Lorong-lorong PKL di Teras Malioboro Beskalan yang sepi pengunjung, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)

Kisah PKL Malioboro: Digusur Dua Kali, Diimpikan ‘Naik Kelas’, Lapak Malah Sepi

Para pedagang kaki lima (PKL) digusur dua kali di Malioboro, Yogyakarta. Dijanjikan 'naik kelas', kini lapak mereka justru makin sepi.

Relokasi paksa para pedagang kaki lima (PKL) dari Teras Malioboro 2 (TM 2) ke Teras Malioboro Beskalan (TM Beskalan) pada Januari 2025 nyatanya tak mengubah apa-apa. Saya menyambangi TM Beskalan pada Jumat (21/2/2025) siang. Tiga bulan sejak pindah lokasi, pemandangan lapak-lapak para pedagang di TM Beskalan masih sunyi senyap. Tak ada pengunjung lalu-lalang untuk menawar, membeli, atau sekadar bertanya dan melihat-lihat. Kontan pedagang pun kian enggan menggelar barang dagangan mereka karena tak laku.

Kebanyakan lapak pun diselimuti kain-kain gelap. Sementara si empunya lapak memilih untuk tinggal di rumah. Tersisa 1-2 pedagang di setiap lorong yang bertahan hadir dalam kesepian. Mereka adalah yang punya sisa harapan untuk bisa membawa pulang Rupiah ke rumah—meskipun itu ibarat mimpi siang bolong.

Lorong-lorong PKL di Teras Malioboro Beskalan yang sepi pengunjung, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)
Lorong-lorong PKL di Teras Malioboro Beskalan yang sepi pengunjung, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)

Termasuk S, 40 tahun, yang terpaksa berjualan karena ia bekerja di lapak orang lain. Siang itu, ia melambaikan tangan ke arah saya untuk menunjukkan lorong sepi tempat lapaknya berada. Benarlah, tempat jualannya adalah salah satu dari sedikit yang buka di antara kebanyakan lapak lain berselimut hitam.

“Saya kan, karyawan teladan, meskipun di sini temennya dhemit (karena tidak ada pedagang lain di kiri-kanan selain dirinya). Besok dapat THR,” canda S dengan nada satire, lalu tertawa. 

Beruntung; siang itu, selain S, saya juga bertemu beberapa perempuan pedagang kaki lima lainnya di TM Beskalan. Mereka tengah meriung (berkumpul). Duduk di atas dingklik (bangku kayu yang rendah), dengan punggung bersandar pada tiang-tiang besi, mereka menghabiskan hari dengan bercerita. Entah cerita apa saja yang bisa membunuh waktu. Mereka datang sebelum atau setelah Dhuhur, dan beranjak pulang selepas Maghrib.

Pertanyaan yang mengusik benak saya pun terlontar: kenapa TM Beskalan begitu sepi pengunjung?

Baca Juga: “Kami Tidak Akan Angkat Kaki,” Perempuan Adat Melawan Penggusuran PT Krisrama

Salah satu penyebab pengunjung tak datang di TM Beskalan, menurut mereka, karena tak ada akses pengunjung yang langsung ke sana. Satu-satunya akses adalah melalui TM 1 yang persis bersebelahan di sisi selatan TM Beskalan. Posisinya berseberangan dengan Pasar Beringharjo.

Area TM 1 adalah bekas bioskop lawas ‘Indra’, bioskop pertama di Yogyakarta yang didirikan pada 1917. Sejak Februari 2022, TM 1 disulap menjadi lokasi baru bagi sebagian PKL yang semula mangkal di selasar Malioboro. Sebagian lagi ditempatkan sementara di TM 2 yang merupakan bekas Kantor Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lokasinya diapit Hotel Inna Garuda dan Gedung DPRD DIY.

Setelah digusur dari Selasar Malioboro, pada Januari 2025, PKL dari TM 2 digusur lagi. Sekitar 600 PKL dipindahkan ke TM Ketandan di Kampung Pecinan. Sedangkan sekitar 300 orang lainnya direlokasi ke TM Beskalan.

Seorang pengemudi becak motor yang mangkal di depan pintu gerbang TM 1 menunjukkan jalan ke TM Beskalan kepada saya. Jawabannya sama: lewat TM 1. Lokasi TM 1 terbilang cukup strategis karena pintu masuknya langsung dari Jalan Malioboro. Dua tulisan besar ‘Teras Malioboro 1’ dan ‘Teras Malioboro’ masing-masing terpampang di atap 2 bekas toko kosong yang mengapit jalan masuk ke TM 1.

Suasana ramai di sana. Pengunjung yang pilah-pilih aneka produk fesyen, seperti baju, celana, gelang, kalung, topi, sandal, dan banyak lagi. Belum lagi yang duduk meriung untuk menikmati sajian food court. Bak siang dan malam apabila dibandingkan dengan suasana di TM Beskalan.

Sementara itu, jalan menuju TM Beskalan melalui gang kecil di ujung TM 1 yang berbelok ke utara. Pengunjung dipertemukan dengan ruang terbuka luas yang berfungsi sebagai amphitheatre. Tempat duduknya berupa anak-anak tangga menuju lantai 2 dari TM Beskalan. Amphitheatre itu sekaligus pemisah antara TM 1 dengan TM Beskalan.

Baca Juga: #PerempuHAM: Kisah Bong Suwung Lawan Penggusuran, Pertaruhan Hak Perempuan Pekerja Seks

Sebenarnya ada lagi jalan menuju TM Beskalan yang lebih lebar. Namun, akses masuknya dari Jalan Beskalan yang biasa dilalui untuk menuju Ramai Mall Malioboro. Pintu masuk itu mengarahkan pengunjung ke lahan parkir yang cukup luas untuk kendaraan pengunjung TM Beskalan.

