No One Left Behind Cuma Jadi Slogan DPR, Buktinya  RUU PPRT  Gagal Carry Over

Sampai hari ini, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak juga disahkan. Kemarin RUU ini juga gagal carry over di DPR. Ini menunjukkan slogan no one left behind hanya sekadar simbol, kelompok marjinal seperti PRT sudah lama ditinggalkan.

Lita Anggraini tampak lemas ketika tidak bisa masuk ke Gedung DPR RI  pada Senin, 30 September 2024.

Ia hanya bisa duduk di peron-peron gedung melihat sidang paripurna terakhir DPR di masa jabatan 2019-2024 dari televisi DPR. Lita Anggraini adalah aktivis yang selama ini gigih mengawal RUU PPRT. Sudah 20 tahun RUU PPRT diperjuangkan, namun gagal terus karena para pimpinan DPR tak juga mau mengesahkan. No one left behind atau tak seorangpun ditinggalkan dalam pembangunan seolah cuma slogan.

“Selama 20 tahun kami berjuang, tapi sampai 2024 ini tak juga disahkan,” kata Lita Anggraini yang ditemui Konde.co

Hari itu, para Pekerja Rumah Tangga (PRT) bersama aktivis perempuan akan duduk di Fraksi Balkon DPR RI di Jakarta. Lita Anggraini sudah datang dari jam 8.30 WIB, sidang dimulai pada pukul 10.00 WIB, tapi ruangan DPR sudah penuh oleh pekerja-pekerja magang, akibatnya hanya 7 PRT dan aktivis yang bisa masuk.

Fraksi balkon mesti “diduduki” untuk menyampaikan suara PRT agar di carry over. Carry over merupakan proses pemindahan, jika di masa DPR sekarang RUU tak bisa disahkan, maka di masa selanjutnya bisa dipindahkan dengan waktu yang cepat dibandingkan RUU lain. Carry over pun gagal di hari itu.

Seharusnya setelah 20 tahun diperjuangkan dan sudah ada Peraturan Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dikeluarkan, RUU ini bisa disahkan. Namun, lagi-lagi gagal.

Baca juga: Film ‘Mengejar Mbak Puan’ Dirilis untuk Mengetuk Puan Maharani Sahkan RUU PPRT

Puluhan aktivis perempuan dan PRT yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT yang juga gagal masuk menjadi fraksi balkon juga tertahan di pintu samping DPR, mereka menunggu selama 2 jam dan tak bisa masuk juga. Disana akhirnya mereka melakukan aksi dan yel-yel minta carry over

“Carry over sekarang juga, carry over sekarang juga.”

Aida Milasari, aktivis dari Rumpun Tjoet Nya Dhien memimpin aksi di DPR. Awalnya mereka akan aksi di depan DPR, namun urung, mereka lebih memilih aksi di belakang DPR, toh para anggota DPR sedang sidang dan tidak akan mendengar suara mereka.

Ajeng, salah satu PRT menyatakan sangat kecewa karena ini merupakan kesempatan terakhir mereka dalam memperjuangkan PRT di DPR periode ini. Hari ini merupakan sidang paripurna terakhir dan mereka tak bisa bertemu pimpinan DPR untuk mendesakkan. Mereka hanya bisa menonton dari TV suasana sidang paripurna. Padahal kesempatan untuk meminta carry over hanya saat ini saja, karena besoknya, 1 Oktober 2024 sudah pelantikan anggota DPR yang baru. Nasib RUU ini harus ditentukan hari ini.

Yang terjadi, Ketua DPR RI, Puan Maharani menyatakan dalam sidang bahwa RUU PPRT bersama beberapa RUU lainnya akan masuk jadi RUU prioritas Prolegnas, artinya gagal untuk bisa carry over.

“Ini benar-benar mengecewakan kami, padahal kemarin kami sangat  berharap sudah bertemu pimpinan DPR, tapi seperti ini lagi kenyataannya,” kata Ajeng

Kira-kira 2 minggu sebelumnya, tanggal 19 September pimpinan DPR RI memang mengadakan Focus Group Discussion (FGD) yang isinya mendukung pengesahan, ini seperti membawa angin segar, paling tidak pimpinan sudah menggelar FGD. Para PRT kala itu sangat senang karena para pembicara di seminar seperti bertubi-tubi mendukung RUU PPRT. Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Hetifah Sjaifudian misalnya menyatakan urgensi RUU Perlindungan PRT segera disahkan menjadi UU.

Baca juga: Edisi Khusus Hari Perempuan Internasional: Puan Maharani Dalam Pusaran RUU PPRT

“RUU PPRT urgen sekali. Jangan biarkan PRT dalam kondisi rentan. Kita sdh diberikan jasa oleh PRT. Sudah saatnya kita membalas budi PRT. Harus ada perubahan kebijakan, dan ini tanggungjawab semua, tidak hanya perempuan. Kita harus hati-hati mengaturnya dalam kebijakan. Insya Allah carry over seperti pidato Ketua Baleg. Kedatangan aktivis perempuan penting untuk bekerja mendukung ini, persoalan PRT banyak, seperti tidak ada jam kerja, tidak ada libur. Jika nanti ada kebijakan, minta pada ibu-ibu dan pemberi kerja mengubah budaya. Harus ada informasi dan komunikasi kedua belah pihak. Segala sesuatu harus diatur secara berkeadilan untuk mencari kompromi bersama,” kata Hetifah.

