kami adalah seberapa bahayakah kritik yang dilakukan mahasiswa ini sehingga prosesnya begitu cepat? Karena seharusnya siapapun yang melaporkan dan dilaporkan, polisi harus melakukan proses-proses dalam KUHAP,” paparnya.
YLBHI juga mencatat bahwa pejabat publik merupakan pihak yang paling sering melakukan kriminalisasi terhadap warga. Terutama mereka yang menyuarakan kritik atau membela hak-haknya.
“Ada gejala otoriter, karena dia mempunyai kedudukan sosial tertentu. Apalagi setingkat presiden dan menteri punya alat negara. Sehingga kita melihat ini rezim otoriter yang sedikit-sedikit melakukan pemidanaan. Apalagi dengan UU ITE, ini kan pasal yang sangat karet sekali. Kalau teman-teman SAFEnet bilang ini digital authoritarian regime,” tambahnya
Christine Constanta, pendamping hukum dari LBH APIK Jakarta yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyatakan tentang penangkapan yang dialami J sebagai atmosfer umum penindasan terhadap perempuan dalam ruang demonstrasi.
“Perempuan di ruang publik, mau menyatakan pendapatnya, memiliki hak atas kebebasan berpendapat, tapi malah direpresi dan dikriminalisasi,” ujar Christine.

Lebih dari sekadar penangkapan, Christine menyebut bahwa tindakan aparat memuat banyak pelanggaran prosedural. Penangkapan dilakukan tanpa dasar bukti permulaan yang cukup dan bukti tidak transparan kepada pendamping yang disinyalir melanggar Pasal 17 KUHAP. Penangkapan juga berlangsung lebih dari 24 jam, yang menurut Christine dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat (1) KUHAP.
Christine juga menyebut bahwa pemeriksaan dilakukan hingga pukul dua pagi, melewati batas waktu manusiawi, tanpa memperhatikan sama sekali kerentanan korban. Serangkaian tindakan tersebut juga melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Belum lagi pemaksaan penggeledahan dan tes urin yang kemudian diajukan keberatan oleh tim kuasa hukum.
“Pemeriksaan sampai jam dua malam itu seharusnya tidak dilakukan. Itu termasuk penyiksaan secara psikologis menurut konvensi anti penyiksaan,” tambah Christine.
Surat tugas paralegal J bahkan robek ketika ia mencoba menunjukkan identitasnya sebagai tenaga pendamping hukum. Paralegal sendiri merupakan pemberi bantuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum serta aturan turunan berupa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum.
Selain itu, posisinya sebagai tenaga medis juga tidak dipandang. Padahal, dalam hukum internasional seperti Konvensi Jenewa 1977, paramedis harus dilindungi, bukan ditangkap.
“Mungkin karena ada kekerasan tarik-menarik saat dia menunjukkan surat keterangan paralegalnya, jadi langsung robek—ditarik oleh aparat,” ungkap Christine.
Ketika akhirnya status tersangka ditetapkan, prosesnya penuh kejanggalan. Pemeriksaan awal atau Berita Acara Interview/Interogasi (BAI) tidak mencantumkan pasal apa pun. Bahkan saat ditanya, penyidik menyebutkan secara samar, “permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana.”
Hanya setelah BAI dicetak, pasal 216 dan 218 KUHP ditambahkan. Malam itu, Christine sebagai pendamping hukum bertanya mengenai dasar penangkapan J.
“Pasal apa yang dikenakan?” tanya Christine kepada dua penyidik di Unit Renakta.
“Ini permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana,” jawab salah satu dari mereka.
Christine lanjut bertanya, “Ini pasal berapa?” namun tidak ada jawaban sepatah kata pun dari kedua penyidik tersebut.
Lalu pemeriksaan berjalan, J dihujani pertanyaan mengenai latar belakangnya, siapa pemimpin aksi, hingga motivasinya ikut aksi.