Calon pintu masuk ke Teras Malioboro Beskalan dari samping Ramai Mall, Yogyakarta, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)
Calon pintu masuk ke Teras Malioboro Beskalan dari samping Ramai Mall, Yogyakarta, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)

Persoalannya, belum ada kepastian mengenai waktu pintu masuk itu akan dapat digunakan. Saat saya berkunjung ke sana, jalanan berupa paving block itu masih dibenahi. Beberapa pekerja tengah melakukan pengecatan.

Pintu akses itu juga dinilai tersembunyi dari arus besar hilir mudik pengunjung Malioboro. Meski pengunjung hilir-mudik di Taman Malioboro, tak banyak yang tahu lokasi TM Beskalan. Pun ketika pengunjung masuk melewati TM 1, mereka bukan sengaja menuju ke TM Beskalan—biasanya karena kesasar.

“Pengunjung kalau ke sini itu hanya dua alasan. Kesasar, lalu tanya jalan keluar. Atau tanya letak toilet di mana,” ungkap V, 61 tahun, dengan getir.

Bahkan ada juga wacana dari Pemda DIY dan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menjebol bangunan musala di TM 1. Tujuannya untuk memudahkan akses ke TM Beskalan. Harapannya, saat pengunjung masuk ke TM 1, mereka juga bisa langsung ke TM Beskalan.

“Mungkin kami hanya dikasih harapan-harapan,” keluh V.

Baca Juga: Kenapa Bandung Tak Seromantis Itu: ‘Minim Fasilitas Publik Ramah Gender sampai Isu Pelanggaran HAM’
Lorong-lorong PKL di Teras Malioboro Beskalan yang sepi pengunjung, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)
Lorong-lorong PKL di Teras Malioboro Beskalan yang sepi pengunjung, 21 Februari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)

Para pedagang di TM Beskalan punya keinginan besar untuk dibuatkan jalan masuk langsung dari Jalan Malioboro, seperti akses masuk di TM Ketandan. Selain lewat gerbang dari Jalan Ketandan, juga melalui bangunan bekas Toko Makmur Jaya yang dibeli Pemda untuk dijadikan akses masuk langsung dari Jalan Malioboro.

“Pengen kami seperti itu,” kata V.

Itu pun tak mudah. Jika itu diterapkan di TM Beskalan, maka perlu kepastian juga mengenai izin pemda agar bisa membeli bangunan toko di area depannya.

Bahkan V sempat dibuat kesal. Sebab usai pedagang mengusulkan akses itu, mereka justru diminta pihak pemda untuk memberikan informasi kalau ada toko yang mau dijual. Sebutnya, supaya nanti dibuatkan akses jalan.

“Masa’, PKL yang ngurusin cari-cari toko yang dijual? Lah, kemarin-kemarin gimana, bangun ini gimana pemikirannya? Kok baru sekarang cari toko yang mau dijual.”

Mereka juga mengeluhkan desain lapak yang disediakan pengelola. Tiap lapak dilengkapi meja sekaligus lemari. Bagi pedagang, keberadaan meja-meja itu justru mempersempit ruang untuk memajang barang dagangan yang biasa digantung. Belum lagi ukuran tiap lapak hanya 1 meter x 1 meter.

“Seharusnya display terserah kami. Tapi sudah dikasih meja. Itu yang bikin, aduh, mau diapain,” imbuh T, 49 tahun, yang menjual beragam pakaian motif batik.

Kehadiran meja itu sekaligus menggusur tempat duduk pedagang. Apabila duduk di depan dagangan akan menutupi barang-barang yang mereka pajang. “Kan pegel juga. Sekarang mau rebahan nggak bisa, mau duduk bingung juga di mana,” keluh V.

Sementara bangunan di TM Ketandan, yang tampak ‘wah’ karena didesain dengan aksen Kampung Pecinan, ternyata juga menyisakan duka. Saat masuk ke area tersebut, keramaian pengunjung tak merata; hanya di lantai satu dan area food court. Lantai dua pun sepi.

Seperti Diracun, Tapi Tak Mati

V berjualan di Malioboro usai menikah. Ia ikut mengelola lapak dari mertuanya yang mulai berjualan di selasar Malioboro sejak 1960-an. Mertuanya menjual pigura dan poster, seperti gambar Presiden Soeharto dan wakilnya di depan Kepatihan, sebutan Kantor Gubernur DIY.

“Anaknya enam. Semuanya di Malioboro. Semuanya (korban penggusuran) dari TM 2,” kata V.

Saat masih berdagang di Selasar Malioboro, V dan suaminya mengelola lima lapak. Kini tinggal dua lapak karena sisanya diberikan kepada saudaranya. Sehari-hari, ia membuka lapak pukul 9 pagi. Ketika masa liburan tiba, ia berangkat ke Malioboro setelah Subuh. Isi tas pun cepat dipenuhi Rupiah. Lantaran laku, tak terasa ia bisa pulang jam dua malam.

“Sampai rumah ngantuk-ngantuk, nggak sempat hitung duit,” kenang V.

Usai dihitung, V bisa pulang membawa uang hingga Rp5-6 juta per hari saat liburan. Paling kecil Rp 1 juta. Dengan penghasilan itu, ia bisa belanja barang dagangan (kualakan) beberapa kali dalam sehari.

Juga dengan uang itulah, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya, memberi uang saku, dan menabung.