Fraksi lain seperti fraksi Partai Amanat Nasional, Dessy Ratnasari juga hadir dalam FGD tersebut dan memberikan dukungan bersama para pimpinan DPR. Namun ditunggu hingga akhir masa jabatan, RUU PPRT tak bisa juga carry over.

Koalisi Sipil untuk UU PPRT menyatakan bahwa tanggal 30 September 2024 adalah hari kelabu bagi para Pekerja Rumah Tangga (PRT). RUU PPRT digagalkan kembali, tak bisa disahkan oleh Pimpinan DPR RI. RUU PPRT tidak dimasukkan dalam agenda rapat penutupan DPR RI.  Padahal sudah ada Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perlindungan PRT di meja pimpinan sejak Mei 2023 lalu.

RUU PPRT sedikit diselamatkan oleh surat dari Ketua Baleg DPR RI, kepada Ketua DPR yang menjadi Ketua Sidang Rapat Paripurna tanggal 30 September 2024. Surat Baleg tersebut meminta agar RUU PPRT menjadi RUU dilimpahkan (carry over), yang telah dikirimkan Ketua Baleg, sehari sebelum Rapat Paripurna. Ketua DPR terpaksa membacakan surat tersebut dan disetujui oleh peserta sidang.

“Koalisi Sipil sangat mengapresiasi inisiatif Ketua Baleg Bapak Wihadi Wiyanto dari Gerindra atas inisiatif penyelamatan RUU PPRT tersebut,” kata Lita Anggraini dari Jala PRT.

Baca juga: Pemerintah Selesai Bahas DIM, Pembahasan RUU PPRT Melaju ke DPR

Upaya penyelamatan RUU PPRT oleh Fraksi Partai Gerindra tersebut diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI, dari Partai Gerindra, Sufmi Dasco yang menyatakan bahwa RUU PPRT bersama RUU Penyitaan Aset dan RUU Hukum Adat menjadi RUU yang dilimpahkan ke DPR baru.

“Para PRT sangat berterima kasih kepada Bapak Dasco yang berinisiatif menyelenggarakan Focus Group Discussion/ FGD pada tanggal 3 dan 19 September 2024 sehingga mengembalikan RUU PPRT ke meja agenda diskusi di DPR setelah selama hampir dua tahun didiamkan Ketua DPR, RI” tambah Emmy Astuti dari Asppuk.

Sebanyak 60 orang anggota Koalisi Sipil dan PRT hadir di Gedung Nusantara 2 dalam Sidang Paripurna DPR RI, kemarin, tetapi hanya 8 orang yang berhasil masuk di balkon ruang sidang.

“Kami digeledah 5 kali. Ini keterlaluan. Sementara kawan-kawan terganjal di pintu masuk meskipun kami sudah menulis surat ke Biro Persidangan maupun kesekjenan. Demi marwah yang bagaimana? Ini arogansi Dewan, padahal dulu ramah dan akomodatif ke rakyat?,” keluh Endang Yuliastuti dari Institut Sarinah.

Sepanjang 20 tahun pengalaman beradvokasi RUU PPRT di DPR, baru lima tahun ini para PRT merasakan aturan yang super ketat dan menjauhkan akses PRT untuk berpartisipasi di DPR meskipun sebatas pemantau. Tata kelola DPR harusnya merakyat, tidak berjarak dengan rakyat yang diwakilinya. Marwah DPR harusnya ramah, fleksibel dan melayani.

Baca juga: Desak Pengesahan RUU PPRT, Masyarakat Sipil Akan Gelar Aksi Mogok Makan di Depan Gedung DPR

Harapan Koalisi kepada pimpinan dan para anggota DPR yang baru adalah agar para anggota DPR bergaya merakyat dan pro kerakyatan. Tanggap pada aspirasi rakyat kecil dan bersikap negarawan.

“Bu Puan berjanji untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Kami meminta dibuktikan segera, yaitu komitmen politik yang memihak RUU PPRT yang merupakan bentuk perlindungan negara kepada para permepuan miskin kepala keluarga, yaitu PRT,” kata Ajeng Astuti, salah satu PRT dari SPRT Sapulidi.

Pengalaman hari ini begitu mengecewakan para PRT. Perjuangan keras dan lama dimentahkan kembali oleh Ketua DPR dan mendapat perlakuan tidak ramah dari pamdal. Perasaan sakit dan nelangsa tersebut menjadikan mereka menangis bersama di DPR. Bahkan malamnya Direktur Isntitut Sarinah Endang Yuliastuti mengeluh sakit perut akibat jengkel, judeg, jengah dan stress. Para PRT tentu juga mengalami sakit yang lebih menyakitkan.

“Kami dikalahkan karena kelas kami, meski jumlah kami jutaan tetapi keluasan DPR kan dari kami, rakyat miskin. Mengapa tidak amanah?,” kata Aprillia dari LBH Apik Jakarta.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!