“Setelah selesai BAI, mereka baru koordinasi dengan bagian Kanit dan 13 orang lainnya, baru kemudian dicantumkan pasal. Tapi sampai saat itu belum ada kepastian kapan J bisa keluar. Kami sudah menyampaikan bahwa J korban, seharusnya kami yang melapor, bukan terlapor, tapi mereka tidak merespons sama sekali.”
“Tidak ada transparansi sama sekali,” lanjut Christine.
Christine juga bercerita bahkan setelah J menyatakan dirinya sebagai korban kekerasan seksual, tidak ada satu pun prosedur atau akses pemulihan yang disediakan oleh aparat.
“J seharusnya diperiksa dengan mempertimbangkan kerentanannya sebagai korban kekerasan seksual, tapi tidak ada informasi tentang pemulihan, tidak ada akses layanan,” kata Christine.
Setelah penangkapan, proses pendampingan terhadap J dilakukan oleh TAUD. Christine mengungkapkan bahwa saat ia tiba mendampingi pada pukul delapan malam, J sudah dalam kondisi lelah, takut, dan belum makan.
“Kondisi J sudah mulai kelelahan karena penangkapan terjadi sejak jam lima sore sampai jam delapan malam. Jam delapan malam itu baru diperiksa untuk BAI,” ceritanya.
Pemulangan pada akhirnya memang dilakukan, tapi itu bukan berarti penahanan yang dilakukan menjadi sah. Tidak hanya tidak sah, pemulangan dilakukan tanpa kompensasi atau pengakuan atas kesalahan prosedur aparat.
“Penangkapan lebih dari 24 jam. Mereka ditangkap jam lima sore, BAI sampai jam dua pagi, tidak pulang, tidur di situ, lanjut langsung BAP. Proses naik ke BAP-nya pun nggak sah,” tegas Christine.
Setelah status tersangka keluar, upaya advokasi kini difokuskan pada dua hal, yakni penghentian penyidikan dan pelaporan balik terhadap kekerasan seksual serta masalah etik. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah diterima, dan pemanggilan pertama pada awal Mei sudah direspons dengan pengajuan penundaan karena kondisi psikologis J yang belum stabil.
“Kapasitas secara psikologis para korban ini juga belum baik. Sehingga kami mengajukan penundaan untuk pemanggilan pertama ini karena dengan alasan korban harus pulih dulu secara psikologis,” terang Christine.
Upaya ini dilakukan secara mandiri oleh tim pendamping, termasuk kerja sama dengan Yayasan Pulih untuk menyediakan konseling kepada keempat belas orang yang ditangkap. Sayangnya, ketidaksensitifan aparat justru berlanjut di ruang publik.
“Kalau kita melihat berita-berita mengenai Humas Polda, mereka membangun opini publik bahwa mereka sudah dipanggil tapi mangkir. Padahal pemanggilannya itu sebelum surat pemanggilan kami terima,” ujar Christine.
Hingga artikel ini terbit, TAUD telah mengirimkan surat permohonan konfirmasi penyidikan dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada Polda Metro Jaya terkait penetapan para tersangka. Permohonan ini didasari pada dugaan bahwa polisi tidak memiliki bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa klien TAUD bersalah.
Gayung gagal bersambut, segera setelah TAUD bersurat, Christine menyampaikan kabar buruk bahwa surat tersebut justru berbalas dengan surat panggilan tersangka kedua.
Ke depan, TAUD berencana melaporkan kasus ini sebagai tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Meski relasi kuasa menjadi tantangan, langkah ini penting untuk menegaskan bahwa korban tidak boleh dibungkam.
“Tentunya kita sangat bisa ya mengadukan itu dengan Undang-Undang TPKS,” kata Christine.
Pentingnya Perspektif Gender dalam Penegakan Hukum
Seluruh rangkaian kejadian ini menunjukkan bahwa institusi penegak hukum belum memiliki panduan atau kesadaran yang memadai dalam menangani perempuan yang berhadapan dengan hukum.