Baca Juga: ‘Tertindas Nasib’ Ceritaku Datangi Kehidupan Kolong Jembatan di Semarang
Gerbang eks area PKL di Teras Malioboro 2, Yogyakarta, 28 Januari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)
Gerbang eks area PKL di Teras Malioboro 2, Yogyakarta, 28 Januari 2025. (Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)

Per 1 Februari 2022, semua pedagang di selasar direlokasi di dua tempat, TM 1 dan TM 2. Kawasan pejalan kaki itu dikosongkan untuk mendukung rencana Pemerintah DIY menjadikan sumbu filosofis Yogyakarta sebagai warisan budaya versi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Seolah tak ada pilihan lain, ribuan PKL itu mesti patuh. Berdasarkan undian, lapak V menempati TM 2 di posisi agak belakang. Kebanyakan pengunjung memenuhi lapak-lapak di sisi depan. Saban hari, ia hanya bisa berharap pengunjung di lapak depan meluber ke belakang. Harapan itu baru terpenuhi 1-2 pekan sejak pindah di sana.

“Nunggu (pengunjung) mbludak ke belakang. Alhamdulillah, penglaris saja kami sudah senang,” kata V.

Tiga tahun berjalan, para pedagang di TM 2 memprediksi kondisi akan normal kembali, selayaknya ketika mereka berjualan di selasar. Namun, ketika kondisi belum normal betul, mereka sudah dioprak-oprak pindah lagi dan mendapat tempat di TM Beskalan.

Alasan Pemda DIY, di lokasi bekas TM 2 akan dibangun Jogja Planning Gallery (JPG). Ini diklaim menjadi ikon wisata edukasi baru di Malioboro. Konsepnya seperti museum modern tentang gambaran penataan Yogyakarta masa lalu, saat ini, dan masa depan.

Lagi-lagi, para pedagang tak diajak rembugan oleh pemerintah terkait rencana relokasi ke TM Beskalan. Tahu-tahu per 1 Januari 2025 mereka sudah harus pindah lagi.

“Kalau masih ada yang jualan, disemprot pakai air. Suruh pindah,” ungkap V.

Para pedagang sempat meminta keringanan penundaan relokasi usai Lebaran Idulfitri pada April 2025. Biar mereka bisa mengumpulkan rupiah untuk bekal Lebaran.

“Apalagi proyeknya (TM Beskalan) kan belum selesai. Kami minta sedikit waktu sampai setelah Lebaran. Biar bisa merasakan panen,” tutur T.

Baca Juga: Minim Sosialisasi, Masyarakat Pulau Rempang Tolak Penggusuran

Namun permintaan itu tak digubris. Alasannya, proyek pembangunan di lokasi bekas TM 2 itu akan dimulai. Lahan bekas TM 2 yang kini sudah ditutup seng juga belum menunjukkan tanda-tanda proyek pembangunan.

Setiba di lokasi TM Beskalan pun, mereka harus segera men-display lapak, memajang barang dagangan masing-masing. Mereka diultimatum, per tanggal 25 Januari 2025 harus sudah buka lapak.

“Kalau tidak, nanti kena SP (surat peringatan). Kalau nggak jualan, lapaknya akan diminta. Kan takut,” ungkap V.

Ia masih ingat pada awal kepindahan, meski barang jualan sudah dipajang, pengunjung tak juga datang. Sebab pintu utama langsung ke TM Beskalan belum ada. Kawasan di area calon pintu masuk di seberang Ramai Mall itu masih kotor. Pun banyak pengunjung Malioboro tak tahu ada area PKL di sana.

Blasss (tak ada pendapatan). Dari tanggal 25 (Januari 2025) sampai sekarang belum lihat uang merah (seratus ribu rupiah),” aku dia.

Tiga cucunya pun terpaksa tak lagi mendapat uang saku darinya. Sementara ibu mereka yang berjualan di TM Ketandan juga belum laku dagangannya. Untuk menekan pengeluaran, V membawa bekal nasi setiap kali ke TM Beskalan. Ia meminta uang saku kepada suaminya yang bekerja serabutan untuk sekadar membeli segelas es teh.

“Sampai bingung. Kalau di rumah mau ngapain, di sini juga ngapain. Kayak buah simalakama, maju mundur hancur semua.”

Baca Juga: Aktivis: Pembangunan Eco City Rempang Tak Berperspektif HAM

Hampir tiga bulan, hanya satu barang dagangan V yang laku. Sebuah tas seharga Rp35 ribu. Dan uang itu pun cepat ludes karena cucunya datang minta uang saku. “Sisa lima ribu buat beli minum,” kenang V.

Sementara itu, kisah I, 36 tahun, lebih miris lagi. Ia bekerja di lapak miik orang lain di TM Beskalan. Anaknya dua orang, kelas 6 SD dan TK. Ia menghidupi sendiri kedua anaknya karena suaminya meninggal dunia. Saban pulang dari lapak, kedua anaknya merengek minta uang jajan.

“Kalau lapar jangan jajan, makan aja nasi,” pesan I kepada kedua anaknya.

Suatu hari, dagangan berupa tas dan asesoris laku Rp220 ribu. Uang pun disetor kepada juragannya dan dia mendapat upah Rp100 ribu. Uang itu langsung ludes untuk membeli beras dan keperluan anak. Lantaran tak cukup untuk sebulan, terpaksa I minta kiriman uang dari ayahnya di kampung. 

“Bapak saya bilang, kalau kamu nggak bisa (hidup) di sana (Yogyakarta), balik aja ke sini (rumah), Nak. Ya Pak, saya bertahan dulu di sini, saya bilang,” tutur I menahan tangis. Pulang kampung menjadi pilihan terakhirnya.

