Lewat keterampilan Ryan Adriandhy, film animasi berjudul Jumbo menjadi ruang bagi keberagaman yang jarang disorot. Ia menyuguhkan sentuhan magis dan imajinasi, serta mengajak kita berani untuk melawan ketidakadilan.
Apakah target Jumbo adalah anak-anak? Iya.
Ataukah targetnya orang dewasa berjiwa anak-anak? Iya juga!
Sebagaimana Wild Robot, Coraline, dan Inside Out dengan plot yang matang, Jumbo jadi alasan untuk saya tahun ini kembali menyisihkan waktu menikmati film animasi. Juga, jadi upaya esensial mendestigmatisasi animasi atau kartun yang selama ini dipandang hanya untuk anak-anak.
Jumbo adalah seorang anak dengan karakter semenjana dari keluarga yang ceritanya biasa-biasa saja. Namun, Jumbo dapat tampil secara mewah dengan sentuhan fantasi yang magis. Ia tetap berpesan sederhana agar anak-anak yang tumbuh tanpa orang tua atau dengan orang tua tak sedarah tetap menaruh harapan atas hidup yang purnawarna.
Baca Juga: The Lord of The Rings: The War of the Rohirrim, Cerita Perempuan Keluar Dari Lingkaran Patriarki Kerajaan
Keragaman warna itu tidak hanya terletak dalam serbuk-serbuk magis yang ditampilkan Meri. Tetapi juga lewat penggambaran tokoh-tokoh, baik utama maupun pemanis yang beragam (seperti Kakak Panitia yang nireskrpresi). Jumbo memunculkan orang dengan disabilitas daksa, anak yang besar di panti asuhan, orang bertangan kidal, anak yang harus menanggung beban ekonomi sejak kecil, sampai penduduk yang terancam dan bahkan jadi korban pembangunan yang tidak berkeadilan oleh pengusaha atau penguasa.
Jumbo menjadi surat cinta, bahwa mereka, kita semua, entah dari latar belakang sosioekonomi yang sering kali dipinggirkan dari narasi dominan pun, layak untuk direpresentasikan dalam layar sinema.
Animasi debut feature Ryan Adriandhy ini menjadi sebuah pengingat juga kepada pembuat cerita, bahwa hidup tidaklah hitam-putih, tetapi merupa sebuah dinamika tanpa henti. Bahwa si jahat tidak lahir sebagai penjahat atau akan selamanya menyakiti, dan yang awalnya digambarkan baik tidak akan selalu mengasihi.
Bahwa orang yang digambarkan antagonis layaknya Atta dan Roesli, Kepala Desa Kampung Seruni, juga dapat berwujud sebagai manusia biasa yang terluka. Ia tak cukup mampu menunjukkan kerentanannya untuk sembuh, sebagaimana diucap Acil, dan malahan melampiaskan amarah atau sakit hatinya pada orang lain.
“Kalau marah jangan jahatin orang lain, tapi cerita sama Abang,” ucap Acil pada adiknya, Atta.
Baca Juga: K-Power: ‘Squid Game S2’ dan Suksesnya Pemasaran Budaya Korea Selatan
Atau, bahwa si lugu layaknya Don juga dapat tergelincir dalam kerakusan setelah menerima kebanggaan tersendiri. Kekuasaan yang tak melulu berbentuk uang atau jabatan, tapi kemenangan dalam perlombaan.
Dinamika karakter yang ditunjukkan dalam film Jumbo tak ubahnya membuat kita turut bersimpati pada setiap karakter utama yang muncul. Mereka tidak berperilaku demikian tanpa alasan. Tetapi ada benturan-benturan hidup yang membentuk karakter lewat proses yang lama, panjang, atau penuh luka.
Dinamika ini juga saya temukan dari bagaimana Don tidak sepenuhnya digambarkan menyenangkan bahkan pada tiga bagian awal film. Ia memang patuh kepada Oma dan tidak mengejek orang lain. Namun selapis demi selapis narasi menunjukkan bahwa Don bukan teman yang menyenangkan.
Don terus mengulangi kisah yang sama, tak mendengarkan keluhan temannya yang bosan dengan ceritanya. Ia mencari validasi dari kawanan yang tak menghargainya, hendak membantu karena ada maunya saja. Sampai yang bikin saya turut kesal adalah janji yang tak kunjung ditepati. Namun, perkembangan karakter dari konflik ke konflik menyajikan kelegaan pada hati penonton.
Apakah Maesaroh adalah wujud perlawanan terhadap narasi bahwa perempuan tidak dapat memimpin? Mungkin, dan saya ingin percaya akan itu. Mae, dengan tampilan perempuan yang selalu dikuncir setengah, berkemeja kotak-kotak, dan selalu bersepatu di antara laki-laki yang selalu bersandal, memberikannya ruang menggugah tersendiri.
Tanpa Mae, bisa saja Don dan Nurman lupa dengan rencana-rencana awal karena distraksi di sekitar mereka. “Disiplin dan ikutin Maesaroh!” tegasnya. “Hidup Mae!” pikir saya.
Sang anak perempuan staf penata kostum dan musik dalam geng Jumbo ini nggak cuma keras soal aturan dan rencana, logis, serta simpatik, tetapi juga lantang soal otoritas tubuh. Tergambar dari rangkaian adegan percakapan setelah Nurman hendak menyentuh Meri yang, katanya, bersinar.
“Nurman ngapain? Izin dulu. Main pegang-pegang aja!” tegas Mae.