“Aparat penegak hukum sebenarnya belum punya pedoman untuk pemeriksaan perempuan seperti apa,” tegas Christine.
Bahkan ketika diperiksa oleh penyidik perempuan di Unit Renakta, J tidak mendapatkan pendekatan atau perlindungan yang layak. Dalam narasi hukum yang kerap maskulin dan represif, pengalaman J mengungkap pentingnya pembaruan mendalam dalam pendekatan institusional terhadap perempuan. Tidak cukup hanya memindahkan ke unit khusus perempuan jika prosedur dan substansinya tetap melanggengkan kekerasan.
“Walaupun dia penyidik perempuan, tapi kan harus menginformasikan tetap mengenai akses-akses bantuan terhadap korban,” tukasnya.

Sewajah Pola Kriminalisasi di Bandung
Serupa dengan J dan 12 massa aksi May Day Jakarta serta belasan mahasiswa Trisakti yang ditetapkan tersangka oleh polisi, pola-pola yang sama digunakan juga di Bandung.
Berdasarkan keterangan Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, salah satu massa aksi secara mendadak ditangkap saat sedang melakukan kegiatan kemahasiswaan. Penangkapan tersebut bahkan dilakukan tanpa ada surat penangkapan maupun pemberitahuan resmi sebelumnya. Lebih parah, penangkapan yang terjadi seolah dilakukan oleh orang tidak dikenal (OTK) karena pihak yang menangkap tidak menggunakan seragam maupun mobil kepolisian.
“Sebenarnya penangkapannya juga lebih ke penyekapan ya kalau melihat dari yang dialami salah satu korban. Disebutnya dikaleng gitu, ya, tiba-tiba dimasukin saja ke mobil. Itu juga menghambat kami karena teman-temannya pun bingung, ini polisi atau siapa yang nangkap,” papar Heri.
Hal serupa pun dialami oleh massa aksi Tolak RUU TNI yang ditangkap di kostannya beberapa hari setelah aksi berlangsung. Pihak LBH Bandung mencurigai bahwa identitas serta lokasi keberadaan massa aksi dilacak kepolisian melalui metode OSINT (Open Source Intelligence), yaitu pelacakan berbasis data dan informasi yang tersedia secara terbuka di internet.
Terdapat dugaan bahwa polisi menggunakan rekaman video massa aksi yang tersebar luas di media sosial maupun rekaman CCTV sebagai bahan untuk melacak identitas massa aksi.
“Kalau kita bisa bilang, ini metode OSINT, ya. Dari video dan rekaman CCTV itu bisa jadi dasar polisi memanggil tersangka. Mungkin lewat face recognition atau apa, yang jelas tertangkap kamera dan dianalisis oleh pihak kepolisian. Itu kan bisa ketauan tuh namanya siapa, kostnya di mana, kampusnya di mana,” tambah Heri.

Praktik ini mengindikasikan adanya pengawasan digital terhadap warga sipil yang semakin masif. Pola ini tentu berpotensi melanggar hak atas privasi serta kebebasan berekspresi sebagai warga negara. Strategi seperti ini menunjukkan bahwa negara tidak hanya menggunakan cara-cara kekerasan fisik untuk membungkam warganya, tetapi melalui kekerasan digital juga dalam meredam suara-suara kritis di ruang media sosial.
Pelanggaran prosedur tak hanya terjadi saat proses penangkapan, sering kali cacat prosedur ini ditemukan dalam proses penyidikan. Salah satu massa aksi di Bandung yang telah ditetapkan jadi tersangka mengalami tindakan dari aparat yang dianggap melampaui kewenangan. Saat proses penyidikan berlangsung, pihak kepolisian memeriksa isi ponsel pribadi korban untuk melihat bagaimana dirinya dalam menggunakan media sosial–mencakup video, foto, dan kontak-kontak yang tersimpan di ponsel.