Ekonomi yang morat-marit tak hanya membuat kebutuhan sehari-hari para pedagang di TM Beskalan tak tercukupi. Seperti efek domino, lainnya pun terdampak.

Baca Juga: Isu Perubahan Iklim Itu Bukan Cuma Mengganti Sedotan Plastik Dan Tas Belanja

Ketua Paguyuban PKL Malioboro Tri Dharma yang baru dipilih 2023 lalu, Supriyati, 42 tahun, juga seorang single parent yang harus menghidupi empat orang anak. Tiga anak sedang kuliah, satu orang hendak lulus SMA. Akhirnya, ketiga anaknya membantunya bekerja. Yang sulung ikut menjaga lapak di TM Beskalan. Dua lainnya bekerja di toko temannya.

Lantaran anak-anak butuh pemasukan untuk uang saku, bayar UKT, bayar KRS, tugas kuliah, dan banyak lagi, Upik, panggilan akrabnya, pun mencari penghasilan lain. Ia membuat nasi kucing dan menyetorkan ke sejumlah angkringan atau pun koperasi.

“Akhirnya buat bayar sekolah anak bukan gali lubang tutup lubang. Tapi gali lubang terus sampai nggak ada lagi yang bisa digali,” suara Upik dari seberang telepon terdengar parau. Ia tengah sakit, sehingga saya tak bisa menemuinya. Juga menahan tangis.

Di tengah jatuh bangun karena sakit, Upik merasa harus tampak kuat. Tak hanya berusaha tetap tegar di depan anak-anaknya, tetapi juga di hadapan para pedagang lain yang dipimpinnya. Apalagi hampir setengah lebih anggotanya adalah perempuan, juga banyak yang lanjut usia.

“Kalau di grup WA banyak yang komen. Zonk, zonk, endoge durung netes (telurnya belum menetas). Kalau saya ikut ngeluh kan tambah kasihan. Saya hanya bisa menyemangati, ayo buka usaha di lain tempat. Ya, modalnya nggak ada, kata mereka. Saya sampai mau melangkah gimana, juga bingung,” tutur Upik. Ia sendiri, sejak berjualan di TM Beskalan pada 14 Januari 2025, baru dapat penglaris Rp50 ribu dari sepasang sandal selop.

Baca Juga: Mendapat Predikat Kota Peduli HAM, Mengapa Pemkot Bandung Tetap Lakukan Penggusuran Paksa?

Sementara T, harus memupus impiannya untuk bisa melihat anak-anaknya pakai toga saat wisuda kelulusan kuliah. Sebab, anak sulungnya putus kuliah. Kondisi itu justru sudah dialami usai digusur dari selasar ke TM 2.

“Karena saat di TM 2 nggak semua laris. Banyak juga yang blong (tidak laku),” ungkap dia.

Kondisi keuangan T yang tak pasti, membuat si sulung cuti sekolah. Selanjutnya tak bisa meneruskan.

“Padahal semester akhir. Sekarang nggojek (pengemudi ojol),” buru-buru T menyeka air mata di pelupuknya yang mau tumpah dengan ujung jilbab.

Anak keduanya yang sudah lulus SMA juga menyatakan tak mau kuliah karena melihat kondisi ibunya. Dia memilih untuk bekerja. Sedangkan anak ketiganya masih duduk di bangku SD.

Tak hanya pedagang di lapak, barang grosiran pun ikutan tak laku karena tak ada pedagang yang kulakan. Saat di selasar, V biasa belanja barang hingga diantar pakai becak karena dalam jumlah banyak. Di TM 2, kulakan dompet cuma berani satu kodi.

“Sekarang, kalau pedagang punya uang dikit, nggak lagi buat kulakan, tapi buat pegangan. Apalagi ini mau Lebaran,” kata V.

Baca Juga: Ratu-Ratu Nusantara, Buktikan Kiprah Perempuan di Ruang Publik Bukan Mitos

Produsen-produsen bakpia pinggiran yang dijual para PKL juga tak berproduksi maksimal. Sebab lapak sepi, sehingga pedagang tak kulakan. Sementara oleh-oleh semacam bakpia harus segera dikonsumsi, masa kadaluarsa tak tahan lama.

“Ibarat kami ini diracun, tapi nggak mati. Jadi dibunuh pelan-pelan,” nada V kian getir.

Mereka minta agar pihak pemda datang ke TM Beskalan untuk berdialog dengan mereka dan melihat kondisi mereka. Juga mendengarkan uneg-uneg dan harapan mereka.

“Kalau mau bantu, ya kasihlah jadup (jaminan hidup) selama akses belum ada. Biaya hidup satu hari satu orang berapa. Seharusnya pemerintah mikir sampai segitu. Nggak cuma nggusur. Kalau mau nggusur kan, apa-apa harus dipikirkan,” ucap T gamblang.

Selain jadup, Upik juga mengusulkan agar para pedagang yang tak laku dagangannya diperbolehkan untuk berjualan kembali di selasar tiap Sabtu dan Minggu, atau Sabtu saja. Seperti pasar Sunmor (Sunday Morning) di Kota Yogyakarta yang cuma satu kali sepekan. Kebijakan itu, jika diberikan, akan membantu ratusan pedagang yang masih terkatung-katung di tempat baru. Hasil jualan sekali atau dua kali sepekan itu bisa untuk menghidupi selama enam hari.

“Kalau kami direlokasi disebut naik kelas, apa jaminannya? Penghasilan malah anjlog sejak di TM 2. Berapa ribu jiwa terdampak dari relokasi PKL Malioboro? Itu yang tak terpikirkan pemerintah,” tegas Upik.