Baca Juga: Tahun Baru Anti Horor, 5 Film Perempuan Ini Tayang di Januari 2025
Dari aspek scoring, saya rasa semua setuju bagaimana lagu Selalu Ada di Nadimu memberi kesan yang luar biasa. Dan, setiap dinyanyikan, nada dan penggalan liriknya akan lama terngiang seturut dengan air mata yang mengucur keluar.
Selalu Ada di Nadimu memberikan afirmasi untuk kita yang masih sedang berjuang dan bergulat dengan kehidupan, secara personal juga menyentuh orang-orang yang baru memasuki fase dewasa. Mereka yang anyar berkenalan dengan getir, goncangan hebat, dan kerasnya dunia.
Di luar visual dan twist manis yang digambarkan lewat kucing jalanan, sap sap sap, serta berbagai kemungkinan mengapa Meri memilih Don sebagai orang yang dapat membantunya, Jumbo mengajak kita untuk berefleksi.
Ada gelembung yang sudah diletuskan oleh Don, tergambar dari dirinya yang merelakan buku Pulau Gelembung disobek secara bermakna. Bahwa kesatria tidak harus hanya ada satu dalam setiap cerita, tetapi dapat banyak dan berlipat ganda. Ia pun punya kekuatan dan kekuasaan untuk menulis kembali narasi dalam buku cerita itu.
Ada Don yang mengklaim ulang nama “Jumbo” yang awalnya tidak disukainya. Ia menciptakan narasi-narasi baru yang menandingi Jumbo lawas yang lamban dan tidak terampil dalam bermain kasti. Jumbo itu sudah tergantikan oleh dirinya yang kini berdaya. Dan citra tandingan itu terus diamplifikasi dirinya lewat belajar mendengarkan untuk berbicara dan belajar memaknai untuk sepenuhnya melihat.
Baca Juga: ‘Necro-Branding’: Saat Citra Mendiang Legendaris Jadi Objek Cuan
Juga ada Kepala Desa Roesli yang terkesan baik di kepala Acil dengan terus memperhatikannya lewat pemberian obat atau perawatan. Tetapi tidak pernah mendanai penyembuhannya walau mampu. Menunjukkan bagaimana penguasa selama ini hanya berkutat pada solusi yang instan, atau malahan mereka dengan sengaja tak ingin warganya merdeka tanpa ketergantungan pada bantuan?
Di tengah banjirnya apresiasi terhadap Jumbo, saya juga menemui berbagai kritik tentang karakter hantu dan penetapan kategori “semua umur” untuk animasi yang menampilkan kekerasan. Menurut saya, ada baiknya jika film ini ditonton anak dengan bimbingan orang dewasa. Sebab tampilan mendiang ayah-ibu Meri yang menyeramkan dan dirantai, juga mencekamnya rangkaian adegan di dalam hutan. Selain itu, anak-anak juga dapat dilibatkan dalam pembuatan animasi yang mengandung kisah anak seperti Jumbo. Ini agar mereka dapat diikutsertakan dengan hormat tidak hanya lewat representasi tokoh, tetapi juga gagasannya.
Walau begitu, saya menilai karakter makhluk hantu yang kontroversial tidak seharusnya dipermasalahkan. Sebab, penggambaran makhluk selain manusia yang sejatinya perlu dihargai keberadaannya oleh manusia memberikan pesan bahwa mereka tidaklah selalu menyeramkan dan menyakiti.
Bisa saja, hantu-hantu ini dapat diinterpretasikan sebagai wujud dari mimpi yang belum tuntas dan harapan dari manusia yang mengalami kehilangan.
Baca Juga: ‘Cool Girl’, Kebebasan atau Jebakan? Ketika ‘Perempuan Keren’ Lahir dari Stereotipe Patriarki
Premis Jumbo adalah segerombolan anak muda melakukan perlawanan terhadap penggusuran lahan oleh penguasa yang membalaskan dendam setelah kehilangan istrinya. Tak ubahnya membuat saya tersenyum tipis sesudah film mencapai kredit. Betapa indahnya perlawanan, dapat merupa manis lewat seni.
Di tengah maraknya penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan ilustrasi instan, Jumbo datang pada momentum yang tepat. Membuktikan bahwa karya-karya visual yang dibuat dengan hatilah yang sejatinya dapat kita nikmati secara menyeluruh. Film animasi ini juga berhasil menggerakan ilustrator lokal untuk membuat fan art dengan kekhasan gambar masing-masing. Ia membukakan mata kita bahwa negara kita punya potensi dari keterampilan yang dimiliki. Yang semoga juga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah, terlebih Kemenkomdigi, secara optimal, alih-alih terus-terusan menggunakan video hasil generator AI untuk iklan masyarakat.
Jumbo adalah film animasi produksi Visinema Studios bersama Springboard dan Anami Films berdurasi 1 jam 42 menit yang disutradarai oleh Ryan Adriandhy serta digadang melibatkan lebih dari 420 kreator. Animasi ini diisi suara oleh Prince Poetiray, Quinn Salman, Bunga Citra Lestari, Kiki Narendra, Cinta Laura Kiehl, Ariel “Noah”, dan Angga Yunanda. Pada hari kelima belas penayangannya di bioskop, Jumbo telah ditonton lebih dari 3,5 juta kali, menjadikannya film animasi terlaris produksi Asia Tenggara yang menggeser posisi Mechamato Movie (2022).
Editor: Luviana Ariyanti
(sumber foto: Visinema)