Padahal, tindakan yang dilakukan itu tidak berkaitan langsung dengan sangkaan yang ditujukan kepada korban. Heri menilai pihak kepolisian seharusnya menjalankan proses penyidikan yang sesuai prosedur, tanpa perlu mengorek kehidupan personal korban hanya demi mencari-cari pembenaran. Penyidikan semacam ini justru memperlihatkan bahwa kekuasaan dengan mudah disalahgunakan dengan mengesampingkan hak dan perlindungan hukum bagi tersangka.
“Bagi kami, itu tidak pantas karena proses penyidikan tidak berkaitan dengan apa yang disangkakan. Proses penyidikan ya proses penyidikan aja, Profesional aja sesuai prosedur, jangan sampai ke hal yang lain. Selama dia jadi tersangka juga dia punya hak untuk menjaga martabatnya sebagai manusia,” jelas Heri.
Berdasarkan observasinya terhadap pola penangkapan yang terjadi di Bandung, Heri menilai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian hanya untuk menyebar ketakutan dan membuat framing buruk di masyarakat. Pihak kepolisian tak benar-benar fokus pada tindak kriminal yang dituduhkan ke tersangka.
“Polisi sekarang jadi gak fokus ke crime-nya, justru malah melebar kemana-mana gitu. Karena di media juga jadinya di-framing soal gerakan anarko, apalagi pas May Day kemarin, dianggap identik sama kaum kiri. Justru tindak crime-nya itu dihindarkan dan gak fokus ke situ,” papar Heri.
Cacat Pola Sejak dalam Sistem Hukum Pidana
Praktik penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum tersebut dianggap cacat prosedural, melanggar hukum acara pidana, dan memperlihatkan lemahnya akuntabilitas aparat dalam sistem peradilan Indonesia.
Maidina Rachmawati, Plt Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjelaskan bahwa tidak ada istilah “pengamanan” dalam hukum pidana yang dapat dijadikan dasar untuk menahan seseorang.
“Sebenarnya mekanisme pengamanan itu dalam konteks hukum pidana itu tidak ada. Jadi tidak ada pengamanan, yang ada namanya penangkapan,” tegasnya.
Penangkapan pun memiliki syarat-syarat yang ketat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hanya ada dua kondisi yang melegalkan penangkapan, yakni jika seseorang tertangkap tangan sedang atau baru saja melakukan tindak pidana, atau jika seseorang sudah dipanggil secara patut dua kali sebagai tersangka tapi tidak memenuhi panggilan tersebut.
“Penangkapan pun hanya sah dalam dua kondisi, tertangkap tangan atau telah dipanggil dua kali secara patut tapi tidak hadir,” katanya.
Pada kasus aksi yang dilakukan oleh elemen masyarakat sipil, buruh, dan mahasiswa, para peserta aksi bahkan tenaga medis menurut Maidina tidak memenuhi unsur tertangkap tangan melakukan tindak pidana, pun tidak ada panggilan yang diabaikan sebelumnya.
“Kalau kejadiannya kayak begitu (penangkapan yang belakangan terjadi), berarti itu bukan pengamanan menyelamatkan nyawa, tapi itu adalah bentuk penangkapan. Karena dia bersifat mandatory, wajib, forceful, dia bersifat memaksa,” jelas Maidina.
Ia juga mengkritisi tindakan aparat yang menyita barang pribadi peserta aksi, melakukan tes urin paksa, serta menahan mereka lebih dari 24 jam tanpa status hukum yang jelas.
“Kalau lebih dari 24 jam, either dia ditahan—tapi kan nggak bisa kalau nggak tersangka, kan, untuk menahan. Makanya akhirnya dibebasin, kan, karena belum jelas tersangkanya.”