Lagi-lagi Digusur Lagi

Keberadaan Malioboro sangat melekat dalam kehidupan ayah dan ibu Upik, pun hingga anak-anaknya lahir. Bagaimana tidak. Ayahnya mulai berjualan di sana sejak 1965-an. Masa itu, para pedagang boleh berpindah lokasi yang dinilai ramai. Ayah Upik pernah berjualan di dekat rel kereta api Stasiun Tugu. Namun sejak para pedagang dihimpun dalam paguyuban sejak 1990-an, mereka tak boleh nomaden lagi. Ayah Upik memilih untuk menetap di depan Kantor Gubernur Yogyakarta.

Setelah lahir pada 1983, Upik sudah sering diajak serta ayah ibunya berjualan di Malioboro. Pun hingga duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah dasar. Sepulang sekolah, ia menyusul ke lapak. Tidur beralaskan tumpukan kardus yang dilipat ibunya. Sore hari, menumpang mandi di Masjid Kepatihan.

Masa SMP, saat teman-temannya bermain sepulang sekolah, Upik memilih untuk membantu orang tuanya berjualan di Malioboro. Dan ketika sekolah libur, ia membantu ayah ibunya berjualan sejak pagi.

“Kalau dibilang Malioboro adalah mata pencahariaan, bagi saya itu rumah kedua,” tutur Upik.

Baca Juga: Pemberdayaan atau Penyelesaian Masalah Struktural? Wacana Gender di Tengah Gejolak Sosial

Dari berjualan sebagai PKL di Malioboro pula, orang tuanya mampu menyekolahkan Upik, kakak dan adiknya hingga lulus SMA. Meskipun modal awal orang tuanya secara mandiri lewat utang bank. Tanpa ada bantuan pemerintah sepeser pun. Sebuah langkah yang ingin diikuti dan diwujudkan Upik terhadap keempat anaknya, hidup mandiri.

Setelah menikah, Upik sempat berdagang kuliner di Malioboro sisi barat. Sejak itu, tantangan dan tentangan datang silih berganti. Ia sempat digusur ke sisi timur Pasar Beringharjo. Saat perekonomiannya membaik, Upik bisa pindah ke sisi barat lagi.

“Alhamdulillah, bisa jualan sandal, pakaian, dan tas,” ucap Upik yang mengelola lapak orang tuanya.

Isu pedagang di selasar Malioboro akan direlokasi pernah didengarnya pada 2017. Ia dan ayahnya pernah diundang dalam sebuah acara yang dihadiri Gubernur DIY sekaligus Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono X.

“Saya masih ingat, Sultan menyatakan tidak akan memindah PKL. Tapi gimana membuat PKL masih ada. Nanti gerobaknya disimpan di ruang bawah tanah, terus dinaikkan. Pembicaraannya seperti itu,” papar dia mengingat acara yang diikuti dari siang sampai sore itu.

Yang disampaikan Sultan masih seiring dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kakilima Kawasan Khusus Malioboro – A. Yani. Sebutan “Malioboro dan A. Yani” adalah nama jalan yang membentang dari pertigaan rel kereta api Stasiun Tugu hingga Titik Nol Kilometer.

Jalan Malioboro mulai dari rel kereta hingga perempatan Toko Batik Terang, sedangkan Jalan A. Yani dari perempatan itu hingga Titik Nol Kilometer. Perwal tertanggal 29 April 2010 itu ditandatangani walikota masa itu, Herry Zudianto.

Isu penggusuran pun tenggelam disapu pandemi Covid-19 sejak 2020. Pandemi juga membuat Upik banting setir karena tidak boleh jualan di Malioboro. Dua tahun, ia jualan telur keliling dengan mendatangi orang-orang.

Baca Juga: Kamila Andini: Film adalah Subjek yang Menggerakkan Hidup Saya Sebagai Perempuan

Lantaran tuntutan ekonomi pula, Upik sempat petak umpet dengan aparat Polisi Pamong Praja (Pol PP) untuk bisa berjualan di Malioboro. Mengingat ada empat anak yang harus dihidupinya seorang diri usai suaminya meninggal dunia pada 2014.

Saat pandemi belum benar-benar pergi, isu relokasi itu muncul lagi. Menyusul keluarnya Surat Edaran Gubernur DIY Nomor 3/SE/I/2022 tentang Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo.

Nama “Margo Mulyo”, dulunya adalah “Jalan Ahmad Yani” yang diganti Pemerintah Kota Yogyakarta sejak Januari 2013 dengan dalih untuk mengembalikan makna filosofisnya. Sebab jalan itu membentang di sumbu filosofi dari Tugu Pal Putih alias Tugu Jogja hingga Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.

Surat edaran itu ditindaklanjuti dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pencabutan Perwal Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kakilima Kawasan Khusus Malioboro-A. Yani. Perwal baru itu ditandatangani walikota saat itu, Haryadi Suyuti pada 31 Januari 2022.

“Isu relokasi itu antara percaya nggak percaya, kok benar ternyata,” kata Upik.

Ada yang direlokasi ke TM 1 dan TM 2. Pedagang di TM 2 adalah PKL di Titik Nol dan pedagang lesehan, serta mayoritas pedagang yang masuk Paguyuban PKL Malioboro “Tri Dharma”. Paguyuban ini adalah yang sebelumnya berjualan di selasar sisi seberang deretan pertokoan.

“Bapak bilang, wes nggak papa, ngikut maunya pemerintah seperti apa. Nanti kalau nggak laku gimana kita caranya,” kenang Upik.