“Atau yang kedua, ya langsung dipulangkan ketika lebih dari 24 jam. Nah, ini kan nggak dipulangin. Lebih dari 24 jam pun juga statusnya nggak jelas pada saat dipulangkan. Harusnya itu nggak bisa secara prosedural,” timpalnya.
Minimnya perlindungan hukum bagi perempuan juga menjadi sorotan. Menurut Maidina, KUHAP hanya menyebut secara singkat bahwa penangkapan terhadap perempuan harus dilakukan oleh polisi perempuan. Tidak ada aturan komprehensif yang mengatur prosedur pemeriksaan terhadap perempuan, apalagi dalam konteks kekerasan berbasis gender.

“Jadi memang aturan KUHAP kita yang meng-acknowledge kerentanan berbasis gender itu cuma dalam konteks penangkapan dan penahanan. Pun juga cuma nyebutin bahwa kalau dalam kondisi penangkapan perempuan, maka dia dilakukan dengan polisi wanita. Kayak gitu doang,” ujarnya.
Pemeriksaan terhadap peserta aksi juga dinilai cacat hukum karena tidak transparan dan dilakukan secara sewenang-wenang. Maidina menyoroti penggunaan “berita acara interview/interogasi” (BAI) yang tidak memiliki padanan di KUHAP.
“Di dalam KUHAP itu ya diperiksa, berarti sebagai saksi atau sebagai tersangka. Nah, itu udah masuk proses penegakan hukum. Jadi BAI itu enggak ada padanannya di hukum acara. Jadi polisi bikin sendirilah mekanisme hukum acara tersebut.”
Konde.co mencatat setidaknya terdapat 9 pasal yang digunakan oleh aparat untuk ditempel pada tersangka. Pasal-pasal tersebut dinilai problematik oleh Maidina sebab terkesan dipaksakan.
“Masalahnya kan polisinya dari awal belum cukup tahu tindak pidana yang dilanggar apa. Kemudian main diamankan begitu saja, baru kemudian dipikirkan pasal mana yang digunakan, baru kemudian buktinya dibuat,” ungkap Maidina.

Catatan Umum:
- Pasal-pasal ini sering digunakan secara tumpang tindih, tanpa bukti individual yang kuat terhadap masing-masing peserta aksi.
- Prinsip non-retroaktif dan proporsionalitas pidana sering diabaikan, apalagi dalam situasi penangkapan massal.
- Hak atas pembelaan diri, akses ke pengacara, dan due process kerap dilanggar dalam praktik penahanan cepat.
- Pemakaian pasal-pasal ini tanpa dasar kuat berpotensi menjadi bentuk criminalization of protest, yang bertentangan dengan hak atas kebebasan berkumpul, berekspresi, dan berpendapat yang dijamin UUD 1945 dan ICCPR.
Sementara terkait tes urin paksa, Maidina menyebut hal itu sebagai bentuk pelanggaran hak atas tubuh yang dilindungi prinsip non-self-incrimination. Pemeriksaan urin hanya boleh dilakukan jika sudah ada bukti permulaan berupa temuan narkotika. Tanpa itu, tes urin wajib sifatnya sukarela, dan tidak bisa dipaksakan.
“Tes urin itu pemeriksaan sampel tubuh. Sampel tubuh kita itu nggak boleh dipakai untuk against kita secara pidana. Nah, yang bisa melakukan pengambilan sampel tubuh itu adalah—sekarang sampai dengan saat ini—itu cuma pidana narkotika,” jelasnya.
Sinyal Bahaya RKUHAP yang Menjauh dari Reformasi
Upaya pelaporan balik oleh pendamping hukum, termasuk lewat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pun menurut Maidina bisa berhadapan dengan hambatan struktural.
Ia menyoroti ketiadaan lembaga pengawas independen yang secara khusus mengawasi polisi, seperti yang ada di negara-negara lain.
Komplain kepada polisi sama dengan melapor ke pelaku. Logika yang dianggap Maidina tidak masuk akal ini langgeng sebab tidak ada lembaga independen yang menyelidiki pelanggaran aparat.
“Di peradilan tidak ada untuk menguji tidak sahnya penangkapan atas dasar adanya pelecehan. Nah, itu sih yang paling bermasalah. Selain memang aturannya sangat minim, yang kedua, di kejadian kayak gini kita tidak tahu ruang komplainnya ke mana.”
Kondisi ini seharusnya dapat dicegah dan dikoreksi dengan keberadaan mekanisme habeas corpus, yakni prinsip hukum universal yang menjamin hak setiap orang yang ditahan untuk segera dihadirkan ke hadapan hakim yang independen guna menguji legalitas penahanannya.
“Di negara lain, kalau kamu ditahan secara sewenang-wenang, kamu bisa langsung bawa itu ke hakim. Hakim akan memutus, ‘apakah ini sah atau tidak penahanannya’, dalam waktu cepat. Di Indonesia, itu nggak ada. Kita nggak punya mekanisme habeas corpus,” kata Maidina.
Akibat tidak adanya mekanisme ini, warga yang ditangkap secara sewenang-wenang tidak memiliki akses cepat untuk menuntut pembebasan atau mempertanyakan legalitas tindakan polisi. Bahkan pengawasan terhadap aparat dilakukan secara internal oleh institusinya sendiri, seperti melalui Divisi Propam atau pengaduan etik di kepolisian, yang rentan konflik kepentingan.

“Kita nggak punya institusi pengawasan polisi yang benar-benar independen. Kompolnas? Itu cuma bisa kasih rekomendasi ke presiden. Bukan mekanisme korektif,” ungkapnya.
“Berarti kan kita bikin allegation tindak pidana baru, terus ya bisa diprosesnya sesuai dengan kemauan mereka, mau memproses secara pidana atau enggak, terus mau memproses etik atau nggak. Indonesia tuh nggak pernah punya institusi yang sebenarnya police watch. Kita punya Kompolnas, tapi Kompolnas kan cuma tugasnya ngasih rekomendasi kebijakan kepolisian kepada presiden.”
Lebih lanjut, Maidina juga menyampaikan keprihatinan terhadap arah revisi KUHAP yang saat ini sedang dibahas. Menurutnya, alih-alih revisi tersebut mampu menjadi titik balik reformasi hukum acara pidana, prosesnya kini malahan berpotensi melegitimasi praktik penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan aparat.
“Penangkapan tidak sah itu langgeng, karena kan polisi tuh bisa nangkep gitu aja tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Konsep hakim pemeriksa pendahuluan itu penting untuk menguji tindakan aparat, tapi justru itu yang paling ditolak oleh polisi,” tutupnya.
Kasus J dan gelombang penangkapan yang terjadi bukan sekadar catatan tentang sipil yang dikriminalisasi. Ini adalah potret utuh bagaimana hukum bisa gagal melindungi, bahkan menjadi alat kekerasan terhadap mereka yang paling rentan.
Preseden buruk ini adalah panggilan untuk mereformasi institusi penegak hukum dari hulu ke hilir, dari protokol penangkapan, pemeriksaan yang mempertimbangkan gender, hingga mekanisme pemulihan bagi korban.
“Artinya, tidak hanya J yang bisa kemudian…” Christine sempat menggantung kalimatnya dalam wawancara. Tapi publik yang menyimak harus melanjutkan, bahwa tidak hanya J dan mereka yang ditersangkakan kini yang bisa menjadi korban, tapi siapa pun dari sipil, jika reformasi hukum melulu jauh panggang dari api.
Tim Edisi Khusus
Koordinator: Anita Dhewy
Peliput: Anita Dhewy, Ika Ariyani, Luviana Ariyanti, Luthfi Maulana Adhari, Laras Ciptaning Kinasih
Pemetaan: Luthfi Maulana Adhari
Editor: Luviana Ariyanti