Baca Juga: Kendaraan Listrik dan Tantangan Aksesibilitas bagi Perempuan Disabilitas Netra

Persoalannya, Pengurus Paguyuban Tri Dharma yang lama menyatakan, anggotanya bisa pindah ke TM 2 apabila sudah lunas iuran Rp75 ribu per bulan. Iuaran bulanan untuk membayar jasa keamanan, kebersihan, ketertiban, kesehatan itu sempat terhenti karena pandemi. Sementara kondisi perekonomian mayoritas pedagang belum pulih usai pandemi.

“Dua tahun nggak jualan karena Covid, ternyata ditagih bayar iuran. Katanya kalau nggak bayar nggak dapat lapak,” kata Upik.

Ia protes kepada pengurus, tetapi jawabannya tetap sama. Upik pun mengadukan kondisi itu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Kemudian difasilitasi untuk beraudiensi dengan pihak Dinas Kebudayaan. Jawabannya, semua PKL mendapatkan lapak dan tanpa biaya.

Sementara banyak sesama pedagang yang terpaksa menjual motor demi bisa mendapat lapak. Ada yang bisa mencicil pembayaran 50 persen. Dari situlah, Upik tergerak hatinya untuk bersama-sama berjuang, karena menengarai ada intimidasi yang dilakukan pengurus.

“Tapi saya kecolongan. Ada delapan teman nggak dapat lapak. Mereka nggak ngurus administrasinya karena takut belum lunas,” sesal Upik.

Relokasi awal digelar pada 1 Februari 2022. Padahal itu bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2573, sehingga libur nasional. Itu pun tanpa surat pemberitahuan. Upik memilih tetap berjualan. Ia dan para pedagang yang bertahan untuk berjualan didatangi ratusan aparat Satpol PP. Memintanya harus pindah hari itu. Sementara ia belum melakukan persiapan apapun di tempat baru, seperti membuat pajangan dan memasang sekat.

“Saya nego. Oh ya udah, tapi tanggal 8 (Februari 2022) harus bersih ya,” ucap Upik menirukan petugas itu.

Baca Juga: Diskriminasi di Tengah Keberagaman: Nasib Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Surat pemberitahuan pun tiba siang harinya. Itu pun salah tanggal, terketik 31 Februari 2022. Lalu dihapus dengan Tipe-X untuk diralat.

“Saya juga heran. Tanggal merah, tapi bisa keluar surat dan salah tanggal. Tapi ya lagi dan lagi, pemerintah pinter,” suara Upik terdengar kesal.

Esok harinya, 2 Februari 2022, aparat Pol PP sudah memasang pagar di kawasan selasar. Mau tak mau, ia dan pedagang yang bertahan harus pindah segera ke TM 2, karena pengunjung juga tak bisa membeli. Tiba di lokasi baru, tengah digelar sosialisasi oleh pengurus paguyuban. Upik tak diperbolehkan masuk, karena disebut tak punya lapak. Sekalipun ia sudah membawa surat kuasa dari orang tuanya.

Informasi yang didapatkan dari peserta sosialisasi, ada 800-an pedagang menempati TM 2. Setiap pedagang akan mendapat lapak berukuran 1,5 x 1,5 meter. Dan keberadaan mereka di sana bersifat sementara. Pihak pemkot berdalih itu kebijakan pemprov. Pedagang bernegosiasi agar bisa dipindah usai Lebaran idulfitri 2022.

“Abis Covid, kami mau cari modal dulu. Itu pun nggak boleh. Katanya, ini sudah dhawuhnya Ngarso Dalem, perintahnya gubernur. Sampai utang sana sini buat beli pajangan,” kenang dia.

Baca Juga: ‘Diarak dan Dibuka Jilbab Secara Paksa’ Pemulung Tua Jadi Korban Kekerasan di Yogyakarta 

Dan kenyataan di lapangan, ia mendapat beragam kejanggalan. Ukuran lapak menyusut menjadi 1,2 x 1,2 meter. Padahal selisih 30 cm sangat berharga bagi pedagang untuk bisa menggantung barang dagangan.

Jumlah pedagang pun menggelembung menjadi 1.041 pedagang. Diketahui ada 32 lapak pedagang dari luar Malioboro yang ikut serta.

“Ini siapa? Pantesan dari 1,5 meter jadi 1,2 meter,”

Pedagang pun mengadu ke DPRD Kota Yogyakarta yang menindaklanjuti dengan membuat pansus. Hasilnya, keberadaan 32 lapak misterius itu meliputi 16 lapak didapat dengan cara ilegal, 11 lapak adalah bonus untuk pengurus paguyuban, dan 5 lapak tidak diketahui pemiliknya.

Temuan itu membuat pedagang tambah bergejolak. Sebab 32 lapak itu membuat 15 pedagang lain yang mempunyai hak atas lapak itu, tergusur. Mereka adalah 8 pedagang dari Paguyuban Tri Dharma dan 7 pedagang dari Paguyuban Girli yang kini berpencar entah di mana.

Pengurus lama paguyuban menghadapi proses hukum terkait dugaan lapak-lapak ‘siluman’ itu. Tahun 2023, paguyuban menggelar pergantian pengurus lewat mekanisme Rapat Anggota Luar Biasa (RALB). Pengurus baru terbentuk dan Upik menjadi ketuanya. Pengurus baru pun mendata ulang anggotanya, sehingga mengetahui mana pedagang dan yang bukan. Hasilnya, ada 907 anggota yang bertambah menjadi 923 pedagang.

Iming-Iming Mimpi Pemda, PKL ‘Naik Kelas’

Hampir tiga tahun berupaya untuk beradaptasi di lokasi baru di TM 2, pedagang di sana kembali dihadapkan pemindahan lagi pada awal 2025. Lokasinya di Ketandan yang merupakan kawasan pecinan di Malioboro dan di Beskalan yang berada di samping utara TM 1.

“Kami survei. Lokasinya itu menjorok ke belakang,” kata Upik.

Kekhawatiran dagangan tak laku pun sudah membayang di depan mata. Akses masuk ke lokasi yang jauh akan membuat pengunjung enggan datang. Belum lagi pedagang harus bersaing dengan deretan pertokoan di Malioboro yang tak sedikit menjual barang dagangan serupa dagangan PKL, pun dengan harga sama. Juga persaingan dengan pedagang asongan yang kini banyak berjualan.

Khusus pedagang di TM Beskalan juga tambah berat perjuangannya. Mereka juga harus bersaing dengan sesama PKL di TM 1.

Baca Juga: Forum WPS High Level ASEAN di Yogyakarta, Bakal Bahas Isu Migrasi Hingga Perubahan Iklim

PKL pun bukan lagi berstatus sebagai pedagang, melainkan tenant, sehingga sebagai pengontrak. Mereka disodori surat kontrak dua tahunan dan terus diperbarui pihak Dinas Koperasi dan UKM DIY.

“Pasal-pasalnya juga memberatkan kami. Banyak SP (surat perigatan),” kata Upik.

Ia mencontohkan, SP dikeluarkan apabila mereka tak berjualan selama 10 hari. Apabila ketahuan menyewakan lapak atau mengalihkuasakan harus mengembalikan lapak pada pemerintah.

“Tapi apakah pengelola akan menjamin? Itu nggak diatur (dalam kontrak). Jadi kontrak itu nggak ada keadilan. Hanya kami yang kena sanksi,” imbuh Upik.

Tercatat ada 375 pedagang yang belum tanda tangan kontrak, termasuk dirinya. Sebab lapak yang dikelolanya atas nama orang tuanya. Juga akibat proses pengundian yang janggal dan tanpa transparansi. Yang tanda tangan kontrak lebih dulu akan diundi untuk ditempatkan di TM Ketandan.

“Sejak awal relokasi, kami tidak dilibatkan,” ungkap Upik.

Sebagai pengurus baru, Upik memastikan para anggotanya mendapat undian terlebih dahulu. Pengurus belakangan. Upaya tersebut sekaligus untuk menunjukkan, bahwa pengurus baru ini bukanlah pengurus lama yang main mata untuk mendapatkan bonus lapak.

Adanya ketidakadilan itu membuat pedagang-pedagang eks TM 2 tetap bersuara. Baik melalui aksi demonstrasi maupun melayangkan hingga 16 surat permohonan audiensi, terutama kepada Sultan. Sayangnya, upaya-upaya tersebut bertepuk sebelah tangan.

Baca Juga: Aktivis Kecam Dugaan Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri di Yogyakarta

Harapan terhadap gubernur yang juga raja untuk mengayomi rakyatnya, tak terwujud. Sekalipun Upik termasuk sosok warga yang mengelu-elukan keberadaan Sultan sejak kecil.

“Rakyatnya mau sowan saja nggak bisa. Kenapa kok dihalangi-halangi? Kenapa kok nggak terketuk?” tanya Upik.

Bahkan saat aksi pada 7 Februari 2025, para pedagang dihadapkan dengan massa yang membubarkan aksi damai yang berlangsung hingga selepas pukul 18.00 itu. Dengan alasan, massa aksi telah memblokir akses jalan ke Malioboro. Polisi menengarai massa yang mengamuk itu adalah tukang parkir dan pengemudi becak yang merasa terganggu dengan aksi di tengah jalan itu.

“Padahal mulai jam 6 sampai 9 malam, kendaraan bermotor memang nggak boleh masuk Malioboro,” jelas Upik.

Jargon “PKL akan naik kelas” yang didengungkan Sultan dalam Perayaan Satu Tahun Teras Malioboro di Pelataran TM 1 pada 7 Februari 2023, bak jauh panggang dari api. Para PKL eks TM 2 masih kesulitan untuk menangguk rezeki.

“Naik kelas bagaimana? Makanya kami menyuarakan terus, seperti ini lho dampak setelah relokasi,” ujar Upik.

Baca Juga: Riset: 3 Media Dinilai Tak Independen Beritakan Keistimewaan Yogyakarta

Ia juga mempertanyakan sejumlah kebijakan relokasi pedagang yang beberapa kali pernah dilakukan pemerintah dan dinilai gagal. Lantaran usai dipindah, para pedagang tak naik kelas menjadi lebih sejahtera. Justru lapak-lapak mereka semakin sepi pengunjung. Ia mencontohkan relokasi pedagang barang-barang bekas alias klitikan yang dulu berderet di sepanjang selasar Jalan Mangkubumi, Yogyakarta ke Pasar Klitikan di Jalan HOS Cokroaminoto.

“Tak ada evaluasi, nasibnya seperti apa sekarang. Seharusnya pemerintah bisa memprediksi, oh ini relokasi di sini saja gagal. Apa yang seharusnya dilakukan selain relokasi. Pemerintah nggak ada niatan berbenah,” tutur Upik.

Sebaliknya, atas nama warisan budaya untuk mempertahankan sumbu filosofi, PKL pun dikorbankan. Sementara tak ada klausul dalam persyaratan warisan budaya harus meniadakan PKL.

“Ini baru Malioboro saja. Bagaimana nasib masyarakat yang kena (dilewati) sumbu filosofi nanti?” imbuh Upik mewanti-wanti.

Pelanggaran Hak Sipol dan Ekosob

Bagi Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono, perlu kajian mendalam terkait tuntutan pemberian jadup berupa sembako dan uang semacam bantuan langsung tunai (BLT) kepada para PKL eks TM 2. Ia berdalih, kebijakan efisiensi anggaran dari pusat berimbas pada kapasitas keuangan daerah.

“Kalau ada keluhan, kami selesaikan sesuai kapasitas kami. Bukan berarti aspirasi PKL tidak kami perhatikan,” kata Beny saat dikonfirmasi di Kantor Gubernur DIY di Kepatihan.

Pemberian lapak dengan fasilitasnya, berikut kebijakan pemerintah untuk menunda penarikan retribusi dan uang sewa lapak, dia sebut sebagai bentuk bantuan pemerintah itu sendiri. Mengingat PKL di TM 1 pun belum ditarik biaya retribusi dan uang sewa.

“Kami bebaskan supaya punya daya tahan dulu, melakukan penyesuaian dulu,” imbuh dia.

Baca Juga: Perempuan, Sebuah Pertanyaan soal Penggusuran atas Pembangunan Bandara di Yogyakarta

Sementara terkait lokasi relokasi PKL ke TM 1, TM Beskalan dan TM Ketandan, menurut Benny merupakan upaya mewujudkan lokasi belanja yang terpadu. Tujuannya agar para pengunjung, terutama wisatawan dapat terkonsentrasi di titik-titik tersebut untuk berbelanja.

Upaya lain yang dilakukan adalah melakukan promosi melalui media online, hingga menggelar aneka acara hiburan di lokasi-lokasi Teras Malioboro itu.

“Jadi lokasi dan fasilitasnya sudah disiapkan dengan matang dan baik. Tinggal bagaimana membuat pengunjung tertarik datang,” ucap dia.

Sejauh ini, Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia menengarai ada sejumlah pelanggaran hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi budaya (ekosob) terhadap para PKL eks TM 2.

Hak sipol, misalnya, ada pembubaran massa aksi oleh massa tandingan. Pembubaran tersebut merupakan bagian dari pembungkaman kebebasan berekspresi.

Hak ekosob yang dilanggar terbukti pada tidak adanya pendapatan para pedagang usai direlokasi ke TM Beskalan dan sebagian TM Ketandan. Meskipun mereka telah mendapatkan fasilitas lapak serta tidak dipungut retribusi dan uang sewa.

“Perekonomiannya malah terjun bebas, fasilitas nggak memadai. Akhirnya konflik horizontal yang tercipta. Jadi pernyataan Sekda itu tidak menyelesaikan problem substansinya,” tegas Julian.

Baca Juga: ‘Momoye, Mereka Memanggilku’: Militerisme dan Perbudakan Seksual di Era Perang Asia Timur Raya

Kebijakan relokasi PKL yang mencari penghidupan di sumbu filosofi merupakan dalih pemerintah untuk mengembalikan magisnya Yogyakarta lewat sumbu filosofi dan sumbu imajiner. Atas dasar itu pula, siapapun masyarakat yang dianggap ‘menganggu’ akan disingkirkan.

Namun pemerintah seolah lupa, bahwa Malioboro menjadi besar bukan hanya karena dibangun pemerintahnya. Melainkan juga ada cucuran keringat masyarakat di sana sebagai bentuk sumbangsih.

Dan sumbangsih masyarakat itu bukanlah program lima tahunan seperti yang disusun pemerintah. Melainkan perputaran roda perekonomian dari pedagang dan pekerja yang sudah beraktivitas di Malioboro sejak 1960-an. Bahkan itu berlangsung secara turun-temurun hingga beranak cucu.

“Terbukti, masyarakat punya kontribusi ekonomi yang signifikan,” ucap Julian.

Sayangnya, pembangunan Malioboro hanya sebagai ikon yang merepresentasikan kepentingan pemda saja. Untuk mewujudkannya, pemda membuat turunan kebijakan yang justru berbenturan dengan masyarakat.

“Termasuk kebijakan relokasi,” ucap dia.

Ia mencontohkan, penggusuran PKL di selasar Malioboro hanya bermula dari keluarnya surat edaran gubernur. Anehnya, surat edaran itu ditindaklanjuti dengan keluarnya peraturan walikota.

“Surat edaran itu kan seperti pengumuman, bukan surat keputusan. Semestinya tidak mengikat secara hukum,” jelas dia.

Baca Juga: Kumpul Keluarga, Nonton, Sampai Rawat Kucing: Kegiatan Perempuan Mengisi Libur Lebaran

Saat ini, LBH Yogyakarta lebih berfokus pada pendampingan nonlitigasi. Sebut saja seperti pendampingan PKL dalam audiensi dengan pemerintah maupun dewan, pengaduan ke Ombudsman RI Perwakilan DIY, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Proses advokasi itu dilakukan dengan berjejaring bersama mahasiswa.

Sementara proses advokasi litigasi pun terbuka untuk dilakukan. Hanya saja, ia mesti melihat kesiapan dan kesediaan para pedagang yang mengalami ketidakadilan itu untuk terlibat dalam proses hukum.

“Kan (budaya) Yogyakarta itu masih feodal ya, seperti takut kualat (kalau melawan Sultan). Status Gubernur yang sekaligus Sultan ini jadi faktor signifikan (mempengaruhi pola pikir warganya),” ujar Julian.

(Foto: Konde.co/Pito Agustin Rudiana)

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Pito Agustin Rudiana

Jurnalis berdomisili di Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!